Memadukan musik dan cahaya dalam cinta...
Pembaca tersayang,
Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.
Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.
Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.
Setiap tempat punya cerita.
Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.
Enjoy the journey,
EDITOR
Judul: Melbourne - Rewind
Pengarang: Winna Efendi
Penyunting: Ayuning, Gita Romadhona
Proofreader: Mita M. Supardi
Desainer sampul: Levina Lesmana
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 328 hlm
Harga: Rp52.000
Rilis: Mei 2013 (cet ke-1)
ISBN: 978-979-780-645-3
Kesukaan saya pada gaya mengarang Winna menjadikan
Melbourne sebagai titik pijak saya untuk berkeliling menikmati untaian kisah di
masing-masing tempat dalam seri Setiap Tempat Punya Cerita (STPC) yang
dicetuskan bersama oleh Gagas Media dan Bukune. Tentu saja, kalau ada STPC
dengan judul LONDON (kota impian) saya pasti akan memulainya dari sana, siapa
pun pengarangnya. Nah, karena tidak (atau belum) ada yang mengangkat London,
saya memilih ber-traveling bareng
Winna Efendi ke Melbourne.
Hening. Damai. Itulah kesan saya setiap menikmati
karya-karya Winna. Seramai apa pun sekitar saya, begitu sudah merunuti kata demi
kata yang diuntainya saya seolah tersihir untuk tak memedulikan sekeliling.
Entahlah, saya sendiri tak paham mengapa saya merasa seperti itu. Bisa jadi
karena diksi dan cara menggandeng kata-kata menjadi kalimat atau suasana yang
terjalin di belakang plot dan karakter para tokohnya. Yang jelas, karya Winna
selalu menghanyutkan imajinasi saya.
Tak terkecuali Melbourne ini. Oh, saya sempat sedikit deja vu dengan penggalan kisah Winna di
GagasDuet-nya bareng Yoana Dianika, Truth
or Dare. Salah satu bagiannya serupa dengan novel itu, yaitu ketika Laura
menaruh hati pada Evan padahal Evan sudah berpacaran dengan sahabat Laura,
Cecily. Ingatan saya langsung melambung pada sosok Alice yang menyukai Julian
yang sudah secara resmi berkencan dengan Catherine. Anehnya, saya tak merasa
terganggu dengan kesamaan kondisi ini. Biasanya mood membaca saya cenderung mudah terganggu apabila saya menemui
satu atau dua adegan dalam suatu cerita mirip dengan adegan di cerita yang
telah lebih dulu saya baca. Mungkin tepat jika saya menyebut telah dikenai Winna’s Charm selama membaca novel ini.
gambar dari sini: melbournereview.com.au |
Dalam hidup, saya percaya pada true love (baca ini saya sambil
dengerin suara Pink yang berduet
bareng Lilly Allen a.k.a. Lilly
Rose Cooper di lagu berjudul True
Love). Bahwa jika saya mencintai seseorang dengan tulus, perasaan itu seharusnya
mengendap dan mengerak di dasar hati, sehingga butuh waktu yang sangat lama
untuknya mengelupas sampai hilang dan tergantikan rasa cinta pada seseorang
yang baru. Saya selalu heran jika ada seseorang yang dengan mudah bilang ‘aku
cinta kamu seumur hidupku’ di saat baru mulai menjalin hubungan tapi kemudian
mudah pula mengatakan hal yang sama kepada orang lain ketika hubungan yang
pertama tak berjalan mulus. Sebegitu mudahkah cinta terhapus dan digantikan
dengan yang baru? Ataukah itu hanya salah si orang yang dengan mudah mengumbar
kata cinta? Bisa jadi. Intinya, saya percaya cinta yang tulus akan bertahan
untuk waktu yang lama, seperti kata ST-12 dalam lagu Saat Terakhir:
“Satu jam saja ku telah bisa
Cintai kamu kamu, di hatiku
Namun bagiku melupakanmu
Butuh waktuku seumur hidup.”
Saya menangkap esensi cinta sejati dari hubungan Laura
dan Max di Melbourne ini, meskipun saya juga merasakan bentuk cinta yang belum
selesai. Seperti tertunda sementara waktu, karena ada keperluan penting nan
mendesak yang harus dilakukan terlebih dahulu. Lalu, cinta akan hadir kembali
setelahnya. Seperti itulah saya memahami letupan roman antara Laura dan Max.
Saya setuju dengan pendapat Christian Simamora yang
menyebut bahwa Winna berhasil mengeksekusi plot Melbourne yang memiliki alur
campuran, maju-mundur, yang sebagian besar dikemas sebagai bentuk reka-ulang
kenangan itu, bukannya benar-benar menuliskan kenangan itu. Maksudnya, kenangan
itu hanya dirupakan narasi saja, tidak full
adegan (disertai dialog). Dan, untuk beberapa kondisi saya menyukai gaya
penceritaan seperti itu. Karena bahasa Indonesia tidak membedakan bentuk
lampau, kini, dan masa mendatang, saya biasanya gagal merasai nuansa masa
silam, jika suatu cerita berputar ke waktu sebelumnya namun diceritakan
gamblang seolah-olah peristiwa itu terjadi saat ini. Saya benar-benar bahagia
ketika sebagian besar Winna memilih gaya narasi ketika tokoh-tokohnya mengingat
suatu memori.
gambar dari sini: pbase.com |
Namun, gaya begitu pun ada kelemahannya, buat saya. Lebih
ke ‘rewel’nya saya sih. Apa iya, dalam suatu waktu yang hampir sama, yang
terpisah jarak sedemikian jauhnya, dua orang bisa kebetulan mengingat satu
kondisi yang sama? Winna kerap menggunakannya. Ketika Laura mengingat bagaimana
ia menyukai Prudence, awal perjumpaannya dengan Max, serta bagaimana sakit
hatinya mendengar ucapan Max ketika mereka akan berpisah, pada saat yang hampir
sama (di bagian atau chapter lain)
Max membayangkan hal-hal itu juga. Saya masih tidak begitu yakin sih ada dua
orang memikirkan hal yang sama di saat yang (hampir) sama. Mungkin akan lebih
baik, sebelum narasi dilontarkan oleh Laura atau Max, diberikan sebuah
pengantar. Mungkin tentang lokasi atau situasi yang sedang dialami tokoh
tersebut, misalnya berupa detail-detail kecil masa kini yang membawa kenangan
itu menyerbu otak hingga narasi akan memori itu diceritakan.
Selama membaca Melbourne, terutama bagian
Laura-Max-Cecily-Evan, saya dibuat gemas, sekaligus sebal. Inilah puncak
konflik yang sebenarnya. Ketika hati mulai terselimuti kabut kebaikan orang
lain, rasa yang terpendam untuk cinta sejati menjadi hampir saja terabaikan.
Oke, saya sampai kepengen menjedotkan kepala Laura ke tembok karena telah menipu
diri sendiri dan berpotensi merusak jalinan persahabatannya dengan Cecily. Pada
tahap ini, saya mengacungi jempol untuk Winna, yang berhasil mengaduk-aduk emosi
dengan menghadirkan karakter Lara. Maafkan, tapi saya sama sekali tak bisa
bersimpati pada Laura. Jujur, saya mendoakan saja dia jomblo akut. Jangan
biarkan Max mencintai gadis plinplan itu, atau biarkan Cecily yang beruntung
mendapat cinta Evan. Biarkan Laura sendiri saja. Hahaha. Jahat ya, saya? Tapi,
beneran, saya tak bisa bersimpati pada Laura. Entah mengapa. Sampai... saat ia
membuka alasan mengapa dulu ia berpisah dengan Max. Ouch, sakit!
gambar dari sini: fotolia.com |
Hambatan awal saya membaca Melbourne adalah penggunaan kata
ganti “gue” oleh Max. Karena PoV orang pertama, saya musti bersabar menunggu
waktu, kapan Max akan dikenalkan dengan tuntas. Apakah dia asli orang Australia
atau orang Indonesia. Syukurlah, dia orang Indonesia (yaiyalah, mana ada bule Aussie pake lo-gue, kan?). Saya trauma
membaca terjemahan serial High School Musical (iyaa..buku dari serial TV yang memopulerkan Zac Efron dan Vanessa Hudgens itu...) yang menggunakan kata ganti “elo-gue” di bukunya. Plisssss, itu nggak cocok. Karakter luar
negeri, biarkan saja sebagaimana seharusnya. Nggak usah dipaksa-paksa kayak orang sini.
Sementara itu, hal lain yang saya sukai dari karya-karya
Winna adalah...taraaaa, hampir-hampir
rapi dan bersih dari typo. Entahlah, apakah Winna sendiri pas nulis naskah
sudah yang rapi-jali atau ada tim khusus yang me-proofread naskahnya sebelum dikirim ke penerbit. Serius, so far, hanya naskah-naskah Winna yang
aman dari radar typo saya. Tetap ada, tapi nggak SEBANYAK novel lain yang diterbitkan Gagas Media. Sekali lagi, saya
nggak tahu kenapa bisa begitu.
gambar dari sini: gifsoup.com |
Pada akhirnya, saya terhanyut kisah Melbourne. Memang
khas Winna, jadi sebagian terasa samar-samar mengingatkan saya pada
novel-novelnya sebelum ini yang sudah saya baca. Terutama dari segi tema. Maka,
saya hanya berharap, Winna bisa memberikan keindahan ide lain di karya-karya
berikutnya. Saya selalu suka pada tema persahabatan yang diangkat Winna, namun
sahabat yang diam-diam menyukai pacar sahabatnya itu sudah beberapa kali
diceritakannya. Hehehe, ya itu sih hak prerogratif Winna sebagai pengarang mau
menulis apa, ya? Ini hanya sekadar harapan dari salah satu di antara ribuan
penyuka karya-karya Winna Efendi kok. Entahlah, kalau satu lagi novel Winna
setelah ini masih mengangkat hal macam begini, kemungkinan saya akan skip dulu, menunggu novel berikutnya
lagi yang lebih “baru”.
My rating: 4 out of 5 star
Mantep reviewnya jadi penasaran pengin baca novel Melbourne :D
ReplyDeleteSuka sama STPC nya bisa sekalian jalan-jalan sambil baca
mantep mas Ijul reviewnya. Thanks ya jadi tambah yakin kepengin beli ini.
ReplyDelete