Monday, September 10, 2012

[Resensi Novel Metropop] Rainbow and Ocean by Ruth Priscilia Angelina

Cinta, antara laut dan pelangi...

Gadis muda itu ternyata adalah batu karang. Ia memang tidak cantik. Ia hanyalah seonggok batu yang tampaknya tak terlalu baik. Ia sudah di situ. Mencintai laut, sejak kemarin, kemarin, dan kemarin.

Hingga pelangi muncul di langit mendung. Dengan senyuman ia memberikan harapan pada gadis muda itu. Harapan untuk keluar dari luka hati yang ia kira takkan pernah sembuh.


Neo Aldriano Yehezkiel
Jadi inilah awal dari penyesalanku. Cepat pulang. Kamu hanya menyukaiku seorang. Jangan jatuh cinta pada orang lain!

Clara Radella Keona
Jantungku rasanya hampir meledak saat melakukan semua itu. Aku ingin menangis. Ingin menangis karena hampir tidak bisa menahan degup jatungku yang terlalu cepat hingga menyesakkan dada. Aku belum berubah.

Kim Donggun
Senar-senar gitar yang usang mulai mengeluarkan nada cantik. Lagu lembut mengisi keheningan malam Natal dengan nada-nadanya yang pilu. Salju turun mengenai sekujur tubuhku.

Nado. Bogosipho, Clara-ssi...

Ketika cinta terlambat untuk disadari.
Judul: Rainbow and Ocean
Pengarang: Ruth Priscilia Angelina
Editor: Irna Permanasari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 208 hlm
Harga:
Rilis: Juli 2012
ISBN: 9789792287004
Rainbow and Ocean


Terus terang, saya kesulitan merampungkan-baca novel metropop kedua karya Ruth Priscilia ini. Bukan kejadian pertama bagi saya, mengingat Grey Sunflower yang coba saya baca setahun silam pun belum tertuntaskan sampai sekarang. Entahlah, saya kurang begitu ‘terhanyut’ akan racikan Ruth.

Rainbow and Ocean sejatinya menawarkan kisah cinta segitiga dengan konflik yang kompleks. Seorang gadis, dua pemuda tampan. Indonesia, Indonesia, dan Swiss-Korea.
Begitu banyak ruang untuk menghadirkan bermacam masalah pada tokoh-tokoh ini. Sayang sekali, sepertinya upaya untuk menghadirkan konflik yang dipilih hanya melalui jalur selayaknya sinetron Indonesia, yakni melalui air mata yang berderai-derai tiada henti. Tragedi-tragedi dihadirkan silih berganti. Kecelakaan, kematian, hingga penyakit bawaan. Tipikal. Terlalu klise. Saya bosan.

Dan, really? Korean-wave. OH-MY-GOD.

OH-MY-GOD! again

Seriously, metropop! Maafkan jika harus menelan sumpah sendiri. Jika terbit lagi novel metropop berlatar Korea, saya tak akan membelinya. Bukan! Saya bukan tak suka pada Korea. Tengok saja koleksi DVD saya, berpuluh-puluh judul K-Drama saya miliki. Saya punya playlist khusus K-Pop favorit. I love them. Tapi, saya tak suka pada yang mbebek. Sekadar ikut-ikutan popular gegara Korea lagi popular.

Mungkin itu pula yang membuat saya tak terlampau menikmati novel ini. Terlihat sekali bagaimana setiap jalinan cerita, interaksi antartokoh melalui dialog-dialognya, bahwa pengaruh K-Drama begitu kuat. Menyimak novel ini saya seolah dihadirkan Song Hye Kyo yang sedang bercakap-cakap dengan Rain di serial laris Full House, aishhh...etapi, cerita novel ini beda sama Full House itu.



Tentang tokohnya. Hmm, jadi, semudah itukah jatuh cinta? Hanya karena sengatan elektrik akan paras rupawan dan perawakan menawan, lalu kamu melabuhkan biduk kasihmu padanya? Segampang itu? Kata orang, cinta memang tak kenal logika. Bahkan, sebagian di antaranya menyebut, cinta itu buta. Dan, saya rasa, Clara justru tak punya rasa. Dia kelebihan rasa sehingga mati rasa. Oh, maksud saya begini deh. Dia masih terbayang-bayang Neo tapi begitu ‘cling’ sekali kedip pada cowok ‘indah’ yang dijumpainya di suatu area perkemahan, lalu detik itu juga ia terpanah asmara. Lalu, ketika kembali ke Indonesia, hatinya kembali terpaut pada Neo. Cih! Semudah itukah hati berpaling? Apakah itu arti cinta sebenar? Oh, sudahlah, semua orang memang punya makna sendiri-sendiri atas cinta. Saya hanya tak bisa menerima bahwa perasaan sedemikian cepat berubah. Saya jelas tak mau mencintai seseorang yang dapat berubah secepat itu. Dan, kentara sekali, sosok Clara ini begitu selfish, maunya mencengkeram dua lelaki. Well, kalau sama penulisnya dibikin sepeti itu ya saya nggak bisa nyalahin Clara-nya sih.

Hmmm...Clara hebat ya, tidak pernah diceritakan punya kemampuan berbahasa Korea langsung bisa capcus ngobrol sama orang Korea, siapa pun! Yah, mungkin sudah persyaratan juga bagi penerima beasiswa S2 Korea harus berbahasa Korea sih, ya. Kaleee... dunno! Tapi, sepertinya semua karakter di novel ini memang jago sih ya, tidak ada satu pun yang diceritakan gegar-bahasa ketika berbicara dengan bahasa Korea. Hebat!

Eh, ada lagi nih kehebatan Clara. Menghilangkan jati diri keindonesiaannya dalam waktu singkat. Yap, beberapa bulan saja di Korea, segala polahnya sudah selayaknya Song Hye Kyo (ishhhh, saya ngefans sih sama Song Hye Kyo). Sayang seribu sayang, padahal citra Indonesia-Korea inilah yang menurut saya bisa memperkuat jalinan konflik dalam novel ini. Bahkan, teriakan kekesalan pun sudah dalam bahasa Korea (hlm 57).

Dan, puhleeeeeeeeeezzzzzzzzz deh ah, bisa tidak bikin cerita tentang Korea yang nggak melibatkan artezzzzz melulu??? Atau, jangan-jangan seluruh orang Korea itu hidupnya dari ngartis, ya? Di Summer in Seoul-nya Ilana Tan, si cowok artis. Di Endorphin-nya Pramesti Ratna, si cowok artis juga. Nah, di sini, artis lagi??? Bah! Fantasi-nya semua pada artis Korea sih, ya?

Eh, ternyata masih ada beberapa yang bikin dahi saya berkerut-kerut tak keruan.
1. Beberapa bagian dari novel ini melibatkan pergantian waktu yang begitu banyak. Saya pusing. Tapi yang ini memang ada kesalahan atau saya yang oon nggak bisa mencerna informasi? (hlm 47) Ia (Tante Emma) dan Oom Irvan pindah ke Korea dua tahun lalu. (hlm. 66) Kebetulan oom dan tanteku juga pindah ke sini sejak tahun lalu. Jadi, yang benar yang mana?

2. (hlm 122) Kepolisian Korea itu hebat ya, langsung bisa melacak keluarga korban kecelakaan dan menghubungi mereka dalam tempo singkat.

3. WTH. Gonta-ganti PoV? Maaf, dalam kamus saya, jika penulis separuh halaman di awal hanya menulis dengan satu PoV, lalu tetiba dari tengah ke belakang jadi BANYAK PoV, si penulis gagal meyakinkan saya dengan kisah yang ditulisnya.

4. Well, saya cowok, dan saya juga menangis sometimes, eh, many times. Tapi, saya kasihan pada dua cowok di novel ini yang suka menangis. Oh, GOD. Cengeng banget, ya?
Ahh, ya sudahlah, ini memang kembali ke selera masing-masing, dan untuk saat ini saya memang merasa cukup menikmati K-Drama televisi saja. Untuk fiksi cetak, nanti-nanti saja deh dicoba lagi. Oh, atau mungkin lebih seru baca cerita Korea asli dari negerinya sana alias terjemahannya saja. Ohiya, untuk yang menyukai kisah romantis penuh tragedi, novel ini cocok buat kamu. Sementara saya cukupkan membaca metropop berlatar Korea dari novel ini saja.

My favorite part:
Aku bukan anjing. Yang kalau disuruh tinggal akan tinggal, disuruh pergi akan pergi, dirusuh tunggu akan menunggu. Menunggu tidak semudah ditunggu.(hlm. 118)
Ohiya, selamat buat tim penyuntingannya. Typo-nya minimalis, bahkan serasa tak ada typo-nya. Sayang, penggunaan font untuk bagian kisah lain, misalnya dari sisi PoV yang buanyakkkk itu atau postingan blog atau diary, akan lebih mengenakkan mata jika dibuat kontras, jadi langsung ngeh kalau itu adalah bagian lain dari cerita. That's all.

My rating:

3 comments:

  1. reviewnya bagus2. Keren. Benar2 FUNNY & SMART. Satu lagi, CRITICAL \^_^/

    ReplyDelete
  2. sama kayak Twilight dong
    yang tiba-tiba jatuh cinta sama cowok "cantik"
    tanpa ada alasan cuma karena ganteng dan misterius

    ReplyDelete
  3. twilight lain, ceritanya vampire kan emang punya pesona buat memikat manusia

    ReplyDelete