Tuesday, December 27, 2011

[New Release] Kumpulan Cerita dari Alberthiene Endah & Friends

Saya sendiri kurang paham apakah buku ini masuk kategori metropop atau bukan, yang jelas Gramedia memasukkan novel ini dalam kategori Fiksi dan Sastra. Meskipun pula, buku ini hadir dalam bentuk kumpulan cerita pendek, rasanya saya tetap ingin mengoleksinya. Lagi-lagi karena nama Alberthiene Endah di sini (dan bentuknya fiksi, bukan otobiografi).

Ini dia sampul buku yang saya copy paste dari situs resmi Gramedia:

Tags :Kumpulan Cerpen,Persahabatan,Blog
Harga :Rp. 58.000,-
Kategori :Fiksi dan Sastra,Kumpulan Cerpen
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 336 halaman
Terbit : Desember 2011
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-7696-1

What do you think, my dear friends?
Suka sama sampulnya? Saya sih suka. Cute, yet romantic. Jadi wishlist ahhhh....

Berikut adalah sedikit informasi tentang buku ini (sinopsis):


Hadirnya banyak penulis muda yang memulai performa karya mereka melalui dunia maya, membuat Alberthiene Endah terinspirasi untuk menggandeng mereka bersama-sama membuat kumpulan cerpen ini. Exercise alami yang mereka gugah dari pengalaman menulis di blog membuat karya mereka berciri spontan, tajam, praktis, dan berbumbu. Ketiadaan “bingkai” untuk menulis dalam ranah buku membuat kreativitas mereka berkembang secara merdeka, dan hasilnya menggelitik. Inilah karya Alexander Thian, Faye Yolody, Tjhai Edwin, Verry Barus, Rahne Putri, Dillon Gintings, Chicko Handoyo Soe, Jia Effendie, Rendy Doroii, Ollie, Faizal Reza, dan tentu saja Alberthiene Endah. Ringan dan cocok sebagai teman minum kopi.

Monday, December 19, 2011

[New Release] Novel Metropop: Circle of Love by Monica Petra

Wahhh, yang ini malah lupa diposting. Yang ini juga masih anget dari 'pabrik'nya Gramedia. Selamat membeli dan membacanya.


Harga : Rp. 40.000,-

Sinopsis:
Patricia Sarah mahasiswi semester akhir yang tengah sibuk menyusun skripsi. Sebagai novelis muda berbakat, karier dan kesibukan membuatnya belum memiliki pacar.

Rupanya perjalanan cintanya tak semulus perjalanan karier dan studinya. Beberapa pemuda membuat Patricia tertarik, di antaranya Clyde—pemuda warga negara Thailand yang ia temui di Bali, Andhika—aktor terkenal, dan Bryan—teman di dunia maya. Belum lagi ada Adrian dan Felix yang juga memberi warna dalam hidup Patricia.

Tetapi, siapakah yang benar-benar mampu memenangkan hati seorang Patricia Sarah?

Novel ini wajib dibaca oleh semua wanita single yang masih menunggu cinta sejatinya. Pahit manis cinta akan selalu ada, tetapi kehidupan tidak akan pernah berhenti berjalan.


“Patty berusaha terlalu keras mencari pasangan hidupnya. Padahal, dia hanya perlu membuka mata hatinya, dan pasangan hidup yang didambakan ternyata berada di dekatnya. Gaya penulisan Monica yang detail membuat Circle of Love teramu dengan manis.”
Irena Tjiunata – penulis

“Cerita yang menyentuh dan romantis. Monica Petra tidak cuma piawai mengarang novel teenlit, tapi juga metropop.”
Glenn Alexei – penulis

“Mencari cinta sejati selalu menghadirkan kisah menarik, dan Monica Petra berhasil menuliskannya dengan apik.”
Daniel Jefferson Siahaan – Produser Dreamlight World Media

[New Release] Novel Metropop: I Hate Rich Men by Virginia Novita

Hmm, ada lagi nih novel metropop terbaru yang dirilis oleh Gramedia. Selamat membeli dan membacanya.


Harga : Rp. 45.000,-
Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal : 228 halaman
Terbit : Desember 2011
Cover : Softcover
ISBN : 978-979-22-7845-3

Sinopsis:Adrian Aditomo benar-benar tipikal pria kaya yang dibenci Miranda, tidak peduli betapa tampan dan seksinya pria itu. Sifatnya angkuh dan begitu superior.

Ada lagi, pria itu sinting! Adrian berani menculik Miranda hanya untuk mengatakan kalimat yang tidak masuk akal—“Adik Anda merebut tunangan saya,” kata pria itu dingin.

“Hah?” Hanya itu yang bisa dikatakan Miranda. Apakah orang yang dimaksud pria itu adalah Nino? Nino-nya yang masih berumur tujuh belas tahun dan masih polos? Tidak mungkin Nino-nya yang masih remaja itu menyukai wanita yang lebih tua, apalagi milik orang lain!

Demi untuk membersihkan nama baik Nino, Miranda terpaksa bekerja sama dengan Adrian. Hal yang sangat sulit dilakukan karena mereka berdua tidak pernah sependapat dan selalu bertengkar.

Seharusnya sejak awal Miranda menolak berurusan dengan Adrian. Ia benar-benar mengabaikan firasatnya. Firasat yang mengatakan Adrian mampu menjungkir-balikkan hidupnya dan terutama... hatinya.

Sunday, December 18, 2011

Resensi Novel Metropop: Morning Brew by Nina Addison

Just enjoy the ride!
Read from December 15 to 18, 2011
4 out of 5 star


Judul: Morning Brew
Penulis: Nina Addison
Editor: Hariska
Pewajah Sampul: Eduard Iwan Mangopang
Tebal: 224 hlm
Harga: Rp40.000
Rilis: September 2011 (Cet. 1)
ISBN: 978-97922-7567-4

Reney mengira Boy akan mengajukan a pop question when he invites her to a romantic dinner. But, hell, Boy malah memutuskan hubungan asmara mereka yang sudah berjalan tujuh tahun itu, hampir delapan tahun malah, demi beasiswa ke London. Tak terbayangkan betapa hancur hati Reney. Untunglah ada Ivana dan Danny, sahabat sekaligus rekan kerjanya di Morning Brew, sebuah kafe milik Tante Patra yang diserahkan pengelolaannya kepada Ivana selaku keponakan Tante Patra. Maka, hari-hari Reney diisi dengan kesibukannya melayani pelanggan kafe yang datang silih berganti. Tak lupa, ia pun mencoba segala cara demi melupakan Boy, apalagi Ivana dan Danny juga selalu andil membantunya dengan menyodorkan cowok-cowok ready stock buat dipacari. Mulai dari teman mantan, pegawai bank yang super-duper gorgeous, sampai geek yang gimbal. Dan, Reney tetap tak mampu melupakan Boy. Terlebih ketika kemudian secara mendadak Boy balik ke Jakarta dan melamarnya. Bagaimana Reney menentukan pilihannya? Apakah ia akhirnya menerima pinangan Boy dan ikut pindah ke London serta meninggalkan sahabat serta orangtuanya di Jakarta? Temukan jawabannya di dalam novel debutan karya Nina Addison ini.

Membeli buku ini sudah masuk ke dalam program ‘wajib’ untuk koleksi book shelf novel metropop saya. So, nothing to lose ketika akhirnya saya mengambil novel ini dari toko buku dan memindahkannya ke lemari buku. Sedangkan keinginan membacanya baru menggebu selepas mendengar komentar Nike Rasyid pas ketemu di stan saya di Festival Pembaca Indonesia 2011 kemarin. Yang saya tangkap dari komentarnya, Nike menyukai novel ini. Maka, setelah merampungkan membaca Orange, saya langsung berinisiatif membaca novel ini. Yang ternyata masih dalam kondisi tersegel ketika saya pamerin di stan saya itu. Hahaha.

Baiklah, untuk kali ini, saya menyetujui pendapat Nike. Novel ini memang enjoyable. Menjadi novel debutan kesekian yang langsung menarik hati saya. Percaya deh, nanti begitu Nina Addison menerbitkan buku baru, saya pasti tak ragu mencomotnya langsung. Saya suka dengan gaya bercerita dan menulisnya. Apalagi dengan pilihan diksi dan beberapa part/kalimat yang mengandung pesan yang dalam. Menyenangkan sekali membacanya. Membangkitkan gairah.


Benang merahnya sih, tentang pencarian soulmate. Di sini, Nina menumpahkan pendapatnya bahwa lama masa pacaran tak lantas langsung menerbitkan kayakinan di hati seseorang untuk segera menyimpulkan bahwa pasangan yang telah dipacarinya itu adalah belahan jiwanya. Perenungan atas segala pertimbangan yang menyangkut diri sendiri, keluarga, sampai dengan sahabat harus dipikirkan. Berhubungan, apalagi sampai menikah, tidak hanya menyatukan dua hati [meskipun yang menjalaninya pemilik dua hati itu] namun juga mempertemukan orang-orang di sekitar mereka. Keluarga dengan keluarga. Teman dengan teman. Apakah semua orang ‘bisa’ cocok? Apakah semua orang ‘harus’ cocok? Jurus terjitunya: kompromi. Bila tidak ketemu? Diskusikan lagi. Coba uraikan segala simpul yang mengikat jalan keluar tiap masalah. Apa yang menjadi concern pasangan, harus dipertimbangkan. Jujurlah pada masing-masing. Dengarkan kata hati. Jangan bersifat egois.

Membaca novel ini sungguh lancar jaya. Saya sengaja tidak berharap apa-apa ketika memulai membaca, oleh karenanya mungkin saya tak menemui hambatan dalam mengunyah tiap bagian novel ini. Menyisip tetes demi tetes kisahnya. Mengunyahnya hingga tandas dan memunguti remah-remah yang berserakan di sana-sini. Saya suka tokoh-tokohnya. Saya suka konfliknya. Dan, saya juga suka cara Nina mengakhiri setiap konflik yang diciptakannya. Meskipun di beberapa bagian terasa ‘digampangkan’, misalnya keputusan soal masa-depan Danny atau ketika Ivana yang dingin terhadap cowok akhirnya dipertemukan dengan salah satu cowok pemeran figuran. Tetap saja, novel ini renyah sekali. Sekali gigit, terasa nikmatnya. Bahkan, di beberapa bagian saya dibuat ngakak geli. Misalnya pada bagian Ivana yang ngomelin Kiki, teman yang mengkritik berta badannya (hlm 141). Hilarious.

Pesan saya, jangan mudah bosan. Teruskan saja membaca. Pada seperempat bagian awal saya hampir bosan. Yah, pada bagian itu memang disesaki dengan adegan Reney yang mencobai satu-demi-satu persediaan cowok yang disodorkan padanya. Satu-dua-tiga kali masih lumrah. Selepas itu saya geregetan. Saya sempat mengancam [tentu, dalam hati] jika masih ada satu lagi koleksi cowok yang disodorkan pada Reney, maka novel ini hanya akan saya kasih rating maksimal dua. Untunglah, Nina mencukupkan tiga cowok saja untuk dicicipi oleh Reney. Thank GOD!

Lalu, Morning Brew itu apa? Dalam novel ini, Morning Brew adalah sebuah kafe yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Ivana dengan pemodal tetap adalah Tante Patra, saudara ibunya. Di kafe inilah, sebagian besar setting lokasi untuk ‘shooting’novel ini diambil. Reney, Ivana, dan Danny, menjadi trio yang menjalankan roda bisnis ini. Apakah eksplorasi atas Morning Brew cukup? Bagi saya... cukup, dalam rangka mendukung cerita. Pas takaran. Tak berlebihan – tak berkekurangan.

Nina juga memberi bonus info-info seputar dunia kuliner pada bagian intermeso. Ada pula resep yang patut untuk dicoba, bagi Anda yang punya hobi masak. Dan, ini menjadi nilai lebih bagi saya. Tak hanya disuguhi sepiring kue cinta berbalut persahabatan, saya juga dihidangkan segelas pengetahuan yang mungkin terabaikan dalam keseharian. Interesting.

Sayang, masih saja ada beberapa typo dalam novel ini, di antaranya:

(hlm. 48) Tapi tak lama lama kemudian.... [kelebihan kata ‘lama’]
(hlm. 63) menganggu = mengganggu
(hlm. 73) ...yang baru tanpa embel-embeli nama... [harus akhiran ‘i’ atau tambah awalan ‘di’ pada ‘embel-embeli’]
(hlm. 78) kongkrit = konkret [KBBI online]
(hlm. 79) seahun = setahun
(hlm. 80) kebodohon = kebodohan
(hlm. 84) ...Danny telah melewati beberapa episode bertema cowok... [hanya merasa ambigu, ‘bertema’ ataukah ‘bertemu’ cowok?, bisa masuk dua-duanya sih, nggak ngubah makna sebenarnya, hehehe]
(hlm. 174) Andy = Andi
(hlm. 186) menganguk = mengangguk
Typo minor aja sih, tapi seandainya clean sheet kan lebih bagus. Dan, ada beberapa kalimat yang saya rasa bagus jika ditambah tanda baca, tapi saya tak tahu yang benar sesuai EYD-nya bagaimana, jadi tidak saya cantumkan sebagai typo. Hahaha.

Di samping itu, terdapat beberapa kalimat/paragraf yang menjadi favorit saya. Cukup banyak, malah. Jadi, ya sudah, saya simpan untuk diri saya sendiri. Untuk menyemangati diri sendiri, hahaha. Tapi yang paling-paling-paling saya suka, adalah paragraf penutupnya. Ini dia:

Kesimpulannya? Tak perlu ada kesimpulan. Cukup ingat saja bahwa jatuh dan patah hati adalah rumus pasti dalam dunia percintaan. Namun jangan pernah patah semangat dan takut mendengarkan bisikan hati kecil karena dia takkan pernah menyesatkan perjalanan kita. Just enjoy the ride!
Yakkk, setuju! Cukup nikmati saja perjalananmu. Let it flow, kata sebagian orang. Tetap berusaha, tentu saja. Tapi, nikmatilah setiap usaha yang diambil itu. Enyahkan segala gerutuan. Singkirkan segala keraguan. Songsong masa depan dengan sikap optimis. Tuhan mencipta segala sesuatunya dengan alasan, kan? Absolutely. Jadi, berusahalah, karena semua akan indah pada waktunya.

Selamat membaca, kawan!

Thursday, December 15, 2011

Resensi Novel Chicklit: Orange by Windry Ramadhina

Perjuangkan cinta yang kaupercayai
Read from December 12 to 14, 2011, read count: 1
---3,5 star...


Judul: Orange
Penulis: Windry Ramadhina
Editor: Christian Simamora
Proofreader: Annisa Kurnia, Resita
Penata Letak: Wahyu Suwari
Designer Sampul: Dwi Anisa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tebal: vi + 290 hlm
Harga: Rp35.000
Rilis: Cetakan pertama, 2008
ISBN: 978-979-780-249-3

Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain...

Tepat sekali. Sebagaimana yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam novel bernuansa jeruk karya Windry Ramadhina ini. Adalah seorang gadis mungil enerjik, Fayrani Muid, putri konglomerat yang justru memilih fotografi sebagai jalan hidupnya, dipertemukan dengan putra sulung konglomerat lainnya, Diyan Adnan, seorang eksekutif muda workaholic dalam sebuah jalinan perjodohan oleh keluarganya. Dua insan yang tak pernah bersua, apalagi mengenal satu sama lainnya ini pun mencoba membangun sebuah jalinan tanpa landasan cinta demi membahagiakan orangtua mereka.Namun, pada akhirnya segala yang pura-pura tak akan bertahan lama. Ikatan resmi pertunangan Faye-Diyan terguncang dengan kehadiran Zaki dan Rera yang mencoba memasuki bilik hati masing-masing. Lalu, bagaimanakah akhir dari kisah ini, apakah Faye akan tetap bertekad menjadi istri Diyan meskipun disasadarinya bahwa laki-laki itu masih menyimpan rasa pada Rera ataukah ia lebih memilih berhubungan dengan Zaki yang tak lain tak bukan adalah adik kandung Diyan? Temukan jawaban atas jalinan cinta yang saling bertautan ini dalam novel debutan Windry Ramadhina.

Sejak mulai membacanya dari halaman pertama, saya tidak bisa berhenti. Oke, tentu saya harus berhenti untuk urusan ibadah, urusan perut, urusan kasur, dan urusan kantor, namun pada dasarnya, membaca novel ini bikin nagih. Paling tidak, saya membaca novel ini tanpa tersela keinginan untuk melirik buku lain (yang biasanya sering saya lakukan). Good for me!

Faye, Diyan, Zaki, dan Rera, adalah tokoh-tokoh yang likeable. Mudah bagi saya menyukai kesemua karakternya, yang digambarkan dengan sangat baik. Tentu saja, sikap labil Diyan dan Rera yang sering on-off itu terkadang bikin gemas juga, namun selebihnya kesemuanya berakting dengan cukup memikat. Great job, Windry. Sedangkan untuk tokoh sampingan, masih ada beberapa yang kurang kuat, termasuk tokoh orangtua Faye-Diyan. Tapi, tak apalah, kalau terlalu kuat nanti justru menenggelamkan tokoh utamanya.

Soal ceritanya sih, kisah cinta biasa. Romansa yang hampir sama dengan Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Cinta bersegi empat. Faye dan Diyan dijodohkan, Zaki mendadak jatuh cinta pada Faye, dan Diyan masih tak mampu melupakan Rera. Maka, lingkaran keempatnya adalah konflik utama dari keseluruhan rangkaian kisah cinta di novel ini. Tapi, tenang saja, bumbu penyedap konfliknya cukup menggoda, kok. Cukup untuk membuat novel ini renyah ketika dinikmati. Dan, terima kasih, karena Windry pun tak menyia-nyiakan background masing-masing tokoh sehingga saya merasa dekat dengan mereka, karena mereka memang nyata. Mereka bekerja, berkeluarga, dan bersosialisasi. Background mereka melekat pada karakternya, tidak sekadar tempelan belaka. Tagline novel ini yang saya tulis di muka menjadi deskripsi paling jelas dari keseluruhan ceritanya. Meski hanya sekilas, saya pun ikut trenyuh ketika beberapa tokoh rekaan Windry harus menyaksikan orang yang mereka cintai ternyata malah menjatuhkan pilihan pada orang lain. #berkaca.kaca.

Oiya, kenapa novel ini mengambil judul “Orange” alias “Jeruk”? Saya tak tahu, hehehe. Tapi, kalau menurut saya sih, jeruk adalah highlight dari tokoh Faye yang memang menyukai buah jeruk dan menganggap bahwa hidup ini serupa jeruk yang rasanya asam-manis, “bittersweet”, dan apabila ditarik ulur benang-merah kisah dalam novel ini meman mencoba menggambarkan rasa dari hidup para tokohnya.

Saya juga suka dengan gaya menulis Windry yang membuat tiap adegan mengalir hampir secara kronologis, dari waktu ke waktu, berganti dari satu tokoh ke tokoh lain yang terlibat dalam adegan tersebut. Meskipun demikian, saya agak terganggu dengan penempatan kata ganti orang ketiga dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh Windry. Misalnya saja, contoh berikut (hlm. 183-184):
      Zaki membuka kunci pintu depan, lalu ia mempersilakan Faye masuk..dst..... Laptop miliknya masih menyala dan asbak penuh puntung rokok di sebelah laptop itu belum ia bersihkan.
    “Maaf, Faye. Berantakan.”
    Faye tertawa kecil. “Kurasa kau perlu mempertimbangkan...dst...,” kata Faye penuh canda. Dengan nyaman gadis itu mengambil posisi duduk di atas tikar, lalu Faye mulai melihat-lihat kumpulan kertas berisi sketsa miliknya yang berantakan.
Coba perhatikan kata “miliknya” di akhir paragraf. Dalam posisi membaca cepat, mungkin mekanisme otomatis otak saya akan mencerna bahwa kata ganti “-nya” yang disematkan pada kata "milik" itu adalah merujuk pada Faye, padahal sebenarnya itu merujuk pada Zaki yang memang gemar membuat sketsa. Sayangnya, cukup banyak gaya penulisan semacam itu dalam novel ini. Bagi saya pribadi, gaya penulisan tersebut cukup mengganggu. Typo pun masih bertebaran di sana-sini. Beberapa yang cukup mudah ditemukan adalah di bab-bab akhir menjelang ending, padahal di awal typo-nya tidak banyak.

Terkait dengan penamaan tokoh-tokohnya, Windry terkesan menyukai nama modern yang dibuat berornamen. Alih-alih menulis Dian, Windry lebih suka tokohnya disebut Diyan. Demikian pula dengan Niela dan Meilianie. Sudah menjadi penyakit dari jaman dulu kala, penulisan nama yang seperti itu memiliki peluang yang cukup besar untuk terpeleset (salah ketik). Dan, terjadi juga di novel ini, meskipun hanya sekali-dua kali kalau tidak salah. But, overall, saya suka novel ini.

Selamat membaca, kawan!

Sampul Buku Terbaru Ilana Tan - Sunshine Becomes You (Release: 2012)

Dari akun twitter Gramedia yang merujuk pula ke akun tumblr-nya, telah dirilis sampul novel terbaru karya Ilana Tan (penulis laris seri Musim - novel metropop). Dan, bagi Anda penyuka novel-novel Ilana, Anda sudah bisa pre-order lho..:)

What do you think about this cover? Do you like it? Love it? Hate it?
Me? Just surprise
...penasaran pengen tahu, bikin cerita apa lagi si mbak satu ini...:)


Ini dia sinopsisnya:

“Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kaupercayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku.”

Ini adalah salah satu kisah yang terjadi di bawah langit kota New York…
Ini kisah tentang harapan yang muncul di tengah keputusasaan…
Tentang impian yang bertahan di antara keraguan…
Dan tentang cinta yang memberikan alasan untuk bertahan hidup.

Awalnya Alex Hirano lebih memilih jauh-jauh dari gadis itu—malaikat kegelapannya yang sudah membuatnya cacat. Kemudian Mia Clark tertawa dan Alex bertanya-tanya bagaimana ia dulu bisa berpikir gadis yang memiliki tawa secerah matahari itu adalah malaikat kegelapannya.

Awalnya mata hitam yang menatapnya dengan tajam dan dingin itu membuat Mia gemetar ketakutan dan berharap bumi menelannya detik itu juga. Kemudian Alex Hirano tersenyum dan jantung Mia yang malang melonjak dan berdebar begitu keras sampai Mia takut Alex bisa mendengarnya.


Resensi Novel Metropop: Antologi Rasa by Ika Natassa

Mengapa cinta harus serumit ini, sih??
Read on August 25, 2011
Rate: 4 out of 5 star



Denise:
Aku bahagia dengan persahabatan kita, Ruly, Keara, Harris!
Ruly:
Aku akan selalu memimpikanmu untuk menjadi istriku, Denise.
Keara:
Gue musti apa untuk mendapatkan cinta lo, Ruly?
Harris:
Gue akan ngelakuin apa aja buat lo, Keara, asal lo jadi milik gue.

Wahhhh, selain menunggu terbitnya lagi novel fiksi karya Alberthiene Endah, menunggu tulisan paling anyar dari Ika Natassa adalah penantian terpanjangku sebagai penikmat lini metropop. Sejak tergila-gila pada A Very Yuppy Wedding (AVYW) dan terpikat ketika membaca Divortiare, aku selalu berharap penulis yang adalah bankir ini dapat menerbitkan novel fiksinya secara reguler. Tiap bulan, maybe? #ngarep.

Dan, penantian panjang itu berakhir dengan terbitnya novel metropop terbaru Ika bertajuk Antologi Rasa (AR). Ketika kali pertama tahu tentang buku ini dari newsletter yang dikirim Gramedia by email, kupikir bentuknya adalah kumpulan cerita (terkait judulnya yang menggunakan kata antologi). Sudah ketar-ketir aja, secara aku agak kurang bisa menikmati kumcer, recently. Thank GOD, it’s a novel!
 
AR mengalir dalam irama khas Ika Natassa. Gaya menulisnya yang telah menyihirku sejak AVYW masih terasa di AR ini. Sinis, sarkastis, terkadang hiperbolis, dan tak jarang komikal-kocak (terutama dialog-dialog vulgar menjurus mesumnya, hehehe), membuatku enggan untuk meletakkan buku ini sebelum benar-benar tuntas terbaca. Oke, nggak langsung habis dalam hitungan jam, namun selesai dalam sehari masih terbilang cukup cepat buatku. Ugh, adiktif bener lah tulisan si mbak satu ini. Buatku, paling tidak.

Soal ceritanya sih, bukan barang baru. Novel ini “hanya” me-repackage kisah cinta bersegi biasa dalam kemasan baru. Yang bikin beda, tentu saja sentuhan khas Ika dan bumbu penyedap racikannya yang bikin segar konflik-konfliknya. Ini “cuma” cerita 4 orang sahabat yang terjebak dalam hubungan persahabatan yang dipenuhi letupan-letupan asmara rahasia di antara mereka. Tambahkan setting kota besar, barang bermerek, dan event mewah ber-budget nggak masuk akal, maka novel ini memang stereotip metropop kebanyakan. Bagi yang nggak suka lini metropop, ornamen inilah yang membuat kebanyakan dari mereka mencibir. Penting gitu, ngebahas branded things? Hahaha, gue sih fun-fun aja. Secara nggak bakal juga kebeli tuh barang-barang. Nyante aja, man!

Oke, untuk segmen tertentu, novel ini akan dengan mudah disukai. Pertama, pembacanya harus menguasai bahasa Inggris minimal secara pasif, karena cukup banyak kisahnya yang ditulis dalam bahasa bule itu. Kedua, pembacanya harus open-minded. Jangan kayak gue yang kolot gini. Baca bagian di mana para tokohnya minum alkohol kayak minum aer saja aku sudah nggak tahan pengen ngehujat. So, anggap saja lah ini memang realitas bunga-bunga sosialita Jakarta. Jangan lagi merasa aneh jika di sebagian kisah yang lain, seseorang ML sesering ia ganti celana dalam tanpa ikatan pernikahan, free sex. Sudah jelas, novel ini bakal masuk kategori “amoral” jika membacanya sembari mengingat aplikasi keagamaan. Jadi, bacalah dengan pikiran terbuka dan yah...sekadar membaca, just for fun, jus for laugh (jadi inget Tukul). Ketiga, ya soal background tokoh-tokohnya yang sudah so f*cking perfect, tajir pula. Sinetron banget, kan? Siap-siap merasa hina deh bagi peminder sejati (like me, huhuhu). Nggak ada deh tuh tokoh hidung pesek, gigi tonggos, atau melarat yang bakal beruntung dapat porsi di novel ini. Namun, khusus untuk yang ketiga ini, aku sih udah nggak gitu-gitu peduli. Oleh sebabnya, seseorang pernah bilang, “kasian pembacanya donk kalo di cerita aja masih harus baca tokoh jelek dan kere, secara di dunia nyata sudah miserable,” maksudnya hidup di dunia sudah susah, ya biar saja lah pengarang memanjakan pembacanya dengan yang indah-indah, dengan fantasi kelas tinggi. And, I must agree with that.

Tak seperti AVYW yang tak kulewatkan satu tanda baca pun, pada AR ada beberapa part yang aku lompati karena hanya berupa pengulangan dari statement masing-masing tokohnya. Ada Ruly yang dari satu bab ke bab lain terus saja bermimpi hidup berdampingan dengan Denise. Atau Harris yang terus menerus memuja Keara. Entah ini kategori bagus atau jelek, aku melewati part itu gegara geregetan pengen tau gimana ending-nya sebenarnya. Dan, about the ending? Aku suka bab terakhir, meskipun jalan menuju bab terakhir, yang melibatkan proses “8 month later” itu, duhh, kok ya kayak gitu ya. Nggak rela banget, perjuangan sebegitu dramatisnya, diakhiri hanya dengan begitu? #huhuhu

Gaya mendongeng Ika yang maju-mundur perlu mendapat kecermatan tersendiri, agar plotnya tetap logis dan kronologis. Awalnya aku ingin secara khusus peduli pada pergantian waktu yang di-manage oleh si pengarang. Namun, akhirnya kuabaikan saja soal perhitungan waktu itu. Bodo amat deh, nikmati aja lah jalan ceritanya. Soal lain yang aku suka dari Ika adalah kepiawaiannya untuk menguraikan hal-hal umum keseharian sebelum membawanya ke kehidupan para tokohnya. Analogi-analoginya juga masuk banget.

Yang lucu adalah sehabis aku menyelesaikan Waiting for You-nya Susane Colasanti yang John Mayer banget, lha kok...novel ini juga nggak kalah John Mayer-nya. Widihh, ada apa sih dengan John Mayer ini. Sekeren itu kah male soloist satu ini? Apa aku perlu menghayati lagu-lagu John Mayer (atau malah belajar gitar kayak doi) biar ada cewek yang klepek-klepek? #eh malah curcol. Huff!

My favorit line, yang bisa aku pakai kalau lagi suntuk di kantor dan terkadang pengen loncat dari lantai 20 gedung kantorku:
“Bodoh banget memang gue ya lama-lama, nonstop mengeluh tentang kantor ini, tapi tetap aja kerja di sini sepenuh hati. Yeah, sepenuh hati my ass.”
Sedangkan sedikit rasa penasaran pada:
1. Berapa kemungkinan dua orang yang berbeda memiliki fantasi pada satu tokoh yang sama? Keara yang paranoid ketemu Hannibal Lecter di kereta dan Harris yang berfantasi menjadi santapan Hannibal Lecter (hlm: 323). No biggie lah ya, hanya saja, jelas terlihat bahwa si pengarang masih terlibat di sini, bukan si tokoh yang bercerita, padahal PoV yang digunakan orang pertama.
2. Just a silly question, di pesawat (penerbangan internasional) masih boleh gitu ya nyalain BB? (hlm: 226)

Yang bikin kesel, pada awalnya, adalah para tokohnya yang pemuja kebebasan ini, kok ya masih terjebak pada ketakutan untuk menghancurkan persahabatan jika dua orang yang bersahabat terlibat dalam hubungan cinta? Apa susahnya sih ngomong, I love you? #halah gue aja nggak berani kok bilang itu ke inceran gue. #eaaa Tapi, ya, ini juga stereotip novel metropop, ya? ML oke, tapi ngaku cinta aja cemen. So, let it be. Hahaha.

Selamat membaca, kawan! 

Tuesday, December 13, 2011

Novel Metropop Bestseller by Gramedia

Jika Anda mampir ke situs resmi Gramedia di www.gramediapustakautama.com, Anda pasti dapat melihat terdapat daftar 20 buku bestseller di sidebar website tersebut. Beberapa novel metropop juga masuk dalam daftar tersebut, jadi novel metropop apa saja yang masuk bestseller per 13 Desember 2011 ini, silakan lihat daftar berikut (disusun berdasar urutan dari daftar):

2. Celebrity Wedding by aliaZalea


4. Antologi Rasa by Ika Natassa

6. Ti Amo, Tia Amora by Karla M. Nashar

20. Autumn in Paris by Ilana Tan. Hmm, novel lawas ini masih banyak diburu rupanya. Dan, hey, bagi Anda penggemar Ilana Tan, berdasar bocoran, tahun depan Ilana bakal menerbitkan novel metropop terbarunya lho...tunggu saja ya...:)


Saturday, October 15, 2011

Agenda Hari Ini: Siaran di Radio Pelita Kasih (RPK FM)

Ngomongin Metropop di Radio


Hari ini, pkl. 7 pagi, saya akan bersiaran tentang Metropop dan keikutsertaan saya di Festival Pembaca Indonesia 2011 yang diselenggarakan oleh Goodreads Indonesia pada 4 Desember 2011, di Plaza Arena, Pasar Festival, Kuningan, Jakarta.
Buat yang kebetulan dengerin radio, yukkk, berbagi pengalaman membaca novel-novel metropop dengan saya di sana. Eh, radionya apa? Radio Pelita Kasih di frekuensi 96,30 FM. Atau, kamu juga bisa dengerin streaming di sini: radiopelitakasih.com

Ngobrol yukkk...

Thursday, March 24, 2011

Book Event: Gramedia Big Sale 2011 - Gramedia Matraman

ada obralan lagiiii.....



Huwaaaaaaa....nyesek rasanya klo ada obralan seperti ini. Bayangkan, novel-novel keren cuman diobral jadi Rp10.000-an. #huhuhuhu. Padahal, saya membeli di harga normal ketika kali pertama terbit dulu...*jedotinpalaketembok*

Berikut ini adalah beberapa novel metropop yang ikut diobral di Gramedia Matraman (Jakarta). Bagi yang belum membeli dan membacanya, ayo, buruuuaaannnn diserbu...saya kurang tahu sampai kapan acara obralan ini akan digelar.







Alamat Gramedia Matraman:

[Jal] No. 46-50 Jalan Matraman Raya
Kelurahan Kebon Manggis, Matraman
Jakarta Timur 13150

Peta cek di sini [streetdirectory.com]

Resensi Novel Metropop: Stanley Dirgapradja - I Ordered My Wife From The Universe

aku percaya ada cinta untukku

Rating: 2,5 stars

stanley dirgapradja - i ordered my wife from the universe

Judul: I Ordered my Wife From The Universe
Penulis: Stanley Dirgapradja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 328 hlm
Harga: Rp45.000 (disc 25% TM Bookstore Depok – Best Price category)
Rilis: Februari 2011
ISBN: 978-979-22-6707-5
Database Goodreads: http://www.goodreads.com/book/show/10530048

Tuhan menyediakan pasangan jiwa bagi setiap manusia, bahkan untuk seseorang yang memiliki berat badan di atas 90kg sekalipun.

isssh…maen fisik nih, hihihi…

Teguh Pradana Wirawan adalah seorang eksekutif muda, mapan, siap menikah, stylish, up to date, mewah, dan memiliki pekerjaan idaman, serta seorang perempuan super cantik yang membuat pria lain senantiasa iri kepadanya. Namun, timbangan berat badannya yang melebihi batas ideal selalu menerbitkan rasa minder yang terkadang berlebihan, bahkan menenggelamkannya dalam kenaifan. Karena itulah, peringatan sahabat-sahabatnya soal isu negatif kekasihnya sering dianggapnya angin lalu belaka. Dan, ketika segala rahasia kelam perempuan pujaannya tersingkap, leburlah harapannya akan masa depan nan indah bersama perempuan yang disayanginya itu.

Teguh jatuh dalam keterpurukannya. Tubuhnya yang gemuk masih selalu menjadi alasan untuk menyalahkan dirinya sendiri. Dia pikir, gadisnya berpaling ke laki-laki lain karena berat badannya yang berlebih. Pada jurang terdasar kejatuhannya, seorang perempuan lain hadir memberikan secercah cahaya yang memandunya mendaki puncak terang kebahagiaan di atas sana. Dan ia percaya, Tuhan lah yang secara khusus mengirimkan perempuan itu kepadanya. Meskipun, pada kenyataannya perempuan itu tak sesempurna seperti yang disangkanya. Apakah perih yang dirasainya mampu tersembuhkan oleh kehadiran perempuan tersebut? Apakah akhirnya Teguh mampu menerima dirinya apa adanya dan mulai berdamai dengan kondisi tubuh gemuknya? Lalu, apa yang musti ia lakukan ketika dari perempuan masa lalu yang telah mengkhianatinya kembali hadir dalam hidupnya kini? Simak liku-liku kehidupan Teguh yang penuh dengan percikan air mata dan luka namun terkadang juga terselip tawa dan bahagia dalam novel metropop terbaru karya Stanley Dirgapradja ini.

Pattern metropop-nya tidak menyajikan sesuatu yang baru, namun Stanley dengan piawainya menciptakan karakter yang tak biasa hadir dalam standar dunia rupawan kebanyakan novel metropop. Hampir mirip karakter Bridget Jones yang direkayasa Helen Fielding untuk novelnya Bridget Jones’s Diary, Teguh adalah tokoh rekaan Stanley yang punya masalah dengan berat badan berlebih. Simbol-simbol metropolis disematkan melalui atribut pekerjaan impian yang rasanya begitu mudah diraih dan dijalankan, kekayaan yang meruah, serta tebaran merk-merk fashion terkemuka dunia yang mmm… selalu menjadi salah satu faktor novel lini ini dihujat, terlalu pamer, show off, dan kurang membumi. Terlepas dari unsur klise tersebut, tokoh Teguh memberikan warna yang berbeda (dalam arti positif) sebagai tokoh ‘aku’ yang protagonis pada novel ini, yang membuatnya tak sama dengan novel metropop lainnya. Konflik kepercayaan diri akibat bobot berlebih ini cukup fokus hingga separuh bagian pertama, meskipun kemudian seolah terlupakan dan bahkan tak menyisakan ‘bentuk’nya hingga ke ujungnya.

Stanley juga secara cemerlang menyajikan pilihan diksi yang menakjubkan, meskipun di beberapa bagian, dia terpeleset juga melakukan repetisi atas diksi-diksi tersebut, sehingga mengurangi keistimewaan diksinya itu sendiri. Syukurlah, frekuensi repetisi itu tidak terlampau sering.

Pada mulanya, konflik berputar-putar pada beban rasa percaya diri yang dipikul Teguh akibat fisiknya yang gemuk itu. Balutan kisah asmara semu yang diselipkan sebagai bumbu kekacauan di paruh pertama cerita nyatanya cukup mudah ditebak bagaimana akhirnya. Untunglah, Stanley menghadirkan karakter lain yang membuat kisah ini memiliki kerlip pesona yang lain. Jujur saja, konflik yang ada memang tidak sedahsyat yang saya harapkan. Keterpurukan Teguh yang nggak pedean ini terasa begitu dangkal dan mudah saja dilalui. Secara pribadi, tidak ada tokoh yang dapat saya nikmati ‘akting’nya di novel ini. Sebenarnya saya ingin bisa menyukai tokoh Teguh, sayang untuk beberapa hal karakterisasinya kurang masuk jika menelisik latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan pengalaman hidup yang disematkan kepadanya.

Sebagai sebuah bacaan, novel ini mengalir dengan lancar. Ia membawa pembaca (paling tidak saya) larut bersama setiap pergantian lembaran kehidupan keseharian dari tokoh-tokohnya. Saya ikut senang ketika Teguh menemukan kesenangan; saya prihatin ketika Teguh mendapati luka hati yang baru lagi; saya ikut bersemangat ketika Teguh menemukan muse baru untuk bangkit. Tapi, ya, hanya sekadar mengalir. Memang banyak quote-quote keren yang disajikan Stanley, sayang (bagi saya pribadi) saripati dari kisah pergulatan seseorang dalam mengalahkan kelemahan terbesarnya justru tidak mencapai klimaks sebagaimana yang saya harapkan.

Salah satu quote favorit saya ada di halaman 88:
Aku tidak akan menyalahkan siapa pun, tidak akan menyebarkan amarah ini pada siapa pun. Kurasa aku sudah cukup dewasa untuk tidak menyebarkan kekesalanku pada lingkunganku.

Sementara, satu adegan paling romantis menurut saya adalah ketika Teguh mengajak kekasihnya yang ….tetttttttttttttttttt….untuk berenang, yang dideskripsikan dengan manis oleh Stanley di halaman 303-306.

Durururururummmmmmm…..why oh why, banyak sekali typo-nya sihhhh. Saya sempat curiga bahwa proofreader-nya mulai bosan dengan cerita yang datar sehingga tampak tergesa dan tak lagi awas memeriksa tiap detail kata per katanya. Begitu juga editor-nya. *asli nuduh*. Nah, beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
(hlm. 18) “Guh, semalam Ibu…bla…bla…...duh Nduk, kapan toh kamu mau nikah dan memberi Bapak dan Ibu cucu? …bla…bla...” Kalau tak salah itu sms Ibu pada Teguh, kenapa jadi disebut, Nduk?
(hlm. 41) …ini salah satu kartu kreditmu ada tangan dia, …sepertinya ada yang ketinggalan, harusnya ada kata di di antara ada dan tangan.
(hlm. 56) aneh nggak sih kalimat ini: Aku membeli sebuket tulip dan sekotak Premium Swiss Chocolate dan membawaku menuju lantai 21,” jadi yang membawa ‘aku’ itu sebuket tulip dan sekotak cokelat? Ataukah itu seharusnya lift yang membawanya ke lantai 21?
(hlm. 86) tunjukan = tunjukkan, (92) menunjukan = menunjukkan
(hlm. 195) saya dan aku dipakai secara inkonsistensi di dalam satu paragraf, oh GOD!
(hlm. 202) automatis = otomatis?
(hlm. 306) Vemmy, harusnya Vemy (dengan m satu saja)
(hlm. 249) dan keteledoran paling fatal ada di halaman ini, bayangkan dalam satu paragraf bisa tertukar-tukar nama begitu (OH MY GOD), bagi saya ini adalah kesalahan paling tak termaafkan. *lebay*
Yang masih membuat saya bingung hingga kini adalah:
1. Apakah kata “sudah menemaniku dua tahun ini” (hlm. 17) itu sama artinya dengan “sudah hampir tiga tahun ini kami bersama” (hlm. 46)?
2. Apakah mereka (Teguh dan pasangannya) membawa beberapa handuk karena di (hlm. 295): “Kututup bagian bawahku dengan handuk kuning yang kami bawa tadi.” (hlm. 300): “Aku bangkit berdiri dan kuletakkan handuk putihku di kursi.” So, handuknya berubah warna dengan sendirinya atau memang ada dua jenis handuk yang dibawa (yang tidak diceritakan)?

Pada akhirnya, saya cukup terhiburkan oleh novel ini, meskipun sepertinya saya tidak ada keinginan untuk membacanya ulang dan sangat siap untuk melemparnya dalam tumpukan “buku sudah dibaca dan belum diniatkan untuk dibaca ulang.”

Selamat membaca, kawan!

Sunday, February 27, 2011

Resensi Novel Metropop: Dewie Sekar - Alita @ Heart

Lembaran Baru Kisah Hidup Alita

Rating:


Judul: Alita@Heart
Penulis: Dewie Sekar
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 448 hlm
Rilis: 8 Februari 2011
Harga: Rp58.000 (disc di inibuku, kutukutubuku, bukukita)
ISBN: 978-979-22-6699-3
Status: Sekuel dari Alita@First
Database Goodreads

Bagaimana cara yang benar untuk menghapus bergulung-gulung kenangan pada sesosok terkasih yang telah menghadirkan sejuta bahagia pada kita? Apakah benar kita seharusnya melupakan sosok yang telah pergi meninggalkan kita? Sebenar-benarnya lupa?
Alita keukeuh memendam segala kenangan terindahnya akan sosok Erwin dalam hatinya. Menyimpannya rapat dan tak pernah berkeinginan memberikan kesempatan bagi sosok lain untuk menyelinap masuk ke bilik hatinya, menawarkan sejuta kenangan baru untuk menggantikan kenangan-kenangan indah namun usang itu. Sampai nasib mempertemukannya dengan laki-laki yang awalnya ia sangka berniat pedekate pada sahabat karibnya.

Entahlah, kapan segalanya bermula, yang jelas getar-getar aneh namun menyenangkan mulai sering mendera Alita setiap kali ia berdekatan dengan laki-laki itu. Ihwal kedekatannya pun bukan demi dirinya sendiri melainkan sebagai bantuan bagi kakak lelaki tersayangnya yang secara tak terduga membeberkan rahasia bahwa ia ada hati pada sahabat dekat Alita. Maka, dimulailah letupan-letupan cinta yang menyebar di antara masing-masing hati itu. Saling menduga. Saling menebak, hati siapa untuk siapa. Cinta siapa untuk siapa. Pencarian cinta hingga ke ujungnya adalah tema utama yang diusung Dewie Sekar dalam novel terbarunya bertajuk Alita@Heart yang merupakan lanjutan dari novel Alita@First yang terbit tahun 2010 lalu.

Saya begitu “tersihir” pada Alita@First sehingga begitu merampungkan-baca novel itu, dan mendapati kenyataan bahwa masih ada kelanjutan ceritanya, saya terus berharap agar sang penulis segera menulis dan menerbitkan lanjutannya. Syukurlah, penantian itu berakhir juga dengan terbitnya novel Alita@Heart ini pada bulan 8 Februari 2011 kemarin.

Menurut saya, alur kisah ini memang sedikit melambat di paruh pertama. Tragedi-tragedi yang dialami oleh beberapa tokoh utama dari serial ini membungkus cerita menjadi sedikit mendung. Suasana sedih berkepanjangan membuat cerita agak biru dan kurang menggairahkan. Untung saja, terdapat pengembangan dan penambahan karakter baru plus diksi, deskripsi, serta dialog-dialog khas racikan Dewie Sekar sehingga memberikan semburat warna di tengah kelamnya kisah mereka.

Kelebihan lain dari Dewie Sekar adalah caranya mengolah adegan menjadi demikian hidup, selayaknya adegan keseharian yang terjadi di sekitar kita. Ada percikan kemewahan nan gemerlap khas cerita metropop, namun lebih banyak lagi taburan kesederhanaan yang realistis. Sulit untuk tidak menjadi terhanyut dan terbawa arus yang diciptakan penulis. Sungguh, begitu banyak selipan-selipan humanis yang menyajikan beragam pengalaman hidup akan dengan mudah dapat kita ambil segi positifnya. Pesan moralnya ditampilkan demikian halus sehingga jauh dari kesan menggurui, tetapi juga dapat dengan mudah kita rasakan. Dan, yang saya rasakan bahwa, novel ini terbungkus nuansa religius yang manis dan proporsional. Pelajaran kehidupan, baik dalam ranah keluarga maupun sahabat, ditampilkan dengan sangat bersahaja. Hubungan antar saudara yang rukun, ikatan keluarga yang meskipun kadang disertai goncangan namun tetap harmonis, sampai dengan cerita sahabat yang saling menguatkan satu sama lain. Begitu mendamaikan hati. Sangat menyejukkan nurani.

Another cliché story, memang. Tak jauh dari pakem metropop. Lagi-lagi mengedepankan dilema perempuan lajang yang menghadapi tekanan sekitarnya untuk segera mencari pendamping hidup. Syukurlah, mungkin atas nama keadilan, penulis juga mengetengahkan dilema serupa bagi tokoh cowok lajangnya di sini. Di samping itu, terima kasih pada penulis yang masih konsisten untuk tidak menjadi etalase yang memamerkan branded things berharga jutaan sebagaimana disajikan oleh beberapa novel metropop yang lain.

Bagi saya, tokoh Gading menyelamatkan cerita dalam novel ini. Jempol dua deh buat Dewie Sekar yang punya ide brilian memasukkan tokoh ini. Background-nya. Lingkungan sekitarnya. Dan, konflik masa lalu yang menyertainya, memberi warna berbeda di tengah cerita hingga ke akhir. Saya suka bagaimana Dewie mempertemukan Gading dengan [teeeettttttttttttt], lalu
[teeeettttttttttttt], hingga akhirnya [teeeettttttttttttt], hahaha, sekalipun ingin sekali saya cerita di sini, tapi itu sudah sangat menjurus pada spoiler…jadi jika ingin ikut merasakan sensasinya, silakan baca sendiri novel ini ya…

Saya selalu terpesona dengan gaya menulis Dewie Sekar, terutama kepiawaiannya memformulasikan PoV orang pertama dari banyak tokoh dalam sebuah novel. Tentu saja, trilogi Zona adalah contoh nyata bagaimana penulis menciptakan kekhasan yang begitu memorable. Pada Alita@Heart ini, penulis menggunakan tiga tokoh berbeda yang bercerita dari sudut pandang masing-masing dan penulis tetap mampu membuat ketiganya hidup dalam peran yang telah ditetapkan sejak mula. Sayangnya, untuk kali ini, saya kurang menangkap sisi maskulinitas dari dua tokoh laki-laki yang bercerita. Pada Zona, saya menangkap kejantanan yang tak terbantahkan dan itu tercermin pada pemikiran, perbuatan, dan percakapannya. Sedangkan untuk Alita@Heart ini…umm…dua tokoh cowoknya agak kurang macho dibanding Zona. Dalam artian, masih terlalu banyak sentuhan feminin pada karakter cowoknya. Atau, barangkali, memang setiap karakter diciptakan berbeda dan kebetulan dua karakter cowok utama di novel ini mendapat jatah kromosom X yang lebih banyak dibanding tokoh Zona yang begitu Superman (kromosomnya XYYY kali, hahaha *ngelawak-ditabok-penulisnya*)

Jempol lagi buat tim editing dan proofreading dari novel ini. Selain berhasil menghanyutkan saya dalam momen-momen indah pada setiap bagian ceritanya, novel ini juga memanjakan saya dari segi teknik cetakannya. Almost perfect. Kalau tak salah, hanya ada satu atau dua kesalahan ketik atau kekurangan kata dalam kalimat. Definitely, no big deal.

Dan…tentu saja, saya menemukan begitu banyak kalimat-kalimat indah atau pun yang menyentuh kalbu dalam novel ini, salah satu yang paling menyentuh saya adalah yang ini:
Percakapan Gading dan Alita (hlm. 301):
Gading: “Memangnya cowokmu ke mana, Alita? Kalo boleh tau aja sih…”
Alita: “Dia… Dia dimasukin orang-orang ke dalem tanah.”

Pada akhirnya, ending-nya memang menyenangkan meskipun “terasa” agak menggantung. Apakah akan ada sambungan lain dari kisah hidup Alita? Oh, kalau saya, tentu saja mau ada lanjutannya. Bagaimana kalau Alita dibuat seperti Rebecca Bloomwood (seri Shopaholic-nya Sophie Kinsella) dari pacaran, menikah, punya anak, dan seterusnya, dan seterusnya. Hahahaha, seru kali ya, *lagi-ditabok-penulisnya*. Tapi bagaimanapun, dengan ini saya deklarasikan diri sebagai fans Alita. Crossed fingers!

Selamat membaca, kawan, semoga harimu menjadi indah dengan membaca.

Sinopsis:
Lanjutan Alita @ First

Apakah kesendirianku adalah aib, sementara kurasa justru Tuhan sendirilah yang memutuskan ini untukku?

Kuembuskan napas kuat-kuat sambil membujuk hatiku agar tidak keterusan menyalahkan Tuhan.

Tidak, Tuhan tak pernah bersalah untuk segala hal buruk yang terjadi dalam hidupku. Aku percaya Dia sungguh maha pengasih dan tahu persis apa yang terbaik bagi umatNya.

"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini---baik atau buruk---pasti ada hikmahnya," kata Mas Erwin beberapa kali. Dulu sekali.

Baiklah, cinta...

Aku akan berusaha bersabar menunggu hikmah....


Sejak kehilangan lelaki yang dicintainya, selama beberapa waktu Alita tak pernah tertarik menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Alita merasa sudah cukup hidup dengan kenangan. Tapi, orang-orang terdekat Alita berusaha keras membuat pintu hati Alita kembali terbuka.

Akankah waktu mampu mengobati kepedihan Alita?

Akankah Alita bisa menemukan lelaki yang sanggup membuat dia sepenuhnya merelakan kenangan cinta pertamanya yang manis tapi tragis?


Monday, January 31, 2011

Book Event: Klub Buku Goodreads Indonesia

Klub Buku GRI 2011 - #1 Menjelajah Ranah 3 Warna (copy-paste from http://bacaituseru.blogspot.com)

Hai, kawan goodreaders Indonesia, tahun 2011 ini Klub Buku Goodreads Indonesia kembali menyelenggarakan diskusi buku.

Klub Buku GRI Februari 2011

Sebagian orang beranggapan bahwa kehidupan pesantren serupa kerangkeng yang memenjarakan kebebasan berekspresi dan mengekang keinginan menikmati pernik-pernik dunia. Segala pengaturan yang ketat, keseharian yang serba diawasi, dan rutinitas yang membosankan menjadi stigma yang begitu melekat pada anggapan mereka. Apakah benar begitu adanya?

A. Fuadi, melalui novel debutnya yang fenomenal Negeri 5 Menara, mengilustrasikan kehidupan pesantren dengan segala rupa dan warnanya berdasar pengalaman pribadinya sendiri. Enam karakter santri menjadi sarana mewujudkan ilustrasinya tersebut. Liku-liku persahabatan mereka yang berbalut pelbagai kisah suka dan duka, menghadirkan sajian yang penuh inspirasi dan hikmah. Citra pesantren menjadi demikian indah dan menyenangkan. Dari pesantren itulah, tokoh-tokohnya meraih mimpi dan berusaha mengubah takdir mereka.

Lalu, apa? Sampai di situ sajakah petualangan mereka? Tentu saja masih ada sederet pengalaman menakjubkan lain yang mereka alami, bukan? Tidak melulu semanis madu, sepahit empedu, atau sekecut asam jawa.

So, what…?

Klub Buku Goodreads Indonesia mengundang para pembaca Indonesia untuk mencari tahu petualangan-petualangan seru lainnya dari para sohibul menara pada:

Acara: Klub Buku GRI 2011 - #1 Menjelajah Ranah 3 Warna
Hari/Tanggal: Minggu/06 Februari 2011
Waktu: 14.00 - 16.00 WIB
Tempat: TM Bookstore
Depok Town Square, Lt. UG, Jalan Margonda Raya, Depok

Narasumber:
- A. Fuadi (Penulis novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna)

Moderator: Miss Anna Froggie
Penulis LPM: Rhe a.k.a. sha

Acara ini GRATIS. Selain dapat berbincang langsung dengan penulisnya, bagi kamu yang beruntung tersedia hadiah-hadiah menarik.

Resensi Novel: Wiwien Wintarto - Grasshopper (2011 - #2)

SM*SH!!!

Rating: 2,5 out of 5 stars



Judul: Grasshoper
Penulis: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Tebal: 312 hlm
Harga: Rp49.800
Terbit: Desember 2010
ISBN: 978-979-27-8804-4

Prita Paramitha (Prita) belum menetapkan hatinya untuk menjadikan bulu tangkis sebagai fokus utama dalam skema masa depannya, meskipun ia baru saja memenangi Kejuaraan Daerah Junior di kota kelahirannya. Bersama Delia Saraswati (Saras), sahabat sekaligus rival yang dikalahkannya dalam Kejurda tersebut, Prita mengalami petualangan misterius yang ‘memaksa’ mereka mengikuti kejuaraan Badminton Super Series di Yogyakarta. Hanya sepotong nama Subur yang menjadi clue untuk menebak siapa orang di balik pelbagai fasilitas yang didapatnya selama ini. Tapi, itu pun tak cukup menyejukkan hati Prita sebelum ia bertemu muka langsung dengan orang tersebut.

Sementara misteri Subur belum terkuak, di tengah-tengah konsentrasinya menjalani pertandingan demi pertandingan, Prita diliputi kebingungan akan percikan api asmara yang dipantik oleh dua cowok yang sangat memengaruhinya saat itu. Bagaimana Prita meng-handle virus merah jambu yang menyergapnya sehingga ia tetap concern pada setiap pertandingan yang dilakoninya? Apakah pada akhirnya Prita menemukan pemilik buku panduan bermain badminton yang membantunya memahami bulu tangkis secara lebih mendalam? Lalu, sampai kapan misteri Subur dan segala fasilitas serta motivasi yang diberikan pada Prita akan tetap tersamarkan? Temukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut beserta segala ketegangan dan kejutan pada sebuah pertandingan bulu tangkis yang menakjubkan dalam novel terbaru karya Wiwien Wintarto ini.

Bulu tangkis lebih menarik minat saya ketimbang bermacam olahraga lainnya. Sejak kecil, saya menikmati pertandingan tepok bulu itu ketika ditayangkan di televisi. Nama-nama besar pemain bulu tangkis, baik dari dalam maupun luar negeri, pernah begitu lekat dalam ingatan saya. Sejak belum punya televisi sendiri, saya sering berlama-lama bertamu ke rumah tetangga jika ada jadwal pertandingan bulu tangkis kelas dunia yang ditayangkan stasiun televisi lokal kala itu. Saya benar-benar jatuh hati setangah mati pada bulu tangkis. Keseharian saya pun tak luput dengan bermain bulu tangkis. Meskipun hanya dengan menggunakan raket seharga Rp2.500-an dan jaring pembatas (net) dari anyaman rafia, saya menikmati bertanding bersama teman-teman masa kecil saya. Salah satu kenangan terindah dari zaman saya masih ingusan.

Selain jaminan nama penulisnya, tema bulu tangkis yang diangkatnya menjadi penarik utama saya untuk segera membaca novel ini sejak kali pertama tahu bahwa novel ini akan beredar. Dan, yeahhhh, feel badminton-nya benar-benar terasa sejak lembar pembukanya. Saya seolah-olah sedang menyaksikan (mendengarkan) siaran langsung sebuah pertandingan bulu tangkis. Bahkan, terkadang ikut deg-degan menantikan hasil akhirnya. Namun, kesengajaan penulis yang merangkai kisahnya dengan gaya cersil (cerita silat) sedikit banyak mengganggu kenikmatan saya melumat kisah perjuangan si grasshopper (belalang sembah) ini. Entahlah, dari awal saya berharap mendapatkan sajian pertandingan bulu tangkis biasa sebagaimana lumrahnya yang pernah saya tonton (atau dengar). Sedangkan, dalam novel ini, kisah menjadi sedikit lebih tidak masuk akal, kental nuansa silatnya, dan bahkan beberapa bagiannya cukup dijelaskan dalam satu kata, “ajaib”. Tak ayal, saya pun jadi ingat film Shaolin Soccer-nya Stephen Chow yang memadukan sepakbola dengan kung fu. Menarik tapi kurang logis, sehingga bagi saya pribadi yang berfantasi soal keindahan alami bulu tangkis tidak mendapatkannya.

Dari plotnya sendiri cukup menarik meskipun uhuk*kok-agak-sinetron-ya?*uhuk. Perjuangan from zero to hero-nya dibumbui taburan segala macam hal misterius yang sayangnya terlalu gamblang dibeberkan jawabannya sehingga kesan misteriusnya itu menjadi…hmm, agak hambar. Coba kalau misterinya itu dibuat terbongkar sedikit demi sedikit bukannya ujug-ujug ada orang yang cerita dari A-Z dalam waktu satu jam dan seluruh misteri itu, duarrr…terpecahkan. Terlalu biasa jadinya. Kurang njelimet. Yah, meskipun, dari segi genre tidak dimaksudkan untuk njelimet juga sih. Tapi, kalau ada potensi ke arah sana, why not, kan? Saya melihat, sebenarnya novel ini memiliki potensi untuk menjadi lebih menarik lagi.

Yang saya suka justru sisi cinta-cintaan yang ada di novel ini. Dengan porsi yang cukup, nuansa merah jambu ini menghadirkan konflik yang memadai untuk memperkuat sebuah kisah perjuangan yang ujungnya hanya terdiri atas dua pilihan, menang atau kalah (atau juga dapat dibuat seri/draw, biar terkesan happy ending). Walaupun hanya sekadar kisah cinta segitiga biasa namun penulis berhasil mengemasnya secara menggemaskan, dan tentu saja, dengan porsi yang tidak berlebihan sehingga latar bulu tangkisnya tetap terjaga intensitasnya.

Dari segi teknis cetakan, novel ini masih memiliki banyak kelemahan. Yang paling terlihat tentu saja inkonsistensi penulisan istilah-istilah asing-nya, terkadang dicetak miring dan terkadang tidak. Covernya not bad-lah. Jenis dan ukuran font, serta margin halaman cukup, tidak mengganggu ketika dibaca. Sedangkan beberapa kesalahan cetak masih ada, beberapa di antaranya:
(hlm. 3) = modelling, (hlm. 8, 119) = modeling, dua-duanya tidak ada yang dicetak miring, bisa dianggap kata serapan atau istilah asing, hanya sayangnya inkonsistensi dalam penggunaannya.
(hlm. 96) Darius Sinarthya ….saya iseng mengetikkan nama tersebut di Google dan yang nongol: Darius Sinathrya
(hlm. 257) merried = married?
(hlm. 286) set pertamai…..= pertama
(hlm. 298, sekadar konfirmasi nggak penting) ikut unas = ujian nasional? Oh, sekarang singkatannya itu unas, bukan lagi UAN/UN?

Pada akhirnya, saya memang bingung harus menentukan untuk menyukai atau tidak menyukai novel ini, karena pada sebagiannya saya puas dan pada sebagian yang lain tidak. Maka, saya memilih zona aman, memberikan penilaian di tengah-tengah. Sudah jelas, saya menyukai bagaimana penulis memainkan peran menggoyang-goyang imajinasi dengan alur dan konflik yang beragam, namun saya juga agak kurang puas dengan beberapa titik eksekusi yang dipilihnya. Dan, maaf, kali ini saya tidak begitu menyukai unsur ‘jayus’ yang menyelusup lewat kalimat serta dialog para tokohnya. Harus saya akui, saya adalah penganut paham ‘bedakan kalimat tulisan dan kalimat lisan’ jadi ketika penulis memutuskan untuk me’lisan’kan kalimat yang seharusnya bernapas ‘kalimat tulisan’ saya menjadi agak kurang menikmati (yang ini benar-benar karena unsur subjektivitas).

Okay, selamat membaca teman!

Saturday, January 22, 2011

Resensi Novel Teenlit: Bali to Remember by Erlin Cahyadi (2011 - #1)

Sorry, but I refuse to remember anything from this book

Rating: 1 out 5 stars



Judul: Bali to Remember
Penulis: Erlin Cahyadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 224 hlm
Harga: Rp30.000
Terbit: Desember 2010
ISBN: 978-979-22-6444-9

Kira serasa mendapat durian runtuh ketika secara tak terduga ia terpilih untuk tampil sebagai host dalam sebuah acara reality show bertema jalan-jalan. Celakanya, ia harus ditemani oleh Dean, aktor muda yang sedang naik daun di dunia pertelevisian dalam negeri. Sejak kali pertama bersua, Kira telah mengibarkan bendera perang karena sebuah insiden yang membuatnya mencap Dean sebagai seorang yang arogan. Maka, betapa tersiksanya ia harus selalu berdua-duaan dengan cowok itu. Untung saja ada Andros, cowok cute yang telah menawan hatinya sejak cowok itu mengarahkan moncong kamera ke wajahnya, di rumahnya.

Maka, dimulailah petualangan yang penuh dengan beragam rasa yang melibatkan tiga hati di Bali yang super romantis. Bagaimana Kira mendamaikan hati dan perasaannya sehingga dapat menentukan pilihannya untuk melabuhkan cintanya pada Dean ataukah Andros. Simak perjalanan penuh kejutan Kira dalam novel kedua karya Erlin Cahyadi ini.
Harus saya akui, Erlin memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk merangkai kata menjadi kalimat yang mengalir lancar serta pilihan diksi yang bagus. Dari waktu ke waktu, perjalanan Kira-Dean-Andros terekam manis dibumbui pelbagai rempah sehingga tersaji hidangan konflik yang mengaduk-aduk emosi. Latar belakang keindahan Bali pada beberapa bagian diulas secara lengkap, memberikan nilai lebih pada novel ini. Bagi saya yang belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di pulau dewata tersebut, hikzzz…malangnya nasibku, ulasan tentang Bali itu memberikan sedikit gambaran dan suntikan motivasi untuk segera bisa terbang dan mendarat di Bali.

Sayang, tema yang dipilih Erlin untuk ditulisnya sangat jauh dari original. Terlalu klise, terlalu mudah ditebak, dan terlalu biasa. Pada mulanya saya terhanyut pada adegan cat and dog yang tercipta antara Kira dan Dean, apalagi ditambah kehadiran Andros yang membuat konflik makin menajam. Too bad, adegan itu kemudian seperti tak pernah berakhir. Mereka terus saja bertengkar, lalu berbaikan, lalu bertengkar lagi, begitu terus sampai saya berhenti menikmatinya dan berharap semuanya segera selesai. Saya begitu capek membaca makian demi makian, sindiran demi sindiran, beserta aura negatif yang bertaburan di setiap situasi. Maka, saya pun terpaksa skip halaman. Inginnya saya berhenti baca dan langsung melempar novel ini ke kotak buku-telah-dibaca tapi kan nggak mungkin, lha wong saya belum selesai membacanya tho? Maka, saya paksakan diri untuk menuntaskan membacanya. Dan, thank GOD, akhirnya kelar juga. Meskipun, sekali lagi, dengan melompati banyak sekali halaman.

Agak disesalkan memang bahwa kepiawaian memilih diksi yang dimiliki Erlin tidak dibarengi dengan cerita yang kuat. Plot yang babak belur karena konflik yang tidak berkembang meskipun didukung karakter yang lumayan. Bahkan, secara mengejutkan, saya menyukai beberapa dialog yang ada di novel ini. Maka, maafkan saya jika hanya itu yang saya ingat dari novel ini. Tentu saja saya ingat Bali, tapi lebih karena saya sudah sejak dari zaman putih abu-abu dulu ingin sekali berkunjung ke sana, bukan karena membaca novel ini.

P.S.: saya bahkan tidak berselera mencari typo di novel ini, LOL!

Sinopsis:
"Berat lo berapa sih? Bikin oleng aja!" kata Dean keras, mencoba mengalahkan deru mesin jetski yang dinaikinya.
"Lo bilang gue berat? Ngaca dulu dong! Lo tuh yang gendut! Kasian juga ya lo, selebriti terkenal tapi nggak punya cermin di rumah!" balas Kira nggak mau kalah.
"Kalau lo ngomong yang nggak penting kayak gini, gue ceburin lo ke laut!"
"Berani lo? Gue nggak takut!"

Gara-gara terpilih jadi host acara jalan-jalan bersama artis, hidup Kira jadi jungkir balik kayak jet coaster. Apalagi artisnya Dean Christian.
Buat Kira, Dean itu kesialan terbesar di sepanjang hidupnya. Dean emang artis, tapi nyebelinnya minta ampun. Dean juga cakep, tapi kasarnya juga ampun-ampunan. Singkat kata, nggak mungkin deh Kira bisa baik atau bahkan suka sama cowok kayak Dean.

Tapi... kalau selama seminggu full Kira jalan-jalan bareng Dean, di Bali pula, apa mungkin perasaan itu nggak bakal berubah? Apalagi waktu Dean tiba-tiba melakukan hal-hal ajaib yang nggak pernah Kira bayangkan sebelumnya..