Sunday, February 27, 2011

Resensi Novel Metropop: Dewie Sekar - Alita @ Heart

Lembaran Baru Kisah Hidup Alita

Rating:


Judul: Alita@Heart
Penulis: Dewie Sekar
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 448 hlm
Rilis: 8 Februari 2011
Harga: Rp58.000 (disc di inibuku, kutukutubuku, bukukita)
ISBN: 978-979-22-6699-3
Status: Sekuel dari Alita@First
Database Goodreads

Bagaimana cara yang benar untuk menghapus bergulung-gulung kenangan pada sesosok terkasih yang telah menghadirkan sejuta bahagia pada kita? Apakah benar kita seharusnya melupakan sosok yang telah pergi meninggalkan kita? Sebenar-benarnya lupa?
Alita keukeuh memendam segala kenangan terindahnya akan sosok Erwin dalam hatinya. Menyimpannya rapat dan tak pernah berkeinginan memberikan kesempatan bagi sosok lain untuk menyelinap masuk ke bilik hatinya, menawarkan sejuta kenangan baru untuk menggantikan kenangan-kenangan indah namun usang itu. Sampai nasib mempertemukannya dengan laki-laki yang awalnya ia sangka berniat pedekate pada sahabat karibnya.

Entahlah, kapan segalanya bermula, yang jelas getar-getar aneh namun menyenangkan mulai sering mendera Alita setiap kali ia berdekatan dengan laki-laki itu. Ihwal kedekatannya pun bukan demi dirinya sendiri melainkan sebagai bantuan bagi kakak lelaki tersayangnya yang secara tak terduga membeberkan rahasia bahwa ia ada hati pada sahabat dekat Alita. Maka, dimulailah letupan-letupan cinta yang menyebar di antara masing-masing hati itu. Saling menduga. Saling menebak, hati siapa untuk siapa. Cinta siapa untuk siapa. Pencarian cinta hingga ke ujungnya adalah tema utama yang diusung Dewie Sekar dalam novel terbarunya bertajuk Alita@Heart yang merupakan lanjutan dari novel Alita@First yang terbit tahun 2010 lalu.

Saya begitu “tersihir” pada Alita@First sehingga begitu merampungkan-baca novel itu, dan mendapati kenyataan bahwa masih ada kelanjutan ceritanya, saya terus berharap agar sang penulis segera menulis dan menerbitkan lanjutannya. Syukurlah, penantian itu berakhir juga dengan terbitnya novel Alita@Heart ini pada bulan 8 Februari 2011 kemarin.

Menurut saya, alur kisah ini memang sedikit melambat di paruh pertama. Tragedi-tragedi yang dialami oleh beberapa tokoh utama dari serial ini membungkus cerita menjadi sedikit mendung. Suasana sedih berkepanjangan membuat cerita agak biru dan kurang menggairahkan. Untung saja, terdapat pengembangan dan penambahan karakter baru plus diksi, deskripsi, serta dialog-dialog khas racikan Dewie Sekar sehingga memberikan semburat warna di tengah kelamnya kisah mereka.

Kelebihan lain dari Dewie Sekar adalah caranya mengolah adegan menjadi demikian hidup, selayaknya adegan keseharian yang terjadi di sekitar kita. Ada percikan kemewahan nan gemerlap khas cerita metropop, namun lebih banyak lagi taburan kesederhanaan yang realistis. Sulit untuk tidak menjadi terhanyut dan terbawa arus yang diciptakan penulis. Sungguh, begitu banyak selipan-selipan humanis yang menyajikan beragam pengalaman hidup akan dengan mudah dapat kita ambil segi positifnya. Pesan moralnya ditampilkan demikian halus sehingga jauh dari kesan menggurui, tetapi juga dapat dengan mudah kita rasakan. Dan, yang saya rasakan bahwa, novel ini terbungkus nuansa religius yang manis dan proporsional. Pelajaran kehidupan, baik dalam ranah keluarga maupun sahabat, ditampilkan dengan sangat bersahaja. Hubungan antar saudara yang rukun, ikatan keluarga yang meskipun kadang disertai goncangan namun tetap harmonis, sampai dengan cerita sahabat yang saling menguatkan satu sama lain. Begitu mendamaikan hati. Sangat menyejukkan nurani.

Another cliché story, memang. Tak jauh dari pakem metropop. Lagi-lagi mengedepankan dilema perempuan lajang yang menghadapi tekanan sekitarnya untuk segera mencari pendamping hidup. Syukurlah, mungkin atas nama keadilan, penulis juga mengetengahkan dilema serupa bagi tokoh cowok lajangnya di sini. Di samping itu, terima kasih pada penulis yang masih konsisten untuk tidak menjadi etalase yang memamerkan branded things berharga jutaan sebagaimana disajikan oleh beberapa novel metropop yang lain.

Bagi saya, tokoh Gading menyelamatkan cerita dalam novel ini. Jempol dua deh buat Dewie Sekar yang punya ide brilian memasukkan tokoh ini. Background-nya. Lingkungan sekitarnya. Dan, konflik masa lalu yang menyertainya, memberi warna berbeda di tengah cerita hingga ke akhir. Saya suka bagaimana Dewie mempertemukan Gading dengan [teeeettttttttttttt], lalu
[teeeettttttttttttt], hingga akhirnya [teeeettttttttttttt], hahaha, sekalipun ingin sekali saya cerita di sini, tapi itu sudah sangat menjurus pada spoiler…jadi jika ingin ikut merasakan sensasinya, silakan baca sendiri novel ini ya…

Saya selalu terpesona dengan gaya menulis Dewie Sekar, terutama kepiawaiannya memformulasikan PoV orang pertama dari banyak tokoh dalam sebuah novel. Tentu saja, trilogi Zona adalah contoh nyata bagaimana penulis menciptakan kekhasan yang begitu memorable. Pada Alita@Heart ini, penulis menggunakan tiga tokoh berbeda yang bercerita dari sudut pandang masing-masing dan penulis tetap mampu membuat ketiganya hidup dalam peran yang telah ditetapkan sejak mula. Sayangnya, untuk kali ini, saya kurang menangkap sisi maskulinitas dari dua tokoh laki-laki yang bercerita. Pada Zona, saya menangkap kejantanan yang tak terbantahkan dan itu tercermin pada pemikiran, perbuatan, dan percakapannya. Sedangkan untuk Alita@Heart ini…umm…dua tokoh cowoknya agak kurang macho dibanding Zona. Dalam artian, masih terlalu banyak sentuhan feminin pada karakter cowoknya. Atau, barangkali, memang setiap karakter diciptakan berbeda dan kebetulan dua karakter cowok utama di novel ini mendapat jatah kromosom X yang lebih banyak dibanding tokoh Zona yang begitu Superman (kromosomnya XYYY kali, hahaha *ngelawak-ditabok-penulisnya*)

Jempol lagi buat tim editing dan proofreading dari novel ini. Selain berhasil menghanyutkan saya dalam momen-momen indah pada setiap bagian ceritanya, novel ini juga memanjakan saya dari segi teknik cetakannya. Almost perfect. Kalau tak salah, hanya ada satu atau dua kesalahan ketik atau kekurangan kata dalam kalimat. Definitely, no big deal.

Dan…tentu saja, saya menemukan begitu banyak kalimat-kalimat indah atau pun yang menyentuh kalbu dalam novel ini, salah satu yang paling menyentuh saya adalah yang ini:
Percakapan Gading dan Alita (hlm. 301):
Gading: “Memangnya cowokmu ke mana, Alita? Kalo boleh tau aja sih…”
Alita: “Dia… Dia dimasukin orang-orang ke dalem tanah.”

Pada akhirnya, ending-nya memang menyenangkan meskipun “terasa” agak menggantung. Apakah akan ada sambungan lain dari kisah hidup Alita? Oh, kalau saya, tentu saja mau ada lanjutannya. Bagaimana kalau Alita dibuat seperti Rebecca Bloomwood (seri Shopaholic-nya Sophie Kinsella) dari pacaran, menikah, punya anak, dan seterusnya, dan seterusnya. Hahahaha, seru kali ya, *lagi-ditabok-penulisnya*. Tapi bagaimanapun, dengan ini saya deklarasikan diri sebagai fans Alita. Crossed fingers!

Selamat membaca, kawan, semoga harimu menjadi indah dengan membaca.

Sinopsis:
Lanjutan Alita @ First

Apakah kesendirianku adalah aib, sementara kurasa justru Tuhan sendirilah yang memutuskan ini untukku?

Kuembuskan napas kuat-kuat sambil membujuk hatiku agar tidak keterusan menyalahkan Tuhan.

Tidak, Tuhan tak pernah bersalah untuk segala hal buruk yang terjadi dalam hidupku. Aku percaya Dia sungguh maha pengasih dan tahu persis apa yang terbaik bagi umatNya.

"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini---baik atau buruk---pasti ada hikmahnya," kata Mas Erwin beberapa kali. Dulu sekali.

Baiklah, cinta...

Aku akan berusaha bersabar menunggu hikmah....


Sejak kehilangan lelaki yang dicintainya, selama beberapa waktu Alita tak pernah tertarik menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Alita merasa sudah cukup hidup dengan kenangan. Tapi, orang-orang terdekat Alita berusaha keras membuat pintu hati Alita kembali terbuka.

Akankah waktu mampu mengobati kepedihan Alita?

Akankah Alita bisa menemukan lelaki yang sanggup membuat dia sepenuhnya merelakan kenangan cinta pertamanya yang manis tapi tragis?