Wednesday, September 26, 2018

[Resensi Novel Metropop] Perkara Bulu Mata by Nina Addison

First line:
Vira.
Aku benci rumah sakit.
---hlm.5, Ch.1 - Titik Lebih

Jojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu… entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekeliling Vira melambat. Pandangannya terkunci pada satu fokus: mata Jojo. Ah, bulu mata itu!

Mendadak jantung Vira berdegup kencang—sesuatu yang selama ini tidak pernah terjadi saat ia berada di dekat Jojo. “Jojo kan selalu terbirit-birit kabur ke Planet Mars setiap tahu ada cewek deketin dia, Vir.” Ucapan Lilian, sahabat Vira dan Jojo, langsung terngiang. Damn, batin Vira. Masalahnya, ia tidak yakin dirinya akan jadi pengecualian dari reaksi absurd cowok tersebut. Belum lagi nasib persahabatan mereka jika perasaannya terendus Jojo. Lalu jika mereka pacaran dan… putus? Apa yang harus Vira lakukan? Ah, tapi bulu mata itu... Damn.

Judul: Perkara Bulu Mata
Pengarang: Nina Addison
Penyunting: Harriska Adiati & Neinilam Gita
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 296 hlm
Rilis: 17 September 2018
My rating: 4 out of 5 star
Silakan baca nukilan novel Perkara Bulu Mata yang diunggah ke Wattpad: http://wattpad.com/perkarabulumata


Sejak Morning Brew, saya memang sudah "menandai" Nina Addison sebagai salah satu pengarang yang buku-bukunya bakal saya usahakan untuk dibaca. Adalah cerpen "Perkara Bulu Mata" di kumpulan cerita pendek metropop bertajuk Autumn Once More menjadi salah satu dari cerpen yang sangat saya minati dan beberapa kali saya usulkan untuk bisa dikembangkan menjadi novel. Dan betapa bahagianya saya ketika Nina benar-benar mewujudkannya, hingga saya demikian tak sabar untuk segera merampungkan-baca novelnya. Begitu rilis, saya langsung mengunduh Perkara Bulu Mata di Apps Gramedia Digital.

Syukurlah, versi novel Perkara Bulu Mata cukup memenuhi ekspektasi saya. Well, jangan tanya saya, apa perbedaan/persamaan-nya dengan versi cerpennya, ya. Saya sudah lupa, hahaha. Yang terang, dua-duanya masih menyoal tentang bulu mata. Dari sanalah pesona seseorang menyetrum dan mewujud menjadi percikan api cinta yang baru dirasa oleh mereka yang telah bersahabat sangat lama.

Kelar baca Thousand Dreams-nya Dian Mariani yang mengambil tema sahabat jadi cinta, Perkara Bulu Mata pun seide, meskipun tentu saja berbeda bumbu konflik, subplot, dan eksekusinya. Sejak bab awal, Nina menyajikan kisah ini dengan dentuman-dentuman yang mengentak hingga pembaca--saya--terus terpaku pada adegan demi adegannya dan nggak rela menaruhnya barang sejenak. Unputdownable lah istilahnya, ya.

Nina juga punya ecenderungan suka "menggantung" atau menyembunyikan sebentar fakta penyambung adegan berikutnya jadi setiap bab kita dibikin penasaran what will happen next? Dan, di sinilah saya sering gagal menebak adegan macam apa lagi yang bakal dibikin si pengarang? Oke secara garis besar tebakan saya benar: siapa suka sama siapa; tapi detail-detail kecil menuju konklusi akhir itulah yang dibikin cukup menarik oleh Nina (yang saya kerap gagal menebak). Sungguh sayang jika kita melewatkan setiap rangkaian kalimatnya.

Ehmm, ya nggak juga, sih, hahaha. Ada beberapa bagian yang saya skimming dan nggak saya pedulikan, terutama bagian-bagian yang dikursif---kilas balik atau sekadar kata hati yang disuarakan. Pun, terkadang masih ada yang kelewat nggak dikursif dan itu bikin jengkel. Serius, penempatan flashback atau curcol dalam hati secara linier pada narasi itu, buat saya, mengganggu---subjektif.



Terus terang, setelah Resign!-nya Almira Bastari, Perkara Bulu Mata menjadi novel metropop paket lengkap yang renyah banget buat dikunyah. Secara pakem metropop, nuansa office romance-nya sangat terasa. Saya bisa larut dalam dunia kerja para tokohnya. Oiya, Perkara Bulu Mata berpusat pada empat sahabat: Vira, Jojo, Albert, dan Lilian. Nantinya ada beberapa nama yang menyumbang peran cukup penting untuk merajut plot: JC, Daniel, Bo, Zed, Tom, dan beberapa yang lain.

Secara emosi, saya juga dibuat campur aduk sama novel ini. Haru, kocak, sebal, sedih, dan kaget bisa muncul silih berganti. Inti ceritanya simpel: sahabat yang bingung ketika dilanda bara asmara, apakah harus mengungkapkannya dengan risiko merusak persahabatan atau menguburnya diam-diam dengan risiko menyiksa diri sendiri. Bukan tema baru memang, tapi cara mengemas Nina berhasil membuat tema usang ini cukup gurih buat dicemilin sedikit demi sedikit.

Paling saya cuman agak kurang excited pada pilihan ending untuk seluruh tokoh utamanya. Kok jadi di situ-situ saja? Yah, meskipun Nina sudah memberikan segepok alasan mengapa bisa terjadi seperti itu, saya masih tetap mengharapkan ada puncak konflik yang lumayan drama biar ada kejutan superdahsyat gitu---ya nggak sampai sinetron juga sih.

Overall, Perkara Bulu Mata memuaskan dahaga saya akan novel metropop yang charming, lincah, dan kocak---paket lengkap lah kalau bisa saya bilang, meskipun pada beberapa bagian saya nggak suka cara menuturkan flashback/kata hati dan kurangnya ledakan konflik untuk menciptakan drama yang emosional. Please, sempatkan baca novel ini kalau kamu nggak alergi sama tema sahabat jadi cinta dan kebetulan sedang mencari bacaan ringan yang menghibur untuk rileks. Terus produktif ya, Nina. Ditunggu novel metropop selanjutnya.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
"Welcome to the club, Li," bisiknya dengan senyum penuh arti.
---hlm.290, Epilog

Tuesday, September 25, 2018

[Review Novel Romance] Thousand Dreams by Dian Mariani

First line:
Harapan itu serupa cahaya. Saat dipeluk kegelapan hanya perlu seberkas cahaya untuk membuatmu merasa baik-baik saja.
---hlm.1, Prolog

Tentang perjalanan
Tentang kesempatan
Tentang cita-cita dan kenyataan yang saling berhadapan
Tentang mimpi yang (hampir) kesampaian
Dan tentang perasaan
Cinta yang ternyata tak mudah berkesudahan


Jo dan Callista bersahabat sejak SMA. Sama-sama menyukai seni, tetapi terpaksa menempuh pendidikan di jurusan yang tidak mereka sukai. Callista yang suka menulis, terpaksa memilih jurusan yang dibencinya, demi karier yang menurut ibunya jauh lebih cemerlang. Sedangkan Jo, yang tergila-gila dengan fotografi, terpaksa mengambil jurusan Bisnis sesuai keinginan orangtuanya.

Segalanya memang akan terasa lebih berat kalau kita tidak suka dengan yang kita lakukan. Tapi, hobi yang dijalankan sepenuh hati juga punya tuntutan sendiri. Dunia seni profesional mulai menunjukkan taringnya. Menjadi seniman ternyata tak semudah yang dibayangkan. Target, deadline, dan profesionalisme adalah wajib hukumnya demi unjuk gigi di dunia yang mereka idamkan ini.

Sibuk dengan mimpi dan cita-cita masing-masing, kedua sahabat ini perlahan saling menjauh. Memang harus ada yang dikorbankan, demi mencapai sesuatu yang sangat kita inginkan. Dan ketika percik hati mulai berbunyi, siapakah yang mereka pilih? Jemari lain yang menggandeng mereka meraih mimpi atau seseorang yang pernah punya arti?

Judul: Thousand Dreams
Pengarang: Dian Mariani
Penyunting: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 216 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star
Silakan baca nukilan Bab 1 dari Thousand Dreams di sini: www.elexmedia.id

Well, Thousand Dreams menjadi novel dari lini City Life berikutnya yang berkesempatan saya baca. Thanks to Dian Mariani yang sudah ngirim buku ini ke saya, in exchange for my honest review. Perkenalan saya dengan Dian dimulai dari novel Finally You yang resensinya waktu itu ditulis Agustin Sudjono sebagai materi guest post di blog www.fiksimetropop.com. Dari sana, ada rasa penasaran untuk bisa membaca karya-karya Dian dan syukurlah kali ini saya bisa mencicipi racikannya yang lain yaitu novel terbarunya bertajuk Thousand Dreams ini (selanjutnya novel Me Minus You yang juga dikirim Dian ke saya).

Membaca Thousand Dreams begitu mudah karena gaya tutur Dian yang cukup lincah, ceplas-ceplos, dan lebih banyak dialog ketimbang narasi. Thousand Dreams sepertinya ditulis mengikuti pakem character driven story karena alur cerita berkembang seiring dengan pengembangan karakter para tokohnya, terutama dua tokoh utamanya: Jo dan Callista. Untuk keduanya masih lumayan kokoh sih pengembangannya, sayang tak dibarengi dua tokoh pendamping utama: Nando dan Elisa. Ditambah beragam serba kebetulan yang menjadikan adegan demi adegan ataupun ujung perjalanan mudah mudah tertebak alias predictable. Lumayan bikin semangat membaca terkikis sedikit demi sedikit, meskipun tak sampai habis.



Thousand Dreams mengambil tema persahabatan yang dibumbui drama percintaan segi empat yang kurang kukuh, menurut saya, karena banyaknya unsur kebetulan tadi. Dari blurb sendiri saya sungguh antusias mengikuti kisah dua sahabat yang mulai saling menjauh karena mencoba mengejar mimpi masing-masing, Jo yang menggilai fotografi dan Callista yang bermimpi menjadi penulis terkenal. Keduanya sudah berteman sejak lama, kuliah di kampus yang sama (beda jurusan), dan sama-sama merasa salah masuk jurusan gara-gara paksaan orangtua. Berkat kesamaan nasib itulah, keduanya saling support untuk mewujudkan hobi menjadi profesi.

Sebenarnya saya sangat menikmati lembar demi lembar Thousand Dreams, bahkan beberapa kalimatnya cukup quotable buat dipasang sebagai status Twitter atau caption Instagram. Namun, semuanya tak lagi gurih ketika satu demi satu serendipity yang disempilkan Dian menggoyahkan imajinasi saya akan kisah manis persahabatan Jo dan Callista ini. Too bad.


Balik ke urusan karakter. Seperti yang tadi saya bilang, dua tokoh pendampingnya kurang dieksplor dengan optimal. Well, secara deskriptif sih oke, tapi masih kurang secara emosional untuk menyajikan konflik yang pas sebagai bumbu drama persahabatan kedua tokoh utamanya. Khususnya Nando, yang di sini dikisahkan sebagai penulis mega-bestseller dan editor sekaligus penulis pujaan Callista. Yang masih janggal buat saya, selain sebagai penulis, Nando ini kerjanya apa ya, terus waktu ditugasi sebagai editor oleh Penerbit Garuda (penerbit dari hampir semua bukunya dan penerbit yang sama yang akan menerbitkan buku Callista), dia sebagai editor lepas apa in house (editor tetap)? Kok kayaknya terlalu jauh ikut mengurusi segala marketing penerbit kalau posisinya editor lepas. Nggak ada penjelasan memadai--sepanjang yang saya ingat--atas posisi Nando ini.

Dalam perjalanannya, kita akan disuguhi bermacam masalah yang harus dihadapi oleh Jo dan Callista untuk bisa menyeimbangkan antara hobi yang kadung kelewat disukai dan tuntutan kuliah yang menjadi fokus pada fase kehidupan mereka. Di sinilah saya juga ikut merasai (sekaligus bernostalgia) bagaimana Jo dan Callista pontang-panting ngerjain tugas kuliah sembari mencoba hal-hal baru demi peningkatan kualitas hobi mereka. Jo yang mulai terjun di dunia fotografi secara profesional dan Callista yang ahirnya berhasil menerbitkan buku di penerbit mayor.


Thousand Dreams mengalir dengan segar dan lincah dalam menyajikan kisah persahabatan yang pelik karena tepercik bumbu asmara. Namun sayang, beberapa adegan kebetulan, kurangnya pengembangan karakter pendamping, dan minimnya tambahan subplot menjadikan Thousand Dreams cenderung predictable serta kurang believable. Untuk kamu yang suka cerita friends with benefits atau berlatar belakang fotografi dan dunia penulisan, Thousand Dreams bisa jadi pilihan bacaan ringan yang menyenangkan. Terus produktif ya, Dian.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
"Gue cuma beli sepuluh ini, swear!".
---hlm.205, Epilog

Wednesday, September 19, 2018

[Review Novel Metropop] Beautiful Pain by Nathalia Theodora

First line:
DORONGAN itu begitu keras, sampai Keira terhuyung dan menabrak dinding di belakangnya.
---hlm.6, Prolog

“Silakan saja menyebut Keira perempuan serakah karena mencintai Landon dan Damon, sama besarnya. Dia tidak peduli meski Landon sakit dan Damon suka memukulinya. Masa lalu yang dimilikinya membuat Keira bertekad untuk mempertahankan mereka berdua.

Berulang kali Damon meminta Keira untuk memilih dan jelas sekali lelaki itu tidak suka menjadi pihak yang kalah. Dia akan melakukan segala cara untuk membuat Keira meninggalkan Landon. Akhirnya Keira tidak mampu menolak dan hanya bisa bernegosiasi agar Damon memberinya waktu satu bulan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Landon.

Padahal, kondisi Landon tidak kunjung membaik. Dengan detik-detik yang semakin mendekati batas waktu pemberian Damon, Keira hanya berharap semua yang dia lakukan akan berhasil.

Semoga.

Judul: Beautiful Pain
Pengarang: Nathalia Theodora
Penyunting: Donna Widjajanto
Penyelaras Aksara: Nila Isnaini
Desainer Sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 147 hlm
My rating: 2,5 out of 5 star

rating di www.goodreads.com per 18/09/2018 at 02:38 AM
Sejak menerima fisik buku yang dikirim langsung oleh Nath dan mengetahui jumlah halamannya kurang dari bilangan angka dua ratus, saya memang langsung khawatir pada Beautiful Pain ini. Well, dengan jumlah halaman segitu konflik macam apa yang bisa disajikan dengan tepat, pengembangan karakter yang pas, dan eksekusi akhir yang oke? Hasilnya: kekhawatiran saya cukup beralasan.

Sebenarnya premis Beautiful Pain cukup menjanjikan, meskipun nggak menawarkan sesuatu yang baru: mental disorder. Saya sudah pernah membaca (dan menonton) beberapa buku (dan film) tentang gangguan kepribadian ini. Baik bermuatan thriller maupun romance. Dan, memang seharusnya banyak hal yang bisa diuraikan dari satu titik itu saja. Belum lagi jika ditambahkan subplot lain untuk lebih memperkaya cerita. Sayangnya, Beautiful Pain tidak melakukannya, baik menggali lebih dalam maupun menambahkan subplot lain.

gif dari sini: https://wifflegif.com/
Beautiful Pain merupakan karya kesekian (ke-14 di database goodreads.com) dari Nathalia Theodora yang menjadi novel pertamanya yang diterbikan pada lini Metropop di Gramedia Pustaka Utama (sepanjang yang saya tahu). Dari tahun ke tahun, Metropop mulai menjangkau segala kemungkinan menghadirkan kisah romansa urban yang nggak melulu ngomongin cinta doang. Domestic violence, kesetaraan gender, sampai isu minoritas hadir di lini favorit saya ini. Beautiful Pain menjadi salah satu yang bisa masuk kategori domestic violence dalam hubungan pacaran.

Beautiful Pain menceritakan tentang Keira, sosok eksekutif muda, yang jatuh cinta pada dua laki-laki: Landon sang chef (?) sekaligus pemilik beberapa cabang restoran yang superlembut dan rapuh; dan Damon sang pelukis aliran dark (surealis?) yang superkasar dan suka kekerasan. Sejatinya Keira sudah akan meninggalkan salah satunya, demi kebaikan bersama, tapi tekadnya untuk menyelamatkan orang tersayang membuatnya maju-mundur (nggak pake cantik-cantik) hingga dia terus saja terjebak dalam hubungan nggak sehat yang berkepanjangan.

gambar dari sini: http://thesilentchild.tumblr.com/
Beberapa reviewer/booktuber akan mengategorikan kisah ini sebagai toxic relationship. Sudah tahu pacarmu bermasalah, masih juga kamu pacaran sama dia. Begitulah kira-kira maknanya, CMIIW. Saya juga gemas sama Keira sepanjang membaca novel ini. Sudah tahu Damon suka main tangan, mengapa masih setia?

Well, sejatinya pertanyaannya nggak semudah itu, sih. Ada plot twist yang superdahsyat di akhir. Meskipun nggak se-grande yang seharusnya bisa dibikin, twist-nya lumayan. Kenapa cuman jadi lumayan? Salahkan jumlah halaman yang minimalis itu. Entah dari awal Nath kurang menggali lebih dalam atau digunting kurang optimal sewaktu penyuntingan. Isu mental disorder yang terkoneksi langsung dengan domestic violence agak kurang believable buat saya. Saya nggak bisa cerita tanpa spoiler, jadi saya cuman bilang: segala situasinya kayak kurang meyakinkan, terutama karena ini digunakan sebagai unsur kejutan ketika twist dibongkar, saya jadi bertanya-tanya bagaimana sih reaksi orang-orang di sekitar Keira-Damon menyikapi kondisi ini, SELAMA INI? Oke, ada kok dijelaskan sebagiannya, tapi... entahlah, balik ke kesan awal saya, nggak believable.

gambar dari sini: http://www.therakyatpost.com
Kesampingkan fakta premis yang kurang digali, bagaimana dengan unsur Metropop-nya? Ternyata di departemen ini juga setali tiga uang. Unsur office romance yang lekat dengan novel-novel lini Metropop hadir bak tempelan Post-it ka-we. Latar belakang profesi Keira di sebuah perusahaan manufaktur/distributor (?) hadir selintas-sekejap saja. Ada sih diceritakan soal evaluasi vendor, prosedur pemilihan vendor baru, atau mekanisme pembelian produk baru, tapi ya itu... melalui cerita. Bukan narasi yang menggambarkan dengan detail prosesnya. Jadi, nggak nambah wawasan juga, paling tidak buat saya. Terus Keira ini bukan top management kan ya, kok seenak-enaknya saja gitu dia keluar-keluar kantor bukan untuk urusan kerjaan: ke studio lukis Damon lah, rumah Landon lah, ke restoran Landon, atau pas galau dengar kabar Landon menghilang---langsung cus saja dari kantor, enggak minta izin atasan atau notice ke HRD, titip absen ke temen saja enggak, hahaha.

Nah, kalau kamu lagi butuh bacaan Metropop yang kompleks, bisa mencoba membaca Beautiful Pain ini. Meskipun menurut saya agak kurang sukses dalam mengeksekusi isu utamanya tenang mental disorder, novel ini tetap bisa memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga hubungan dalam keluarga /persahabatan dan mewaspadai buruknya dampak toxic relationship. Selamat atas kelahiran novel Metropop pertamanya, Nath, semoga terus produtif, ya. Ditunggu kisah-kisah Metropop-nya yang lain.

Have a nice reading, tweemans.


End line:
"Dan sambil berpegangan tangan, mereka pun meninggalkan taman.
---hlm.147, Epilog

Monday, September 17, 2018

[Review Novel Romance] Midnight Prince by Titi Sanaria

First line:
Harapan itu serupa cahaya. Saat dipeluk kegelapan hanya perlu seberkas cahaya untuk membuatmu merasa baik-baik saja.
---hlm.1, PROLOG

“Menurutku, kamu menyukaiku.”
“Menurutku, kamu terlalu percaya diri.”
“Aku mengenalmu, Ka. Sebelum sesuatu yang aku nggak tahu itu apa, kamu nyaman denganku.”

Mika sadar, sudah saatnya dia meninggalkan masa-masa terpuruk dalam hidupnya. Menjalani kehidupan normal selaiknya seorang perempuan dewasa yang bahagia, seperti kata sahabatnya. Menemukan seseorang yang tepat, menjalani hubungan yang serius, kemudian menikah. Lalu Mika bertemu Rajata.

Semua nyaris sempurna seperti harapan semua orang untuknya, sebelum sebuah kenyataan menyakitkan menghantamnya telak. Membuatnya perlahan-lahan menghindari laki-laki itu, mengubah haluan menjadi seorang pesimis yang tak percaya pada kekuatan cinta. Dia berusaha mematikan perasaannya tanpa tahu kalau Rajata justru mati-matian memperjuangkannya. Jika dua orang yang sudah tak sejalan bertahan di atas kapal yang nyaris karam, akankah mereka bertahan bersama, atau mencari kapal lain untuk menyelamatkan diri masing-masing?

Judul: Midnight Prince
Pengarang: Titi Sanaria
Penyunting: Dion Rahman
Penyelaras Aksara: Inggrid Sonya
Desainer Sampul: Ulayya Nasution
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 267 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star

rating di www.goodreads.com per 17/09/2018 pukul 00:55 

Hype yang sedemikian kenceng bikin saya memilih Dirt on My Boots untuk dibaca di Gramedia Digital, tahun lalu. And, thanks God, it was definitely worth the hype. Itulah perkenalan pertama saya dengan tulisan Titi Sanaria. Well, saya bukan penggemar aplikasi Wattpad, jadi kalaupun dia sudah begitu populer di jagat Watty, saya nggak tahu. Sejak membaca Dirt on My Boots (...and like it a lot) saya mencatat, kalau nanti ada lagi tulisan Titi yang bakal keluar: I'll give her another try.

And, here I am. Saya membaca buku Titi yang lain berjudul Midnight Prince yang sepertinya telah lebih dulu ngehits di Wattpad sebelum akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Elex Media, lini City Life. Well, kalau  nggak salah, I read somewhere, lini City Life ini agak-agak miriplah sama lini Metropop-nya GPU. Jadi, nggak heran kalau saya (mungkin) bakalan cocok sama novel-novel yang bakal terbit dari lini ini. Thanks to Titi yang sudah mengirimkan novel ini bersama Dirt on My Boots (akhirnya saya punya edisi cetaknya, yayy), Dongeng Tentang Waktu, dan Never Let You Go. Disclaimer: will not affecting my review, of course.




Saya mencoba nggak terlalu tinggi memasang ekspektasi ketika mulai membaca Midnight Prince, soalnya kan ini juga baru buku kedua Titi yang saya baca. Pun saya nggak mau kecewa-kecewa banget kalau ternyata Midnight Prince nggak se-charming Dirt on My Boots.

Syukurlah saya melakukan itu, karena di sepertiga bagian awal buku saya tak menemukan kelincahan tulisan Titi yang ceplas-ceplos kayak di Midnight Prince. Diksinya bagus, manis, tapi ya itu tadi, saya masih membandingkannya sama Dirt on My Boots. Untunglah, dari segi cerita cukup membuat saya mampu bertahan untuk merampungkan-baca ceritanya.


Midnight Prince berlatar dunia kesehatan/kedokteran. Dua tokoh utama, Mika dan Rajata, serta beberapa tokoh pendamping berprofesi sebagai dokter, dengan setting lokasi lebih sering di rumah sakit dan klinik. Oh, I do love medical romance, hehehe. Ini ngingetin saya sama novel-novelnya Mira W. Dan, buat saya, unsurnya pas sih. Memang belum sekuat Mira W, tapi sudah lumayan oke, kok (buat saya). Etapi, jangan juga terlalu berharap ada adegan bedah-membedah atau analisis kedokteran yang kompleks di novel ini karena memang enggak ada sih. Lagi pula, si tokoh utama juga masih dokter umum yang kebetulan minta jadwal tugas jaga malam di ruang IGD. Speaking of its tittle, beberapa adegannya memang ber-setting waktu malam.

Midnight Prince bercerita tentang dr. Mika yang harus bergelut dengan duka kehilangan ayah dan adik perempuannya serta gangguan emosi tak stabil pada ibunya. Terlebih Mika merasa dialah penyebab kepergian adik semata wayangnya. Untuk meringankan beban rasa bersalah, Mika memupuk dendam dan berniat membalaskannya pada seseorang--dan keluarganya--yang diyakininya ikut andil memorak-porandakan keharmonisan keluarganya.


Pace-nya lumayan, nggak terlalu cepat atau lambat, meskipun beberapa titik konflik tumbuh kelewat perlahan. Itu yang awalnya bikin saya kurang terikat sama kisahnya. Pada banyak bagian, saya mulai bertanya-tanya: katanya Mika benci banget sama keluarga dr. Lukito, tapi kenapa malah ngelamar kerja di rumah sakit itu? Well, pada bagian agak di belakang, nanti dikasih tahu kok alasannya. Namun, saya sudah kadung nggak habis pikir sama jalan pemikiran Mika hingga pada kesimpulan, "Bodo amat dah, ah". Too bad, karena akhirnya saya jadi berhenti untuk peduli pada si karakter utama. Ditambah lagi unsur insta-love dan adegan tarik-ulur love-hate relationship-nya yang bikin capek (pas cowoknya mau, ceweknya ngga mau; giliran cowoknya nggak mau, ceweknya mau; BAH!).

Namun demikian, diksi yang romantis nan puitis berhasil melarutkan saya dalam kisah cinta penuh liku ini. Pada beberapa bagian, saya dibikin terharu, bahkan sempat berkaca-kaca. Sayangnya, tetap saja gagal membuat saya agar cukup peduli untuk tahu dan mendoakan nasib baik bagi si karakter utama. Dari departemen teknis, sorry to say: I never liked any City Life's book cover, including this one. Dan, masih banyak salah tik di sana-sini.

Pada akhirnya, kekuatan tulisan, diksi yang apik, dan latar belakang dunia kedokteran lah yang bikin saya cukup senang membaca Midnight Prince. Buat kamu yang juga menyukai tipe cerita medical romance, novel ini pasti cocok dihabiskan sekali duduk. Semangat dan terus produktif ya, Titi. Nggak sabar lanjut baca karyamu yang lain.  

End line:
"Nggak apa-apa jadi sahabat yang egois sesekali. Tapi kamu pacar yang hebat....
---hlm.266, EPILOG