Thursday, December 27, 2018

[Review Novel Metropop] Purple Prose by Suarcani

First line:
KEKASIH idaman untuk siang yang panas adalah seporsi es campur dengan topping leleran susu kental manis.
---hlm.5, Prolog

Tujuh tahun lalu, kematian Reza membuat Galih lari ke Jakarta. Namun, penyesalan tidak mudah dienyahkan begitu saja. Ketika kesempatan untuk kembali ke Bali datang lewat promosi karier, Galih mantap untuk pindah. Ia harus mencari Roy dan menyelesaikan segala hal yang tersisa di antara mereka.

Roya begitu terkurung dalam perasaan bersalah. Kanaya, adiknya, menderita seumur hidup karena kekonyolannya tujuh tahun lalu. Roya merasa tidak memiliki hak untuk berbahagia dan menghukum dirinya secara berlebihan. Kehadiran Galih mengajarkan Roya cara memaafkan diri sendiri.

Saat karier Galih makin mantap dan Roya mulai mengendalikan haknya untuk berbahagia, karma ternyata masih menunggu mereka di ujung jalan.

Judul: Purple Prose
Pengarang: Suarcani
Penyunting: Midya N. Santi
Penyelaras Aksara: Mery Riansyah
Perancang Sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 304 hlm
Rilis: 29 Oktober 2018
My rating: 2,5 out of 5 star

Oke, ini agaknya saya mesti berjeda dulu dari tulisan Suarcani, ya. Setelah tahun lalu menamatkan "Rule of Thirds" dengan kesan yang kurang, tahun ini pun saya belum bisa menikmati karya tulisnya yang lain: "Purple Prose".

Awalnya saya membaca ini untuk beralih sebentar dari "Kelly on the Move"-nya Seplia yang belum membuat saya terpaku sehingga saya pending dulu. "Purple Prose" yang awalnya cukup menjanjikan dan enak sekali alurnya, berubah drastis ketika eksekusi konflik dan menjelang ending. Saya ngos-ngosan ngikutinnya dan sempat mau DNF pas adegan mulai kayak sinetron.

Well, Suarcani ini kayak Wiwien Wintarto yang mempertahankan setting lokasi-nya di daerah masing-masing. Wiwien di sekitaran Jawa Tengah-Yogyakarta, sedangkan Suarcani di Bali (setidaknya dari dua buku yang sudah saya baca, ya). Meski tidak sedetail "Rule of Thirds" dalam menjelajahi Bali, "Purple Prose" juga kental nuansa Bali-nya, terutama dari segi budaya. Cukup banyak nuansa Bali yang diselipkan pengarang untuk memberi wawasan bagi pembaca (setidaknya buat saya). Misalnya tujuan dan proses pembuatan canang, persembahyangan, selamatan menempati rumah atau sebelum mengadakan kegiatan, dan lain sebagainya.

gambar: www.balimediainfo.com
"Purple Prose" tampak seperti drama psikologi yang mengambil penekanan pada trauma masa lalu. Tokoh sentralnya adalah Galih, seorang eksekutif muda yang baru saja dipromosikan menjadi kepala cabang/divisi marketing (?) sebuah provider telekomunikasi di area Bali, dan Roya, salah satu staf administrasi sekaligus sekretaris--tak langsung, yang menjadi jalur menyibak konflik dan rahasia masa lalu keduanya. Di luar itu, ada tokoh penting seperti Roy (teman lama Galih, jangan sampai ketuker ya, ada Roya--ada Roy), Kanaya (adik Roya), Pak Zul (kepala wilayah? entahlah, lupa saya, pokoknya atasan Galih di Bali), Reza (teman lama Galih) dan beberapa lagi yang lain.

Silakan baca blurb-nya, begitulah inti dari "Purple Prose" ini. Galih yang dulunya pernah tinggal di Bali, oleh karena suatu sebab harus pergi dan menetap di Jakarta. Namun kemudian, Galih mendapat promosi dari kantornya dan membuatnya kembali ke Bali. Segala konflik muncul dari sejak kepindahannya ini.

gambar: www.hellosehat.com
Penyesalan, karma, trauma masa lalu, dan upaya penyelesaian yang tertunda menjadi premis utama yang diolah pengarang demi menghidupkan jalinan kisah ini. Tak ketinggalan unsur romansa dituangkan di antaranya untuk menambah kerunyamannya. Predictable memang, tapi lumayan bisa dinikmati lah. Terutama adegan demi adegan menuju eksekusinya. Apakah kisah romansanya cenderung instalove? Saya agak miss di sini. Jawaban: antara iya dan tidak. Jujur saja, saya merasa tak mendapati waktu yang cukup untuk Galih jatuh cinta meskipun terdapat penjelasan mengapa dia bisa seketika itu jatuh cinta, termasuk penjelasan soal "tampang jelek" yang saya pun masih gamang, ini pengarangnya mau sarkasme atau memang pada dasarnya beropini demikian. Yang bertampang jelek, no offense ya, hahaha:

hal: Epilog
Seperti yang saya bilang, kira-kira sampai setengah cerita saya enjoy banget menikmati jalinan kisah Galih yang jago ngocol beradaptasi di tempat kerja baru, lalu bertemu Roya yang serbakikuk. Namun, niatan memberikan 4 bintang buat novel ini langsung runtuh ketika sampai pada adegan drama Galih yang sedang dirawat di rumah sakit. Minat saya drop ke titik terendah.

Oke, saya nggak bisa ngasih penjelasan tanpa sedikit spoiler, jadi bagian ini saya sensor, sekiranya kamu nggak papa sama sedikit spoiler, silakan baca:
SPOILER ALERT!!!:
Saya kurang bisa mendapat gambaran pas untuk karakter Kanaya yang disebutkan memiliki trauma (sampai tidak mau bergaul, tapi masih sekolah--dan katanya selalu menyendiri di sekolah?). Saya bukan Psikolog sih, jadi nggak paham juga bagaimana penggambaran yang tepat untuk Kanaya, tapi kesan yang saya dapat mestinya dia ini rapuh, takut bersosialisasi, dan meledak-ledak. Meledak-ledaknya sih ada, tapi yang lainnya saya tak mendapati kesan itu. Malah kayaknya dia kuat banget. Puncaknya, Kanaya cukup pintar untuk mengelabui keluarganya dengan mengendarai motor sendiri, pergi ke rumah sakit (dia tahu di mana rumah sakitnya hanya dari mendengar namanya oleh Roya, tanpa meng-Google dulu atau bagaimana, dan novel ini pakai pengganti orang ketiga, which is mestinya lebih bisa mengeksplorasi seluruh karakternya--tanpa menjadi tuhan juga), bisa tahu Galih dirawat di mana, bisa masuk langsung ke ruangan tempat Galih dirawat tanpa izin atau penjelasan itu jam bezuk apa bukan, dan membuat kegaduhan tanpa ada sekuriti atau pihak rumah sakit yang notice? Inilah level drama sinetron paling nggak masuk buat saya. Bahkan, saya nggak suka sama dialog-dialognya Kanaya.



Hal lain yang saya juga kurang nyaman adalah adegannya cukup permisif sama kekerasan. Okelah, ini untuk penggambaran karma dan sebagainya, tapi masak iya boleh-boleh saja memukul, menendang, dan menampar? Bahkan, ada di satu adegan semua orang mukulin, ya bapak, ya ibu, ya anak. Dan, udah, gitu aja. Menurut saya ada adegan lain yang lebih bisa digunakan untuk penggambaran pembalasan karmanya, jika memang itu maksud dari si pengarang sih. Boleh lah ada sedikit unsur kekerasan, tapi minimal ada pihak netralnya, ibunya kek, atau bapaknya gitu, sekadar sebagai pengingat bahwa kekerasan itu nggak bagus dan bukan jalan penyelesaian yang bagus juga. Well, itu menurut saya sih, ya.

Overall, saya hanya menikmati setengah kisah awalnya sedangkan langsung hilang minat di paruh akhir bagiannya. Buat kamu yang lagi butuh membaca kisah tentang trauma masa lalu, bagaimana berdamai dengannya, ditambah sedikit racikan asmara, "Purple Prose" bisa kamu pilih untuk bacaan berikutnya. But for me, saya cukupkan baca karya tulis Suarcani di sini dulu. Nanti kalau ada tulisannya yang lain yang direkomendasikan, akan coba lagi.

Selamat membaca, tweemans.

PS: Purple Prose adalah...


End line:
"Hingga sosok Kanaya semakin mengecil, mengecil, mengecil, dan akirnya hillang.
---hlm.297, Epilog

Wednesday, September 26, 2018

[Resensi Novel Metropop] Perkara Bulu Mata by Nina Addison

First line:
Vira.
Aku benci rumah sakit.
---hlm.5, Ch.1 - Titik Lebih

Jojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu… entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekeliling Vira melambat. Pandangannya terkunci pada satu fokus: mata Jojo. Ah, bulu mata itu!

Mendadak jantung Vira berdegup kencang—sesuatu yang selama ini tidak pernah terjadi saat ia berada di dekat Jojo. “Jojo kan selalu terbirit-birit kabur ke Planet Mars setiap tahu ada cewek deketin dia, Vir.” Ucapan Lilian, sahabat Vira dan Jojo, langsung terngiang. Damn, batin Vira. Masalahnya, ia tidak yakin dirinya akan jadi pengecualian dari reaksi absurd cowok tersebut. Belum lagi nasib persahabatan mereka jika perasaannya terendus Jojo. Lalu jika mereka pacaran dan… putus? Apa yang harus Vira lakukan? Ah, tapi bulu mata itu... Damn.

Judul: Perkara Bulu Mata
Pengarang: Nina Addison
Penyunting: Harriska Adiati & Neinilam Gita
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 296 hlm
Rilis: 17 September 2018
My rating: 4 out of 5 star
Silakan baca nukilan novel Perkara Bulu Mata yang diunggah ke Wattpad: http://wattpad.com/perkarabulumata


Sejak Morning Brew, saya memang sudah "menandai" Nina Addison sebagai salah satu pengarang yang buku-bukunya bakal saya usahakan untuk dibaca. Adalah cerpen "Perkara Bulu Mata" di kumpulan cerita pendek metropop bertajuk Autumn Once More menjadi salah satu dari cerpen yang sangat saya minati dan beberapa kali saya usulkan untuk bisa dikembangkan menjadi novel. Dan betapa bahagianya saya ketika Nina benar-benar mewujudkannya, hingga saya demikian tak sabar untuk segera merampungkan-baca novelnya. Begitu rilis, saya langsung mengunduh Perkara Bulu Mata di Apps Gramedia Digital.

Syukurlah, versi novel Perkara Bulu Mata cukup memenuhi ekspektasi saya. Well, jangan tanya saya, apa perbedaan/persamaan-nya dengan versi cerpennya, ya. Saya sudah lupa, hahaha. Yang terang, dua-duanya masih menyoal tentang bulu mata. Dari sanalah pesona seseorang menyetrum dan mewujud menjadi percikan api cinta yang baru dirasa oleh mereka yang telah bersahabat sangat lama.

Kelar baca Thousand Dreams-nya Dian Mariani yang mengambil tema sahabat jadi cinta, Perkara Bulu Mata pun seide, meskipun tentu saja berbeda bumbu konflik, subplot, dan eksekusinya. Sejak bab awal, Nina menyajikan kisah ini dengan dentuman-dentuman yang mengentak hingga pembaca--saya--terus terpaku pada adegan demi adegannya dan nggak rela menaruhnya barang sejenak. Unputdownable lah istilahnya, ya.

Nina juga punya ecenderungan suka "menggantung" atau menyembunyikan sebentar fakta penyambung adegan berikutnya jadi setiap bab kita dibikin penasaran what will happen next? Dan, di sinilah saya sering gagal menebak adegan macam apa lagi yang bakal dibikin si pengarang? Oke secara garis besar tebakan saya benar: siapa suka sama siapa; tapi detail-detail kecil menuju konklusi akhir itulah yang dibikin cukup menarik oleh Nina (yang saya kerap gagal menebak). Sungguh sayang jika kita melewatkan setiap rangkaian kalimatnya.

Ehmm, ya nggak juga, sih, hahaha. Ada beberapa bagian yang saya skimming dan nggak saya pedulikan, terutama bagian-bagian yang dikursif---kilas balik atau sekadar kata hati yang disuarakan. Pun, terkadang masih ada yang kelewat nggak dikursif dan itu bikin jengkel. Serius, penempatan flashback atau curcol dalam hati secara linier pada narasi itu, buat saya, mengganggu---subjektif.



Terus terang, setelah Resign!-nya Almira Bastari, Perkara Bulu Mata menjadi novel metropop paket lengkap yang renyah banget buat dikunyah. Secara pakem metropop, nuansa office romance-nya sangat terasa. Saya bisa larut dalam dunia kerja para tokohnya. Oiya, Perkara Bulu Mata berpusat pada empat sahabat: Vira, Jojo, Albert, dan Lilian. Nantinya ada beberapa nama yang menyumbang peran cukup penting untuk merajut plot: JC, Daniel, Bo, Zed, Tom, dan beberapa yang lain.

Secara emosi, saya juga dibuat campur aduk sama novel ini. Haru, kocak, sebal, sedih, dan kaget bisa muncul silih berganti. Inti ceritanya simpel: sahabat yang bingung ketika dilanda bara asmara, apakah harus mengungkapkannya dengan risiko merusak persahabatan atau menguburnya diam-diam dengan risiko menyiksa diri sendiri. Bukan tema baru memang, tapi cara mengemas Nina berhasil membuat tema usang ini cukup gurih buat dicemilin sedikit demi sedikit.

Paling saya cuman agak kurang excited pada pilihan ending untuk seluruh tokoh utamanya. Kok jadi di situ-situ saja? Yah, meskipun Nina sudah memberikan segepok alasan mengapa bisa terjadi seperti itu, saya masih tetap mengharapkan ada puncak konflik yang lumayan drama biar ada kejutan superdahsyat gitu---ya nggak sampai sinetron juga sih.

Overall, Perkara Bulu Mata memuaskan dahaga saya akan novel metropop yang charming, lincah, dan kocak---paket lengkap lah kalau bisa saya bilang, meskipun pada beberapa bagian saya nggak suka cara menuturkan flashback/kata hati dan kurangnya ledakan konflik untuk menciptakan drama yang emosional. Please, sempatkan baca novel ini kalau kamu nggak alergi sama tema sahabat jadi cinta dan kebetulan sedang mencari bacaan ringan yang menghibur untuk rileks. Terus produktif ya, Nina. Ditunggu novel metropop selanjutnya.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
"Welcome to the club, Li," bisiknya dengan senyum penuh arti.
---hlm.290, Epilog

Tuesday, September 25, 2018

[Review Novel Romance] Thousand Dreams by Dian Mariani

First line:
Harapan itu serupa cahaya. Saat dipeluk kegelapan hanya perlu seberkas cahaya untuk membuatmu merasa baik-baik saja.
---hlm.1, Prolog

Tentang perjalanan
Tentang kesempatan
Tentang cita-cita dan kenyataan yang saling berhadapan
Tentang mimpi yang (hampir) kesampaian
Dan tentang perasaan
Cinta yang ternyata tak mudah berkesudahan


Jo dan Callista bersahabat sejak SMA. Sama-sama menyukai seni, tetapi terpaksa menempuh pendidikan di jurusan yang tidak mereka sukai. Callista yang suka menulis, terpaksa memilih jurusan yang dibencinya, demi karier yang menurut ibunya jauh lebih cemerlang. Sedangkan Jo, yang tergila-gila dengan fotografi, terpaksa mengambil jurusan Bisnis sesuai keinginan orangtuanya.

Segalanya memang akan terasa lebih berat kalau kita tidak suka dengan yang kita lakukan. Tapi, hobi yang dijalankan sepenuh hati juga punya tuntutan sendiri. Dunia seni profesional mulai menunjukkan taringnya. Menjadi seniman ternyata tak semudah yang dibayangkan. Target, deadline, dan profesionalisme adalah wajib hukumnya demi unjuk gigi di dunia yang mereka idamkan ini.

Sibuk dengan mimpi dan cita-cita masing-masing, kedua sahabat ini perlahan saling menjauh. Memang harus ada yang dikorbankan, demi mencapai sesuatu yang sangat kita inginkan. Dan ketika percik hati mulai berbunyi, siapakah yang mereka pilih? Jemari lain yang menggandeng mereka meraih mimpi atau seseorang yang pernah punya arti?

Judul: Thousand Dreams
Pengarang: Dian Mariani
Penyunting: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 216 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star
Silakan baca nukilan Bab 1 dari Thousand Dreams di sini: www.elexmedia.id

Well, Thousand Dreams menjadi novel dari lini City Life berikutnya yang berkesempatan saya baca. Thanks to Dian Mariani yang sudah ngirim buku ini ke saya, in exchange for my honest review. Perkenalan saya dengan Dian dimulai dari novel Finally You yang resensinya waktu itu ditulis Agustin Sudjono sebagai materi guest post di blog www.fiksimetropop.com. Dari sana, ada rasa penasaran untuk bisa membaca karya-karya Dian dan syukurlah kali ini saya bisa mencicipi racikannya yang lain yaitu novel terbarunya bertajuk Thousand Dreams ini (selanjutnya novel Me Minus You yang juga dikirim Dian ke saya).

Membaca Thousand Dreams begitu mudah karena gaya tutur Dian yang cukup lincah, ceplas-ceplos, dan lebih banyak dialog ketimbang narasi. Thousand Dreams sepertinya ditulis mengikuti pakem character driven story karena alur cerita berkembang seiring dengan pengembangan karakter para tokohnya, terutama dua tokoh utamanya: Jo dan Callista. Untuk keduanya masih lumayan kokoh sih pengembangannya, sayang tak dibarengi dua tokoh pendamping utama: Nando dan Elisa. Ditambah beragam serba kebetulan yang menjadikan adegan demi adegan ataupun ujung perjalanan mudah mudah tertebak alias predictable. Lumayan bikin semangat membaca terkikis sedikit demi sedikit, meskipun tak sampai habis.



Thousand Dreams mengambil tema persahabatan yang dibumbui drama percintaan segi empat yang kurang kukuh, menurut saya, karena banyaknya unsur kebetulan tadi. Dari blurb sendiri saya sungguh antusias mengikuti kisah dua sahabat yang mulai saling menjauh karena mencoba mengejar mimpi masing-masing, Jo yang menggilai fotografi dan Callista yang bermimpi menjadi penulis terkenal. Keduanya sudah berteman sejak lama, kuliah di kampus yang sama (beda jurusan), dan sama-sama merasa salah masuk jurusan gara-gara paksaan orangtua. Berkat kesamaan nasib itulah, keduanya saling support untuk mewujudkan hobi menjadi profesi.

Sebenarnya saya sangat menikmati lembar demi lembar Thousand Dreams, bahkan beberapa kalimatnya cukup quotable buat dipasang sebagai status Twitter atau caption Instagram. Namun, semuanya tak lagi gurih ketika satu demi satu serendipity yang disempilkan Dian menggoyahkan imajinasi saya akan kisah manis persahabatan Jo dan Callista ini. Too bad.


Balik ke urusan karakter. Seperti yang tadi saya bilang, dua tokoh pendampingnya kurang dieksplor dengan optimal. Well, secara deskriptif sih oke, tapi masih kurang secara emosional untuk menyajikan konflik yang pas sebagai bumbu drama persahabatan kedua tokoh utamanya. Khususnya Nando, yang di sini dikisahkan sebagai penulis mega-bestseller dan editor sekaligus penulis pujaan Callista. Yang masih janggal buat saya, selain sebagai penulis, Nando ini kerjanya apa ya, terus waktu ditugasi sebagai editor oleh Penerbit Garuda (penerbit dari hampir semua bukunya dan penerbit yang sama yang akan menerbitkan buku Callista), dia sebagai editor lepas apa in house (editor tetap)? Kok kayaknya terlalu jauh ikut mengurusi segala marketing penerbit kalau posisinya editor lepas. Nggak ada penjelasan memadai--sepanjang yang saya ingat--atas posisi Nando ini.

Dalam perjalanannya, kita akan disuguhi bermacam masalah yang harus dihadapi oleh Jo dan Callista untuk bisa menyeimbangkan antara hobi yang kadung kelewat disukai dan tuntutan kuliah yang menjadi fokus pada fase kehidupan mereka. Di sinilah saya juga ikut merasai (sekaligus bernostalgia) bagaimana Jo dan Callista pontang-panting ngerjain tugas kuliah sembari mencoba hal-hal baru demi peningkatan kualitas hobi mereka. Jo yang mulai terjun di dunia fotografi secara profesional dan Callista yang ahirnya berhasil menerbitkan buku di penerbit mayor.


Thousand Dreams mengalir dengan segar dan lincah dalam menyajikan kisah persahabatan yang pelik karena tepercik bumbu asmara. Namun sayang, beberapa adegan kebetulan, kurangnya pengembangan karakter pendamping, dan minimnya tambahan subplot menjadikan Thousand Dreams cenderung predictable serta kurang believable. Untuk kamu yang suka cerita friends with benefits atau berlatar belakang fotografi dan dunia penulisan, Thousand Dreams bisa jadi pilihan bacaan ringan yang menyenangkan. Terus produktif ya, Dian.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
"Gue cuma beli sepuluh ini, swear!".
---hlm.205, Epilog

Wednesday, September 19, 2018

[Review Novel Metropop] Beautiful Pain by Nathalia Theodora

First line:
DORONGAN itu begitu keras, sampai Keira terhuyung dan menabrak dinding di belakangnya.
---hlm.6, Prolog

“Silakan saja menyebut Keira perempuan serakah karena mencintai Landon dan Damon, sama besarnya. Dia tidak peduli meski Landon sakit dan Damon suka memukulinya. Masa lalu yang dimilikinya membuat Keira bertekad untuk mempertahankan mereka berdua.

Berulang kali Damon meminta Keira untuk memilih dan jelas sekali lelaki itu tidak suka menjadi pihak yang kalah. Dia akan melakukan segala cara untuk membuat Keira meninggalkan Landon. Akhirnya Keira tidak mampu menolak dan hanya bisa bernegosiasi agar Damon memberinya waktu satu bulan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Landon.

Padahal, kondisi Landon tidak kunjung membaik. Dengan detik-detik yang semakin mendekati batas waktu pemberian Damon, Keira hanya berharap semua yang dia lakukan akan berhasil.

Semoga.

Judul: Beautiful Pain
Pengarang: Nathalia Theodora
Penyunting: Donna Widjajanto
Penyelaras Aksara: Nila Isnaini
Desainer Sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 147 hlm
My rating: 2,5 out of 5 star

rating di www.goodreads.com per 18/09/2018 at 02:38 AM
Sejak menerima fisik buku yang dikirim langsung oleh Nath dan mengetahui jumlah halamannya kurang dari bilangan angka dua ratus, saya memang langsung khawatir pada Beautiful Pain ini. Well, dengan jumlah halaman segitu konflik macam apa yang bisa disajikan dengan tepat, pengembangan karakter yang pas, dan eksekusi akhir yang oke? Hasilnya: kekhawatiran saya cukup beralasan.

Sebenarnya premis Beautiful Pain cukup menjanjikan, meskipun nggak menawarkan sesuatu yang baru: mental disorder. Saya sudah pernah membaca (dan menonton) beberapa buku (dan film) tentang gangguan kepribadian ini. Baik bermuatan thriller maupun romance. Dan, memang seharusnya banyak hal yang bisa diuraikan dari satu titik itu saja. Belum lagi jika ditambahkan subplot lain untuk lebih memperkaya cerita. Sayangnya, Beautiful Pain tidak melakukannya, baik menggali lebih dalam maupun menambahkan subplot lain.

gif dari sini: https://wifflegif.com/
Beautiful Pain merupakan karya kesekian (ke-14 di database goodreads.com) dari Nathalia Theodora yang menjadi novel pertamanya yang diterbikan pada lini Metropop di Gramedia Pustaka Utama (sepanjang yang saya tahu). Dari tahun ke tahun, Metropop mulai menjangkau segala kemungkinan menghadirkan kisah romansa urban yang nggak melulu ngomongin cinta doang. Domestic violence, kesetaraan gender, sampai isu minoritas hadir di lini favorit saya ini. Beautiful Pain menjadi salah satu yang bisa masuk kategori domestic violence dalam hubungan pacaran.

Beautiful Pain menceritakan tentang Keira, sosok eksekutif muda, yang jatuh cinta pada dua laki-laki: Landon sang chef (?) sekaligus pemilik beberapa cabang restoran yang superlembut dan rapuh; dan Damon sang pelukis aliran dark (surealis?) yang superkasar dan suka kekerasan. Sejatinya Keira sudah akan meninggalkan salah satunya, demi kebaikan bersama, tapi tekadnya untuk menyelamatkan orang tersayang membuatnya maju-mundur (nggak pake cantik-cantik) hingga dia terus saja terjebak dalam hubungan nggak sehat yang berkepanjangan.

gambar dari sini: http://thesilentchild.tumblr.com/
Beberapa reviewer/booktuber akan mengategorikan kisah ini sebagai toxic relationship. Sudah tahu pacarmu bermasalah, masih juga kamu pacaran sama dia. Begitulah kira-kira maknanya, CMIIW. Saya juga gemas sama Keira sepanjang membaca novel ini. Sudah tahu Damon suka main tangan, mengapa masih setia?

Well, sejatinya pertanyaannya nggak semudah itu, sih. Ada plot twist yang superdahsyat di akhir. Meskipun nggak se-grande yang seharusnya bisa dibikin, twist-nya lumayan. Kenapa cuman jadi lumayan? Salahkan jumlah halaman yang minimalis itu. Entah dari awal Nath kurang menggali lebih dalam atau digunting kurang optimal sewaktu penyuntingan. Isu mental disorder yang terkoneksi langsung dengan domestic violence agak kurang believable buat saya. Saya nggak bisa cerita tanpa spoiler, jadi saya cuman bilang: segala situasinya kayak kurang meyakinkan, terutama karena ini digunakan sebagai unsur kejutan ketika twist dibongkar, saya jadi bertanya-tanya bagaimana sih reaksi orang-orang di sekitar Keira-Damon menyikapi kondisi ini, SELAMA INI? Oke, ada kok dijelaskan sebagiannya, tapi... entahlah, balik ke kesan awal saya, nggak believable.

gambar dari sini: http://www.therakyatpost.com
Kesampingkan fakta premis yang kurang digali, bagaimana dengan unsur Metropop-nya? Ternyata di departemen ini juga setali tiga uang. Unsur office romance yang lekat dengan novel-novel lini Metropop hadir bak tempelan Post-it ka-we. Latar belakang profesi Keira di sebuah perusahaan manufaktur/distributor (?) hadir selintas-sekejap saja. Ada sih diceritakan soal evaluasi vendor, prosedur pemilihan vendor baru, atau mekanisme pembelian produk baru, tapi ya itu... melalui cerita. Bukan narasi yang menggambarkan dengan detail prosesnya. Jadi, nggak nambah wawasan juga, paling tidak buat saya. Terus Keira ini bukan top management kan ya, kok seenak-enaknya saja gitu dia keluar-keluar kantor bukan untuk urusan kerjaan: ke studio lukis Damon lah, rumah Landon lah, ke restoran Landon, atau pas galau dengar kabar Landon menghilang---langsung cus saja dari kantor, enggak minta izin atasan atau notice ke HRD, titip absen ke temen saja enggak, hahaha.

Nah, kalau kamu lagi butuh bacaan Metropop yang kompleks, bisa mencoba membaca Beautiful Pain ini. Meskipun menurut saya agak kurang sukses dalam mengeksekusi isu utamanya tenang mental disorder, novel ini tetap bisa memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga hubungan dalam keluarga /persahabatan dan mewaspadai buruknya dampak toxic relationship. Selamat atas kelahiran novel Metropop pertamanya, Nath, semoga terus produtif, ya. Ditunggu kisah-kisah Metropop-nya yang lain.

Have a nice reading, tweemans.


End line:
"Dan sambil berpegangan tangan, mereka pun meninggalkan taman.
---hlm.147, Epilog

Monday, September 17, 2018

[Review Novel Romance] Midnight Prince by Titi Sanaria

First line:
Harapan itu serupa cahaya. Saat dipeluk kegelapan hanya perlu seberkas cahaya untuk membuatmu merasa baik-baik saja.
---hlm.1, PROLOG

“Menurutku, kamu menyukaiku.”
“Menurutku, kamu terlalu percaya diri.”
“Aku mengenalmu, Ka. Sebelum sesuatu yang aku nggak tahu itu apa, kamu nyaman denganku.”

Mika sadar, sudah saatnya dia meninggalkan masa-masa terpuruk dalam hidupnya. Menjalani kehidupan normal selaiknya seorang perempuan dewasa yang bahagia, seperti kata sahabatnya. Menemukan seseorang yang tepat, menjalani hubungan yang serius, kemudian menikah. Lalu Mika bertemu Rajata.

Semua nyaris sempurna seperti harapan semua orang untuknya, sebelum sebuah kenyataan menyakitkan menghantamnya telak. Membuatnya perlahan-lahan menghindari laki-laki itu, mengubah haluan menjadi seorang pesimis yang tak percaya pada kekuatan cinta. Dia berusaha mematikan perasaannya tanpa tahu kalau Rajata justru mati-matian memperjuangkannya. Jika dua orang yang sudah tak sejalan bertahan di atas kapal yang nyaris karam, akankah mereka bertahan bersama, atau mencari kapal lain untuk menyelamatkan diri masing-masing?

Judul: Midnight Prince
Pengarang: Titi Sanaria
Penyunting: Dion Rahman
Penyelaras Aksara: Inggrid Sonya
Desainer Sampul: Ulayya Nasution
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 267 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star

rating di www.goodreads.com per 17/09/2018 pukul 00:55 

Hype yang sedemikian kenceng bikin saya memilih Dirt on My Boots untuk dibaca di Gramedia Digital, tahun lalu. And, thanks God, it was definitely worth the hype. Itulah perkenalan pertama saya dengan tulisan Titi Sanaria. Well, saya bukan penggemar aplikasi Wattpad, jadi kalaupun dia sudah begitu populer di jagat Watty, saya nggak tahu. Sejak membaca Dirt on My Boots (...and like it a lot) saya mencatat, kalau nanti ada lagi tulisan Titi yang bakal keluar: I'll give her another try.

And, here I am. Saya membaca buku Titi yang lain berjudul Midnight Prince yang sepertinya telah lebih dulu ngehits di Wattpad sebelum akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Elex Media, lini City Life. Well, kalau  nggak salah, I read somewhere, lini City Life ini agak-agak miriplah sama lini Metropop-nya GPU. Jadi, nggak heran kalau saya (mungkin) bakalan cocok sama novel-novel yang bakal terbit dari lini ini. Thanks to Titi yang sudah mengirimkan novel ini bersama Dirt on My Boots (akhirnya saya punya edisi cetaknya, yayy), Dongeng Tentang Waktu, dan Never Let You Go. Disclaimer: will not affecting my review, of course.




Saya mencoba nggak terlalu tinggi memasang ekspektasi ketika mulai membaca Midnight Prince, soalnya kan ini juga baru buku kedua Titi yang saya baca. Pun saya nggak mau kecewa-kecewa banget kalau ternyata Midnight Prince nggak se-charming Dirt on My Boots.

Syukurlah saya melakukan itu, karena di sepertiga bagian awal buku saya tak menemukan kelincahan tulisan Titi yang ceplas-ceplos kayak di Midnight Prince. Diksinya bagus, manis, tapi ya itu tadi, saya masih membandingkannya sama Dirt on My Boots. Untunglah, dari segi cerita cukup membuat saya mampu bertahan untuk merampungkan-baca ceritanya.


Midnight Prince berlatar dunia kesehatan/kedokteran. Dua tokoh utama, Mika dan Rajata, serta beberapa tokoh pendamping berprofesi sebagai dokter, dengan setting lokasi lebih sering di rumah sakit dan klinik. Oh, I do love medical romance, hehehe. Ini ngingetin saya sama novel-novelnya Mira W. Dan, buat saya, unsurnya pas sih. Memang belum sekuat Mira W, tapi sudah lumayan oke, kok (buat saya). Etapi, jangan juga terlalu berharap ada adegan bedah-membedah atau analisis kedokteran yang kompleks di novel ini karena memang enggak ada sih. Lagi pula, si tokoh utama juga masih dokter umum yang kebetulan minta jadwal tugas jaga malam di ruang IGD. Speaking of its tittle, beberapa adegannya memang ber-setting waktu malam.

Midnight Prince bercerita tentang dr. Mika yang harus bergelut dengan duka kehilangan ayah dan adik perempuannya serta gangguan emosi tak stabil pada ibunya. Terlebih Mika merasa dialah penyebab kepergian adik semata wayangnya. Untuk meringankan beban rasa bersalah, Mika memupuk dendam dan berniat membalaskannya pada seseorang--dan keluarganya--yang diyakininya ikut andil memorak-porandakan keharmonisan keluarganya.


Pace-nya lumayan, nggak terlalu cepat atau lambat, meskipun beberapa titik konflik tumbuh kelewat perlahan. Itu yang awalnya bikin saya kurang terikat sama kisahnya. Pada banyak bagian, saya mulai bertanya-tanya: katanya Mika benci banget sama keluarga dr. Lukito, tapi kenapa malah ngelamar kerja di rumah sakit itu? Well, pada bagian agak di belakang, nanti dikasih tahu kok alasannya. Namun, saya sudah kadung nggak habis pikir sama jalan pemikiran Mika hingga pada kesimpulan, "Bodo amat dah, ah". Too bad, karena akhirnya saya jadi berhenti untuk peduli pada si karakter utama. Ditambah lagi unsur insta-love dan adegan tarik-ulur love-hate relationship-nya yang bikin capek (pas cowoknya mau, ceweknya ngga mau; giliran cowoknya nggak mau, ceweknya mau; BAH!).

Namun demikian, diksi yang romantis nan puitis berhasil melarutkan saya dalam kisah cinta penuh liku ini. Pada beberapa bagian, saya dibikin terharu, bahkan sempat berkaca-kaca. Sayangnya, tetap saja gagal membuat saya agar cukup peduli untuk tahu dan mendoakan nasib baik bagi si karakter utama. Dari departemen teknis, sorry to say: I never liked any City Life's book cover, including this one. Dan, masih banyak salah tik di sana-sini.

Pada akhirnya, kekuatan tulisan, diksi yang apik, dan latar belakang dunia kedokteran lah yang bikin saya cukup senang membaca Midnight Prince. Buat kamu yang juga menyukai tipe cerita medical romance, novel ini pasti cocok dihabiskan sekali duduk. Semangat dan terus produktif ya, Titi. Nggak sabar lanjut baca karyamu yang lain.  

End line:
"Nggak apa-apa jadi sahabat yang egois sesekali. Tapi kamu pacar yang hebat....
---hlm.266, EPILOG

Saturday, August 18, 2018

[Buku diFILMkan] Resensi Film To All The Boys I've Loved Before by Jenny Han on NETFLIX

So SWEET!

Directed by Susan Johnson
Produced by Brian Robbins, James Lassiter, Will Smith, Matthew Kaplan
Written by Sofia Alvarez
Music by Joe Wong
Cinematography by Michael Fimognari
Edited by Phillip J. Bartell, Joe Klotz
Production companies: Overbrook Entertainment and Awesomeness Films
Distributed by Netflix
Release date: August 17, 2018 (United States)
Running time: 99 minutes

17 Agustus 2018 akhirnya datang juga. Selain menunggu perayaan Ulang Tahun ke-73 Republik Indonesia, tanggal ini saya tunggu kedatangannya karena... jeng-jeng-jeng... adaptasi novel young adult To All The Boys I've Loved Before karya Jenny Han juga dirilis di... NETFLIX. Ahhh, love-love-love.

Sejak kali pertama baca novel ini, saya sudah menahbiskan novel ini jadi salah satu novel remaja favorit. Saya bahkan lumayan terobsesi sama Jenny Han, hahaha. I try to buy and read anything by her. Cuma ya begitu, kadang harapan nggak sebanding kenyataan. Wacana tinggal wacana. Beli bukunya sih sudah, bacanya yang entah kapan bisa direalisasikan, hahaha. But, I'm still glad that I read all books on this trilogy. Review bisa dibaca untuk P.S. I Love You dan Always and Forever, Lara Jean. Saya malah nggak sempat bikin review untuk To All The Boys I've Loved Before. WHATTT?

Jadi, apa kabar dengan filmnya?


Sejak kabar novel ini bakal diadaptasi ke format film, saya sudah sangat antusias. Nggak sabar nungguin siapa saja cast-nya dan gimana akhirnya filmnya dibuat. But then, pas tahu filmnya enggak tayang di bioskop dan hanya tayang di jaringan Netflix, saya sedih. Lah, gimana cara nontonnya kalau begitu? Saya saja nggak langganan. Terus, gimana jadinya saya nonton dan bisa bikin review, you ask? Anggap saja, akhirnya saya bisa nonton streaming di Netflix, hahaha.

Back to the review, first, filmnya sangat setia sama novelnya. Semua adegan penting diambil, dan sebagai penggemar novelnya tenu saja saya hepi banget. Saya jadi nggak perlu banding-bandingin film sama bukunya, wkwkwk. Tapi, apakah ada perbedaan di sana-sini antara keduanya? Tonton sendiri saja kalau penasaran, ya.


Second, the cast. Love them all. Meskipun terkadang agak off gimana gitu, saya suka ketiga gadis Song yang diperankan Lana Condor (Lara Jean), Janel Parrish (Margo), dan Anna Cathcart (Kitty). Pun dengan jajaran cast yang lain, John Corbert (ayah-dr. Covey), Madaleine Arthur (Christine), Noah Centineo (Peter Kavinsky), Israel Broussard (Josh), dan yang lainnya. But, in this film, Peter said too much, "Whoo... whoa...", and it's bit annoying.


Third, as a teenage rom-com, filmnya cukup menghibur dan believable. Yah, karena saya sudah tahu jalinan ceritanya, saya jadi nggak perlu nebak-nebak nanti bakal gimana sama para tokohnya. Lah, nggak surprising dong, you ask? I don't mind, though. Saya sudah cukup puas dengan bagaimana eksekusi oleh Jenny Han. Malah khawatir kalau banyak diubah sama penulis skenarionya. Filmnya memang nggak colorful atau cheerful dengan banyak adegan pesta lucu-lucuan yang heboh (ada sih, tapi sedikit) dan cenderung banyak ngobrolnya.


Fourth, ada satu komplain sih, soal scoring-nya. Nggak ngerti gimana jelasinnya, tapi menurut saya beberapa bagian terlalu hening tanpa musik pengiring sementara di bagian lain terlalu awkward sama musik pengiring yang nggak pas. Oh ya, saya suka film ini diceritakan melalui Lara Jean sebagai narator. I love hearing Lana Condor's voice.

Oh, sudah tahu jalan ceritanya, kan? Belum? SERIUS!!?? Dan... buat kalian yang nggak suka spoiler, jangan dibaca bagian ini. Oke, buat yang belum tahu dan nggak masalah berasa spoiler, begini ceritanya:
Judul Spoiler:
Lara Jean akan menulis surat cinta kepada cowok yang sangat-sangat disukainya karena dia bukan seseorang yang bakal terus terang tentang perasaannya kepada si cowok. Lara Jean menulis lima surat untuk lima cowok: Peter Kavinsky, Josh, Lucas, John Ambrose, dan Kenny. Rahasianya: kelima surat itu tak pernah dikirimkan, tapi suatu hari secara tak sengaja kelimanya terkirim ke masing-masing cowok. Dan, dari situlah segala kerunyaman yang mengganggu kenyamanan hidup seorang Lara Jean terjadi. Pada akhirnya, Lara Jean memacari salah satunya, yang awalnya pura-pura lama-lama menjadi nyata. Sama siapakah Lara Jean melabuhkan hatinya? Sila baca novelnya atau tonton sendiri filmnya di Netflix, ya.



Overall, saya suka dan menikmati banget menonton film ini. Mungkin untuk beberapa waktu saya akan tonton ulang lagi dan lagi dan lagi. Juga, kalau ada kesempatan saya pengin baca ulang novelnya. Hell, yeah. I am #TeamJennyHan. Oh, dan semoga dua buku berikutnya juga diadaptasi kembali. Aamiin. Buat yang kangen nonton rom-com remaja, coba tonton film ini deh. You'll love it. 4 STAR!







Monday, July 30, 2018

[BOOKtainment] To All The Boys I've Loved Before siap tayang 17 Agustus 2018 di NETFLIX, Trailer Fantastic Beasts 2, MOWGLI dibeli NETFLIX, Trailer WIRO SABLENG 212, Adaptasi Novel Traveler's Tale, dan Kabar Dunia Literasi Lainnya

Hari Senin adalah saatnya mewartakan kabar-kabar lain dari dunia literasi, baik dari dalam maupun luar negeri, biar bikin kita enggak lagi bilang, "I hate Monday". Warta perbukuan ini saya rangkum dari pelbagai sumber.


1. To All The Boys I've Loved Before siap tayang di NETFLIX tanggal 17 Agustus 2018.
Akhirnya trailer resminya keluar juga. And, I'm totally obsessed with this movie. Enggak tahu gimana caranya saya harus nonton film ini nanti. HARUS.



2. Wizarding World - Fantastic Beasts 2: The Crimes of Grindelwald.
OH.MY.GOD. Can't wait for this one. November masih lama, ya. Huhuhu.



3. Film MOWGLI karya Andy Serkis buatan Warner Bros dibeli NETFLIX.
Oke, ini Netlix memang lagi jadi fenomena global, ya? Kayaknya buat film yang awalnya dibikin untuk bioskop, lalu diprediksi enggak bakal sukses terus ditawarkan kepada dan dibeli oleh Netflix? Kejadian Mowgli ini sama kayak Annihilation di awal-awal tahun 2018 kemarin, kalau nggak salah. Betewe, Mowgli adalah adaptasi lain dari novel The Jungle Book karya Rudyard Kipling yang sebenarnya (versi anyarnya) sudah terlebih dulu diadaptasi oleh Disney tahun 2016 kemarin dan sukses besar, bahkan direncanakan ada sekuelnya (kalau nggak salah).




4. Official full trailer of Wiro Sableng 212 besutan Lifelike Pictures.
Saya penggemar serial tivinya zaman kecil dulu. Memang bukan penikmat komiknya, sih, tapi saya tetap akan mengusahakan menontonnya di bioskop begitu film ini dirilis. Terjadwal tayang tanggal 30 Agustus 2018.



4. Novel Traveler's Tale diadaptasi jadi film BELOK KANAN BARCELONA.
Judul filmnya juga merupakan subjudul novelnya, sih, jadi enggak asing-asing banget meski pakai judul itu alih-alih tetap Traveler's Tale. Seingat saya, novelnya cukup asyik. Salah satu novel perjalanan di awal-awal sebelum booming hobi traveling. Direncanakan tayang tanggal 28 September 2018.



5. Indeks berita pilihan SENI DAN BUDAYA kategori buku dari cnnindonesia.com
Buku Baru Haruki Murakami Dinilai Tidak Senonoh di Hongkong
Shuri "Black Panther" Bakal Punya Komik Sendiri
Kaum Cendekia Swedia Gelar Nobel Sastra Tandingan

Monday, June 25, 2018

[BOOKtainment] Full Teaser Trailer for To All The Boys I've Loved Before the movie, Teaser The Hate U Give the movie, How to Train Your Dragon 3, dan Kabar Dunia Literasi Lainnya

Hari Senin adalah saatnya mewartakan kabar-kabar lain dari dunia literasi, baik dari dalam maupun luar negeri, biar bikin kita enggak lagi bilang, "I hate Monday". Warta perbukuan ini saya rangkum dari pelbagai sumber.


1. NETFLIX akhirnya merilis teaser trailer resmi film TO ALL THE BOYS I'VE LOVED BEFORE



Film yang diadaptasi dari novel young adult berjudul sama karya Jenny Han itu bakal tayang di jaringan Netflix per tanggal 17 Agustus 2018 mendatang. Dari awal kabar adaptasi novel ini diumumkan, saya sudah tak sabar kepingin banget nonton visualisasi karakter Lara Jean dan Peter Kavinsky di layar lebar. Cuma karena saya bukan pelanggan Netflix, saya jadi agak khawatir nggak bisa nonton di bioskop. Semoga saja, film ini tetap bisa tayang di bioskop, ya.

2. (Edited) Official Trailer dan Teaser THE HATE U GIVE tayang di VidCon

Official trailer


Teaser


Buat yang menghadiri VidCon di Amerika Serikat sudah pasti tahu lebih dulu tentang kabar diputarnya teaser resmi dari film adaptasi dari novel berjudul sama karya Angie Thomas ini. Namun, buat yang nggak tinggal di Amerika Serikat dan nggak dateng ke VidCon, kabar seputar teaser dari film ini didapat dari akun Twitter sang penulis. Saya juga nggak sabar pengin nonton salah satu film adaptasi paling ditunggu tahun ini mengingat sampai sekarang bukunya sendiri masih terus dan terus memuncaki daftar New York Times bestseller. Kalau nggak salah sudah masuk minggu ke-70-an. WOW, just WOW. Saya sendiri belum baca sih bukunya, mau disegerakan sebelum filmnya rilis.

3. Official Trailer film ketiga HOW TO TRAIN YOUR DRAGON



Saya enggak menyangka bakal ada film ketiganya. Cuma kalau menilik dari kesuksesan secara komersial dari dua film sebelumnya ya nggak bikin kaget-kaget banget sih kalau filmnya masih terus diproduksi. Oiya, aslinya film ini diadaptasi dari seri berjudul sama karya Cressida Cowell. Saya cuma pernah baca buku satunya. Pernah pula koleksi bukunya, tapi sudah enggak lagi.

4. Gerakan KID LIT SAYS NO KIDS IN CAGES


Lagi-lagi, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump mengambil kebijakan yang bikin berang warganya sendiri. Baru-baru ini terjadi aksi pemisahan anak-anak dari orangtua imigran yang menyeberang secara ilegal dari Mexico ke US. Dari beberapa berita yang saya baca, Trump menggunakan law enforcement begini biar pemerintahan Mexico mau membayari pembangunan tembok di perbatasan kedua negara. Aksi ini mengundang hujatan dari warganet tak terkecuali para pengarang di sana. Dalam waktu singkat sebuah gerakan yang dimotori Melissa de La Cruz dan beberapa pengarang, sebuah petisi dan sumbangan untuk korban aksi tersebut digalang secara daring. Menakjubkan.

5. Indeks berita pilihan SENI DAN BUDAYA kategori buku dari cnnindonesia.com
Buku Bahan Inspirasi Lagu BTS Magic Shop Laris di Korea
Petisi Tolak Iqbaal Perankan Minke di Bumi Manusia
Netizen Ribut Soal Iqbaal "Lebih Terkenal" Dibanding Pram
Priyanka Chopa Akan Terbitkan Memoar
Berita-berita buku lainnya silakan klik tautan ini: Indeks Berita Seni dan Budaya.

Sunday, June 24, 2018

[Review Novel Chicklit] The Hating Game by Sally Thorne

Just a quick and brief review, ya. Lagi muales banget ngapa-ngapain ini. Huhuhu.

Nemesis (n.)
1) An opponent or rival whom a person cannot best or overcome;
2) A person’s undoing;
3) Joshua Templeman.


Lucy Hutton and Joshua Templeman hate each other. Not dislike. Not begrudgingly tolerate. Hate. And they have no problem displaying their feelings through a series of ritualistic passive aggressive maneuvers as they sit across from each other, executive assistants to co-CEOs of a publishing company. Lucy can’t understand Joshua’s joyless, uptight, meticulous approach to his job. Joshua is clearly baffled by Lucy’s overly bright clothes, quirkiness, and Pollyanna attitude.

Now up for the same promotion, their battle of wills has come to a head and Lucy refuses to back down when their latest game could cost her her dream job…But the tension between Lucy and Joshua has also reached its boiling point, and Lucy is discovering that maybe she doesn’t hate Joshua. And maybe, he doesn’t hate her either. Or maybe this is just another game.

Saya memang aneh. Beberapa teman mengiakan, bahwa saya aneh. Katanya saya tak masuk akal. Menyukai pengarang atau novel karangannya, meskipun belum pernah sekali pun membacanya. Well, kalau dipikir-pikir aneh juga, ya. Atau lucu. Hahaha.

Namun, sebenarnya suka atau ngefans itu masih dalam tahap: sekadar mengoleksi buku-bukunya, kok. Contohnya: Miranda Kenneally (baru baca dua: Catching Jordan dan Breathe, Annie, Breathe), Sarah Dessen (baru baca satu: Someone Like You), Sarah J. Maas, Lindsey Kelk, Adi Alsaid, Adam Silvera, John Green (pernah baca satu: The Fault in Our Stars), Jill Shalvis, Paulo Coelho, dan masih banyak lagi

The Hating Game karya Sally Thorne ini jadi salah satu buku yang sudah kepingin banget saya baca sejak lama. It's all because of some of my favorite bloggers/booktubers make this book one of their most fave books of the year (around 2016/2017). Plus, novel ini juga masuk dalam daftar nominee Goodreads Choice Awards 2016. Lengkaplah buzz kenceng buat novel ini.

Maka, saya begitu gencar memburu novel ini. Terutama mencari seller yang menjualnya dengan harga miring. Baik di online bookstore atau yang menjajakannya di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, maupun IG. Ternyata, saya malah nemunya dari sesama goodreaders, Mia, bandar @balibooks. Seneng banget bisa "nyulik" buku ini sebelum Mia meng-upload ke IG balibooks. Hahaha. Jadinya saya nggak perlu deg-degan rebutan sama yang lain. Hahaha. #curang

Selain itu, saya terus-terusan merongrong Mbak Hetih biar novel ini diterbitkan sama GPU. Dari obrolan selintas (di medsos) sih katanya rights-nya sudah dibeli dan sedang dalam proses penerjemahan. Asyiiikk. I will definitely buy the Indonesian version, no matter what.

So, review-nya: in the beginning I am really confident that it will be an easy five star reading, but after I finished it couple days ago, hmmm... I think I'll just give it a FOUR star instead. Suka, tapi enggak pakai banget.

Why?

Well, pada dasarnya saya suka. Plot-nya ngalir bener. Premis anjing-kucing di antara kedua karakternya (Lucy Hutton dan Joshua Templeman) cukup menarik, walau agak ngingetin sama Hocus Pocus-nya Karla M. Nashar yang saya benci itu. Hahaha. Saya pikir, gontok-gontokan keduanya bakal sampai tiga per empat buku, ternyata enggak. Jadinya, saya agak kecele sama judulnya yang provokatif ini, kan.

Sudah begitu, sometimes saya pun kurang terbawa sama karakter keduanya. Sally describes both of them are too damn beautiful and flawless. Yeah, ada sih diceritain Lucy begini-Josh begitu, tapi pas keduanya saling berfantasi satu sama lain kok ya keluarlah serentet pemujaan keindahan fisik dan keterampilan maha sempurna masing-masing. Standar romance banget. Dan, ada apa sih sama fantasi cewek mungil dipasangin sama cowok raksasa? Memang begitu ya fantasi cewek-cewek: maunya sama cowok tinggi besar begitu?

Sebagai pencinta metropop, The Hating Game jelas wajib dibaca. Berlatar dunia kerja, kebanyakan adegan di ruangan kantor, dan kantornya di bidang penerbitan pula, cihuy banget pokoknya, Sudah begitu, gaya nulis Sally Thorne memang oke punya buat tema office romance. Witty banter. Kadang kocak, kadang ngeselin. Tapi, ya dasarnya bahasa Inggris saya kan pas-pasan, jadinya ada beberapa guyonan yang nggak masuk di saya. Itulah kenapa saya ngebet banget novel ini diterjemahin. Biar saya tambah ngakak-ngakak pas baca nanti. Hahaha.

Yang saya suka lagi itu jelang bagian akhir. Entah itu nyebutnya twist atau sayanya aja yang salah nebak, alasan Josh ngajak Lucy ke nikahan saudara cowoknya dan masa depan karier Josh bikin saya trenyuh. Siap-siap deh kamu dibikin kebat-kebit sama ulah Josh.

Itu aja yang bisa saya bilang sekarang. Mungkin saya butuh baca untuk kali kedua atau sekalian nanti nunggu terjemahannya. Jika ada update kesan abis baca, review nggak jelas ini juga bakal saya update. Hahaha. Yang pasti: buat yang suka office romance, benci jadi cinta, you MUST READ this.

Selamat membaca!

Thursday, June 21, 2018

[Cover Reveal] Only A Breath Apart by Katie McGarry




Well, hello my fellow blogger. Selamat malam. Apa kabar? After long time hiatus, I decide to take part on revealing book cover of upcoming YA novel by the fabolous Ms. Katie McGarry: ONLY A BREATH APART. Meskipun, saya belum pernah baca satu pun karya Katie, tapi hampir beberapa novelnya sudah saya koleksi, terutama untuk seri Pushing the Limits. I plan to read Pushing the Limits anytime soon this year.

Can't wait to read this beauty on the next year!

And I AM DEFINITELY adore this cover. What do you think?
 
 

Would you dare to defy destiny? Are our destinies written in stone? Do we become nothing more than the self-fulfilling prophesies of other people's opinions? Or can we dare to become who we believe we were born to be?

 

“A gorgeous, heartfelt journey of redemption and love” (Wendy Higgins), ONLY A BREATH APART is a young adult contemporary novel from critically acclaimed Katie McGarry. “Haunting, authentic, and ultimately hopeful” (Tammara Webber), ONLY A BREATH APART will be available on all retailers on January 22, 2019!

 

 


About ONLY A BREATH APART:

Jesse dreams of working the land that’s been in his family forever. But he’s cursed to lose everything he loves most.

Scarlett is desperate to escape her “charmed” life. But leaving a small town is easier said than done.

Despite their history of heartbreak, when Jesse sees a way they can work together to each get what they want, Scarlett can’t say no.Each midnight meeting between Jesse and Scarlett will push them to confront their secrets and their feelings for each other.

 
 

Amazon | Kobo | Google Play | B-A-M | Barnes & Noble | iBooks

 
 




Gritty and real, Only a Breath Apart is a story of hope conjured from pain, strength drawn from innocence, and love earned from self-respect. Beautiful, poignant, and fierce.”
―Kristen Simmons, critically acclaimed author of the Article 5 series




 

 

Add it to your Goodreads today!

 

 

Katie McGarry Bio:

Katie McGarry was a teenager during the age of grunge and boy bands and remembers those years as the best and worst of her life. She is a lover of music, happy endings, reality television, and is a secret University of Kentucky basketball fan.

Katie is the author of full length YA novels, PUSHING THE LIMITS, DARE YOU TO, CRASH INTO YOU, TAKE ME ON, BREAKING THE RULES, and NOWHERE BUT HERE and the e-novellas, CROSSING THE LINE and RED AT NIGHT. Her debut YA novel, PUSHING THE LIMITS was a 2012 Goodreads Choice Finalist for YA Fiction, a RT Magazine's 2012 Reviewer's Choice Awards Nominee for Young Adult Contemporary Novel, a double Rita Finalist, and a 2013 YALSA Top Ten Teen Pick. DARE YOU TO was also a Goodreads Choice Finalist for YA Fiction and won RT Magazine’s Reviewer’s Choice Best Book Award for Young Adult Contemporary fiction in 2013.

Website | Twitter | Facebook | Goodreads | Pinterest | Tumbler | Instagram

 

 




Sunday, April 15, 2018

[Book Shopping Time] Keranjingan Belanja di www.BetterWorldBooks.com

Well, kalau kamu mengikuti salah satu dari beberapa akun media sosial saya [Twitter/Instagram/Facebook/YouTube] kamu pasti tahu bahwa saya sudah masuk ke dalam golongan #PenimbunBuku tingkat lanjut. Bukan sok punya banyak duit, tapi saya memang belum berhasil menemukan penawar racun untuk penyakit yang satu ini. Untuk sementara waktu, biarlah saya menikmati "siksaan" penyakit ini, ya. Seengah berharap, tak lama lagi saya bisa segera bertobat dan sembuh dari penyakit ini. Aamiin.

Tak hanya mengunjungi toko buku atau berbagai event penjualan buku murah/diskon/obral, saya pun tak bisa lepas dari jerat tipu daya iming-iming belanja online. Selain online shop--olshop dalam negeri, saya pun kerap menyambangi dan kalap oleh olshop luar negeri. Salah satunya yang sekarang ini menjadi rujukan utama saya adalah: www.betterworldbooks.com

Harga murah, bebas ongkos kirim ke seluruh dunia, buku bersampul keras (hardcover) seharga paperback, dan pengalaman berbelanja beberapa kali paket buku datang dengan selamat dan lengkap, saya pun menahbiskan BetterWorldBooks menjadi olshop luar negeri favorit saya. Mengalahkan BookDepository yang dulunya jadi rujukan mencari buku-buku luar negeri yang bebas ongkos kirim.  

Dan, entah bagaimana, beberapa bulan belakangan BetterWorldBooks selalu punya agenda diskon yang sulit sekali diabaikan. Diskon sampai dengan 30% atau $10 untuk pembelian buku bekas sebanyak 4 buku atau lebih benar-benar membuat saya goyah iman untuk segera menggesek kartu kredit. Duh!

Padahal sebenarnya, tak bisa dimungkiri, dari tahun ke tahun harga buku yang ditawarkan terus merangkak naik. Kalau dulu saya masih bisa menemui buku seharga $2,9, sekarang enggak ada lagi. Kayaknya yang paling murah di kisaran $3,9, itu pun untuk buku-buku anak yang supertipis, yang kayak diobral Big Bad Wolf books gitu. Untuk buku yang masuk selera saya [you know lah, ya], paling murah $4,9 - $7,8 atau setara dengan:


Dan, inilah buku-buku yang saya datangkan langsung dari US atau UK via BetterWorldBooks, hehehe.




Selamat berbelanja, tweemans.