Thursday, July 30, 2009

Resensi Novel Metropop: Wiwien Wintarto - The Sweetest Kickoff

Klise!



Judul: the Sweetest Kickoff
Pengarang: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romance in Metropop
Tebal: 312 halaman
Rilis: Juli 2009 (cetakan pertama)
Harga: Rp40.000 (Toko)
ISBN: 978-979-22-4783-1

Saya terpesona pada novel metropop bertajuk Say No To Love beberapa tahun silam. Novel karya Wiwien Wintarto (novelis yang awalnya gua kira cewek, bukan mo seksis, tapi namanya sekilas lazim dipake cewek, kek nama gua juga sih, Yuli….kecewekan, padahal gua cowok) bernuansa kantoran itu begitu menghipnotis saya. Jujur, saya ngiri berat dengan novel tersebut. Sudah lama saya memimpikan bisa membuat novel yang hampir-hampir tidak ada tokoh antagonisnya sama sekali seperti itu. Apa menariknya, kalo gitu? Hmm…susah juga jika saya ditanya begitu. Bagi yang menyukai novel penuh drama, Say No To Love mungkin terkesan membosankan. Namun, bagi saya yang percaya bahwa sebenarnya (seharusnya) tidak ada manusia antagonis di dunia ini, tidak ada orang yang jahat (adalah setan/iblis yang membisiki), sehingga cerita dalam novel tersebut begitu menyejukkan. Begitu mendamaikan. Dan, sang penulis begitu piawai mengolah cerita damai tersebut menjadi dongeng yang jauh dari kesan boring. Setidaknya, bagi saya.

Tahun 2009, Wiwien kembali menelorkan karya metropopnya yang kedua, kalau tidak salah. Novel dengan background sepakbola ini diberi judul the Sweetest Kickoff. Dalam blog pribadinya, PandoraBox, Wiwien menyebutkan bahwa novel ini lahir sebagai jawaban dari beberapa kritik yang dilayangkan pembaca Say No To Love (karya metropop pertamanya).

Berikut petikan pernyataannya tentang novel ini:

The Sweetest Kickoff kubangun dari salah satu kritik terhadap Say No to Love (2007). Dalam salah satu resensi di internet, novel itu dikritik karena nggak memberi ruang development untuk tokoh-tokohnya. Dewi, Wisnu, dan siapapun nggak berkembang jadi manusia yang berbeda. Hanya sekadar jadian, nggak lebih.

Itu sebabnya, saat hendak memulai nulis The Sweetest, aku sudah berpatokan untuk menulis tentang seseorang yang remuk dan belakangan menjadi baik setelah kecemplung di kawah Candradimuka. Kawah itu bernama Magelang FC, sesuatu yang benar-benar berada di luar semesta yang diketahui seorang Farah.

Hmm, entahlah, saya sendiri kurang mengerti apa yang dimaksud dengan “ruang-development” itu. Yang jelas jika itu dikaitkan dengan the Sweetest Kickoff yang beberapa tokohnya “berubah” secara harfiah (berubah dalam arti real, kek dari warna item brubah jadi putih), maka saya justru tidak begitu klik dengan novel ini. Benang merah perubahan itu terkesan klasik yang klise. Bahkan, seperti yang disebutkan oleh Wiwien sendiri dalam blognya bahwa ia mengambil premis Hollywood-style, tak ayal memang begitulah adanya. Kelewat romantis, kelewat mudah ditebak, dan kelewat mustahil. Meskipun disertai ulasan seputar dunia persepakbolaan yang cukup canggih, kesan menye-menye-nya begitu terasa. Dan, bagi saya itu agak annoying. Padahal, gua tuh fans berat nopel menye-menye.

Dari segi pemilihan kata, gaya bahasa, dialog, dan setting-nya tidak ada masalah, semuanya memenuhi kriteria novel metropop selera saya. Bahkan, beberapa karakter saya suka. Pun, dari segi teknis cetak, saya tak menemui banyak cacat. Hanya ada satu kata yang, well, salah ketik saja sepertinya:

Hal 104, paragraf ke-5

Farah tertawa menyeringai. “Very funny! Memangnya………………, kamu pengeeeeen banget ninggalin semua kerjaanmu itu dan ikut denganku ke Malang.”

Saya pikir harusnya bukan Malang tetapi Magelang karena fokus setting lokasinya dan topik pembicaraan pada bagian itu adalah rencana kepergian salah satu tokohnya ke kota Borobudur itu.

Sejujurnya saya banyak lompat-lompatnya ketika membaca novel ini. Pertama, saya memang bukan penggemar fanatik bola dan tidak terlalu berminat dengan olahraga rebut bola dengan kaki itu sehingga agak merasa bosan ketika membaca banyak bagian yang dihubung-hubungkan dengan bola. Kedua, saya merasa kali ini seharusnya ada tokoh antagonisnya dalam novel ini untuk menyegarkan plot yang agak garing dan kurang berwarna. Apalagi dengan segala atribut Hollywood-nya dan kesan “sinetron-banget” makin membuat novel ini kurang menarik.

Kelemahan yang paling kentara adalah banyaknya adegan-adegan klise di novel. Yang paling mengesalkan justru pada bagian paling vital, bagian pengantar menjelang klimaks. Saya sampai gemas sendiri. Sebenarnya situasi digambarkan dengan kegemilangan yang sangat, namun eksekusinya justru lemah sekali. Terlalu…klise (sorry, kalo gua terlalu banyak make kata ini, tapi gua ga nemu kata laen yang lebih tepat). Terlalu…mudah ditebak.

Hmm, banyak kali kritikannya, kek gua bisa bikin nopel ajah! Ya, ini hanyalah bentuk dari ekspresi terbuka saya. Jika suatu hasil tulisan bagus, saya tak segan memujinya setinggi langit dan sebaliknya jika kurang memuaskan ya... apa boleh buat, saya terpaksa harus menyuarakan ketidakpuasan saya. Dan, perlu saya tegaskan, saya hanyalah sekadar pembaca yang disetir oleh selera. Maka, jika kemudian saya menemukan novel yang tidak memenuhi kriteria selera saya, ya…pasti sulit untuk bisa menikmatinya. Dan, masalah selera adalah masalah personal. Saya suka, Anda suka. Saya suka, Anda tidak suka. Saya tidak suka, Anda suka. Semua tergantung kepuasan selera masing-masing. Perbedaan selera adalah kurnia Sang Pecipta, tak perlu dipermasalahkan.

Sinopsis (cover belakang)

Tak ada yang lebih mengejutkan ketimbang sebuah warisan yang aneh. Farah mengalami itu saat menerima peninggalan khusus dari kakeknya yang baru saja meninggal dunia, berupa Magelang FC, sebuah klub sepakbola profesional yang berlaga di Divisi II Liga Indonesia.

Sebenarnya yang Farah perlukan hanya sarana untuk membuatnya bisa sedikit lebih serius dan bertanggung jawab terhadap hidup. Kebiasaannya dugem dan beredar dari satu pesta jetset ke pesta lainnya membuat semua orang gerah.
Mereka berharap Magelang FC akan memberikan arah baru pada kehidupan Farah dan membuatnya berhenti menghambur-hamburkan uang-apalagi karena semua itu bukan duitnya sendiri.

Sayang, semua tak berjalan semulus yang direncanakan. Selain nol besar soal sepak bola, sifat Farah yang semau gue dan gampang naik darah mengacaukan hari-hari awal pekerjaan barunya sebagai owner klub. Bahkan ia langsung terlibat perang dingin dengan Danu, mantan pesepakbola nasional yang direkrut menjadi pelatih baru Magelang FC.

Namun, tugas berat untuk menyelamatkan klub dari jurang degradasi ke Divisi III tetap harus dilaksanakan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Farah harus pusing mengurusi orang lain, bukan dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana yang tertulis di kartu-kartu ucapan, what doesn't kill you only makes you stronger, itu berlaku pula buat Farah.


Sunday, July 26, 2009

Resensi Novel Chicklit: Albethiene Endah - Nyonya Jetset

Basi!



Judul: Nyonya Jetset

Pengarang: Alberthiene Endah

Penerbit: PT Gramedia Penerbit Utama

Genre: Romance, Violence in Marriage, Based on a True Story

Tebal: 360 halaman Rilis: Juli 2009 (cetakan pertama)

Harga: Rp55.ooo (Toko)

ISBN: 978-979-22-4789-3; 40101090017


Saya adalah salah satu ‘penunggu’ setia kemunculan karya-karya Alberthiene Endah (AE). Saya telah terpikat padanya sejak terbuai kisah asmara penuh intrik metropolis yang disajikannya di Cewek Matre (gua nganggep ini adalah novel masterpiece-nya AE) dalam seri Lajang Kota-nya. Berturut-turut saya kemudian membaca hasil tulisannya, Jodoh Monica, Dicintai Jo, I Love My Boss, dan Jangan Beri Aku Narkoba (yang gak kelar gua baca, too serious). Rasanya hanya itu novel fiksi karya AE yang sudah diterbitkan, karena kemudian AE lebih sering membuat semacam biografi orang-orang penting tanah air, mulai dari pengusaha, artis, hingga ibu negara (yang masih dalam pengerjaan). Novel fiksi lain yang sempat terbit berjudul Selebriti tidak mampu menarik minat saya. Novel tersebut sempat menjadi cerita bersambung yang dimuat dalam Klasika – koran Kompas. Dan, beberapa episode saya baca, saya memang agak mengerutkan kening. Kok gaya AE jadi berubah ya?


Yang terbaru, Nyonya Jetset, berlabel based on a true story di pojok kiri atas. Saya sebenarnya bukan penggemar buku-buku dengan label begituan, terus terang saya sudah ilfil duluan. Kenapa? Karena sebuah cerita nyata yang kemudian diangkat menjadi sebuah karya fiksi menjadi kehilangan maknanya sebab menurut saya kisah real itu kemudian pasti diberi bumbu-bumbu penyedap agar cerita tidak hambar, bahkan mungkin bumbunya yang malah lebih banyak. Dan bumbu penyedap itulah yang menjadi penghancur kisahnya sendiri. Saya lebih setuju apabila sebuah kisah nyata diceritakan apa adanya. Tidak perlu dibumbui, karena saya percaya sebuh kisah nyata yang ‘berani’ dipublikasikan dan disetujui oleh penerbit untuk diterbitkan sudah pasti memiliki makna yang besar dengan nilai jual cukup tinggi di pasar buku.


Saya terpaksa harus menyatakan kekecewaan yang amat sangat pada novel ini. Harapan saya yang kelewat tinggi pada AE malah membuat saya lebih-lebih kecewa ketika merampungkan novel setebal 300-an halaman ini. Semua gaya khas AE di seri Lajang Kota yang saya sukai lenyap tak berbekas. Kepiawaiannya dalam membuat istilah-istilah unik (ondel-ondel bergincu, anak kecil berdasi, misalnya) tidak terlihat. Saya benar-benar merasa kehilangan dan sempat berpikir, apa benar ni nopel bikinan AE? Yang makin membuat saya gusar adalah hampir keseluruhan elemen dalam novel ini berantakan. Mulai dari segi penokohan, alur cerita, setting, konflik, hingga teknis cetaknya tidak memuaskan. Sungguh jauh dari harapan saya. Entah, karena label true story-nya sehingga AE tidak memiliki keleluasaan dalam mengembangkan cerita atau karena sebab lain. Sempat gua mikir, ini bukan ceritanya Manohara, kan? hehehehe...


Sebenarnya sampai beberapa bagian awal novel ini, saya cukup menikmatinya. Karena itulah saya membeli novel ini, selain faktor pengarangnya. Temanya yang mengambil latar belakang dunia per-model-an Indonesia terasa cukup menjanjikan, yang sayang sekali kemudian berbelok kepada isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Upaya AE untuk menyajikan fakta sebenarnya dalam dunia model yang dipandang glamor kurang menggigit dan terasa hanya sampai di permukaan belaka. Mungkin memang tujuan penulisan novel ini yang sengaja membahas KDRT sehingga isu itulah yang menjadi bahan utama penceritaannya.


Hmm…agak basi, menurut saya. Isu itu telah diangkat oleh banyak penulis sebagai ide pokok penulisan, baik fiksi maupun non-fiksi, termasuk juga dalam media layar (film/televisi). Semakin basi karena sokongan bumbu-bumbunya tidak begitu kuat. Gambaran kehidupan hedonis para sosialita yang menjadi nyawa novel ini pun tidak terbahas dengan mksimal. Hanya sekilas slide-show saja, yang sebenarnya sudah juga ditampilkan di banyak kesempatan. Jadi, tidak ada yang baru yang ditawarkan dalam novel ini.


Pada akhirnya, saya hanya berharap semoga produktivitas AE tetap terjaga dalam dunia penulisan fiksi. Meskipun mungkin tidak lagi bisa meneruskan seri Lajang Kota karena AE sudah married, tapi boleh lah serinya dilnjutkan dengan yang mengupas masalah after married. Dan, saya berharap semoga pula kreativitas AE tidak merosot.


Sinopsip (cover belakang)


Roosalin tak bisa menampik cinta yang ia yakini sebagai pilihan terbaik dalam hidupnya. Ia menikah dengan Edwan Susantono, tanpa menyadari betapa kaya sesungguhnya pria itu. Namun cinta pandangan pertama pada putra konglomerat itu ternyata mendorongnya masuk ke kehidupan yang sarat dengan lara. Pernikahan mewah dengan banyak luka dan keanehan.


Roos harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak ia duga. Gelimang harta dan kehormatan harus ditebusnya dengan bilur rasa sakit akibat perlakuan keji suaminya dan keangkuhan keluarga besar Susantono. Roos pun mulai bersahabat dengan kehidupan menyakitkan yang tak pernah luput dari penghinaan, penyiksaan, dan penginjakan harga diri. Roos tercampak dalam titik terendah harkatnya sebagai perempuan.


Namun, jiwa kuat Roos berusaha menyelamatkan keadaan. Di antara keping-keping hatinya yang berserakan, ia yakin, sesungguhnya cinta sejati ada, dan tak akan pernah hilang. Terlebih setelah Edwan menunjukkan kesungguhan untuk memperbaiki segalanya.


Mampukah Roosalin membenahi karut-marut kehidupan rumah tangganya, dan menundukkan dinding keangkuhan keluarga konglomerat itu? Benarkah cinta bisa memperbaiki nilai-nilai moral yang telah hancur di dalam keluarga besar Edwan?



Resensi Buku Non Fiksi: Menikah adalah BUNUH DIRI! - 'Josua' Iwan Wahyudi

Sudah siap bunuh diri?


Judul: Menikah adalah BUNUH DIRI!

Pengarang: ‘Josua’ Iwan Wahyudi

Penerbit: GetYourWisdom Publishing

Genre: Self-Motivation, Modern Psychology

Tebal: xv + 117

Rilis: Juli 2009 (cetakan pertama)

Harga: Rp32.500 (Toko)


Agak aneh memang bahwa blog yang awalnya saya khususkan sebagai wadah review sederhana saya atas buku-buku bertema ringan khas metropop, chicklit, atau pun teenlit yang saya sukai, kemudian juga saya isi dengan resensi buku-buku yang bertema agak jauh, bahkan terlalu jauh, dari pakem tersebut. Saya akui itu adalah salah satu kelemahan saya yaitu kurang fokus dalam satu hal dan maunya semuanya ditumplek-blek jadi satu. So, meskipun judul blognya adalah metropop –mengambil ruh novel genre metropop– ternyata tidak melulu (dan bahkan tidak semua novel metropop) ter-review di sini. Lebih-lebih buku jenis lain yang malah diresensi.


Seperti buku yang satu ini. Saya tak tahu masuk kategori jenis buku apakah ini. Dari cover belakang buku-nya sih disebutkan bahwa buku ini terkategori sebagai buku relationship-marriage. Untuk umumnya, mungkin buku ini pantas juga dimasukkan dalam ranah buku psikologi modern atau psikologi popular. Buku yang menginspirasi, buku yang memotivasi, atau juga buku yang menasihati. Begitulah kira-kira.


Jujur, saya tertarik dengan buku ini karena judulnya yang bombastis. Menikah adalah BUNUH DIRI! yang ditulis oleh 'Josua' Iwan Wahyudi. Hmm, gua sempet ngeri juga nyomot nih buku dari rak pajang di Gramedia Plaza Semanggi. Judulnya itu lho…serem amat. Awalnya saya menerka buku ini mengupas tentang tragedi-tragedi kematian seputar hubungan yang terbentur halangan, sehingga para penjalin hubungan tersebut memutuskan membawa mati cinta mereka dengan cara bunuh diri. Ternyata anggapan saya salah. Bukan tragedi seperti itu yang dibahas di sini, melainkan letupan-letupan bencana yang harus diwaspadai yang pasti mungkin muncul di dalam sebuah pernikahan. Setelah sekilas membaca cuplikannya dari buku contoh yang dibuka segelnya dan merasa cukup tertarik (dan lucu), saya kemudian mengambil satu dan membayarnya di kasir.


Buku ini cukup menarik. Pembawaannya konsisten. Penyampaiannya berurutan (sangat pas dari satu chapter ke chapter lainnya). Meskipun, selayaknya buku-buku tipe begini, ulasannya adalah hal-hal keseharian –dalam kehidupan pernikahan– yang semestinya sudah kita tahu, hanya saja kita kadang tidak menyadarinya dan baru berkata “ooh…” jika sudah ada yang menuangkannya dalam buku maupun dalam seminar motivasi dengan pembicara yang nyerocos dengan semangat penuh.


Bahasan disampaikan secara lugas disertai dengan beragam kisah/cerita yang menjadi intro sebelum penulis mengemukakan pandangan-pandangannya atas setiap masalah yang menjadi judul per bagiannya. Entahlah, apakah cerita-cerita tersebut sekadar fiksi atau benar-benar terjadi, saya kurang tahu. Hanya saja, hampir di setiap chapter, penulis menyertakan sebuah kasus (dalam bentuk seperti rubrik konsultasi) dengan disertai nama dan asal pengirim testimoni yang kemudian dijawab oleh penulis (diberi judul Lesson from Real Case). Penulis juga mencoba melucu (dan berhasil, bagi saya) dengan memberikan intermezzo berupa gambar-gambar karikatur unik serta wedding quotaton yang cukup menggelitik. Buku ini juga dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi foto sebagai background judul chapternya.


Seputar isinya sih, tergantung masing-masing. Buku motivasi adalah buku non-fiksi yang berunsur sangat subjektif meskipun dilatarbelakangi hal-hal yang objektif. Beda dengan buku science, misalnya, yang disusun berdasar penelitian ilmiah sehingga sangat objektif. Benar, si penulis telah mendapat pelatihan-pelatihan yang cukup memadai sehingga kemampuannya merangkum kata per kata sangat bagus dengan kedalaman makna yang dapat dengan mudah menghantam dinding kesadaran si pembaca sehingga beroleh feedback berupa anggukan atau desisan kata “o gitu ya?..” Namun, semua keputusan berpulang kepada pembaca pada akhirnya. Apakah setuju atau tidak setuju dengan semua pemikiran yang dituangkan oleh penulisnya.


Diakui oleh penulisnya sendiri bahwa ia memutuskan untuk menjabarkan bermacam mimpi buruk yang mungkin saja hadir dalam pernikahan agar siapapun menyadari bahwa pernikahan tidak hanya harus dilihat dari yang indah-indahnya saja. Ia berharap setiap pasangan tahu konsekuensi dari keputusannya untuk membangun mahligai rumah tangga, bahwa yang akan ditemuinya tidak hanya melulu yang legit semanis madu namun juga pahit seumpama empedu. Secara tegas namun bernada humor, penulis membantah apabila dikatakan dia membuat buku ini untuk menakut-nakuti siapapun yang sudah atau akan menikah sehingga menjadi alergi terhadap pernikahan. Bahkan ia sangat menganjurkan untuk menikah karena sebenarnya apabila dijalankan dengan sebaik-baiknya, biduk rumah tangga dalam ikatan pernikahan merupakan secicip kenikmatan surgawi.


Dalam banyak hal saya setuju dengan pandangan-pandangan ‘Josua’ Iwan Wahyudi ini. Tetapi pada beberapa hal saya juga menolak dengan tegas apa yang disampaikannya. Kesetujuan saya, misalnya, pada pandangan Josua yang menganjurkan agar menghindari hubungan intim sebelum nikah (berulang kali ia mengingatkan untuk tidak berhubungan badan bahkan meminimalisir sentuhan fisik sebelum resmi menikah). Sedangkan ketaksetujuan saya adalah atas sikap permisifnya terhadap pacaran (beberapa kali Josua menganjurkan untuk berpacaran, meskipun tidak secara eksplisit) atau atas “sikap-negatif”nya mengomentari persoalan pernikahan di usia muda. Meskipun saya sampai dengan kategori umur tak lagi muda ini belum juga menikah, tetapi saya percaya, selewat akil baligh laki-laki dan perempuan sejatinya telah mampu berdiri sendiri dan memutuskan masa depannya secara mandiri, termasuk soal keputusannya menikah. Jadi, tak masalah menikah usia muda, menurut saya, asal mampu.


Saya pikir buku ini cukup berhasil menjadi sarana penyampaian pemikiran-pemikiran dari Josua. Terlepas dari perbedaan prinsip saya dengannya atas beberapa hal, saya cukup mendapat banyak pengetahuan seputar penjalinan hubungan suami-istri yang dapat saya jadikan bekal kelak jika saya sudah dipertemukan (menemukan/ditemukan) dengan jodoh saya dalam ikatan pernikahan. Saya berharap semoga banyak pasangan yang sudah atau akan menikah membaca buku ini, termasuk para single fighter a.k.a jomblowan-jomblowati yang sudah ngebet menikah, sehingga mereka mendapat pemahaman yang lebih soal hidup berumahtangga. Tentu saja, semua ini hanyalah sebagai bahan perenungan dan pemikiran belaka. Sedangkan segala keputusan dalam hidup adalah di tangan Anda meski harus diingat bahwa kehidupan ini akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh yang menciptakannya kelak di akhirat. Jadi, jangan “bermain-main” dengan hidup Anda.


Berikut adalah yang terpampang dalam cover belakang buku ini, dimana kebanyakan adalah testimonial dari beberapa figur:

“Buku yang berani mengungkap tentang pernikahan dengan lugas. Buku ini akan membuat orang yang belum menikah berpikir dahulu sebelum menikah, sedangkan bagi yang sudah maka buku ini akan menjadi pelajaran berguna. Pernikahan memang sebuah sekolah kehidupan tanpa kelulusan, jadi persiapkanlah dengan baik!”
- Bambang Syumanjaya
Konsultan Bisnis dan Keluarga dari Family DISCovery dan Penulis Buku Family DISCovery Way

“Sebuah panduan praktis tentang bagaimana memandang cinta dan pernikahan secara rasional. Mas Iwan piawai memaparkan kisah-kisah inspiratif dan mengemasnya dengan rancak. Inilah buku yang Anda butuhkan tepat di sebelah buku nikah Anda.”
– Roslina Verauli, M. Psi.,
Psikolog, Penulis Buku, dan Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

“Ketika menikah setiap orang pasti membayangkan kebahagiaan. Tapi mengapa banyak pernikahan yang akhirnya berubah menjadi neraka? Iwan membahas hal ini dengan gamblang, tuntas dan blak-blakan. Sebuah buku provokatif untuk menjadikan pernikahan Anda surga dunia!”
– Arvan Pradiansyah
Penulis best-seller “The 7 Laws of Happiness” & Host Talkshow “Smart Happiness” di SmartFM Network

“Mungkin judul buku ini membuat Anda penasaran, atau malah menakutkan,tapi jangan khawatir… Kalau Anda membaca dari awal sampai akhir, sebetulnya buku ini mengulas dengan dalam tentang arti sebuah penikahan, bahwa pernikahan bukan ajang permainan antara kita dan pasangan kita. Bagi saya yang sudah menikah 15 tahun pun bisa berkata.. “iya nih, bener juga apa yang di tulis di buku ini”. Buku ini sarat dengan contoh-contoh peristiwa yang gamblang dan mungkin kita alami sendiri baik sengaja atau tidak. Penasaran??? ayo buka mata ,buka hati…. baca sampai habis buku ini!”
– Vivi Indrany
Fashion Designer

“Pernikahan adalah sebuah pilihan. Jika pernikahan adalah lomba lari, kita memilih untuk mengikuti lomba lari maraton bukan lomba lari pendek (sprint). Untuk itu dibutuhkan seorang pria yang sehat secara emosi, menikahi seorang wanita yang juga sehat secara emosi dan akan menghasilkan sebuah keluarga yang sehat secara emosi. Tidak bisa hanya salah satunya saja. Jangan pernah berani menikah tanpa itu!!! Buku ini membantu mewujudkannya.”
– Timotius Hong
Konsultan Senior untuk Pernikahan dan Kehidupan Keluarga

“Benar-benar serasa memutar video kehidupan perkawinan, baik pada diri kami maupun rekan-rekan lain, hasil karya tulisan yang HARUS menjadi bacaan wajib sebelum kita masuki masa-masa bahagia dalam tali pernikahan maupun yang sudah dalam ikatan pernikahan, terimakasih Pak Iwan dengan hasil karyanya yang sangat luar biasa dan terus membuat api kebahagiaan pernikahan kami selalu terjaga dan bertumbuh!
– Paulus Widjanarko
Dokter dan Pemerhati Kesehatan



Monday, July 13, 2009

Resensi Novel: Mira W - Deviasi

Awas! Jangan-jangan Anda berkepribadian ganda?



Judul: Deviasi
Pengarang: Mira W

Genre: Romantic, Medical background, Semi thriller

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Rilis: April 2005 (cetakan kelima)
Harga: Rp7.500 (sale – Obral Buku Murah)

Tebal: 272 halaman


Saya sempat membaca sekira 2 novel karya Mira W beberapa tahun silam. Saya cukup terpikat dengan gaya bahasa dan konsistensi jalinan cerita yang dibuat oleh novelis yang kondang sepanjang tahun 90-an ini. Namun, kesan bahwa tulisan beliau cenderung “tante-tante” membuat saya sedikit terintimidasi karena saya lelaki. Picik sekali saya. Untung saja, akhirnya saya mampu melepaskan diri dan bersikap santai saja. Be myself. Bias gender tidak akan menghalangi kecintaan saya membaca buku. Semoga saja. Hmm…


Adalah sebuah event Obral Buku Murah Gramedia yang digelar di Pusat Perbelanjaan Hero Pancoran yang membuat saya kembali menyukai hasil tulisan novelis perempuan yang sangat produktif ini (gua gak ngitung dah berapa nopel yang dibikn ama beliau, yang pasti dah banyak sekali deh!). Entahlah, kalau harganya tidak dipangkas (kalo gak salah, normalnya nih harganya sekitaran Rp30-an gitu) apakah saya masih berminat membelinya atau tidak (habis… nopel tipis begini, kecil pula size-nya, kok ya mahal banget yak?!?). Lepas dari masalah banderol harga itu, saya sungguh bersyukur saya mencomot novel ini. Astaga, saya benar-benar terpukau dengan novel ini. As good as usual.

Entah kebetulan atau tidak, tema utama novel ini justru hampir mirip dengan drama seri Amerika berjudul United State of Tara (UST), yang salah satu executive producer-nya adalah Steven Spielberg, yang juga baru saja selesai saya tonton DVD-nya. Siapa yang tidak kenal legenda hidup sutradara populer Hollywood itu. Karya-karyanya selalu berkelas dan mengundang decak kagum. Novel Deviasi dan UST memiliki kesamaan latar belakang tokohnya, yaitu isu gangguan kejiwaan berupa Multiple Identity Disorder (MID) atau Dissociative Identity Disorder (DID), dimana penderitanya dikenal memiliki kepribadian lebih dari satu. Jika di novel karangan Mira tokoh Rivai dideskripsikan memiliki kepribadian lain yaitu Rizal, maka dalam UST, Tara digambarkan memiliki 4 identitas. Dan, baik novel Mira maupun drama seri tersebut sangat lezat untuk dinikmati. Tentu saja dengan level kelezatan masing-masing.

Untuk sementara, mari membahas novelnya Mira (gua lagi nyoba bikin blog seputar film dan musik di sini, tapi belum diapa-apain, just wait and see). Sinopsisnya saja telah membuat saya langsung tak sabar untuk segera membacanya. Sungguh menggoda. Hahaha... Latar belakang keilmuan Mira yang adalah seorang dokter memang tak bisa dilepaskan hampir di banyak karyanya. Setting rumah sakit, tempat pelayanan kesehatan, hingga profesi maupun keseharian para tokohnya yang tak jauh dari dokter, perawat, bidan, ahli kejiwaan, dan lain sebagainya, menjadi ciri khas yang membedakan tulisan Mira dengan karya novelis lainnya. Bosen? Entahlah, setelah membaca 4 novel beliau, kebosanan tak jua menghampiri saya. Mungkin karena saya yang tidak tahu-menahu soal kesehatan jadi mendapat ilmu baru dengan membaca novel-novel Mira sehingga meskipun beberapa kali diulas, saya masih tetap antusias. (Ah, mo ngaku kalo dulu cita-cita jadi dokter gak kesampean kok ya malu, yakk!?!)

Deviasi hadir dengan kisah yang menawan namun rumit. Kepribadian ganda. Mengejutkan sekaligus membingungkan. Padahal, saya paling benci membaca novel yang ceritanya berputar atau dibuat sedemikian misterius (makanya gua ga seneng baca nopel detektip-detektipan gitu, too complicated for me). Tapi, saya malah mau nambah dan nambah lagi begitu membuka-baca lembar demi lembar novel dengan ketebalan tak lebih dari 300-an halaman ini. (bukan sifaf gua juga, beli nopel yang tipis gini, untung murah, hihihi). Gaya bahasa serta setting khas Mira yang telah saya ketahui dari 2 novel beliau yang saya baca sebelumnya tidak lagi membuat saya “terkejut” sehingga saya langsung enjoy mengikuti alur cerita yang disusunnya.

Setting, tokoh, gaya bahasa, dan alur cerita telah terangkai sempurna. Tidak ada yang perlu dikritik. Yang membuat saya menyukai novel ini adalah, ada saat-saat dimana saya dibuat gemas karena merasa “dipermainkan” oleh Mira dengan kejadian atau keadaan yang diciptakannya. Saya harus mengacungkan kedua jempol saya karena Mira berhasil membuat saya terhanyut pada kisah dalam novel ini. Tak jarang saya memaki (untung kagak keras-keras, ntar dikira gua crazy lagi) atau juga memuji jika tokohnya melakukan atau tidak melakukan apa yang saya ingin atau tidak inginkan. Gemas. Sungguh!

Saya cenderung malas membaca novel yang kebanyakan menggunakan flashback dalam penceritaannya, namun pada novel ini saya justru mengharapkan adanya kisah-kisah ungkitan masa lalu demi membantu saya memahami jalinan ceritanya. Mira juga piawai kapan harus menampilkan kejadian kilas balik tersebut. Sangat pas untuk tidak membuat kacau aliran plotnya, setidaknya bagi saya.

Kecakapan Mira yang lain adalah kecermatannya untuk mengait-ngaitkan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Hal tersebut juga sempat membuat saya gemas bukan main. Pernah, di seperempat bagian novel saya menggerutu, “loh, ngapain sih si Ini, apa hubungannya ama si Itu…kok tiba-tiba muncul tokoh Ini ya?” Namun, kegemasan saya itu justru menaikkan semangat untuk segera menuntaskan membaca novel ini. Bahkan, gara-gara ending-nya yang dibuat menggantung sebagai koneksi ke novel berikutnya, saya langsung memburu novel lanjutannya itu (untung ada, di obralan juga, lumayan, padahal gua dah janji, mo nopelnya didiskon pa kagak klo ketemu gua musti beli!). Saya kadang juga sering menghujat penulis yang mendadak memberi porsi pada tokoh yang sebelumnya tidak punya “hak-suara” namun tiba-tiba ikut bercerita, sekali lagi, dalam novelnya ini, Mira mengemasnya dengan sangat apik. Caranya memberi ruang pada peran-peran pendukung itu tidak berlebihan dan cukup pas dalam menjaga ritme keseluruhan cerita.

Hmm…kok rasanya gua muji mulu ya? Tetapi, sungguh saya sendiri bingung mencari cela dari novel ini, bahkan dari segi penulisan dan edit kata per kata-nya. Nah, jika GPU saja begini teliti untuk karya-karya waktu dulu, mengapa untuk penerbitan novel masa kini sering salah di editan ya? Hayyo…siapa nih yang musti disalahin?

Mungkin gangguan kecil yang muncul adalah hanya pengulangan beberapa kalimat yang terdapat dalam beberapa chapter. Termasuk kebiasaan Mira untuk menggantungkan kejadian dari satu adegan ke adegan lainnya, memang menggelitik rasa ingin tahu, tapi kadang agak mudah ditebak sehingga membuat jengah. Semoga saja, pembaca tidak lekas kesal dan tak menghentikan-baca sebelum sampai klimaks.

Overall, saya sangat menyukai novel ini. Jika harus memberikan bintang, dalam skala 1 sampai dengan lima, saya akan memberikan 3,5 bintang. Kalau saja ketebalannya ditambah (gak perlu bersambung gitu, hehehehe) saya tidak ragu memberikan 4 bintang lah. Hmm…
Enjoy reading, people!


Sinopsis (cover belakang)
“Kau hamil, Arneta?” Rivai duduk dengan hati-hati di sisi pembaringan, seolah-olah takut menyakiti Arneta. “Kau mengandung anak Rivai dan berani meninggalkannya?”
“Panggil Rivai kemari.” Arneta berusaha menekan rasa takutnya. “Aku harus bicara dengan dia.”
“Tapi Rivai mengirimku kemari untuk menghukummu.” “Siapa kau?” tanya Arneta ketakutan.
Jadi mantan suaminya ini benar-benar gila! Sungguh tidak disangka. Hampir setahun dia telah hidup bersama orang sakit jiwa. Tidur seranjang dengan pembunuh yang mengidap deviasi seksual.
----Deviasi----
Dari ujung utara Benua Amerika sampai ke ujung selatan Benua Afrika, Arneta terjebak di antara tiga laki-laki yang sama-sama mengejarnya.
Bekas kekasihnya yang berada di ambang perceraian.
Pria tanpa masa lalu yang sedang terpuruk dalam lumpur perasaan bersalah.
Dan mantan suaminya, seorang lelaki terhormat yang yang mengidap deviasi seksual dan mempunyai kepribadian ganda. Mampukah Arneta melepaskan diri?

Sunday, July 12, 2009

Resensi Novel Metropop: Retni SB - Pink Project

Skenario Cinta yang Rumit



Judul: Pink Project

Penulis: Retni SB
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Genre: Romantic-Comedy on Metropop

Tebal: 264 hlm
Rilis: Juli 2009 (cet. 1)
Harga: Rp40.000 (Toko)
, Rp34.000 (inibuku.com) --->Beli


Hmm…sudah lama sekali rasanya saya tidak membuat review untuk meng-update blog sederhana saya ini. Udah bosen, kali? Tidak juga, saya masih sangat antusias dalam dunia per-blog-an. Paling dah males baca buku!!!? Oh, tentu tidak (berasa kek iklan tipi obat cacing jadul). Belum ada sebab yang membuat saya menghilangkan hobi melahap buku, khususnya fiksi. Kecintaan membaca saya bahkan cenderung meningkat cukup signifikan dalam beberapa minggu terakhir. So? Ya, mungkin saya memang sedang terserang kemalasan yang amat sangat, sehingga untuk membuat review singkat yang biasa saja saya tidak sempat/bisa.


Namun, gelenyar semangat membuat resensi berpendar begitu hebat ketika saya “menemukan” karya terbaru mbak Retni SB ini, berjudul Pink Project terbitan Gramedia ini. Warna cover-nya yang didominasi girly pink (pas ama judulnya sih) sangat mengintimidasi saya. Dalam arti kurang bagus. Yah, apalagi kalau bukan soal gender. Novel ini jadi terlihat “cantik” dan makin tidak klop jika dipegang-baca oleh laki-laki. Apa boleh buat, saya cuek saja. Tak acuh dengan pandangan orang. Biarlah saya dipikir macam-macam. Yang penting saya tidak seperti yang mereka pikirkan, yang penting kan saya happy dan puas bisa menikmati lagi karya mbak yang sudah saya sukai gaya mendongengnya sejak novel Metropop perdananya, Metamorfosa Oase, menggondol titel juara kedua Lomba Penulisan Metropop yang diselenggarakan Gramedia beberapa tahun silam.


Seingat saya, novel ini menjadi novel keempat Mbak Retni dalam jajaran karya metropopnya, setelah Metamorfosa Oase, Cinta Paket Hemat, dan His Wedding Organizer. Rata-rata saya memang terpesona dengan gaya penulisan mbak yang satu ini, meskipun saya agak kurang klik dengan Cinta Paket Hemat. Bahkan, saya sudah tak ingat lagi, novel kedua beliau itu bercerita tentang apa (perlu dibaca ulang nih!).


Sedang untuk Pink Project, novel ini menjadi salah satu contoh novel yang punya “daya-sedot” yang tinggi. Bagi saya pribadi, dalam membaca selalu menggunakan ukuran daya sedot. Yang dimaksud daya sedot di sini adalah seberapa kuat daya tarik sebuah buku untuk membuat si pembaca tetap terpaku untuk terus membacanya hingga si pembaca tidak sanggup untuk meletakkan buku itu sebelum merampungkannya. Dalam skala saya hanya ada tiga ukuran. Level tinggi, sedang, dan rendah. Level tinggi artinya saya akan membaca buku tersebut secara non-stop, hanya disela kegiatan wajib (ibadah, makan, mandi, kerja). Level sedang artinya jam membaca saya masih bisa disela bahkan oleh kegiatan sekunder yang sebenarnya bisa saya tunda, namun buku tetap habis saya baca tidak dalam jangka waktu lama. Sedangkan level rendah artinya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk merampungkannya atau dalam artian saya sering macet atau jam membaca saya malah saya ubah menjadi jam untuk kegiatan lain. Dan... untuk novel ini saya masukkan ke dalam kategori berdaya sedot tinggi.


Entah, saya yang telah terpesona dengan gaya mendongeng mbak Retni atau karena faktor lain, yang jelas saya begitu lahap menghabiskan lembar demi lembar novel renyah ini. Saya sampai bingung bagian mana yang perlu saya kritisi (sebates peran gua sebagai pembaca awam). Semua-semuanya sudah pas. Cukup. Tidak kurang. Tidak lebih. Diksi, gaya bahasa, plot, dan cara mendongeng telah sesuai dengan selera saya. Saya justru lupa, apakah dari sejak mula mbak Retni memang begini piawai membuat sebuah cerita deskriptif, ya? Cara beliau menggambarkan sesuatu, terutama setting tempat, cukup detail namun tidak berlebihan. Apalagi bagi saya yang cenderung mencoba selalu melebur dalam setiap cerita fiksi. Saya benar-benar merasa berada di lokasi yang digambarkan olehnya. Sangat menghanyutkan. Ditambah dengan background dunia seni lukis yang manjadi penghubung tiap-tiap aktor rekaan-nya cukup memberikan wawasan kesenian bagi saya yang sangat buta sekali soal dunia seni lukis.

Dan, astaga, akhirnya saya harus mengucapkan kata salut bagi tim penerbitan novel ini. Meskipun terlena oleh gurihnya rangkaian cerita yang ditawarkan mbak Retni, saya tak jadi lupa untuk mendeteksi kesalahan cetak dalam novel ini. Dan…almost perfecto!, rasanya saya tak menemukan adanya kesalahan cetak di sini (bahkan font-nya aja gua suka, eye-catching banged), kecuali sebuah kalimat yang membuah dahi berkerut. Saya sih beranggapan salah ketik, atau karena persepsi saya yang salah ya? Berikut saya cuplikan, kalimat yang menurut saya agak janggal:
Halaman 176, alenia 7:
Kubalas rengkuhan Pring. Mendekapnya erat.…………………
………………………… bahwa aku pun ingin membagi kasihku padanya. Juga tanpa sarat.

Nah, sarat di paragraf tersebut seharusnya syarat (hal-hal yang harus dipenuhi agar…), atau memang sarat (yang berarti penuh). Entahlah, kalau saya pribadi menganggap itu salah kata. Lebih tepat kalau itu adalah kata syarat, disesuaikan dengan konteks kalimat sebelumnya. Soalnya kalau yang dimaksudkan adalah kata ‘sarat’ yang berarti penuh, harusnya kata sarat diikuti kata lain, semisal sarat keindahan, sarat makna. Ini hanya analisa awam saya belaka.
Anyway, hanya itu saja kejanggalan yang saya temukan, dan tentu, sama sekali tidak menganggu sedikit pun kenikmatan saya untuk ‘menggigiti’ novel ini sampai habis.

Keindahan lain dari novel ini adalah penciptaan karakter-karakternya yang kuat, meski saya sempat juga merasakan kegoyahan pada karakter Ina, namun dengan sedikit penjelasan (meskipun tidak secara langsung) saya bisa memahami mengapa karakter tersebut dibuat demikian. Novel ini juga membuat saya jumpalitan untuk menebak-nebak kelokan demi kelokan plot yang coba disusun oleh mbak Retni. Meskipun tebakan besar saya, soal si aktris akan jadian dengan aktor yang mana, sesuai, namun mbak Retni pandai menciptakan cabang-cabang plot sehingga sukses mengayun-ayunkan emosi saya. Sungguh keterlaluan….yang memuaskan saya.


Masak sih gak ada minusnya? Bagi saya, hmm…, sulit menemukan titik lemah novel ini. Saya s-a-n-g-a-t menyukainya dan gagal mendaftar kekurangannya, di samping satu-satunya kalimat janggal dan tebakan besar saya yang ternyata benar. Mungkin soal tema. Yah, temanya memang tema klasik-klise yang sudah sangat sering digarap yaitu tema cinta yang “bertengkar-tengkar dulu, bermesra-mesra kemudian.” Tapi, percayalah, mbak Retni menyuguhkan racikan bumbu yang sangat sedap untuk mengolah tema klasik-klise itu menjadi sebuah jalinan cerita yang apik. I LOVE IT. GREAT job, once again, mbak Retni.


Sinopsis (cover belakang)
Puti ranin berang sekali ketika Sangga Lazuardi menyerangnya di ruang publik, di koran. Sangga mengejeknya sebagai katak dalam tempurung yang mencoba berceloteh tentang dunia! Karena berani memberi penilaian terhadap lukisan tanpa pengetahuan yang memadai.

Bah! Dia memang awam dalam soal seni, seni lukis khususnya, tapi apakah itu berarti dia tidak boleh mengapresiasi sebuah karya? Dan baginya, lukisan Pring menyentuh kalbunya. Sangga Lazuardi sangat pongah. Kesombongan lelaki itu membuat Puti mati-matian membela dan mengagumi Pring, pelukis yang dicela Sangga.

Namun yang tidak dimengertinya…Sangga Lazuardi selalu muncul dalam setiap langkah hidupnya… Bagai siluman, Sangga selalu muncul di mana pun dirinya berada. Apa yang diinginkan lelaki yang telah menghinanya habis-habisan itu?