Tuesday, August 18, 2009

Resensi Novel Teenlit: Ken Terate - 57 detik

Sekelumit kisah manis dari gempa



Judul: 57 detik
Pengarang: Ken Terate
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Genre: Friendship, Teenage Romance
Tebal: 232 halaman
Rilis: Juni 2009 (cetakan pertama)
Harga: Rp30.000 (Harga Toko)
ISBN: 978-97-22-4632-2

Hmm…saya pernah ikut tren dengan menggilai novel-novel yang oleh penerbit dikategorikan sebagai teenage-literature a.k.a teenlit ketika booming novel beginian sekitaran tahun 2004-2005. Urusan tema memang hampir seragam, mulai dari urusan cinta monyet, cinta segitiga, isu gencet-menggencet di sekolahan, hingga tema persahabatan biasa. Tidak banyak yang ditawarkan novel yang kebanyakan juga dibuat oleh remaja-remaja tanggung yang bahkan belum mempunyai “nama” di dunia perbukuan tanah air itu. Tidak heran jikalau kemudian banyak anak usia sekolahan “mendadak-terkenal” karena tulisannya diterbitkan dan laris terjual. Lalu, Gramedia memunculkan ide mengadakan lomba untuk menjaring bibit-bibit baru penulis Indonesia. Dari lomba itu terdapat sosok Ken Terate yang terpilih sebagai juara ketiga melalui novelnya yang berjudul My Friends My Dreams. Dari situlah saya mulai menyukai tulisan-tulisan Ken. Ia memiliki gaya yang khas dan lain daripada beberapa penulis teenlit yang kebetulan novelnya saya baca.

Kalau bisa dibilang saya termasuk orang yang cukup loyal. Begitu saya menyukai sesuatu, saya akan langgeng menyukainya. Termasuk dalam hal ini hasil tulisan seseorang. Tulisan Ken masuk dalam hitungan. Saya hampir selalu membaca buku-bukunya. Jadi, ketika Ken mengirimkan email kepada saya dan memberitahukan bahwa akan segera terbit novel terbarunya berjudul 57 detik (pertamanya doi bilang tuh nopel cuman dibikin versi e-book khusus handphone doank), maka kemudian saya menjadi tak sabar menantikan rilis dalam bentuk cetak-nya.

Yang paling saya suka dari gaya penulisan Ken adalah kemampuannya membuat kalimat-kalimat hiperbola yang menggelitik dan menggemaskan. Padahal ada yang bilang bahwa semua hal yang terlalu (hiper atau hipo) itu tidak bagus. Tetapi “kalimat terlalu” buatan Ken justru menjadi daya pikat tersendiri, bagi saya, dalam setiap bukunya. Hal lain yang saya suka dari Ken adalah konsistensinya dalam menulis. Saya perhatikan dari sejak novel pertamanya Ken selalu menggunakan kata ganti orang pertama (aku, gue) untuk keseluruhan karakter utama dalam novel-novelnya. Hal ini jelas membutuhkan ketelitian dan kecermatan tersendiri dalam menjaga agar tiap aktor yang diciptakan tidak melenceng dari sifat rekaannya. Satu karakter tidak boleh tertukar dengan karakter lain, atau jangan sampai antar-karakter saling bertubrukan alias timpang satu dengan yang lainnya.

57 detik mungkin menjadi novel pertama Ken yang lahir dari sebuah kisah nyata. Yah, itu cuman dugaan saya belaka. Kebenarannya saya kurang tahu. Dalam pengantar novelnya, Ken secara khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa orang yang berjasa “memberinya” beragam cerita yang membantunya membangun plot novel ini.

Teenlit dengan sampul yang didominasi warna kuning cerah ini mengambil latar kejadian gempa yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya beberapa waktu silam. Judulnya sendiri mengacu pada durasi gempa yang mengguncang kota gudeg tersebut. Di beberapa bagian Ken secara kreatif memberikan tambahan-tambahan tulisan semisal tips menghadapi gempa yang dikemas dalam bahasa komedi, serta beberapa headline dan foto asli suatu peristiwa yang ada kaitannya dengan gempa. Interesting. Ceritanya sendiri khas sekali untuk konsumsi usia anak sekolahan. Bumbu-bumbunya tak jauh dari gonjang-ganjing persahabatan, persaingan merebut posisi strategis di sekolahan (ketua cheerleader), dan lakon-lakon anak SMA masa kini, termasuk cemburu-cemburuan dalam urusan percintaan.

Harusnya memang ada air mata yang tumpah begitu membaca novel ini karena hampir separuh bagiannya diisi kejadian tragis mengenai situasi saat dan setelah gempa. Setting lokasi dan emosi para tokohnya pun coba dibangun oleh Ken untuk membangkitkan rasa haru, paling tidak menurut saya begitu, namun sayang saya hanya larut sebentar saja. Keharuannya kurang mampu membuat saya menitikkan air mata, padahal saya terkenal paling mudah lumer pada hal-hal sedih dalam sebuah tulisan. Hmm, entahlah, saya mengharapkan tragedi yang lebih sengsara lagi (tentu saja nggak untuk kehidupan nyata).

Selebihnya sih, Ken banget. Semuanya saya suka. As usual. Ken berhasil menjaga konsistensi tiga tokoh utamanya meski kesemuanya menggunakan kata ganti orang pertama. Yang juga saya suka dari Ken adalah dia tidak melulu menjejali pembaca dengan gula-gula cinta namun juga asem-manis-pahitnya sebuah persahabatan. Dan itulah yang membedakannya dengan kebanyakan pengarang teenlit lainnya. Maju terus Ken. Semoga tetap produktif.

Selamat membaca!

Sinopsis (cover belakang)

JOGJA, KORAN REMAJA--Aji, Ayomi, dan Nisa adalah
remaja "biasa", kayak kita-kita gitu deh. Mereka mengaku kadang bosan dengan hari-hari mereka. Sekali-sekali mereka pengin juga meng-alami kejadian seru. Tapi tentu saja bukan seru yang menyengsarakan seperti GEMPA. Namun, itulah yang terjadi! Gempa itu tiba-tiba datang dan mengacau-kan semuanya. Cuma 57 detik, tapi akibatnya begitu mengerikan. Petualangan luar biasa terpaksa mereka jalani. Apa aja cerita mereka? Bagaimana mereka bertahan? Apa ada kejadian lucu dalam tragedi ini? Berikut wawancara dengan mereka.

Tanya: Waktu gempa rasanya seperti apa?
Aji: Seperti ditabrak buldoser.
Ayomi: Seperti naik rollercoaster... tanpa sabuk pengaman.
Nisa: (lirih) seperti sulap.
Tanya: Apa yang membuat kamu paling sedih?
Aji: Bencana itu rasanya nggak adil, sepertinya selalu menimpa orang yang sudah susah.
Ayomi: Aku nggak bisa menari lagi, padahal menari adalah hidupku.
Nisa: (lirih juga) Sahabatku Aisyah... dia... (tidak berhasil melanjutkan)
Tanya: Apa hikmah yang bisa kamu dapatkan?
Aji: Akhirnya gue tau apa yang gue inginkan, setelah gue capek memenuhi harapan orang lain.
Ayomi: Dapet pacar baru.
Nisa: Aku sadar aku sangat sayang pada keluargaku, meski mereka sama sekali nggak keren.

Wow! Petualangan mereka bener-bener seru dan sangat menarik untuk disimak. Misalnya, Nisa yang harus bertahan di puing-puing tanpa makanan lebih dari sehari-semalam, lalu Aji yang jadi relawan dadakan, dan Ayomi yang merasa dunianya hilang dalam sekejap gara-gara isu tsunami fiktif.

Oh iya, ada cerita-cerita lucu dan romantisnya juga lho. Dapatkan kisah lengkap mereka di buku ini, sekarang juga!

Monday, August 17, 2009

Resensi Novel Metropop: Kennaz H. Imamah - Kala Lonceng Cinta Berdentang

Mentah!


Judul: Kala Lonceng Cinta Berdentang
Pengarang: Kennaz H. Imamah
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romance, Fairytale in Metropop
Tebal: 256 halaman
Rilis: Juli 2009 (cet. 1)
Harga: Rp35.ooo (Toko)
ISBN: 978-979-22-4786-2

Ketika kali pertama genre Metropop dipatenkan oleh Gramedia, novel-novel berlatar kaum urban ini hadir dalam balutan nuansa elegan yang anggun. Bercerita tentang geliat kehidupan di kota metropolitan, bersandang-pangan-papan tak jauh dari kata mewah, dengan tokoh-tokoh nyaris sempurna dalam tampilan fisik dan kecukupan materi, namun terlalu rapuh emosi. Gambaran itu meninggalkan kesan bagi saya bahwa novel ini membidik pembaca dari kaum urban, mostly perempuan, yang cerdas (berkarir) sehingga saya selalu menyebut novel-novel metropop adalah novel yang “pintar” meskipun terkadang juga hanya berisikan mimpi muluk dan khayalan yang kelewat tinggi. Untungnya sebagian besar pengarang novel metropop cukup piawai memberikan sentuhan humanistik yang membumi sehingga novel tersebut tetap dapat dinikmati dengan logika.

Sayang, novel debutan (?*ga tau kebenarannya, apakah ini debutnya ato bukan*) Kennaz ini gagal memberikan sentuhan humanistik tersebut dan hanya mengumbar dongeng antah berantah yang jauh dari sisi logis. Entahlah, rasa-rasanya baru kali ini saya membaca novel metropop yang langsung hilang minat dari hampir sejak permulaan. Saya menjadi bimbang untuk tetap melanjutkan ataukah stop dan mencari bacaan lain, meskipun akhirnya saya putuskan untuk melanjutkannya. Demi teringat sejumlah rupiah yang sudah saya keluarkan untuk menukarnya di kasir Gramedia akhirnya saya bertekad untuk merampungkan-baca novel bersampul manis ini.

Yang bisa saya katakan adalah novel ini masih terlalu “mentah”. Yaitu, agak terlihat kurang rapi dalam penjalinan adegan per adegan. Diksi-nya lumayan bagus, namun agak terlihat amatiran. Saya menjadi teringat pelajaran mengarang di SD dulu bahwa guru Bahasa Indonesia saya memberi contoh untuk memulai sebuah paragraf dalam suatu bab dengan menggambarkan suasana sekitar, keadaan cuaca, atau detail set lokasi, dengan bahasa “langitan” yang indah nan menawan. Sepintas seolah sedang berpuisi. Dan novel ini melakukan hal itu. Kennaz hampir selalu memulai paragraf seperti yang dicontohkan guru SD saya itu. Untuk ukuran novel modern, cara seperti itu agak old fashioned.

Dari segi tema, novel ini pun tidak hadir dengan tema yang kuat atau unik. Tema cinta bercabang banyak begini sudah sering diangkat. Dan bila dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya yang membahas tema serupa yang sudah saya baca, novel ini tertinggal cukup jauh. Saya berharap novel ini menghadirkan konflik yang rapat berkaitan dengan kesibukan si tokoh utama me-manage pacar banyaknya. Sayang, Kennaz hanya ‘sempat’ membuat satu scene yang mengilustrasikan kerepotan tersebut dan itu pun kurang greget. Agak alot. Dan, tidak berhasil, dalam pandangan saya.

Bagi saya, novel ini tak meninggalkan kesan apa-apa. Saya cukup kaget bahwa tidak ada satu pun unsur dalam novel ini yang saya sukai. Terkadang meskipun saya tidak menyukai keseluruhan sebuah novel, saya tetap menyukai salah satu unsurnya. Entah diksi, setting, tokoh-tokohnya, atau gaya bahasanya. Namun, tidak dengan novel ini. Saya juga agak muak (maaf) dengan ketertarikan penulis pada tokoh pria yang kebule-bulean.

Oh, tidak. Maafkan saya. Bukan maksud untuk mencela habis-habisan novel ini. Sekali lagi saya tekankan, posisi saya hanyalah seorang pembaca biasa dengan sisi subjektivitas yang sangat berlebih. Plus, saya sendiri tidak bisa/mampu membuat novel bahkan yang seperti telah ditulis Kennaz ini. Saya hanya membuat review sebatas selera saya. Murni, tidak ada tendensi apapun. Awalnya saya berniat menjadikan blog review saya ini berguna (bagi yang mampir dan membaca) sebagai bahan pertimbangan untuk membeli sebuah buku. Tapi, faktanya saya tidak piawai menilai buku dengan seobjektif mungkin. Jadi, segala keputusan ada di tangan masing-masing. Seni adalah berpijak pada selera. Saya boleh bilang novel ini jelek, Anda pun tidak dilarang memuji novel ini. Semua berpulang kepada selera kita masing-masing.

Selamat membaca!

Sinopsis (cover belakang)
Divvy memandangi lonceng kaca di tangannya. "Dulu aku pernah baca dongeng tentang seorang putri yang memanggil pangerannya dengan cara membunyikan lonceng. Biarpun sang pangeran berada ratusan meter jauhnya, dentang lonceng yang dibunyikan sang putri pasti akan membuat sang pangeran secepat kilat datang ke tempat sang putri berada."

Divinia Prudencia tidak pernah bisa menolak ajakan berpacaran. Itulah kenapa Divvy punya banyak pacar. Dan enggak tanggung-tanggung, lima orang sekaligus!!! Waktunya tersita untuk bekerja dan mengatur jadwal kencan dengan semua kekasihnya. Suatu hari Divvy berulang tahun dan mendapatkan hadiah lonceng. Setiap kali Divvy membunyikan lonceng tersebut, selalu saja pria yang sama menghampiri meja kerjanya. Apakah dongeng itu nyata? Apakah lonceng itu akan menunjukkan siapa cinta sejati Divvy? Lalu bagaimana dengan kekasih-kekasih Divvy yang lain?