Wednesday, March 31, 2010

(2010 - 8) Resensi Novel Metropop: Primadonna Angela - Magnet Curhat

Aku mau curhat ke kamu nih…



Judul: Magnet Curhat
Pengarang: Primadonna Angela
Penyunting: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Desain dan Ilustrasi Sampul: Maryna Design
Tema: metropop, romantisme, curhat, kasih tak terucap
Tebal: 232 hlm
Harga: Rp40.000 (disc 36% pd pesta Ultah GPU)
Rilis: Maret 2010

Saya langsung tertarik untuk memungut novel ini dari rak pajang toko buku ketika membaca judulnya. Tepat seperti yang berkelebat dalam benak saya bahwa metropop ini berbicara tentang seseorang yang menjadi tempat curahan hati orang, atau istilah kasarnya “tong-sampah” masalah orang. Magnet curhat pada dasarnya adalah seorang psikolog tanpa legalisasi surat praktik dengan pelayanan bersifat informal tanpa embel-embel profesi. Namun demikian, seorang magnet curhat tetap punya kode etik tak tertulis yaitu tidak diperkenankan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang yang curhat kepadanya.

Terkadang, saya sendiri merasa menjadi seorang magnet curhat. Ada saja teman yang dengan gampangnya membongkar peti rahasia masalah pribadinya (atau non pribadi) kepada saya. Untuk kasus-kasus tertentu, saya bangga bahwa teman tersebut lebih nyaman memilih sharing dengan saya ketimbang orang lain. Pada kondisi begitu saya merasa menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain, padahal tak jarang saya mempertanyakan “apa manfaat penciptaan” Tuhan atas saya di muka dunia ini. *curhat-serius*

Namun, menjadi magnet curhat tetaplah memiliki dua sisi berseberangan. Enak dan eneg. Menyenangkan dan menyebalkan. Di samping kebanggaan dan perasaan berguna bagi orang lain, sebal dan muak juga kadang bersembulan jika si pencurhat tak kenal waktu dan tempat langsung nyerocos ingin didengar masalahnya. Dapat dimaklumi bahwa orang yang sedang dalam masalah dan berniat curhat biasanya terlupa (terlambat) menyadari bahwa tempat curhat mereka adalah manusia, makhluk hidup serupa mereka, yang juga punya masalah dan bisa terserang bad mood.

Primadonna (Donna) Angela mengangkat tema tersebut dalam novel ini. Idenya berasal dari pengalaman hidup penulis sendiri dengan penambahan plot fiksi romantis ke dalamnya. Too bad, kalau bukan karena endorsement di sampul belakang buku yang bilang bahwa buku ini adalah karya ketujuh belas Donna (yap, 17, sepuluh ditambah tujuh), saya akan menyangka ini produk debutan novelis tak bernama. Entahlah, saya yang tidak tergoyang imajinasi Donna atau bagaimana, saya hanya bisa ikut hanyut arus aliran kisahnya tanpa dapat memungut kesan apapun di tiap adegannya. Padahal, saya sudah bersiap setidaknya mencatat quote-quote keren seputar percurhatan, ternyata saya hanya laksana menyeberang jembatan selebar telapak kaki yang terbentang di antara dua tebing setinggi ratusan kilometer tanpa debaran ketegangan sama sekali. Hambar.

Membaca novel ini saya berharap mendapatkan sesuatu sebagaimana saya memperolehnya ketika merampungkan-baca Heart Block-nya Okke Sepatumerah. Writer’s block yang menjadi benang merah novel itu berhasil diolah oleh Okke sedemikian rupa sehingga terasa menjadi inti novel sedangkan tambahan fiksi romantis yang dituangkan ke dalamnya tidak mengaburkan tujuan pokoknya. Berbeda dengan Magnet Curhat racikan Donna ini, justru saya merasa judul itu tidak menjadi inti pokok melainkan hanyalah secuil bumbu penyedap kisah romantis yang dibangun Donna. Garis besar lebih fokus membahas percintaan tokoh utama yang katanya didaulat sebagai magnet curhat oleh lingkungan sekitarnya. Inilah yang menjadikan penilaian saya bahwa novel ini tak lebih dari novel metropop biasa yang mementingkan detail deskripsi baju dan aksesoris yang digunakan para pelakonnya serta lokasi terjadinya adegan ketimbang esensi yang 'seharusnya' disampaikan melalui judulnya yang bagi saya cukup memikat. Atow, guwe-nya aja ya yang salah napsirin judulnya. Dunno!

Drama dan konfliknya juga terlampau sederhana. Karakter tokoh utamanya, Chenoa Rosa, lebih mirip campuran antara menggemaskan dan menyebalkan. Betapa tidak, hampir di keseluruhan halaman Chenoa kelihatan bingung, bimbang, dan selalu banyak pertimbangan sehingga saya jadi heran sendiri, apa yang membuat tokoh seperti ini bisa dipercaya orang lain untuk menjadi tempat curhat? Dan, oh, Chenoa ini sudah menjadi magnet curhat sejak lama, tapi sikapnya masih begitu-begitu saja? Kayaknya berlebihan juga kalau Chenoa disebut magnet curhat, secara yang minta curhat ke dia cuman segelintir orang doank. Ceilahhh, narsis bener minta dianggep magnet curhat. Mungkin, ini karena dalam bayangan saya, hidup si tokoh magnet curhat ini akan terus dirubung banyak orang yang seolah tertarik ingin menumpahkan segala unek-uneknya pada si tokoh ini. Pada kenyataannya, dalam novel ini klien Chenoa tidak sebanyak dalam angan saya.

Terlepas dari ide magnet curhat-nya yang ternyata sekadar tempelan, kisah fiksi romantisnya sendiri hadir tanpa menawarkan orisinalitas. Klise, khas novel-novel metropop kebanyakan. Tokoh ceweknya berkarakter biasa saja, nggak punya pengalaman pacaran, dimana dari sekadar tabrakan tiba-tiba ditaksir cowok pujaan yang guanteng buanged. Meskipun di akhir kisah dibeberkan kenapa si cowok jatuh cinta, ke-klise-an ini telanjur merusak khayalan romantisme ciptaan Donna ini. Adegan berkirim email-nya agak mirip film You’ve Got Mail-nya Meg Ryan – Tom Hanks, dan misteri hubungan antara Stefan, sang cowok guanteng buanged, dengan Benni (salah satu tokoh pendamping utama) sudah seperti plot sinetron, gampang ketebak dan lebayyyyyy. Logika cinta tak terucap di antara Chenoa – Stefan juga kurang dapet geregetnya. Dan, saya agak terganggu dengan dijadikannya novel ini sebagai ajang promosi Donna atas novel tulisannya yang lain, Resep Cherry. Meskipun saya belum membaca Resep Cherry, tapi saya yakin beberapa part yang melibatkan Resep Cherry di sini pasti diambil dari novel itu. Maaf, tapi bagi saya ini seperti iklan softdrink dalam sebuah film yang ditampilkan secara kasar. Kurang nge-blend.

Maka, saya sampai pada simpulan, bahwa bagi saya pribadi novel ini gagal tampil sebagai novel metropop yang ciamik, tidak memberikan hal baru, bahkan ending-nya tidak membekaskan kesan sedikit pun. Namun demikian, pujian tetap saya lontarkan pada material cover dan pilihan warnanya yang bagus.

Sinopsis (cover belakang)
Curhat memang mengasyikkan---tapi tidak bagi Chenoa Rosa. Statusnya yang masih single tidak menghalangi mereka yang sudah berumah tangga untuk curhat padanya. Julukan Magnet Curhat pun disandangnya dengan enggan. Toh Chenoa juga punya tempat curhat---sahabat emailnya nan misterius, Excalibur alias X.

Setelah berbulan-bulan, Chenoa akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai asisten pribadi. Seakan hidupnya kurang rumit saja, ia jatuh cinta pada Stefan, cowok yang lebih muda, yang bekerja paruh waktu sebagai satpam dan sopir.

Jati dirinya sebagai magnet curhat teruji ketika ia menyimpan sebuah rahasia. Apa Chenoa akan tetap memegang teguh rahasia yang dipercayakan padanya, meskipun dengan demikian Stefan akan menjauh darinya?

Sunday, March 28, 2010

Kembali ke Fitrah

Blog ini akan saya khususkan untuk karya-karya tulis fiksi bergenre metropop-chicklit-teenlit



Saya bukan sedang membicarakan hari raya Idul Fithri. Saya hanya sedang berangan-angan untuk mengembalikan blog ini ke rencana awal saya dulu yaitu membuat blog yang "khusus" menampilkan resensi atau hal-hal lain seputar novel metropop yang merupakan line urban-romance novel ciptaan penerbit raksasa Gramedia.

Awalnya, saya merasa tak masalah juga memasukkan resensi buku lain dalam blog ini, toh saya tetap meresensi buku, bukan meresensi yang lain. Namun, demi menyadari betapa pentingnya konsistensi dan ketabahan sebagaimana yang ditunjukkan teman-teman pengelola blog fiksi fantasi Indonesia di fikfanindo, saya sungguh tergugah dengan komitmen mereka yang hanya me-review novel-novel fantasi buatan penulis dalam negeri, padahal saya tahu mereka juga melahap novel-novel fantasi impor.

Maka, saya pun kemudian mengidentifikasi keteledoran saya. Alamat blog ini cukup gamblang menyebutkan jati diri yang seharusnya saya ikuti. Sudah sepatutnya judul mencerminkan isi. Apa jadinya misalnya saya ketemu alamat situs buah-jeruk.com tapi isinya juga membahas anggur, kan nggak matching juga. Oleh sebab itu, saya ingin mengembalikan haluan blog ini ke arah tujuan semula, yaitu memberikan resensi pada novel-novel yang tergabung dalam line metropop terbitan Gramedia. Namun demikian, pembatasan ini akan saya perlebar sedikit yaitu bahwa selain metropop, saya masih akan menampilkan resensi novel-novel romance yang oleh penerbit (atau pihak lain, termasuk pembaca kebanyakan) dikategorikan chicklit atau teenlit. Sedangkan novel romance yang cenderung agak nyastra dan berunsur dewasa akan saya alihkan ke blog saya yang lain.

Baiklah, kalau begitu sekalian saja saya perkenalkan blog saya yang baru, yang saya buat untuk menampung semua koleksi buku-buku saya. Termasuk novel-novel bergenre metropop-chicklit-teenlit yang saya resensi di blog ini. Semacam perpustakaan pribadi. Blog baru tersebut saya beri nama Perpustakaan Ijul, yang beralamatkan di http://perpusnya-ijul.blogspot.com. Saya hanya sanggup mengemas angan bahwa dua blog buku ini mampu menyemaikan minat dan kecintaan saya akan buku.

Terima kasih, bagi yang sudah (sedang dan akan) berkenan berkunjung ke blog-blog saya.

Thursday, March 18, 2010

Resensi Novel Cerita Anak: Marianne Musgrove - The Worry Tree (Pohon Cemas)

Jangan biarkan kecemasan menguasaimu



Judul: The Worry Tree (Pohon Cemas)
Penulis: Marianne Musgrove
Penerjemah: Dini Andarnuswari
Pewajah Isi (Ilustrator?): Aniza Pujiati
Penerbit: Atria (PT Serambi Ilmu Semesta)
Tema: Cerita anak-anak
Tebal: 110 hlm + 18 hlm tambahan
Harga: Rp19.900 (situs Atria)
Rilis: Desember 2008 (cet. 1)
Lokasi Pembelian: IBF 2010 (disc 20%)

Saya termasuk seseorang yang tumbuh dengan watak pencemas, meskipun sebenarnya kata cepat-panik lebih mewakili pribadi saya ketimbang sekadar cemas. Gampang gugup, minder-an, dan gak pede. Itu semua, tentu saja, ujung-ujungnya merepotkan diri sendiri, karena apapun yang saya lakukan/ucapkan dalam keadaan panik, jelas makin memperparah kondisi saya.

Berangkat dari pengalaman pribadi itulah saya mencomot novel anak-anak ini dari stan Serambi di Islamic Book Fair 2010 yang digelar beberapa waktu lalu. Saya terhipnotis pada judulnya dan harapan adanya saran penulisnya tentang bagaimana mengatasi masalah kecemasan ini.

Awalnya saya berasumsi akan ada sedikit pernik fantasi-magic dalam novel ini jika melihat ilustrasi sampulnya (depan-belakang) bergambar sebuah pohon yang di beberapa cabangnya “nangkring” hewan-hewan yang sebagian mustinya tidak bisa berada di situ. Ada wombat, kambing, burung merak, anjing, babi, dan bebek. Imajinasi saya langsung terbang ke dunia fabel, dengan mengira-ira bahwa para binatang tersebut pasti bisa berbicara. Ternyata, saya keliru.

Gambar pohon beserta para “penghuninya” itu aselinya, dalam cerita, ya tetap sebuah gambar/lukisan di tembok kamar seorang gadis cilik berusia 10 tahun yang mempunyai sifat gampang merasa cemas (khawatir berlebihan). Gadis cilik itu bernama Juliet Jennifer Jones, yang apabila digunakan untuk menandai kepemilikan atas suatu barang disingkat sesuai inisialnya, JJJ. Penyingkatan ini menjadi terasa manis karena selalu diberikan perumpamaan oleh penulisnya, misal: JJJ – persis seperti tiga kail ikan berjajar (hlm: 6), atau JJJ – seperti ekor tiga monyet sedang berjajar (hlm: 24), atau JJJ – seperti tiga tongkat terbalik berjajar (hlm: 63). Cantik sekali perumpamaannya.

Kisahnya sendiri sangat sederhana, lugu, dan menggemaskan. Benar-benar khas kanak-kanak. Tema hanya seputar kegelisahan seorang gadis kecil yang mulai mampu mencerna apapun yang terjadi di dunia ini, yang ditangkap oleh panca inderanya. Dimulai dari kekesalan akan gangguan adiknya yang jahil, kecemburuan teman lama ketika Juliet hendak menjalin persabahatan dengan teman baru, tindakan bullying yang dilakukan anak laki-laki bandel di sekolahnya, hingga perasaan menyalahkan diri sendiri karena orangtuanya bertengkar. Pada bagian ini saya terenyuh sekali. Berikut saya kutip paragrafnya (hlm: 86):
Gagasan itu membuatnya sedih, tetapi dia tahu itu akan memecahkan semua masalah mereka. “Stop!” serunya sambil berdiri. “Semuanya berhenti! Ini semua salahku, tetapi aku tahu cara menyelesaikannya.”

Duh! Seketika itu saya ikut merasakan beban berat yang terpanggul di pundak Juliet, gadis cilik itu, yang sedih karena melihat masing-masing anggota keluarganya mulai bertengkar dan saling menyalahkan. Adegan lain yang tak kalah harunya adalah ketika Juliet berusaha mendamaikan dua temannya yang saling berkompetisi meraih simpatinya. Gadis sekecil itu, kok bisa, ya?

Namun, jangan dipandang begitu “lapang-dada”nya si Juliet, karena pada dasarnya dia adalah anak yang selalu mengalami ruam-gatal jika dilanda kecemasan. Apalagi kalau sudah menghadapi adik kecilnya, Ophelia – Oaf, yang super ganggu dan cerewet, atau perasaan tak berdaya ketika di’gencet’ oleh cowok bengal di sekolahannya. Nah, berkat cerita dan bantuan dari Nana, neneknya, Juliet mulai mampu mengendalikan kecemasannya dengan menggantungkan rasa cemasnya itu di pohon cemas. Untuk mengetahui bagaimana caranya, silakan disimak di bukunya langsung ya…:)

Pada saat hampir bersamaan, bahkan lebih dulu start-nya malah, saya juga membaca novel fantasy klasik anak-anak berjudul Alice in Wonderland (Lewis Carrol). Namun, jika membandingkan keduanya, saya justru lebih mudah dan nikmat melahap habis Pohon Cemas ini. Hal tersebut tentu saja karena unsur kesederhanaan cerita dan aliran plot yang runut dan gampang diikuti. Saya tak perlu berkerut-kerut demi memikirkan beragam teka-teki yang dilontarkan tokoh utama. Semuanya dilajukan pada jalan tol yang mulus dan bebas hambatan. Tenang. Menghanyutkan. Namun demikian, novel ini tetap berwarna dengan serangkaian kondisi (konflik) yang dihadapi oleh Juliet.

Bagi pembaca anak-anak, novel ini dapat memberikan contoh bagaimana mengatasi masalah dan berhenti untuk mencemaskan segala hal. Sedangkan bagi para orangtua juga dapat mengambil pelajaran untuk tidak menggelar pertunjukan adu mulut (bahkan sampai adu jotos) di depan anak-anak, karena akan membawa dampak traumatik yang bisa saja sampai pada tahap serius. Dalam kasus di novel ini, timbul perasaan bersalah pada si anak karena menyangka mereka-lah penyebab cekcok kedua orangtuanya itu. Bagus, kalo si anak bisa seperti Juliet yang dengan lantang menyuarakan perasaannya. Bagaimana jika si anak yang melihat pertengkaran orangtuanya itu tipe anak tertutup, bisa-bisa si anak makin tertekan dan suatu ketika meledak, membawa dampak negatif yang luar biasa besar.

Maka, yang bisa saya sampaikan, untuk Anda sekalian yang sudah dianugerahi momongan, agar selalu dapat menjaga proporsi yang tepat dalam setiap pengambilan keputusan bersama pasangan Anda dalam biduk rumah tangga.

Baiklah, selamat membaca, temans!

Wednesday, March 3, 2010

(2010 - 7) Resensi Novel Metropop: Ilana Tan - Spring in London

Nggak terasa musim seminya...!



Judul: Spring in London
Penulis: Ilana Tan
Editor: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta, Persahabatan, Konflik masa lalu
Tebal: 240 hlm
Harga: Rp38.000 (Toko), Rp33.150 (inibuku) ---> Beli
Rilis: Pebruari 2010

Naomi Ishida adalah gadis blasteran Jepang - Indonesia yang tinggal dan berprofesi sebagai model di London, Inggris (Jika Anda membaca Winter in Tokyo, maka Anda dengan mudah akan mengetahui siapa itu Naomi. Ya, Naomi adalah saudara kembar dari Keiko, tokoh utama di Winter in Tokyo). Suatu ketika, Naomi mendapat kesempatan menjadi model video klip musik salah satu penyanyi terkenal asal Korea dimana ia dipasangkan dengan model tampan asal Korea juga, Jo In-Ho atau yang lebih dikenal Danny Jo. Dari mula, Naomi sudah bersikap dingin menghadapi Danny yang mencoba segala cara untuk mendekatinya. Namun, seperti juga tetesan air yang mampu membuat ceruk di karang yang kokoh sekalipun, kegigihan Danny lambat laun meruntuhkan dinding pembatas yang diciptakan oleh Naomi sehingga keduanya dapat menjalin "pertemanan" yang harmonis, meskipun kemudian ada sosok Miho yang merangsek masuk ke dalam hubungan mereka.

Maka, terjadilah tarik ulur di antara Naomi - Danny - Miho. Hubungan mereka pun pasang surut, sebentar panas sebentar dingin. Belum tuntas persaingan Naomi - Miho memperebutkan Danny, justru hadir orang dari masa lalu Naomi yang memorakporandakan jalinan kasih yang tinggal sedikit lagi terbina. Apakah akhirnya Naomi dan Danny dapat bersatu? Masa lalu macam apa yang membuat Naomi begitu ketakutan? Apa hubungan kakak laki-laki Danny dengan masa lalu Naomi? Lalu bagaimana dengan usaha Miho memperjuangkan cintanya pada Danny?

Tentu saja, Anda harus menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan membaca Spring in London karya Ilana Tan ini (buku seri musimnya yang terakhir-kah?). Awalnya saya tertarik pada Autumn in Paris (buku #2) yang meskipun mengecewakan tapi tidak menyurutkan niat saya membaca Winter in Tokyo (buku #3). Nah, berkat buku ketiga-nya saya justru penasaran dengan buku pertamanya, Summer in Seoul, sehingga lengkaplah tiga buku seri musim karya Ilana sudah saya rampungkan membacanya. Ternyata, masih ada satu lagi yang terbit (tentu saja, dari empat musim memang masih kurang satu lagi yang belum menjadi setting) di bulan Pebruari 2010, maka saya menyampirkan asa di ketinggian langit bahwa Spring in London akan menyajikan drama-romantis yang menggetarkan.

Namun, pada kenyataannya saya agak kecewa dengan yang ini. Lebih kecewa ketimbang sehabis membaca buku Autumn atau Summer-nya. Yang pertama kali saya soroti adalah minimnya konflik yang diciptakan Ilana di sini. Konflik yang terasa hanya tentang tarik-ulur perasaan antara Naomi dan Danny pada keseluruhan novel setebal 240 halaman ini. Hadirnya tokoh Miho untuk memberikan efek tegang cinta segitiga di novel ini justru kurang greget, karena meskipun telah jelas-jelas dinyatakan sikap Miho yang akan, katakanlah, berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapatkan cinta Danny, tidak dinampakkan antusiasme dan semangat kompetisi sehingga Miho terkesan selayaknya singa tanpa taring dan cakar. Terlihat gahar, padahal nggak bisa apa-apa. Beban masa lalu yang menjadi bandul pemberat bobot masalah dalam perjalanan cinta Naomi - Danny juga saya pikir kurang "boom" begitu. Jadi, ketika masa lalu itu dibongkar saya hanya bisa melongo dan bilang, "...eh, gini doank?"

Setiap penulis memang perlu menegaskan keunikan dan kekhasan masing-masing, dan Ilana berhasil "menyihir" fans setia-nya, setidaknya dalam seri novelnya ini, dengan menjadikan musim sebagai latar dan judul masing-masing novelnya. Ilana juga berhasil membuat keterkaitan antara satu novel dengan novelnya yang lain, meskipun cuman sekadar basa-basi belaka. Saya pikir, basa-basi itu pula yang mengikat kepenasaran dari pembaca serialnya. Pembaca yang sudah rampung dengan satu novelnya kemudian bertanya, siapa yang muncul di novel berikutnya, apakah hubungan tokoh di novel ketiga dengan tokoh di novel pertama, dan sebagainya. Hal tersebut membuat pembaca yang terhipnotis pada salah satu judul novelnya menjadi kurang lengkap jika belum menggenapi-baca kesemua musimnya. Dengan demikian, Ilana juga memperoleh keuntungan lain yaitu dapat membangun fans pembaca yang akan selalu setia menanti karya-karyanya.

Tetapi, keunikan Ilana justru tidak dibarengi dengan ragam olahan plot dan konflik yang mengagumkan. Entah disengaja atau bagaimana, plot gampang sekali tertebak. Dua orang asing, bertemu dalam satu frame, saling menghindar, berkenalan, menjalin hubungan, dan akhirnya jatuh hati. Karakter para tokohnya pun seragam. Too perfect. Too good to be true. Lebih "ngayal" dibanding tokoh-tokoh sinetron yang sering dihujat.

London, adalah kota impian saya. Menempati urutan pertama dalam daftar kota di luar negeri yang ingin saya kunjungi, sehingga tak heran saya sangat "berselera" dan bersemangat untuk sergera merampungkan-baca novel ini. Bayangan saya akan keindahan negeri dongeng raja dan ratu serta Harry Potter yang populer banget, apalagi dalam balutan musim semi yang sejuk, nyatanya tidak begitu terasa. Ilana terlalu sibuk membangun hubungan aneh antara Naomi dan Danny yang sayangnya juga tidak berkesan bagi saya. Maka sepanjang novel, saya hanya disuguhi jalinan cerita tentang seorang laki-laki yang mati-matian menarik minat seorang gadis yang nggak jelas maunya apa (di mata si lelaki). Sentilan masalah yang dilontarkan menjelang titik kulminasi terbongkarnya masa lalu Naomi hanya memberi efek tegang sesaat, begitu materi masa lalunya dibeberkan, saya tersenyum kecut dan jelas-jelas kecewa. Masa lalu yang biasa untuk menjadi sebuah pengungkit kejadian traumatik.

Yang juga terlihat kurang bagus di detail adalah usaha Ilana untuk menunjukkan bahwa setting cerita ada di kota-nya Lady Di. Seingat saya hampir tak secuil pun ada kalimat dalam bahasa Inggris - yang agak janggal bagi novel urban modern masa kini- (yang beberapa kali saya tunggu, untuk sekadar mengingatkan bahwa kita sekarang ada di London). Dan, usaha Ilana untuk meng-Inggris-kan novelnya hanya dari seringnya dia mengunakan idiom "Oh, dear" yang memang khas Inggris banget. Sayang, bagi saya pribadi, konsistensi penggunaan idiom itu menjadi satu yang agak annoying akhirnya. Kelihatan sekali bahwa Ilana ingin mengesankan si tokoh ada di negeri Britania Raya. Too bad! Nggak sukses! Kalau sempat iseng, hitunglah berapa kali kata oh, dear itu muncul (catatan saya: 13 kali).

Entah saya-nya yang sudah kadung "diracuni" infotainment di televisi/majalah/tabloid atau situs gosip sehingga saya selalu terdoktrin bahwa artis/selebritis itu paling tidak ada saja wartawan yang menguntit mencari berita sensasi tentang diri si artis. Nah, kenapa saya tidak mendapati sedikit saja sensasi glamor dari kehidupan Naomi - Danny, yang ceritanya Naomi pernah ikut London Fashion Week dan Danny yang adalah bintang iklan favorit di Korea? Oh, come on, di sini saja
(baca: Indonesia) ada banyak majalah dan tabloid yang isinya artis-artis Asia timur (Korea, Jepang, China, Taiwan, Hongkong), apakah di negeri mereka sendiri mereka tidak diberitakan? Berarti mereka bukan artis yang ngetop-ngetop amat ya...

Yang saya suka dari gaya bercerita Ilana adalah caranya mengambil point of view yang bergantian antara Naomi dan Danny, meskipun kata ganti yang digunakan tetap orang ketiga. Kadang, pada satu peristiwa diulas dari dua sudut yang berbeda, sudutnya Naomi dan sudutnya Danny. Sayang, yang seperti itu tidak konsisten dilakukan oleh Ilana. Justru tiba-tiba cara penceritaan itu dilewatkan tokoh lain yang sebelum dan sesudahnya hanya mempunyai porsi figuran/cameo belaka. Satu hal yang juga tidak masuk dalam takaran selera saya karena dengan demikian sang narator menjadi plin-plan, suatu ketika serba tahu, di lain kesempatan berpura-pura misterius. Nggak banget deh!

Kesalahan teknis percetakan juga banyak sekali, ya ampun... saya sampai harus mengelus dada dan berusaha menyabar-nyabarkan diri. Kata hati saya memberi nasihat, "ketikan yang kacau nggaka kan bikin cerita yang bagus jadi amburadul," yang sayangnya sama sekali tidak berguna bagi saya yang menyukai karya tulis yang diproduksi secara cermat. Karya tulis yang menghargai ke"awwam"an dari pembacanya (seperti saya), sehingga meminimalisai segala bentuk kesalahan cetak agar tidak mengurangi kenyamanan dalam membaca. Berikut adalah beberapa kesalah ketik tersebut:
(hlm: 12) ---> mmebuat saya bingung, Danny: Nuna harus bicara dengan Ibu, Anna: ...apa yang harus kubicarakan dengan Ibu?, Danny: Nuna, aku harus benar-benar bicara dengan Ibu. Nah, jadi sebenarnya dalam dialog ini Danny ingin minta tolong kakaknya untuk bicara dengan ibunya, atau akhirnya dia memutuskan untuk bicara sendiri pada ibunya? membingungkan.

(hlm: 13) Nuna tahu, akhir akhir aku sangat sibuk.... ---> tidak kah sebaiknya ditambahkan kata "ini" setelah kata "akhir-akhir"?

(hlm: 16) ....membuatmu merasa seperti di melayang di angkasa.... ---> seharusnya kata "di" yang ada di depan kata "melayang" dihilangkan.

(hlm: 34-35) salah satu contoh kelemahan Ilana adalah diksinya yang terbatas, dia gemar sekali mengulang-ngulang kalimat, salah satunya adalah: "...terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas." Kalimat ini hampir-hampir sering sekali digunakan Ilana di sepanjang novel ini.

(hlm: 112) kalimat redundansi ---> Ia ingin melihat gadis itu, melihat gadis itu tersenyum.....

(hlm: 116) "Aku ingat jelas aku menanyakannya." Chris menegaskan ---> harusnya Danny di sini yang menegaskan, bukan Chris.

(hlm: 157) Chris: "Kau mau aku menyeret Miho menjauh dari Danny?", Miho menggeleng. "Tidak apa-apa , Chris...." ----> harusnya yang menggelang adalah Naomi.

.............dan rasanya masih ada buanyakkkkk lagi kesalahan teknis cetak yang lainnya.

Maka, perpaduan antara segepok kesalahan teknis, minimnya konflik yang merangkai cerita, goyahnya beberapa karakter kunci, skenario klise yang gampang ketebak, serta diksi yang kelewat minim dan sering berulang membuat novel ini menjadi seri terjelek dari metropop seri musimnya Ilana, menurut saya pribadi. Semoga saja, di novel berikutnya Ilana lebih bisa mengeksplorasi tema dan plot yang berbeda sehingga dapat menyuguhkan novel yang tetap romantis namun berbobot.

Okay...selamat membaca, kawan!

Sinopsis (cover belakang)
Gadis itu tidak menyukainya. Kenapa?

Astaga, ia—Danny Jo—adalah orang yang baik. Sungguh! Ia selalu bersikap ramah, sopan dan menyenangkan. Lalu kenapa Naomi Ishida menjauhinya seperti wabah penyakit? Bagaimana mereka bisa bekerja sama dalam pembuatan video musik ini kalau gadis itu mengacuhkannya setiap saat? Kesalahan apa yang sudah dia lakukan?

Bagaimanapun juga Danny bukan orang yang gampang menyerah. Ia akan mencoba mendekati Naomi untuk mencari tahu alasan gadis itu memusuhinya.

Tetapi ada dua hal yang tidak diperhitungkan Danny. Yang pertama adalah kemungkinan ia akan jatuh cinta pada Naomi Ishida yang dingin, misterius, dan penuh rahasia itu. Dan yang kedua adalah kemungkinan ia akan menguak rahasia gelap yang bisa menghancurkan mereka berdua dan orang-orang yang mereka sayangi.
Review dan ratingnya di Goodreads