Friday, December 16, 2016

[Book Event] BBI Jabodetabek: MARKITUKA!

Ini wishlist saya!


Yeah, tanpa banyak capcus, tiga buku itulah yang paling kepingin saya punya dan baca secepatnya. No specific reasons. Lagi kebelet aja, sih. Namun, kalau ditanya mana yang paling-paling dipingini segera dibaca, saya urutkan begini: P.S. I Like You, The Wrath and The Dawn, dan Asa Ayuni. Nah, buat giver saya di mana pun kamu berada, seandainya diperkenankan,, bolehlah ini kamu pertimbangkan pas milih buku yang bakal kamu kirim ke saya. Ya, ya, ya? Hahaha. But, semua balik ke giver saya tersayang, kok. Apa pun yang akhirnya kamu kirimkan (ketiga-tiganya juga boleh, hahaha), akan saya terima dengan lapang dada dan hati berbunga-bunga. #halah

Oiya, buat rekan lain yang penasaran apa itu MARKITUKA. Well, markituka merupakan akronim dari mari kita tukar kado, satu event 'lokal' dari teman-teman grup WhatsApp BBI area Jabodetabek. Siapa pencetus, latar belakang, et setra-et setra saya enggak tahu, hahaha. Yang jelas ketika pada satu kesempatan saya baca dan nimbrung topik perbincangan panas di grup muncullah wacana markituka itu. Sama seperti kebanyakan orang, saya pun bertanya, "Markituka apaan, sih?", lalu dijelaskan secara singkat seperti yang saya jelaskan tadi. Dan, saya tak bertanya lebih jauh lagi, saya langsung menerima tawaran untuk ikut-serta (dengan iming-iming catatan: enggak harus di-review kok bukunya, hehehe).

Aturan dasarnya simpel saja: Batas harga kado adalah Rp50 ribu - Rp150 ribu (boleh lebih); Unggah wishlist di blog atau akun goodreads (saat ini sedang saya lakukan), batas post wishlist 17 Desember (BESOK! Omagat!); Batas akhir kirim kado 15 Januari 2017; Tebak giver pengirim kado secara serentak tanggal 31 Januari 2017. Exciting, right?

Jadi, kuy... MARI KITA TUKAR KADO!

Tuesday, November 8, 2016

[Resensi Buku Metropop] Wander Woman by Nina Addison, Irene Dyah, Fina Thorpe-Willett, dan Silvia Iskandar

tidak benar-benar digunakan dalam buku #WanderWoman, tapi testimoni dari Prameshwari Sugiri, dan saya setuju dengan penempatan quote ini di testimoni-nya, pas dengan napas bukunya

First line:
Not all those who WANDER are lost (J.R.R. Tolkien).
--Prolog

"Tolkien mengatakan,“Not all those who wander are lost.” Tidak semua orang yang berkelana kehilangan arah. Tanyakan saja pada Arumi, Cilla, Sabai, dan Sofia—empat sahabat yang terpencar di berbagai negara. Dalam cerita mereka yang terinspirasi dari kisah nyata ini, “tersesat” punya makna berbeda. For them, home is never a place, but people—and sometimes even suitcases.

Kisah mereka bergulir dengan menarik dan membuat saya sebagai pembaca tak sabar untuk membalik setiap lembarnya. Inspiratif dan membuka wawasan!
—Rina Suryakusuma, penulis novel Gravity dan Falling

The best mother is the mother who adapts. Melalui keseharian empat sahabat ini, kita diajak mengingat salah satu kunci utama menjalankan peran seorang ibu: adaptasi.
—Prameshwari Sugiri, Pemimpin Redaksi & Pemimpin Komunitas Ayahbunda & Parenting Indonesia

Kisah para istri yang “dipaksa” hidup nomaden ini membuka mata mengenai budaya dan gaya hidup di luar Indonesia, dilihat dari kacamata orang-orang Indonesia.
—Susan Poskitt @pergidulu, travel writer"

Goodreads (06/11/2016 at 21.23 PM):

Judul: Wander Woman
Pengarang: Nina Addison, Irene Dyah, Fina Thorpe-Willett, dan Silvia Iskandar
Penyunting: -
Penerbit: Gramedia
Tebal: 360 hlm
Rilis: 19 September 2016
Genre: semi-fiksi
ISBN: 978-602-03-3375-5
My Rating: 3,5 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya
Seperti bisa dibaca di bagian Prolog dan Ucapan Terima Kasih di bagian belakang, buku ini ditulis (dan disusun) berdasar sekelumit kisah hidup senyatanya dari keempat pengarang. Perempuan. Istri. Ibu. Ekspat. Suka-duka tinggal di luar negeri. Secara gamblang di bagian Prolog, para pengarang menyatakan, "Mereka berempat hanyalah wanita-wanita biasa yang berusaha tetap waras dan bahagia, berusaha tidak tersesat dibawa berkelana tinggal di berbagai negara".

Saya tak bisa menyebut buku ini sepenuhnya non-fiksi atau fiksi, maka saya mengategorikannya "semi-fiksi". Ada elemen-elemen nyata dari pengalaman masing-masing saat bergulat dengan gegar-budaya di negara yang mereka tinggali, tapi ada pula kemasan fiksi dari racikan diksi dan narasi yang digunakan. Oleh karenanya, saya pun memberi judul "Resensi Buku Metropop" alih-alih #novelMetropop.

Buku ini terdiri dari empat cerita. (agak) Berkaitan, tapi enggak nyambung. Kalaupun iseng disobek jadi empat bagian, ceritanya bisa berdiri sendiri-sendiri. Kita tidak akan kebingungan meskipun hanya membaca satu bagiannya saja. Bahkan satu bagiannya pun bisa terdiri dari subbagian lain yang tidak langsung berkaitan. Jadi, jangan mengharapkan cerita bakal runut, semua serba lompat-lompat. Mungkin karena keempat pengarang memilih menceritakan pengalaman mereka tinggal di lebih dari satu negara (kecuali Sofia yang dikisahkan hanya tinggal di Australia saja). Itu pula yang membuat buku ini (jika dipaksakan berunsur fiksi) tak bisa disebut novel. Lalu, di setiap akhir subbagiannya tersedia Fun Facts yang sebagian besar memberi penjelasan (latar belakang) atas ceritanya. Some of them are (quite) interesting, but mostly they're boring.

kesan per bagian
Cilla: Amerika Serikat - Skotlandia by Nina Addison
Surprisingly, my least favorite part of the book. Entah memang ditulis dalam nuansa buru-buru atau dasar karakter para tokohnya, saya kurang bisa larut dalam kisah Cilla dan suaminya, Will, dan kedua anaknya, Alex dan Emily. Pada bagian ini saya sempat komplain di Twitter soal tokoh Cilla yang Indonesia dan para native-nya yang, kok, ya ngindonesia banget. Berharap, minimal, ketika berdialog para native-nya ya terasa native bukan malah kayak orang Indonesia. Bahasa Jawa nyebutnya wagu. Kenikmatan menyerap info lucu dalam kisah Cilla jadi kurang menyenangkan. Oh, well, cerita tentang suka-duka mendapatkan SIM di Skotlandia seru juga, sih.

Aberdeen di bulan Desember adalah tempat yang lebih dingin daripada suhu kulkasmu.
Sabai: Inggris Raya - Korea by Fina Thorpe-Willett
And, this one is my second least favorite. Masalahnya hampir serupa dengan Cilla, tokoh dan para native-nya campur-aduk. Padahal, saya sudah bersiap menikmati London dari dekat. Sabai dan suami, Mark, serta tiga anak mereka: Lexie, Emma, dan Ariana, seharusnya bisa bikin saya baper soal London. Sayang, kurang menyenangkan juga. Catatan: cerita soal Sabai yang hampir kena tuntutan karena parkir mobil sembarangan di Korea bikin saya cengengesan sendiri.

setiap melihat bus tingkat merah melintas (di jalanan London), rasanya ingin melompat naik dan ikut ke mana pun benda itu pergi.
Sofia: Australia by Silvia Iskandar
Mood baca saya mendadak naik begitu mendapati bagian Sofia ini. Diksi dan narasinya pas dengan selera saya. Paduan budaya dari cara berkomunikasi para tokohnya juga sudah sesuai harapan. Konflik (jika bisa disebut begitu) juga lumayan kompleks. Sedikit banyak saya mendapat pemahaman seputar layanan kesehatan dan pendidikan di Australia. Di bagian ini saya juga menyukai fun facts yang disertakan. Cerita Sofia, Ronald (suami), dan Celly (anak) bisa saya nikmati dalam kapasitas yang cukup. Berulang kali saya tergelak sembari memonyongkan bibir membentuk kata "O" besar setiap mendapat info terbaru tentang apa pun dari negeri Kanguru itu. Well done, Silvia. Saya jadi pengin baca karya Silvia yang lain. Masukin keranjang wish-list dulu, deh.

waktu menunjukkan pukul setengah lima sore dan matahari musim semi (di Sydney) masih bersinar terang.
Arumi: Jepang - Thailand - Indonesia by Irene Dyah
This is my most favorite part of the book. Semua kekurangan dari kisah-kisah sebelumnya berhasil dihindari oleh Irene. Semua unsur cerita ada di sini. Karakter, setting lokasi, konflik, ornamen khas fiksi dan diksinya sukses membuat saya bersemangat merampungkan-baca buku ini. Arumi dan Yuza, suaminya, serta kedua anak mereka, Raya dan Tahlia, bercerita dengan penuh rasa di tiga tempat berbeda. Well, tanpa banyak kata, cukup: please, Irene, buat dong novel dari kisah Arumi sekeluarganya ini. Would love reading it.

demo di Bangkok amaaan. mai pen laaai. kalau demonya rusuh, orang Bangkok juga yang rugi. jadi kita protes dengan cara meriah dan damai saja. dari rakyat untuk rakyat.
Pada dasarnya kesemua bagiannya memang berkisah tentang beragam warna kehidupan di negeri orang. Kebiasaan nomadik tak jarang bikin senewen. Sekalinya berhasil beradaptasi, takdir menentukan lain, mereka harus berpindah ke tempat baru. Oh, kalau hanya para ibu, sih, mungkin masih tak terlalu memusingkan. Namun, ada anak-anak yang berjuang sedemikian keras agar bisa beradaptasi. Di situlah peran para #WanderWoman ini paling diuji. Sanggupkah para ibu menuntun putra-putri mereka melalui masa-masa sulit penyesuaian diri? Temukan jawabannya dengan membaca buku ini, ya.

Secara teknis, masih ada beberapa typo yang terlewat. Justru di bagian Arumi yang banyak typo-nya, huhuhu. Saya juga berharap format buku ini makin kental nuansa fiksinya. Plus, lompatan antarsubbagiannya tidak sedemikian drastis. Contohnya kisah tentang Cilla yang awalnya tinggal di Houston, AS, kemudian diceritakan sudah berada di Skotlandia. Tak ada jembatan antara yang menjelaskan lompatan setting-nya itu. Namun, lagi-lagi saya menyukai bagian Arumi. Lompatannya tidak terlampau drastis dan bahkan ada jembatan antara yang cukup untuk menjelaskan mengapa Arumi sekeluarga akhirnya kembali ke Indonesia.

Oke, selamat membaca tweemans.

End line:
Mari kita pulang, Nak. Mama akan bikin bakwan kesukaanmu...

Tuesday, October 18, 2016

[Resensi Novel Romance] Last Forever by Windry Ramadhina

First line:
Dia menyelinap turun dari tempat tidur.

“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel

“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana

Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
Goodreads:

Judul: Last Forever
Pengarang: Windry Ramadhina
Penyunting: Jia Effendie
Penerbit: Gagas Media
Tebal: vi + 378 halaman
Rilis: 20 Oktober 2015
ISBN: 9789797808433
Rating: 2,5 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya:
Sebagaimana telah dinyatakan dengan cukup jelas di sinopsis (blurb)-nya, Last Forever berkisah tentang dua tokoh antikomitmen yang justru harus tunduk pada komitmen. Dalam perjalanannya, konflik ini dibumbui perang batin masing-masing (terutama menyangkut prinsip hidup dan karier) ditambah kisah hidup orang terdekat mereka yang sedikit-banyak memberi pengaruh bagi pengambilan keputusan.

Namun, ya, begitu saja. Tak seperti Memori atau Interlude atau Walking After You atau London: Angel yang memberi kesan begitu mendalam dan kompleks, Last Forever selesai begitu saja. Hampir tak ada rasa yang membekas ketika saya membalik halaman terakhirnya. Bahkan, ending-nya pun terasa... ya, begitu saja. Tidak ada ledakan yang mengejutkan. Tidak ada lelehan manis yang memabukkan. Entahlah, kali ini saya dicukupkan hanya pada kenikmatan diksi racikan Windry Ramadhina yang, seperti biasa, demikian indah.


meet cute:
Kedua tokoh utama sudah saling mengenal sehingga tak ada adegan perkenalan bernuansa romantis, paling hanya ketika salah satu tokoh membuka lembar ingatan saat mereka kali pertama bertemu dalam sebuah event di Cannes.

plot, setting, dan karakter:
Last Forever beralur maju, dengan beberapa bagian para tokohnya memutar kenangan masa lalu dalam rangka pengembangan konflik atau penguatan karakternya.

Last Forever ber-setting waktu modern (masa kini tanpa penyebutan tahun secara pasti) dengan setting lokasi: Jakarta, Flores, dan Washington. Sebagian besar cerita terjadi di Jakarta tapi Flores adalah lokasi sumber konflik. Oleh karena latar belakang para tokohnya, ada sedikit gaya penceritaan kisah perjalanan (traveling) di lokasi-lokasi tersebut.

sumber: travel.kompas
Tokoh utamanya adalah Lana dan Samuel Hardi. Keduanya sama-sama pekerja seni, lebih tepatnya pembuat film dokumenter. Lana adalah kru National Geographic yang berkantor di Washington sedangkan Samuel Hardi adalah pemilik studio film Hardi di Jakarta yang kerap jadi langganan partner Nat Geo. Lana adalah tipe easy going, supel, ramah, tapi juga ambisius. Samuel justru kebalikannya: kaku, dingin, perfeksionis, sekaligus playboy. Keduanya memiliki persamaan: antikomitmen dan tak percaya pada institusi pernikahan. Di sekitar keduanya ada Pat (rekan kerja Lana di NatGeo), Rayyi (kolega Samuel), Ruruh Rahayu (ibu Lana), William Hart (ayah Lana), Nora (asisten pribadi Samuel), dan beberapa tokoh pendukung lainnya.

konflik:
Well, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konfliknya cuma satu: perang batin dua tokoh antikomitmen. Lana dan Samuel digambarkan sebagai dua pekerja kekinian yang hampir-hampir tak lagi terikat adat ketimuran. Keduanya memilih berhubungan tanpa status, tanpa komitmen, dan mungkin (awalnya) tanpa cinta.

Ini juga yang membuat saya agak terganggu selama proses pembacaan. Tumben banget, Windry membuat tokohnya sedemikian bebas. Pun, orang-orang di sekitar mereka seolah-olah mengamini dan mendukung mereka. Hanya ibu Lana saja yang sepertinya berkeberatan meskipun hanya sejenak. Namun, ini murni preferensi pribadi saya saja. Mungkin saya kolot, mungkin saya tidak open-minded, hanya saja saya selalu dan terus berharap para pengarang tetap berupaya mengampanyekan hal-hal baik, minimal yang telah disepakati secara umum.

Bumbu konflik utama minim sekali. Poros bumi sepertinya hanya berpusar pada Lana-Samuel. Sumbangan subplot yang paling terasa hanya pada rahasia kehidupan pernikahan orangtua Lana. Selebihnya hanya remahan yang melingkupi tarik ulur antara Lana dan Samuel. Karenanya saya sampai membaca-cepat alias skimming dengan melewati banyak bagiannya. Entahlah, apakah ada hal penting yang akhirnya tak tertangkap radar baca saya, tapi saya rasa tidak.

ending:


catatan:
Sebagai seseorang yang bercita-cita bisa menulis dan menerbitkan buku sendiri, saya menyukai gaya menulis Windry yang tak berlagak serbatahu. Contohnya: Windry tak pernah menarasikan sesuatu yang belum terdefinisikan lewat jalan tengah seperti ketika menggambarkan warna sesuatu: kehitam-hitaman, kecokelatan, keemasan, dan sebagainya alih-alih langsung menyebut: berwarna hitam, cokelat, atau emas.

kesimpulan:
So far, Last Forever menjadi novel Windry yang paling tidak saya favoritkan, menyusul kemudian Orange. Biasanya selalu ada kesan mendalam selepas membaca karya-karya Windry, tapi saya tak mendapatinya kali ini. Selama proses pembacaan saya hanya merasa datar-datar saja. Karakter yang coba dibangun pun hanya sanggup bertahan sampai pertengahan, setelahnya tak bisa membuat saya bersimpati kepada keduanya. Pat dan Rayyi mungkin menyumbang poin untuk novel ini, tapi saya justru kepincut sama Nora. Asisten Samuel ini benar-benar menyenangkan, tampak tanpa beban, dan sepertinya bisa menaklukkan siapa saja yang dihadapinya. Maka, kali ini saya hanya menyematkan 2,5 bintang dari skala 1-5, dengan poin besar untuk diksi menawan khas Windry.

Kini, tinggal menunggu Angel in the Rain. Saya (lumayan) suka London: Angel dan berharap bisa kembali tak hanya menyukai diksinya saja tapi juga sekaligus cerita racikan Windry. Semoga! Selamat membaca, tweemans.


end line:
Bertiga, mereka melewatkan pagi.

Sunday, October 16, 2016

Murah mana: Big Bad Wolf Surabaya vs Big Bad Wolf Kuala Lumpur?

Wowsaaa… enggak sampai harus berganti tahun, panitia Big Bad Wolf (BBW) book sale akhirnya kembali menggelar pameran sekaligus penjualan buku-buku impor nan murah-meriah di Indonesia. Setelah April-Mei 2016 lalu ada di ICE-BSD, Tangerang Selatan, Oktober ini BBW book sale diadakan di Surabaya! Tuh, kan, panitia BBW pasti ketagihan menggelar book sale lagi setelah melihat animo pengunjung book sale yang di BSD kemarin itu.


Omong-omong, sebenarnya semurah apa sih buku-buku yang dijual di BBW book sale? Sekiranya dibandingkan sama yang dijual di book sale aslinya di Malaysia (Kuala Lumpur) sana, lebih murah mana, ya? Iseng-iseng saya kok ya, kepingin bikin perbandingan. Dan, beginilah perbandingan menurut versi saya.

Variabel harga:
1.       Tiket pesawat: PP Jakarta – Surabaya Rp1.200.000; PP Jakarta – Kuala Lumpur = Rp1.600.000;
2.       Penginapan (asumsi 2 malam 2 hari): Surabaya = Rp400.000; Kuala Lumpur = Rp450.000;
3.       Ongkos taksi ke dan dari Bandara Soekarno Hatta diabaikan karena sama saja.
4.       Kendaraan di tempat tujuan: Surabaya (PP bus bandara = Rp50.000, bus kota 2 hari = Rp20.000); Kuala Lumpur (PP KLIA express = Rp350.000, KTM 2 hari = Rp14.000)
5.       Untuk urusan makan dan minum juga diabaikan, ya, toh kebutuhan pokok, kan?
6.       Harga buku: di Indonesia, rerata Rp70.000; di Malaysia (RM1 = Rp3.500), rerata RM7 = Rp24.500. Asumsi bagasi pesawat gratis 20kg terisi buku, semua kurang lebih 60 eksemplar (abaikan tebal-tipis odd-regular size), maka total belanjaan buku: Surabaya = 60 x Rp70.000 = Rp4.200.000; Kuala Lumpur = 60 x Rp24.500 = 1.470.000;
7.       Jadi, total pengeluaran: Surabaya = Rp5.870.000; Kuala Lumpur = Rp3.884.000.

Nah, dari rincian kasar berdasar beragam asumsi di atas, terdapat selisih hampir Rp2 juta lebih banyak yang harus saya keluarkan jika saya memutuskan untuk berwisata buku ke Surabaya. Dan, karena saya warga Jawa Timur yang sudah beberapa kali menjelajahi Surabaya sepertinya bonus wisata kotanya pun tak seseru bonus wisata kota Kuala Lumpur.

Well, sekali lagi ini hanya iseng belaka. Sebenarnya, sih, untuk meredam rasa penasaran dan keinginan nekat berwisata buku pas BBW book sale Surabaya 2016. Jadi, buat saya, sudah yakin dan ikhlas akan melewatkan keseruan berbelanja sembari menimbun buku di BBW Surabaya ini. Namun, buat tweemans yang super-duper-penasaran atau kebetulan berdomisili dekat dengan Surabaya, ya sayang juga jika melewatkan keseruan BBW ini. Belum tentu bakal ada lagi nanti-nanti, kan?

Kamu, gimana?

Saturday, May 7, 2016

[Wisata Buku] Akhirnya Big Bad Wolf book sale digelar di Indonesia

Demam Big Bad Wolf book sale sudah saya rasakan jauh-jauh hari. Yang saya tahu, book sale yang satu ini aslinya digelar di Malaysia, berpindah-pindah negara bagian, enggak hanya di Kuala Lumpur saja. Puji Tuhan, saya memiliki beberapa kesempatan untuk mengunjunginya. Dua kali di Kuala Lumpur, satu kali di Penang, dan satu lagi di Negeri Sembilan (Seremban). [Kunjungan pertama saya share di sini] Well, enggak selalu bikin puas sih, tapi saya menikmati setiap kunjungan. Dan, dalam setiap kunjungan itu, saya selalu membayangkan bagaimana jika suatu saat Big Bad Wolf juga menggelar book sale di Indonesia, ya?


Dan... taraaa.... Enggak harus menunggu lama (bahkan enggak ada setahun dari kunjungan terakhir saya di Seremban), Big Bad Wolf benar-benar menggelar event penjualan buku di Indonesia. Bertajuk The Big Bad Wolf book sale in Jakarta, event ini justru dilaksanakan di International Convention Center, Bumi Serpong Damai (ICE-BSD) di Tangerang Selatan, bukannya di Jakarta, mulai tanggal 30 April s.d. 8 Mei 2016. Bahkan, kabarnya diperpanjang sampai dengan... 9 Mei 2016. Yeah, hanya satu hari saja sih diperpanjangnya, hehehe.

Wednesday, February 17, 2016

[Fun Games] Aku Cinta Kamu RC - Wrap Up dan Pengumuman Pemenang Tantangannya...

Holla, tweemans. Duh, sudah nungguin hasil rekap sekaligus pengumuman peserta yang berhasil melampaui tantangan dari AKU CINTA KAMU reading challenge yang saya host tahun lalu, ya? Maaf, ya, jadi molor hampir lama banget begini.


Pertama-tama, diucapkan terima kasih buat semua yang sudah mendaftar menjadi peserta tantangan membca versi @fiksimetropop. Di awal tantangan dibuka, terdapat kurang lebih 23 peserta, namun pada akhir periode reading challenge yang berhasil merampungkan tantangannya (dan membuat rekapnya) hanya 6 peserta. Hikz, banyak banget yang enggak nerusin tantangannya, ya. Enggak papa, deh, yang penting semoga tweemans tetap berhasil membaca banyak buku di tahun 2015 kemarin, ya. Enggak seperti saya yang.....uhuk.....malah baca sedikit sekali di tahun lalu.

Aturan main tantangan membacanya telah saya unggah di awal (klik di sini: www.fiksimetropop.com), dengan level tantangan dikategorikan sebagai berikut:
Aku Mengagumimu: 1-10 buku
Aku Menyukaimu: 11-20 buku
Aku Menyayangimu: 21-30 buku
Aku Mencintaimu: 31+ buku
Dan, inilah keenam peserta yang berhasil merampungkan tantangannya:
1. Luckty @ Luckty Si Pustakawin/ @lucktygs/ 61 buku  3. April @ April Silalahi  5. Afifah @ Imaginary Book Corner  
2. Rizky Mirgawati @ Ky's Book Journal  4. Mellisa A @ My Cute Mini Library  6. Dian S - Jejak Langkahku  
Sesuai dengan janji di awal peluncuran reading challenge, maka satu orang tweeman yang beruntung terpilih karena berhasil melampaui level "Aku Mencintaimu: 31+ buku" adalah...

.......selamat untuk Rizky Mirgawati yang berhasil membaca kurang lebih 75 buku sesuai kriteria. Ada voucher belanja buku senilai Rp300.000 untuk kamu. Silakan kirim data dirimu (nama, akun Twitter, dan blog) ke nomor WhatsApp 0812-1939-4808 secepatnya. Ditunggu, ya. Untuk voucher-nya sendiri minimal harus dibelanjakan separuhnya (Rp150.000) dan mohon di-Twitpic foto hasil belanjaannya diserta dengan tagar #AkuCintaKamuRC dan mention @fiksimetropop.

Untuk seluruh peserta reading challenge, tetap semangat yaaaa.... Sampai jumpa di keseruan-keseruan lainnya. Yuk, terus membaca!

Monday, February 15, 2016

[Resensi Novel Romance] Yesterday in Bandung by Rinrin Indrianie, Ariestanabirah, Delisa Novarina, Puji P. Rahayu, dan NR Ristianti


First line:
Lamat, entah dari mana, suara Lennon sampai ke telinga saya.
--Prolog

Yesterday, all my troubles seemed so far away (Yesterday, The Beatles)

Seperti lima nada membentuk satu harmoni lagu, mereka memiliki masalah dan masa lalu yang bersinggungan. Shaki, gadis Palembang dengan masalah korupsi sang ayah. Zain, pemuda desa yang gila harta dan terjebak pergaulan hitam. Tania, gadis riang yang masa lalunya kelam. Dandi, Pemuda tampan yang lari dari bayang-bayang masa lalu. Aline, pemilik kos yang menyimpan banyak misteri.

Hidup di tempat tinggal yang sama membuat mereka menyadari bahwa semua punya cerita di hari kemarin, untuk dibagi di hari ini.

Editor's Note:
Salah satu dari tiga pemenang outline terpilih pada Workshop Novel Februari 2015

Judul: Yesterday in Bandung
Pengarang: Rinrin Indrianie, Ariestanabirah, Delisa Novarina, Puji P. Rahayu, & NR Ristianti
Penyunting: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: 260 hlm
Harga: Rp 54.800
Rilis: 6 Januari 2016
ISBN: 978-602-02-7861-2
Rating: 3 out of 5 star
Buku persembahan pengarang, tidak memengaruhi resensi.

ide cerita dan eksekusinya:
Lima tokoh disatukan dalam sebuah frame ber-setting rumah indekos plus salah satunya adalah induk semang mereka. Berbeda latar belakang, berbeda masalah, namun mesti berinteraksi dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama. Idenya bagus. Tentu saja, kalau tidak, tak mungkin menjadi salah satu pemenang outline terpilih Workshop Novel yang diselenggarakan oleh Elex (sepertinya). 

Sayangnya, oleh karena sudut pandang orang pertama yang digunakan pada kelima tokoh utamanya, saya merasai perbedaan besar baik dari gaya menulis maupun kualitas tulisan masing-masing pengarangnya yang gagal nge-blend (meskipun saya tak tahu pasti siapa menulis bagian apa, saya cukup yakin per tokohnya ditulis oleh pengarang yang berbeda). Akibatnya, tak semua tokohnya berhasil dieksekusi dengan baik. Bahkan, beberapa di antaranya terkesan dihidupkan agak terlalu terburu-buru. Hal lain yang patut disayangkan, adanya aura "egoisme" pada masing-masing tokoh sehingga novel ini terkesan menyerupai kumpulan cerita bukannya novel utuh, menurut saya.

sumber: Twitter @Ariestanabirah

Tuesday, January 26, 2016

[Top Ten Tuesday - Freebie] Sepuluh novel berseri yang sudah saya beli tapi belum dibaca juga...

Top Ten Tuesday is an original feature/weekly meme created by The Broke and the Bookish. The Broke and the Bookish original title for January 26: Freebie Week! Pick a topic near and dear to your heart! Something you wished was on our official list!


Today should be a freebie week where I can post any topic outside the list. But, I kinda lost 'lil bit. So, I decide to arrange Top Ten Book Series That (Mostly) I Already Have But Don't Start Reading Them Yet. I guess it is close to Topic number 134: Top Ten Series I'd Like To Start, But Haven't Yet, which aired on 5th March, 2013. No biggie, right? I don't count the series which I already read even if only one or two books.

Okay, then, these are my Top Ten:
1. House of Night Saga by PC Cast ad Kristin Cast. I start collecting this series since I found one or two books at Periplus Book Sale long time ago, even before the Indonesian's version came out. And I still obsess to collect them all though I don't know when I start reading them.


2. Ther Melian by Shienny M.S. Because of Harry Potter series by JK Rowling, I became a newbie reader at fantasy genre. And, I heard my fellow fantasy readers said that Ther Melian tetra logy is one of the best local fantasy. I love mainstream, so I decide to buy them, though since the last time I bought Book 4--three years ago--I didn't start reading them yet. Ugh!


Monday, January 25, 2016

[Resensi Novel Young Adult] Simon vs the Homo Sapiens Agenda by Becky Arbetalli


First line:
IT'S A WEIRDLY SUBTLE CONVERSATION. I almost don't notice I'm being blackmailed.

Sixteen-year-old and not-so-openly gay Simon Spier prefers to save his drama for the school musical. But when an email falls into the wrong hands, his secret is at risk of being thrust into the spotlight. Now Simon is actually being blackmailed: if he doesn’t play wingman for class clown Martin, his sexual identity will become everyone’s business. Worse, the privacy of Blue, the pen name of the boy he’s been emailing, will be compromised.

With some messy dynamics emerging in his once tight-knit group of friends, and his email correspondence with Blue growing more flirtatious every day, Simon’s junior year has suddenly gotten all kinds of complicated. Now, change-averse Simon has to find a way to step out of his comfort zone before he’s pushed out—without alienating his friends, compromising himself, or fumbling a shot at happiness with the most confusing, adorable guy he’s never met.
 

Judul: Simon vs the Homo Sapiens Agenda
Pengarang: Becky Arbetalli
Penyunting: Donna Bray
Penerbit: HarperCollins
Format: eBook - 303 hlm - bahasa Inggris
Rilis: 7 April 2015
ISBN: 9780062348678
Rating: 3 out of 5 star 

ide cerita dan eksekusinya:
Simon vs the Homo Sapiens Agenda ini tipikal novel LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Queer) kebanyakan. Premisnya masih seputar konflik lahir-batin seseorang untuk mengakui bahwa orientasi seksualnya berbeda. Atau, dalam dunia LGBTQ disebut dengan coming out moment. Novel ini--seperti tertera di judulnya, berkisah tentang Simon Spier yang maju-mundur (enggak pakai cantik-cantik, ya), untuk mengaku sebagai gay.

Sejatinya tak ada yang istimewa dari novel ini, dibandingkan novel bertema sejenis. Well, saya tetap mengakui bahwa Becky mampu mengalirkan kisah hidup Simon yang berliku dengan kemasan yang menarik. Dijamin, jika sudah membaca, kamu pasti dengan mudah ikut terhanyut. Tapi, sekali lagi, buat saya novel ini tidak terlalu istimewa. Bahkan, jika dibandingkan dengan serial Rainbow Boys-nya Alex Sanchez, saya malah lebih suka Rainbow Boys. Jujur saja, saya membaca novel ini karena hype-nya yang kenceng banget. Bahkan beberapa pemilihan novel terbaik/terfavorit 2015, novel ini masuk dalam banyak nominasi. Namun demikian, saya tetap merasai ikut menebak-nebak siapa tokoh "Blue" yang jadi fantasy-nya Simon sepanjang cerita. Berulang kali saya salah tebak. Huh!


Sunday, January 10, 2016

[Resensi Novel Romance] Everlasting by Ayu Gabriel

Coba bayangkan, apa yang akan terjadi jika kamu mencampurkan rasa frustrasi, tidak aman, curiga, bersalah, penasaran, cemburu, khawatir, dan bermacam-macam hormon perempuan di dalam satu wadah? Hasilnya adalah penyimpangan perilaku. Saus kacang!
---Ayu Gabriel, Everlasting.

First line (kalimat pembuka):
Apa sih kebahagiaan itu? Kalau pertanyaan ini diajukan ke seluruh penduduk bumi, boleh jadi kita akan mendapatkan tujuh miliar jawaban berbeda.

Kayla, 22 tahun, jatuh cinta kepada Aidan. Setiap kali Aidan yang punya bokong seksi itu lewat di depannya, Kayla langsung belingsatan. Namun, Kayla tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan perasaannya karena Aidan adalah bos di kantornya—usianya lebih tua 11 tahun. Ia hanya bisa mengamati dari jauh secara diam-diam sambil mencatat semua hal tentang Aidan di sebuah buku rahasia.

Dengan bantuan Saphira, sahabat baiknya, Kayla mulai berusaha mendapatkan cinta Aidan. Kayla pun mengubah dirinya menjadi seperti perempuan impian Aidan—mengubah potongan rambutnya, menato tubuhnya, sampai mengubah selera musiknya.

Ketika Kayla sedang berusaha merebut hati bosnya itu, Dylan, cinta pertama Kayla, tiba-tiba muncul. Kayla sebenarnya sudah lupa siapa Dylan karena dia pernah bersumpah untuk tidak mengingatnya lagi semenjak Dylan dan keluarganya pindah dari Jakarta, 10 tahun lalu. Keinginannya terkabul. Ia tidak ingat sama sekali tentang Dylan atau cinta mereka. Dylan pun memutuskan untuk mendapatkan kembali cinta Kayla yang ia yakini masih bersemayam di hati gadis itu kalau saja ia bisa mengingatnya.

Judul: Everlasting
Pengarang: Ayu Gabriel
Penyunting: Herlina P. Dewi
Proofreader: Tikah Kumala
Pewajah sampul: Teguh Santosa
Penerbit: Stiletto Book
Tebal: 323 hlm
Harga: Rp52.000
Rilis: Maret 2014
ISBN: 978-602-7572-25-6
Rating: 3,5 out of 5 star
Buku persembahan dari pengarang, tidak memengaruhi penulisan resensi.

Sebagai pembaca, khususnya pembaca cerewet yang mengukur suka-tak-suka berdasar gaya menulis pengarang, saya sangat bersyukur akhirnya diberikan kesempatan untuk mencicipi-baca novel ini. Gaya menulisnya selera gue banget, sehingga saya tak mengalami banyak masalah dalam membaca Everlasting. Yah, palingan cuman keseringan tertunda karena bawaan M--mood nggak jelas.

ide cerita dan eksekusinya:
Saya nangkapnya lebih ke CLBK--Cinta Lama Bersemi Kembali. Atau, bisa juga masuk kategori cinta-pertama-bertahan-selamanya meski harus bertemu dulu dengan cinta-cinta yang lain. Memang bukan ide baru, tapi yang terpenting Ayu berhasil mengemasnya melalui racikan narasi yang pas serta dialog yang segar, ceplas-ceplos, kocak, dan sekaligus cerdas. Well, ada juga sih adegan sinetron dari tokoh sampingan yang kadar irinya kebangetan, tetapi masih wajar-wajar saja, tidak begitu mengganggu.

Seperti banyak dikeluhkan oleh pembaca lain, saya pun merasai lemahnya eksekusi akhir (ending). Entah trauma, entah amnesia, yang pasti saya pun agak kurang teryakinkan dengan pilihan Ayu untuk mengakhiri kisah dalam novel ini dengan cara seperti itu. Klise dan terlalu mudah.


Friday, January 8, 2016

[Resensi Novel Chicklit] Size 12 is Not Fat by Meg Cabot

Aku tidak akan mulai makan salad tanpa saus kalau itu yang harus kulakukan untuk mendapatkan pacar, aku tidak seputus asa itu.
---Meg Cabot, Size 12 is Not Fat

First line:
"Mm, halo. Apa ada orang di luar sana?" Suara gadis di kamar ganti sebelah itu seperti tupai.

Heather Wells, mantan penyanyi pop idola remaja, telah sampai pada titik jenuh: bosan menyanyikan lirik lagu ciptaan orang lain, tapi produsernya tidak mau menandatangani kontrak baru untuk lagu-lagu ciptaannya sendiri. Keadaannya diperparah dengan ayahnya dipenjara, ibunya kabur ke Buenos Aires bersama seluruh isi tabungan putri satu-satunya itu, dan Heather tampaknya tidak bisa berhenti membenamkan diri dalam kesedihannya dengan melahap cokelat KitKat. Puncaknya, tunangannya Jordan Cartwright telah menggesernya---dari tangga lagu maupun dari ranjangnya---dan menggantikannya dengan bintang pop nomor satu terbaru Amerika, Tania Trace.

Heather lalu mendapatkan pekerjaan di asrama New York College---tak jauh dari tempat tinggal sementaranya di rumah Cooper---temannya sekaligus kakak mantan tunangannya yang sangat baik kepadanya. Kelihatannya keadaan mulai membaik... setidaknya sampai gadis-gadis di asrama tewas satu per satu dalam waktu berdekatan. Selancar lift merupakan penjelasan resmi dari administrasi kampus mengenai penyebab kematian para gadis itu, tapi Heather punya kecurigaan lain. Dengan bantuan setengah hati dari Cooper, Heather berusaha menyelidiki kematian-kematian tersebut, tanpa menyadari itu bukan hanya sekadar untuk menjawab rasa ingin tahunya, melainkan mungkin akan menjadi pekerjaannya seumur hidup.
 
Judul: Size 12 is Not Fat (Ukuran 12 Tidak Gemuk)
Pengarang: Meg Cabot
Penerjemah:: Barokah Ruziati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 416 hlm
Harga: Rp45.000 (beli obral Rp10.000)
Rilis: Agustus 2010
ISBN: 978-979-22-6001-4
Rating: 3 out of 5 star

Ide cerita dan eksekusinya:
Jika sekadar membaca judulnya, mungkin kita bakal dengan mudah menarik kesimpulan bahwa novel ini membahas romance dengan konflik utama soal berat badan. Well, tidak sepenuhnya salah, sih, tapi novel ini pun tak melulu hanya mengulas cinta-cintaan saja. Ada subplot misteri pembunuhan yang harus dipecahkan oleh tokoh utamanya. Jadi, perpaduan antara masalah berat badan, kisah cinta nan rumit, dan misteri pembunuhan. Menarik.

Dan, buat penikmat tulisan Meg Cabot, tentu bakal dengan mudah menyukai gaya bertuturnya. Lincah, self-centered, membual tak habis-habis, dan kocak. Terkadang bikin gemas, entah pengin meng-getok kepala atau menjawil pipi si tokoh utamanya. Uh! Namun, selipan misteri pembunuhannya ternyata tak digarap maksimal. Walaupun sempat bikin penasaran, pada separuh jalan ceritanya saya sudah bisa menebak siapa pelakunya. Dan, tebakan saya benar, meski tidak seratus persen sesuai dengan segala alasan dan latar belakang mengapa si pelaku melakukan pembunuhan itu.

Meet Cute:
Tokoh utama novel ini, Heather Wells sudah mengenal dan bahkan tinggal satu atap dengan love interest-nya, Cooper Cartwright, sehingga nyaris tak ada adegan yang bisa masuk kategori meet cute.


Wednesday, January 6, 2016

[Waiting on Wednesday] ...Mission D'Amour

"Waiting On" Wednesday is a weekly event, hosted by Breaking the Spine, that spotlights upcoming releases that we're eagerly anticipating.

Saya masih punya utang sama Francisca Todi untuk membuatkan resensi atas novel Mafia Espresso-nya yang ia rilis ulang dengan judul Irresistible, plus Love Roulette yang merupakan sekuelnya. Saya diberikan contoh novel dalam bentuk e-book. Belum selesai dibaca, sih, tapi saya cukup yakin untuk menyebutkan bahwa saya menyukai gaya menulis Cisca. Oleh karenanya, saya pun tak sabar menantikan novel metropop perdananya ini.

Kehidupan Tara Asten sebagai asisten pribadi Putri Viola—Putri Mahkota Kerajaan Alerva yang supersibuk—selalu penuh tantangan. Namun, Tara tidak pernah menyangka Badan Intelijen Alerva (BIA) akan menjadikannya tersangka utama dalam rencana penyerangan keluarga kerajaan. Dia dimasukkan ke masa percobaan tiga bulan, pekerjaannya terancam tamat!
 

BIA menugaskan salah satu agen rahasianya, Bastian von Staudt, alias Sebastian Marschall, untuk menyamar menjadi calon pengganti Tara dan menyelidiki wanita itu. Tapi di tengah perjalanan misinya, dia malah jatuh hati pada kepribadian lugu Tara. Bukannya mencari kesalahan Tara, Sebastian malah beberapa kali menolongnya.
 

Tara yang awalnya membenci pria itu, mulai bimbang dengan perasaannya. Sebastian pun mulai kesulitan mempertahankan penyamarannya.
 

Tapi, itu sebelum Sebastian mendengar percakapan mencurigakan Tara di telepon. Yang membawa Sebastian pada dua pilihan sulit: misi atau hatinya.

*Ukuran: 13.5 x 20 cm
*Tebal: 368 halaman
*No. Produk: 616171001
*ISBN: 978-602-03-2487-6
*Harga: Rp69,000

*Terbit: 21 Januari 2016

https://www.goodreads.com/book/show/28372202-mission-d-amour

Jadi, buku apa yang kamu tunggu Rabu ini?

Tuesday, January 5, 2016

[Top Ten Tuesday] Sepuluh resolusi perbukuan di tahun 2016

Top Ten Tuesday is an original feature/weekly meme created by The Broke and the Bookish. The Broke and the Bookish original title: Top Ten Resolutions We Have For 2015 (can be bookish, personal resolutions, "I resolve to finally read these 10 books, series I resolve to finish in 2015, etc.)


Well, once again I won't follow the exact topic of TTT for today. Because I didn't make any resoultion for 2015 so I'll drop my list of Top Ten Resolution for 2016 instead. Here they are:


Monday, January 4, 2016

[Resensi Novel Romance] My Wedding Dress by Dy Lunaly

Kalau mau jujur, bukankah sebenarnya kita semua merupakan kumpulan masokhis, disadari ataupun tidak? Terlalu sering kita sengaja membuka kenangan menyakitkan atau menyedihkan dan menyesapnya kembali.
---Dy Lunaly, My Wedding Dress

First line:
Aku berkedip beberapa kali sebelum kembali menatap pantulan wajahku pada cermin di sudut ruangan.

Apa yang lebih mengerikan selain ditinggalkan calon suamimu tepat ketika sudah akan naik altar? Abby pernah merasakannya. Dia paham betul sakitnya.
 

Abby memutuskan untuk berputar haluan hidup setelah itu. Berhenti bekerja, menutup diri, mengabaikan dunia yang seolah menertawakannya. Ia berusaha menyembuhkan luka. Namun, setahun yang terasa berabad-abad ternyata belum cukup untuk mengobatinya. Sakit itu masih ada, bahkan menguat lebih memilukan.
 

Lalu, Abby sampai pada keputusan gila. Travelling mengenakan gaun pengantin! Meski tanpa mempelai pria, ia berusaha menikmati tiap detik perjalanannya. Berharap gaun putih itu bisa menyerap semua kesedihannya yang belum tuntas. Mengembalikan hatinya, agar siap untuk menerima cinta yang baru.

Judul: My Wedding Dress
Pengarang: Dy Lunaly
Penyunting: Starin Sani
Perancang sampul: Titin Apti Liastuti
Pemeriksa aksara: Fitriana STP & Septi Ws
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: vi + 270 hlm
Harga: Rp59.000
Rilis: Oktober 2015
ISBN: 978-602-291-106-7
Dibaca: akhir Desember 2015
Rating: 3 out of 5 star
Buku persembahan dari pengarangnya, tidak memengaruhi penulisan resensi.

Entah jodoh, entah kebetulan, oleh sebab saya tak bisa mengunjungi event Big Bad Wolf book fair di Kuala Lumpur akhir Desember 2015 kemarin, saya yang mendadak kangen melancong ke Malaysia atau Singapura, pas banget ketika menerima novel rilisan terbaru karya Dy ini. Apa pasal? Setting lokasi novel dalam cita rasa weddinglit ini ternyata di dua negara tersebut. Ahay, saya bisa sedikit bernostalgia selama membacanya.

Meet Cute:
Sebagaimana disebutkan di sinopsis novel ini, tokoh Gabriella "Abby" Karen Saraswati dirundung patah hati setelah gagal menikah. Oleh karena suatu alasan yang impulsif, Abby memutuskan untuk melakukan solo traveling ke Penang. Di salah satu negara bagian Malaysia inilah, Abby yang kebingungan mencari alat transportasi untuk kembali ke penginapannya bertemu dengan Wirasana "Wira" Peter Smit di halte bus Rapid Penang.