Thursday, December 27, 2018

[Review Novel Metropop] Purple Prose by Suarcani

First line:
KEKASIH idaman untuk siang yang panas adalah seporsi es campur dengan topping leleran susu kental manis.
---hlm.5, Prolog

Tujuh tahun lalu, kematian Reza membuat Galih lari ke Jakarta. Namun, penyesalan tidak mudah dienyahkan begitu saja. Ketika kesempatan untuk kembali ke Bali datang lewat promosi karier, Galih mantap untuk pindah. Ia harus mencari Roy dan menyelesaikan segala hal yang tersisa di antara mereka.

Roya begitu terkurung dalam perasaan bersalah. Kanaya, adiknya, menderita seumur hidup karena kekonyolannya tujuh tahun lalu. Roya merasa tidak memiliki hak untuk berbahagia dan menghukum dirinya secara berlebihan. Kehadiran Galih mengajarkan Roya cara memaafkan diri sendiri.

Saat karier Galih makin mantap dan Roya mulai mengendalikan haknya untuk berbahagia, karma ternyata masih menunggu mereka di ujung jalan.

Judul: Purple Prose
Pengarang: Suarcani
Penyunting: Midya N. Santi
Penyelaras Aksara: Mery Riansyah
Perancang Sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 304 hlm
Rilis: 29 Oktober 2018
My rating: 2,5 out of 5 star

Oke, ini agaknya saya mesti berjeda dulu dari tulisan Suarcani, ya. Setelah tahun lalu menamatkan "Rule of Thirds" dengan kesan yang kurang, tahun ini pun saya belum bisa menikmati karya tulisnya yang lain: "Purple Prose".

Awalnya saya membaca ini untuk beralih sebentar dari "Kelly on the Move"-nya Seplia yang belum membuat saya terpaku sehingga saya pending dulu. "Purple Prose" yang awalnya cukup menjanjikan dan enak sekali alurnya, berubah drastis ketika eksekusi konflik dan menjelang ending. Saya ngos-ngosan ngikutinnya dan sempat mau DNF pas adegan mulai kayak sinetron.

Well, Suarcani ini kayak Wiwien Wintarto yang mempertahankan setting lokasi-nya di daerah masing-masing. Wiwien di sekitaran Jawa Tengah-Yogyakarta, sedangkan Suarcani di Bali (setidaknya dari dua buku yang sudah saya baca, ya). Meski tidak sedetail "Rule of Thirds" dalam menjelajahi Bali, "Purple Prose" juga kental nuansa Bali-nya, terutama dari segi budaya. Cukup banyak nuansa Bali yang diselipkan pengarang untuk memberi wawasan bagi pembaca (setidaknya buat saya). Misalnya tujuan dan proses pembuatan canang, persembahyangan, selamatan menempati rumah atau sebelum mengadakan kegiatan, dan lain sebagainya.

gambar: www.balimediainfo.com
"Purple Prose" tampak seperti drama psikologi yang mengambil penekanan pada trauma masa lalu. Tokoh sentralnya adalah Galih, seorang eksekutif muda yang baru saja dipromosikan menjadi kepala cabang/divisi marketing (?) sebuah provider telekomunikasi di area Bali, dan Roya, salah satu staf administrasi sekaligus sekretaris--tak langsung, yang menjadi jalur menyibak konflik dan rahasia masa lalu keduanya. Di luar itu, ada tokoh penting seperti Roy (teman lama Galih, jangan sampai ketuker ya, ada Roya--ada Roy), Kanaya (adik Roya), Pak Zul (kepala wilayah? entahlah, lupa saya, pokoknya atasan Galih di Bali), Reza (teman lama Galih) dan beberapa lagi yang lain.

Silakan baca blurb-nya, begitulah inti dari "Purple Prose" ini. Galih yang dulunya pernah tinggal di Bali, oleh karena suatu sebab harus pergi dan menetap di Jakarta. Namun kemudian, Galih mendapat promosi dari kantornya dan membuatnya kembali ke Bali. Segala konflik muncul dari sejak kepindahannya ini.

gambar: www.hellosehat.com
Penyesalan, karma, trauma masa lalu, dan upaya penyelesaian yang tertunda menjadi premis utama yang diolah pengarang demi menghidupkan jalinan kisah ini. Tak ketinggalan unsur romansa dituangkan di antaranya untuk menambah kerunyamannya. Predictable memang, tapi lumayan bisa dinikmati lah. Terutama adegan demi adegan menuju eksekusinya. Apakah kisah romansanya cenderung instalove? Saya agak miss di sini. Jawaban: antara iya dan tidak. Jujur saja, saya merasa tak mendapati waktu yang cukup untuk Galih jatuh cinta meskipun terdapat penjelasan mengapa dia bisa seketika itu jatuh cinta, termasuk penjelasan soal "tampang jelek" yang saya pun masih gamang, ini pengarangnya mau sarkasme atau memang pada dasarnya beropini demikian. Yang bertampang jelek, no offense ya, hahaha:

hal: Epilog
Seperti yang saya bilang, kira-kira sampai setengah cerita saya enjoy banget menikmati jalinan kisah Galih yang jago ngocol beradaptasi di tempat kerja baru, lalu bertemu Roya yang serbakikuk. Namun, niatan memberikan 4 bintang buat novel ini langsung runtuh ketika sampai pada adegan drama Galih yang sedang dirawat di rumah sakit. Minat saya drop ke titik terendah.

Oke, saya nggak bisa ngasih penjelasan tanpa sedikit spoiler, jadi bagian ini saya sensor, sekiranya kamu nggak papa sama sedikit spoiler, silakan baca:
SPOILER ALERT!!!:
Saya kurang bisa mendapat gambaran pas untuk karakter Kanaya yang disebutkan memiliki trauma (sampai tidak mau bergaul, tapi masih sekolah--dan katanya selalu menyendiri di sekolah?). Saya bukan Psikolog sih, jadi nggak paham juga bagaimana penggambaran yang tepat untuk Kanaya, tapi kesan yang saya dapat mestinya dia ini rapuh, takut bersosialisasi, dan meledak-ledak. Meledak-ledaknya sih ada, tapi yang lainnya saya tak mendapati kesan itu. Malah kayaknya dia kuat banget. Puncaknya, Kanaya cukup pintar untuk mengelabui keluarganya dengan mengendarai motor sendiri, pergi ke rumah sakit (dia tahu di mana rumah sakitnya hanya dari mendengar namanya oleh Roya, tanpa meng-Google dulu atau bagaimana, dan novel ini pakai pengganti orang ketiga, which is mestinya lebih bisa mengeksplorasi seluruh karakternya--tanpa menjadi tuhan juga), bisa tahu Galih dirawat di mana, bisa masuk langsung ke ruangan tempat Galih dirawat tanpa izin atau penjelasan itu jam bezuk apa bukan, dan membuat kegaduhan tanpa ada sekuriti atau pihak rumah sakit yang notice? Inilah level drama sinetron paling nggak masuk buat saya. Bahkan, saya nggak suka sama dialog-dialognya Kanaya.



Hal lain yang saya juga kurang nyaman adalah adegannya cukup permisif sama kekerasan. Okelah, ini untuk penggambaran karma dan sebagainya, tapi masak iya boleh-boleh saja memukul, menendang, dan menampar? Bahkan, ada di satu adegan semua orang mukulin, ya bapak, ya ibu, ya anak. Dan, udah, gitu aja. Menurut saya ada adegan lain yang lebih bisa digunakan untuk penggambaran pembalasan karmanya, jika memang itu maksud dari si pengarang sih. Boleh lah ada sedikit unsur kekerasan, tapi minimal ada pihak netralnya, ibunya kek, atau bapaknya gitu, sekadar sebagai pengingat bahwa kekerasan itu nggak bagus dan bukan jalan penyelesaian yang bagus juga. Well, itu menurut saya sih, ya.

Overall, saya hanya menikmati setengah kisah awalnya sedangkan langsung hilang minat di paruh akhir bagiannya. Buat kamu yang lagi butuh membaca kisah tentang trauma masa lalu, bagaimana berdamai dengannya, ditambah sedikit racikan asmara, "Purple Prose" bisa kamu pilih untuk bacaan berikutnya. But for me, saya cukupkan baca karya tulis Suarcani di sini dulu. Nanti kalau ada tulisannya yang lain yang direkomendasikan, akan coba lagi.

Selamat membaca, tweemans.

PS: Purple Prose adalah...


End line:
"Hingga sosok Kanaya semakin mengecil, mengecil, mengecil, dan akirnya hillang.
---hlm.297, Epilog