Saturday, February 20, 2010

Book Event: Islamic Book Fair (IBF) 2010 di Istora Gelora Bung Karno Senayan

Siap-siap ngeborooooonggg.....



Yapz. Pameran buku is coming again... Berganti tahun, maka selalu diikuti dengan beragam acara yang bisa menggoyang minat masing-masing. Ada festival musik, konser, pameran komputer, festival film, pameran buku, wedding expo, dan lain sebagainya. Bagi saya yang menyukai buku, pameran buku adalah salah satu event yang saya nantikan di setiap pergantian tahun. Selain sebagai sarana temu-sapa dengan penulis dan sesama book-worm, juga waktunya shopping buku gila-gilaan, mengingat biasanya para penerbit dan toko buku yang menjadi peserta pameran memberikan diskon yang lumayan. Hmm, yummy....

Bulan Maret 2010 ini, Islamic Book Fair kembali digelar, mulai tanggal 5 sampai dengan 14 Maret 2010. Jadi, jangan sampai tidak tahu dan ketinggalan ya....ntar nyesel lagi...

Don't miss it, sobat!

Untuk info lebih lanjut, klik situs resmi penyelenggaranya di sini


(2010 - 6) Resensi Novel Metropop: Dewie Sekar - Alita @ First

Adakah cinta tanpa syarat itu?



Judul: Alita @ First
Penulis: Dewie Sekar
Penyunting: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta tak tersampaikan, Persahabatan, Keluarga, HIV-AIDS
Tebal: 328 hlm
Harga: Rp45.000 (Toko) Rp38.250 (inibuku)--->Beli
Rilis: Pebruari 2010

Dewie Sekar bermaksud menguraikan kisah cinta tanpa syarat tersebut dengan menghidupkan tokoh Alita dalam novel metropop terbarunya bertajuk Alita @ First ini. Penggambaran Alita cukup detail dalam rentang usia sekolah menengah hingga dewasa dan bekerja. Mengikuti alur kehidupan Alita serupa membaca sebuah catatan kehidupan seseorang yang benar-benar nyata karena diksi dan gaya bahasa yang digunakan penulis cukup sederhana dan dekat dengan keseharian.

Cinta tanpa muara. Cinta tanpa hasrat memiliki dan menguasai. Itulah yang dicoba dibangun oleh Alita pada sesosok laki-laki yang telah memesonanya semenjak ia masih gadis berseragam putih-biru. Erwin, nama laki-laki itu, adalah teman kuliah kakak lelakinya (Yusa) di Jogja. Adalah peringatan orangtua, kakak, eyang, dan sahabatnya yang membuat Alita menembok hatinya pada Erwin yang sejatinya selalu mengisi lembaran fantasi romantika kesehariannya. Bahkan, secara tegas Yusa membisikinya bahwa Erwin bukanlah laki-laki yang pantas dijadikan suami karena dia adalah laki-laki yang berbahaya (hlm. 16). Maka, meskipun debur hatinya tak dapat dibohongi, Alita terpaksa mengunci rapat-rapat peti hatinya agar tidak diketahui siapa pun. Terlebih oleh Erwin, sang Arjuna penghias mimpi-mimpinya.

Kisah cinta diam-diam Alita juga dibumbui dengan cerita manis-romantis-tragis Yusa yang ikut menyeret Alita dalam pusarannya. Maka, kalau diperbolehkan membuat rangkuman, dalam novel ini bakal ditemui sisi manis-romantisnya, canda-tawanya, kerja-kerasnya, hingga sisi sedih-tragisnya. Sebagai awal dari sebuah cerita bersambung, ending dari Alita @ First sungguh membuat dada sesak. Dan, saya pribadi menjadi penasaran dengan kehidupan lanjutan Alita di novel berikutnya.

Trilogi Zona (Zona @ Tsunami, Perang Bintang, dan Zona @ Last) karya Dewie Sekar merupakan trilogi novel metropop favorit saya. Cara penulis menghidupkan karakter tokoh-tokohnya dan gaya bahasa yang digunakannya sungguh memikat, membuat saya susah berhenti membaca namun juga terlalu enggan menyelesaikannya dengan cepat. Saya ingin menikmati dan menghayati ceritanya secara perlahan-lahan. Kemudian Dewie Sekar menulis Langit Penuh Daya, yang entahlah, bagi saya kurang memuaskan. Maka, saya mencoba netral ketika melalui seorang teman dan konfirmasi di blog resmi sang penulis, novel terbaru Dewie Sekar akan segera terbit. Hanya mendengar judulnya, saya sudah memprediksi bahwa novelnya kali ini juga akan sambung-menyambung (berseri), namun apakah akan dibuat trilogi seperti trilogi Zona, saya kurang tahu. Mari ditunggu saja konfirmasi resmi dari sang penulisnya nanti.

Kalau saja tidak ada label metropop-nya, mungkin saya akan menyebut novel ini masuk kategori teenage literature (teenlit) karena pada lembar-lembar awalnya Alita digambarkan masih merupakan siswa SMP yang dilanda cinta pertama. Alita mendeskripsikan perasaannya itu dengan, "Jatuh cinta sama dengan... demam! (hlm: 14)", yang pada perkembangannya berubah menjadi, "Jatuh cinta bagiku kini sama dengan bermain api! (hlm: 26-27)".

Namun, ternyata itu hanya upaya sang penulis untuk mengilustrasikan bagaimana benih cinta yang tertanam di dasar hati Alita tersemai dan tumbuh seiring pertambahan usianya. Dan, di sinilah kepiawaian Dewie Sekar menyajikan jalinan romantisme yang manis namun tidak cheesy. Salah satu momen yang "...oh, so sweet bangets" adalah ketika terjadi kesepakatan yang dinamai Perjanjian Menjer (apa itu? baca novelnya untuk mencari tahu, ya...) antara Alita dan Erwin. Membaca bagian ini saya sungguh-sungguh dibuat iri dan terhanyut, namun juga tersenyum senang. Bahkan, saking indahnya hubungan antar tokohnya saya sempat setengah merengek meminta dalam hati, "....muga2 Dewie nggak iseng ngasih tragedi di tengah suasana menyenangkan ini! Dan, tolong jangan ada yang mati". Namun apa mau dikata, hanya berselang beberapa lembar setelah saya mengucap permohonan itu, justru tragedi benar-benar diciptakan oleh Dewie. Oh... ya ampun, saya langsung lemas. Hikz, *ambil-tissue-dulu*

Natural. Real. Manusiawi. Tiga kata itu merujuk pada satu simpulan: hidup dan nyata. Jika pada sebagian besar novel metropop yang sudah terbit biasanya ceritanya dibalur dengan beragam kehidupan glamor dan taburan barang-barang branded yang terlalu tak terjangkau (bagi saya), maka di dalam novel ini saya hampir-hampir tidak mendapati satu pun merk baju-sepatu-tas-kosmetika-perhiasan yang mengiringi rajutan kehidupan para pelakonnya. Bahkan, tokoh-tokohnya pun seolah hadir dengan standard masuk akal. Memang ada banyak kata ganteng-cantik-memesona-karismatik, namun tidak sampai terjerumus pada jurang "too perfect to be true", yang sering dijual novel-novel urban masa kini.

Ceritanya mengalir secara kronologis, ditandai dengan tahapan pertambahan umur Alita. SMP, SMA, kuliah, dan bekerja. Setting lokasi berturut-turut ada di Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan berseling dengan Bali. Benang merah cinta terpendam Alita pada Erwin ditempeli dengan sub-plot liku-liku kehidupan Alita yang sebagian besar berisi profesi sebagai guru les privat, sub-plot kisah haru-biru cinta Yusa dan usahanya mencari pekerjaan, sub-plot cerita cinta sahabatnya, dan ditutup dengan ending yang membuat pembaca berkaca-kaca.

Nilai lebih yang saya tangkap dari novel ini adalah pelajaran moral yang coba diselipkan Dewie dalam keseharian tokoh-tokohnya. Entah apakah dilakukan dengan sengaja atau tidak, yang jelas saya mendapatkannya. Sangat terasa bagaimana harmonisnya hubungan orang tua dengan anak, antar teman, atau hubungan intim antara lawan jenis. Jempol dua saya acungkan buat Dewie yang berhasil membuat cerita yang demikian indah tanpa disertai adegan tak senonoh yang belakangan makin vulgar ditulis dalam novel-novel. Tidak ada adegan ranjang. Tidak ada gemebyar suasana klub malam. Tidak ada kegiatan hedonisme. Tidak ada pesta minuman dan narkoba. Bahkan, kontak fisik hanya sebatas pelukan, itu pun tidak dimaksudkan sebagai penggambaran umbaran nafsu para tokohnya. Kalau sudah begini saya ingin teriak keras-keras kepada para penulis di mana pun mereka berada, "...SEE, NGGAK USAH PAKE NGOBRAL AURAT, ADEGAN MESUM MENJURUS PORNO, PESTA MINUM DAN NARKOBA-ROKOK, UNTUK BIKIN CERITA YANG BAGUS." Saya memang agak prihatin, dan risih, dengan semakin terbukanya para penulis (dan penyunting) mengilustrasikan adegan-adegan "kurang-pantas" dalam novel. Saya selalu bertanya, "...apa perlunya sih adegan-adegan intim itu disajikan secara detail dalam sebuah novel?". Maka, please, STOP adegan mesum!

Yang seru lagi adalah dialog-dialognya yang cerdas, bukan dialog kacangan. Beberapa guyonan juga membawa efek lucu yang spontan dan tidak terkesan dipaksakan, misalnya,
(hlm: 116)
Erwin: Kucing yang nggak bisa nolak ikan-ikan...


Alita: Kucing Mama nggak doyan ikan. Maunya cuman makan jeroan ayam.

Erwin: Kucing mamamu pasti punya kelainan!
Aseli, saya tertawa ketika sampai pada bagian ini. Lawakan yang diselipkan Dewie sungguh pas dan memberikan kesan segar.


Beberapa quote yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya antara lain:
(hlm: 163) Nggak ada yang nggak bisa diubah kalau memang ada kemauan.

(hlm: 222) Itu sama aja kayak minta dikasih sehat sama Allah, tapi sengaja main hujan-hujanan.

(hlm: 233) Soalnya si ustaz melarikan diri ke Tuhan... pelabuhan hati paling aman.

(hlm: 240) Perempuan baik-baik nggak tidur sama siapa pun yang bukan suaminya!
Hmm, pada dasarnya saya sudah sangat puas (sekali) dengan novel ini, baik dari segi cerita, plot, karakter, dan konflik yang dihadirkan. Namun demikian, agar saya tetap terlihat dapat melontarkan kritik saya mencoba mencari-cari kesalahan dari segi cetakan/editan kata-kalimat hingga kekurangan layout-nya. Agak konyol memang, namun daripada tidak dapat temuan, kan? Hihihihi...Berikut beberapa kekurangan teknis tersebut:
(hlm: 62-63) Sepertinya terjadi salah enter, ataukah memang disengaja karena tidak mau memotong tabel? Feeling saya seharusnya dua paragraf di atas tabel di halaman 63 diletakkan di bawah kalimat Sekarang bagaimana? yang ada di halaman 62.

(hlm: 291) ...untuk bilang aku mau ke mampir rumahnya seperti biasa...seharusnya kata ke diletakkan setelah kata mampir.

Sedangkan beberapa kata yang agak kurang sreg dalam penulisan misalkan magrib (maghrib?) dan mengiakan (mengiyakan). Serta ada satu kata yang dicetak miring yang saya tak paham artinya, probono (hlm: 290).
Tentu saja, temuan konyol saya itu sama sekali tidak memengaruhi kenikmatan saya melahap novel Alita @ First ini. Dan, off the record, saya sampai mewek (DASAR CENGENG!!!) membaca bab 42 dan 43. D**n!!!

Good job, Dewie Sekar. You rock, girl! Can't wait to see the next chapter of Alita's life. Pssstt, nggak pake lama ya... mbak, nerbitinnya. OK?

Selamat membaca, sobat!

Sinopsis (cover belakang)
Sejak pertama berjumpa dengan Erwin, Alita jatuh cinta pada sahabat kakaknya itu. Bagi Alita, tak jadi masalah Erwin hanya menganggapnya adik. Toh Alita memang tak berniat jadi kekasih Erwin. Mencintai bukan berarti juga bersedia jadi kekasih. Bagi Alita, orang tak pernah butuh syarat apa pun untuk jatuh cinta, tapi jelas banyak yang harus dipertimbangkan saat sepasang insan berniat menjalin hubungan serius. Dan Erwin---yang terang-terangan mengaku dirinya buaya mata keranjang---tak masuk hitungan Alita, juga tak masuk hitungan orangtua Alita, kakak Alita, bahkan juga sahabat Alita.

Toh cinta Alita pada Erwin tetap tumbuh bersemi, meski tersembunyi dalam hati. Bagi Alita ini bukan pemberontakan melawan keluarga dan sahabatnya, sebab Alita merasa cintanya pada Erwin adalah jenis cinta sepihak yang tak menghendaki apa-apa dari yang dicintai. Cinta yang penuh kesadaran tak akan memperoleh pemenuhan. Cinta tanpa tujuan memiliki, apalagi menguasai. Cinta tanpa harapan, tanpa muara....

Tapi, sungguhkah jenis cinta semanis dan sesederhana itu bisa benar-benar ada? Sungguhkah Alita mampu tetap menggunakan akal sehatnya dan menuruti nasihat orang-orang terdekatnya, saat akhirnya Erwin juga jatuh cinta padanya?

Wednesday, February 17, 2010

Saya Ganti "Baju" Dulu

Hmm, sudah berapa lama ya, blog ini menggunakan baju (baca: template) yang 'lama' tadi? Saya sendiri lupa, tanggal persisnya saya mulai menggunakannya. Yang jelas saya ingat, template itu bukan kreasi saya sendiri....hehehe, dan sayang sekali, saya juga lupa dari mana saya mendapatkan template yang simple namun elegan itu. Oleh karena itu, saat ini saya hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih telah diperkenankan menggunakan template tersebut.

Bukan karena bosan, tapi lebih kepada ingin memberikan nuansa baru saja, akhirnya saya memutuskan untuk mengganti baju daripada blog sederhana saya ini. Dan, tentu saja, lagi-lagi baju yang saya pakaikan ke blog ini juga bukan hasil kreasi saya, melainkan asal comot dari sini (free download). Terima kasih kepada pencipta dan pemilik situs yang sudah bersedia berbagi.

Semoga dengan pergantian baju ini, saya menjadi lebih bersemangat meng-update blog ini. Amiiinn....


Saturday, February 6, 2010

My Favorite Quote: Kitchen by Banana Yoshimoto

Quote of the Day



"Kurasa siapapun yang sungguh-sungguh ingin mandiri sebaiknya mencoba merawat sesuatu, entah anak atau tanaman. Soalnya kita jadi mengerti keterbatasan yang kita miliki. Dari situlah hidup bermula."
(halaman 53)


"Laki-laki bukanlah makhluk yang sengaja menyiksa diri dengan perasaan-perasaan sedih."
(halaman 181)


Taken from Kitchen by Banana Yoshimoto.


(2010 - 5) Resensi Novel Terjemahan: Banana Yoshimoto - Kitchen

Dapur yang manis dan romantis



Judul: Kitchen
Pengarang: Banana Yoshimoto
Penerjemah: Dewi Anggraeni
Penyunting: Dini Andarnuswari
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tema: Keluarga, Romansa, Persahabatan, Dewasa, Rasa kehilangan
Tebal: 204 + vi halaman
Harga (Toko): Rp40.000
Rilis: April 2009 (cet. 1)

Saya adalah salah satu penggemar dorama Jepang. Sebut saja Oshin, Tokyo Love Story, Rindu-rindu Aishawa (lupa judul aslinya), Long Vacation, Hotelier (versi Jepang) dan beberapa lagi yang lainnya. Pun, saya juga masih menahbiskan Jepang sebagai negara pencipta kartun terbaik di dunia. Terutama dari segi keragaman ceritanya. Namun, saya tidak sampai sebegitu gemasnya bermimpi menginjakkan kaki di negeri Sakura tersebut (seperti kebanyakan orang yang terkagum-kagum dengan etos kerja dan pesatnya kemajuan teknologi negeri Samurai itu) atau bahkan sekadar membaca hasil karya tulis sastrawannya. Entahlah, rasanya untuk ukuran Jepang saya lebih suka yang visual, bukan verbal, hehehehe. Aneh!

Kalau diingat-ingat saya hanya baru membaca 2 buah novel karya penulis Jepang (Toto Chan dan Kitchen), 1 novel berlatar Jepang (Memoirs of Geisha), 1 novel yang belum dibaca (salah satu dari seri klan Ottori), dan 1 novel karya penulis Indonesia bersetting Jepang (Winter in Tokyo by Ilana Tan). Entahlah, saya belum tergerak untuk mencari lebih banyak hasil tulisan penulis-penulis Jepang. Mungkin ada saatnya, nanti.

Mengenai Kitchen, saya sempat berasumsi bahwa novel mungil yang simple namun eye-catching ini adalah sebuah cookbook yang dinarasikan menggunakan bahasa novel. Ternyata anggapan saya keliru. Saya yang sudah ngiler kepengin tahu beberapa resep kue-kue khas Jepang atau aneka macam mie-nya yang terkenal itu (yang sering saya lihat juga di dorama-doramanya, saya selalu mengingat adegan Tokyo Love Story dimana sehabis jam kerja biasanya mereka hang out dulu di kedai mie, ugh…menggoda sekali mie-mie-nya…), makin dibuat ngiler dengan banyaknya jenis-jenis makanan khas yang disebutkan dalam novel ini. Namun sayang hanya sebatas itu, karena tidak ada satu pun resep masakan yang muncul di sini.

Sejatinya novel ini (versi terjemah Indonesia) adalah sebuah novelete, karena di dalamnya terdiri dari dua cerita yang berbeda. Awalnya saya tidak menduganya seperti itu. Maka, ketika cerita berganti ke judul kedua, saya bingung alang kepalang. Sementara, saya merasa cerita pertama belum tuntas seratus persen. Loh, ceritanya kok jadi kesini, apa hubungannya ini dengan si anu tadi ya??? Setelah dua kali balik ke halaman muka, daftar isi, dan kembali ke belakang, saya baru ngeh kalau dua cerita di dalam novel ini tidak saling terkait. Saat itu juga saya berseru bodoh, “..ooohhhh…beda rupanya.” Payah!

Berdasar informasi dari situs wikipedia, Kitchen merupakan novel debutan Banana yang bernama asli Mahoko Yoshimoto, dan menjadi fenomena karena langsung menangguk sukses. Di Jepang sendiri, novel ini telah cetak ulang lebih dari 60 kali dan diadaptasi ke dalam film sebanyak 2 kali. Banana mendapatkan penghargaan Kaien Newcomer Writers Prize pada Nopember 1987, the Umitsubame First Novel Prize, dan Izumi Kyoka Literary Prize pada Januari 1988 untuk novel Kitchen-nya ini. Selengkapnya silakan klik di sini.

Novelete Kitchen mengalir sederhana dengan diksi yang tidak terlalu rumit, pun dengan konflik yang ada. Banana lebih menonjolkan bagaimana jalinan hubungan diantara aktor-aktornya yang tidak terlalu banyak itu. Saya juga suka dengan deskripsi gaya tokohnya. Serasa benar-benar sedang menikmati suguhan dorama.

Cerita Pertama, berjudul Kitchen, terdiri dari dua bab. Kisahnya adalah tentang seorang gadis bernama Mikage Sakurai yang berjuang menambal perasaan kehilangan setelah kerabat satu-satunya yang tersisa, neneknya, meninggal dunia. Mikage sangat tergila-gila pada dapur yang selalu memberikannya kenyamanan ketika perasaan sepi menerpanya.
“….aku paling bisa lelap ketika tidur di samping kulkas.” (hlm: 4)

Bahkan secara eksplisit dia memilih dapur sebagai tempat favorit seandainya dia meninggal.
“…., aku ingin menghembuskan napas terakhirku di dapur. Tak peduli dapur itu dingin sekali…” (hlm: 4).

Untunglah, ada Yuichi Tanabe yang telah sepakat dengan ibunya untuk mengajak Mikage tinggal bersama mereka selama gadis itu belum menemukan apartemen baru. Saat tinggal di keluarga Tanabe inilah, Mikage menyadari betapa sebuah keluarga adalah anugerah. Tak selalu indah, namun patut disyukuri. Selain kenyataan bahwa Eriko, ibu Yuichi, adalah seorang laki-laki transgender yang adalah ayah kandung Yuichi, Mikage juga mulai menyadari bahwa ada perasaan lain yang tumbuh di dalam dirinya terhadap Yuichi. Cinta.

Sayang sekali, keharmonisan hidup Mikage, Yuichi, dan Eriko tak berlangsung lama. Pada bab kedua diceritakan bahwa Eriko dibunuh. Berita ini tentu saja mengacaukan perasaan Mikage, terlebih Yuichi sebagai seorang anak. Pada titik itulah hubungan keduanya diuji. Perlahan masing-masing mulai menyadari bahwa mereka punya perasaan lain selain perasaan bahwa selama ini mereka adalah keluarga. Ketika hati tak lagi mampu berbohong, keputusan terbaik harus segera dibuat. Novelete ini ditutup dengan ending yang legit dan menyentuh. Sangat menginspirasi, bahwa dalam hidup dibutuhkan perjuangan dan kedewasaan dalam menentukan sikap.
Intermezzo dari cerita Kitchen, “Laptop (hlm: 35) dan kuis Family 100 (hlm: 82) sudah ada di Jepang sejak tahun 1980-an?” Wow!!

Cerita kedua, berjudul Moonlight Shadow, juga berkisah tentang kehilangan. Kehilangan kekasih ketika berada di puncak asmara. Satsuki masih merasa terlalu berat melepas kepergian Hitoshi, yang direnggut malaikat maut melalui kecelakaan mobil yang juga menewaskan Yumiko, kekasih Shu – adik laki-laki Hitoshi. Untuk mengusir kehampaan akibat kehilangannya itu, Satsuki memutuskan untuk rajin berlari pagi, yang selalu dimulai dan diakhiri di atas sebuah jembatan yang menjadi tempat bersejarahnya bersama Hitoshi. Hal yang sama juga dialami Shu yang memanifestasikan kehilangannya dengan selalu mengenakan seragam Yumiko, yaitu berupa baju kelasi – seragam sekolah untuk siswa perempuan di Jepang (mungkin mirip seragamnya Usagi dalam serial kartun Sailormoon kali ya…???).

Suatu pagi Satsuki bertemu dengan Urara, seorang gadis aneh yang misterius. Urara yang merasa bertanggungjawab atas jatuhnya botol minum Satsuki ke sungai berjanji akan menggantinya. Maka ketika suatu hari Urara menelpon Satsuki (dimana Satsuki terkejut karena ia merasa tak pernah memberi tahu nomor telepon rumahnya) dan berjanji untuk membelikan botol minum sebagai gantinya, Satsuki mengabaikan demamnya dan menemui Urara di tempat yang ditentukan. Dari situlah, Satsuki semakin berminat akan suatu fenomena yang akan ditunjukkan Urara.

Pada hari yang disebutkan Urara, Satsuki pergi ke jembatan. Dan, peristiwa tumpang-tindih yang dikatakan Urara hanya terjadi setiap 100 tahun sekali itu, pada kenyataannya memang membuat shock Satsuki. Awalnya ia justru sedih telah menyaksikan fenomena itu, namun lambat laun ia mensyukurinya karena berkat kejadian itu ia mulai ikhlas melepas kepergian Hitoshi. Pada saat yang sama, Shu juga menceritakan pada Satsuki bahwa gara-gara ia mendapat mimpi aneh pada hari yang sama ketika Satsuki melihat fenomena itu, Shu merasa telah tiba saatnya untuk meneruskan hidup dan melupakan tragedi yang menimpa kakak dan kekasihnya. Seperti halnya cerita pertama, Banana juga menutup cerita kedua ini dengan bagus sekali. Bahkan, menurut saya halaman terakhirnya ditulis dengan penghayatan yang sangat dalam. Saya tercengang dibuatnya. Indah. Memikat.

Sebelum membuat resensinya, saya membaca novelete ini sampai dua kali. Pada kesempatan pertama, rasanya saya salah memaknainya sehingga dulu saya menganggap novel ini ringan dan kurang berisi. Bahkan, saya sampai bertanya, apa sih yang bikin novel ini bombastis di Jepang dan dapet banyak penghargaan, kok guwe nggak ngerasain apa-apa ya? Namun, entah apakah karena saya yang sedang dalam situasi sentimental saat membaca kembali novel ini untuk kesempatan kedua, makna yang saya dapatkan jauh lebih dalam daripada yang saya bayangkan. Saya merasa novel ini ditulis dengan emosi yang hidup. Seolah setiap rangkaian kalimatnya adalah ekspresi nyata para tokohnya. Paragraf demi paragraf seperti muncul dari hasil pemikiran dan perasaan yang begitu dalam. Benar-benar menghanyutkan.

Salah satu yang membuat saya bergetar adalah bagian ini,
“Sejujurnya aku ingin sekali berhenti berjalan, berhenti melanjutkan hidup…dst. …tak pernah kukira hidup ini ternyata begitu berat.” (hlm: 63).

Yah, ada saat-saat dimana saya selalu mempertanyakan tujuan penciptaan saya di dunia ini. Kalau sudah begitu, pikiran saya mulai melantur dengan mendaftar seberapa banyak kesengsaraan menimpa saya, hingga kadang berujung pada simpulan mungkin kematian adalah jawaban paling logis untuk mengakhiri segala macam kesengsaraan itu. Puji Tuhan, tidak seperti para tokoh dalam novel ini yang sering bertanya, “Tuhan ada atau tidak sih?” (hlm: 117), saya percaya bahwa Tuhan itu ada dan saya memahami mengapa Dia mengharamkan bunuh diri, karena itu perbuatan yang sia-sia dan tindakan kufur (ingkar atas nikmat yang diberikan).

Dari segi teknis, beberapa kekeliruan yang saya catat banyak terdapat pada cerita kedua, diantaranya:
(hlm: 188) .kadang-kadang hal itu membuatku perasaanku…, saya pikir harusnya “ku” yang melekat pada kata “membuat” lebih baik dihilangkan.

(hlm: 194) …Rambutku dan kerah kemeja Hitoshi yang kurindukan. Saya agak ambigu di sini, yang dirindukan rambut dan kerah kemeja Hitoshi ataukah maksudnya “rambutku di kerah kemeja Hitoshi”?

(hlm: 198) …tadinya ia menanti kedatangannya dengan duduk di bangku…, saya juga agak ambigu dengan kalimat ini. Saya pikir yang ditunggu Shu adalah Satsuki yang berperan sebagai “aku”. Saya pikir seharusnya kalimatnya adalah, “….menanti kedatanganku…”

Tambahan masukan, untuk cerita kedua, yang agak mengganggu adalah pemisahan paragraf untuk kejadian di waktu yang berbeda kurang jelas sehingga bagi saya agak mengacaukan kronologis cerita. Setting waktu menjadi tumpang-tindih dan membingungkan.

Secara keseluruhan, Kitchen menyampaikan kisah penuh harapan dengan bahasanya yang indah. Berakhir happy ending karena ingin menegaskan bahwa selama masih berjuang, setiap yang kita lakukan pasti akan membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Tentu saja, perjuangan itu adalah dengan cara dan disertai dengan tujuan yang baik. Yang patut dipuji, Banana menamatkan ceritanya dengan manis dan romantis namun tidak cengeng. Sederhana tapi penuh makna. Tak ada kata pujian selain, “novel ini indah sekali.”

Selamat membaca (dan terharu), kawan!

Sinopsis (cover belakang)
"Aku tak bisa tidur di tempat lain selain dapur."

Mikage Sakurai sebatang kara sejak neneknya meninggal. Dapur menjadi satu-satunya tempat di mana perempuan itu tak merasa kesepian, di mana ia dikelilingi panci bekas pakai dan sisa ceceran sayur, serta ditemani sepetak langit malam berbintang di jendela.

Namun dapur keluarga Tanabe yang membuatnya jatuh cinta. Di sana selama satu musim panas ia bergulat dengan acar, udon, soba, dan tempura. Di sana pula ia temukan apa yang tak pernah dimilikinya: keluarga, bersama Yuichi Tanabe yang dingin dan Eriko Tanabe yang mempesona - perempuan transeksual yang sejatinya ayah kandung Yuichi.

Ketika Eriko meninggal, Mikage dan Yuichi menjauh dan saling terasing dalam kesedihan. Apa yang harus mereka lakukan untuk bangkit dari dukacita dan menyadari ada cinta di antara mereka?

Monday, February 1, 2010

(2010 - 4) Resensi Novel Metropop: aliaZalea - Miss Pesimis

Perlukah dibentuk LSB (Lembaga Sensor Buku)?



Judul: Miss Pesimis
Penulis: aliaZalea
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta segitiga, Teman jadi kencan, Seks pranikah, Kebimbangan
Tebal: 272 halaman
Harga: Rp36.000 (Toko)
Rilis: Januari 2010

Sejak kali pertama melihat Ervin yang bak Dewa Yunani itu, Adriana sudah jatuh hati pada laki-laki yang ternyata adalah calon teman kantornya sendiri. Namun, jejak cinta pertamanya di SMP dulu pada Baron mengaburkan debaran-debaran aneh setiap berdekatan dengan Ervin. Jauh sebelum bertemu Ervin Adriana sempat menjalin hubungan dengan bule di Amerika, dimana Adriana terpaksa menolak lamarannya karena cinta terpendamnya pada Baron yang masih disemainya.

Ketika muncul keberanian Adriana mengutarakan isi hatinya pada Baron, ia justru shock mendengar kabar bahwa sang pujaan hatinya itu akan segera bertunangan dengan Olivia, teman SMP mereka. Demi menata hatinya, Adriana mencurahkan waktunya ke pekerjaan dan mempererat persahabatan dengan Ervin. Tetapi, dunia seolah sedang mempermainkannya, karena meskipun telah mencoba memblokir segala kemungkinan ia bertemu dengan Baron, justru laki-laki itu yang menemukannya. Puncaknya, ketika Adriana tak lagi bisa menghindar dari Baron di pesta reuni SMP. Dan, sadarlah Adriana bahwa sebenarnya dari sejak dulu Baron juga mencintainya. Namun, di saat yang sama mengapa ia menjadi ragu? Mengapa ia menjadi tak lagi percaya bahwa Baron-lah yang dia inginkan menjadi kekasih hatinya?

Tak mau menyakiti Olivia, Adriana kemudian menolak lamaran Baron. Meski begitu, perih yang menyiksa batinnya ternyata tak dapat disingkirkannya semudah yang ia bayangkan. Maka ketika Ervin mengajaknya pergi berlibur, Adriana dengan berat hati menyetujuinya. Di tempat liburan, Adriana bertekad melupakan Baron dengan melakukan hal-hal gila yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan siapa yang menyangka kalau hal-hal gila itu ia lakukan bersama Ervin? Lalu, ketika Adriana menyadari bahwa ia hamil, apakah ia akan menuntut Ervin untuk bertanggung jawab, padahal Adriana merasa Ervin tak pernah menganggapnya sebagai seseorang yang spesial? Hanya sebagai serep ketika tak ada lagi perempuan yang tersisa untuk diajak kencan olehnya?

Menyimak lembar-lembar pertama novel ini, saya sangat lega, bahwa akhirnya terbit juga sebuah novel dalam line metropop-nya Gramedia dengan pakem yang sudah saya suka dari awal kemunculan line ini. Belakangan saya seperti kehilangan selera membaca novel-novel metropop yang sepertinya tak lagi memiliki "something" yang seingat saya membuat saya tergila-gila. Beberapa diantaranya bahkan menerbitkan rasa sesal karena membelinya.

Masih dengan taburan tema klise dan adegan daur-ulang, Miss Pesimis tampil memukau dengan beberapa dialog cerdasnya yang mengingatkan saya pada film drama Hollywood favorit, When Harry Met Sally, Before Sunset, It's Complicated, dan sebagainya. Dan, ya, novel ini memang memiliki alur dan adegan seperti kebanyakan film-film tersebut. Bebas, ceria, kadang ekstrim, dan selebihnya menyenangkan. Bagi kebanyakan perempuan yang menyukai film drama Hollywood mungkin akan jatuh suka juga dengan novel ini. Ceritanya mengalir lancar dan menyegarkan.

Namun demikian, saya menganjurkan untuk juga menganggap novel ini hanya sekadar hiburan semata. Begitu selesai, ya sudah, cukup mengomentari jalan cerita atau tingkah polah para tokohnya atau gaya penceritaan penulisnya. Sebut saya naif, atau kolot, tapi saya sepenuhnya tidak menyukai kebanyakan adegan dalam novel ini. Tak perlu bicara moral ketika membaca novel ini (dan kebanyakan novel jenis beginian saat sekarang). Hampir semuanya sudah terpengaruh budaya barat. Free sex. Hubungan intim pra nikah. Partying. Alcohol. Hamil di luar nikah, dan lain sebagainya. Sekian lama hidup di negara yang (katanya) menjunjung adat ketimuran, hal-hal tersebut tetap saja membuat saya geleng-geleng kepala dan mencoba untuk mengingkarinya. Saya takut jika yang demikian lambat laun dianggap sebagai hal yang lumrah dan semua memakluminya, karena saya masih menilai (secara logika) bahwa hal-hal itu salah. Tak perlu pendidikan tinggi untuk menilainya sebagai suatu kesalahan.

Maka, saya pun merasa punya hak ketika mempertanyakan apakah perlu dibentuk sebuah Lembaga Sensor Buku (LSB), semacam Lembaga Sensor Film (LSF), yang bertugas menyunting adegan-adegan tak layak baca? Saya selalu bertanya, sebegitu pentingkah menarasikan bagaimana dua orang berciuman sampai lebih dari satu halaman? Seberapa perlunya menggambarkan adegan ranjang? Seberapa signifikankah adegan-adegan intim yang semustinya dilakukan oleh pasutri itu diumbar dalam sebuah novel? Apakah dengan membuatnya "tersamar" akan mengacaukan keseluruhan jalan ceritanya? Ataukah ini usaha penulis (penerbit dan editornya) untuk menarik minat calon pembeli-bacanya? Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bumbu seks selalu berhasil mengundang kontroversi yang harus diakui dapat menjadi media promosi (iklan) yang murah. Tapi kontroversi selalu-lah akan menjadi kontroversi, yang bagi saya berkonotasi negatif. Nge-boom dalam waktu singkat dan tenggelam dalam waktu yang singkat pula.

Jika sudah demikian, saya hanya bisa berharap bahwa para pembaca cukup "pintar" bagaimana menikmati sebuah bacaan. Pembaca yang secara tegas dapat membedakan mana fiksi dan mana non-fiksi. Pembaca yang tak kebingungan menilai sesuatu dengan hati nurani dan segala norma yang dipercayainya. Meskipun begitu, saya tidak dalam posisi menggurui atau berlagak sok suci. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Saya percaya, secara naluriah setiap orang sudah dibekali filter yang cukup memadai untuk menyaring beragam informasi yang didapatnya detik demi detik dalam kehidupannya. Yang terpenting bahwa segala keputusan ada konsekuensinya. Saya hanya khawatir jika ada pembaca yang tak bijak menyikapi novel seperti ini, sehingga bisa memicu "keinginan berbahaya yang terpendam" untuk meniru apa yang tertulis dalam novel. Semoga saja tidak!

Meskipun menggoyang imajinasi saya sedemikian rupa, ada juga beberapa scene yang agak aneh bagi saya. Salah satunya adalah adegan ketika Adriana mempraktikkan ilmu psikologinya dengan memberikan konseling pada Baron dan Olivia yang sedang bertengkar. Hahahaha... saya tidak bisa menangkap apa esensi dari adegan itu. Meskipun scene tersebut merupakan salah satu titik balik keseluruhan cerita, saya sedikit kecewa dan lebih mengharapkan adegan lain, walaupun saya juga tidak bisa memberikan ide adegan seperti apa yang saya inginkan. Yang jelas, bukan yang seperti itu.

Untuk urusan teknis percetakan, beberapa salah ketik masih ada, antara lain:

Halaman 51: "Gampanglah, nanti kita ke sini dulu
sebelum gue lo antar ngambil mobil.", setahu saya dialog itu bagiannya Ervin, sehingga harusnya penulisan yang benar, "...sebelum elo gue antar...", karena pada bagian tersebut Adriana lah yang meminta diantar.
Halaman 87: Font untuk paragraf pertama di halaman tersebut tampak lebih besar ketimbang font yang semestinya.
Halaman 186: Bagus, itu berarti lo masih sadar. Pak baju, Dri, kita....." seharusnya tertulis, "....sadar. Pakai(e)baju, Dri....."

Jujur, tiga bab terakhir saya membacanya bak seorang sprinter. Kencang dengan banyak bagian yang saya lompati, karena saya memang, well, kecewa dengan endingnya. What? Sebegitu mudahkah hubungan rumit ini diakhiri? Ya ampun, jauh dari ekspektasi saya jika melihat betapa para tokohnya dibuat jumpalitan dengan beragam peristiwa yang mereka lalui. I want something bigger than that!

Overall, saya cukup puas dengan novel ini. Semoga saja untuk bulan-bulan berikutnya di tahun 2010 ini, Metropop terbitan Gramedia kembali kepada form terbaiknya. Tentu saja, saya masih menunggu karya-karya terbaru dari novelis favorit, Alberthiene Endah, Dewie Sekar (Alita@First sudah terbit, saya akan segera mencarinya), Wiwien Wintarto, Retni SB, Ika Natassa, dan beberapa novelis lainnya.

Sinopsis (cover belakang)
Bertahun-tahun Adriana Amandira memendam cinta pada Baron tanpa berani memperlihatkannya, karena mnegira dia bukan tipe wanita yang disukai lelaki itu. Sepuluh tahun kemudian, ketika sudah sama-sama dewasa dan sukses, kenyataan berkata lain dan kesempatan terbuka untuknya untuk memiliki kebersamaan mereka.

Namun ketika Baron melamarnya, Adriana bimbang. Jika ia menerima pinangan lelaki itu, berarti dia akan melukai hati Oli, tunangan Baron yang juga teman mereka.

Adriana merasa frustasi, patah hati. Untuk melupakan Baron, dia lalu memutuskan untuk melakukan perbuatan gila-gilaan yang belum pernah dilakukannya selama hidup, dan bukan khas dirinya. Salah satunya, dia ingin sekali berkencan dengan seseorang, sembarang lelaki, siapa pun dia. Dan Adriana tak mengira, bahwa yang datang menyambut tawarannya adalah sahabatnya sendiri...