Saturday, January 28, 2017

[Resensi Novel Young Adult] Ada Apa Dengan Cinta? by Silvarani

#6_2017
First line:
KECERIAAN menyebar di setiap sudut sekolah pagi ini.
---hlm.7, Chapter: Sorak Sorai Itu Bernama Pagi

Apa lagi yang kurang dalam hidup Cinta? Ia punya keluarga yang bahagia, popularitas di sekolah, banyak pengagum, dan yang paling penting, ia punya sahabat-sahabatnya. Alya, Maura, Milly, dan Karmen membuat hari-harinya selalu berwarna. Mereka adalah pusat dunia Cinta.

Sampai suatu hari, ia berkenalan dengan Rangga, cowok jutek dan penyendiri yang lebih suka berteman dengan buku daripada manusia. Ternyata mereka sama-sama menyukai puisi, minat yang tak bisa Cinta bagi dengan keempat sahabatnya. Dan perlahan hal itu membawa perubahan pada dirinya, membuat orang-orang di sekitarnya bertanya-tanya, ada apa dengan Cinta?

Ketika Cinta sendiri pun ikut mempertanyakan dirinya dan persahabatannya menjadi taruhan, apa yang sebaiknya ia lakukan?

Judul: Ada Apa Dengan Cinta (AADC)?
Pengarang: Silvarani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 192 hlm
Rilis: April 2016
ISBN: 9786020326450
My rating: 3,5 star ouf of 5

Saya bahagia.
Ini serupa harapan yang menjadi kenyataan.


Beberapa waktu silam, saya memasukkan AADC? ke daftar sepuluh film yang semestinya ada versi novelnya. Dan, seperti terkabulnya doa, kini sudah ada versi novel dari salah satu film Indonesia modern yang menandai kebangkitan kembali perfilman tanah air. Namun, entah karena apa, saya enggak langsung beli-dan-baca novel AADC? itu. Ada sedikit kesongongan saya menyoal kredibilitas penulisnya, sih. Maaf. Heh, siapa sih ini Silvarani? Enggak bisa gitu minta penulis sekaliber Winna Efendi atau Orizuka atau Esti Kinasih buat novelin film mahafenomenal ini? Yeah, yeah, saya memang (kadang) sesongong itu. Hingga akhirnya saya nemu info diskonan hingga 50% all item di @hematbuku20 jadi saya beli (dan baca) novelisasi film yang mempopulerkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra ini.

Jika kamu seperti saya yang begitu nge-fans filmnya sampai-sampai hafal-luar-kepala dialog-dialognya, pasti hepi banget baca novel AADC? ini. Sebagian besar dialog-dialog itu dipertahankan sesuai yang ada di film, dengan beberapa penambahan. pengurangan, dan penyesuaian lainnya. Dialog-dialog ikonik seperti, "Basi! Madingnya udah siap terbit!", "Terus salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue?", atau "Salah satu dari kita pasti lebih punya otak atau lebih punya hati, tapi kayaknya kamu nggak punya dua-duanya". Nah, dialog-dialog semacam itu juga tetap ada di novelnya.

Selain dialog, secara garis besar cerita juga sama persis dengan filmnya, meskipun terdapat penambahan sebab-akibat atau sudut pandang lain dari para tokohnya ketika berinteraksi. Tambahan lain adalah penggambaran ekspresi tokoh masing-masing. Apa yang saya lihat di film ditambahkan efek dramatisasi melalui rangkaian kata-kata (yang untunnya tidak sampai lebay). Tentu saja, hal tersebut menambah kenikmatan mengikuti kisah Cinta dan Rangga ini. Detail visual yang tidak tertangkap mata ketika menonton filmnya, bisa kita dapatkan dari novel.

Selain tambahan efek dramatisasi, di AADC? versi novel juga diberikan beberapa hal yang tidak dibuat gamblang di filmnya. Misal: isi surat Cinta untuk Rangga yang diselipkan di ruangan Pak Wardiman yang bikin Rangga marah (di film kan enggak dikasih tahu bunyi suratnya bagaimana)
sumber: https://achalasya.blogspot.co.id/
atau tulisan Cinta sewaktu mengembalikan buku Aku ke Rangga (saya sih sempat skrinsut dari film, kalau di-zoom masih kelihatan, sih, tapi lupa saya taruh mana, ya, skrinsutannya itu).
sumber: https://rizkoprasada.wordpress.com/
Namun demikian, seperti beberapa pembaca yang lain, saya juga merasa tempo ceritanya kecepetan. Pergantian antaradegannya bergerak hampir dalam itungan detik, tanpa jeda, sehingga terkesan kurang smooth. Cenderung patah-patah, meskipun tetap bisa diikuti. Sebenarnya, saya sendiri sudah kecewa ketika membuka segel bukunya dan melihat jumlah halaman novelnya bahkan tidak sampai 200 halaman. Whattt? Jadi, memang semestinya tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa akan ada sesuatu yang spesial dari novelisasi AADC? ini. Jangankan hal spesial, pengembangan plot yang ada saja sangat sempit, kalau tidak mau bilang tidak ada pengembangan sama sekali. Mungkin, penulisnya sendiri sudah diwanti-wanti sama pihak produser dan pemilik hak cipta filmnya agar setia pada filmnya. Who knows, kan?

Pengembangan yang sempit itu pun saya tak terlalu menyukainya. Hahaha. Jika di film, saya meyakini bahwa Cinta dan Rangga mulai merasa ada geletar aneh di hati masing-masing adalah ketika Cinta mengembalikan buku Aku ke Rangga dan Rangga mengucapkan terima kasih. Di situ, menurut saya, adalah momen paling tepat menghadirkan nuansa merah jambu kepada mereka. Namun, di novelnya malah dibilang...



Detail kecil lain yang juga mengganggu saya adalah digantinya adegan Cinta beli kacang rebus ketika menunggu taksi dengan adegan Cinta beli minuman di minimarket. WHAAATTT??? Padahal di adegan ini bisa romantis maksimal banget, lho. Ingat adegan Rangga yang iseng menendang pohon sehingga air sisa hujan yang tertinggal di dedaunannya jatuh mengguyur Cinta? I love that scene! Di novelnya tidak ada adegan itu. Hikz.


Overall, meskipun tidak memberikan sesuatu yang spesial, kehadiran AADC? versi novel ini--buat saya yang sangat-sangat menyukai versi filmnya--merupakan harapan yang menjadi kenyataan. Mungkin tak bakal saya baca ulang dalam waktu dekat, tapi jika suatu waktu di masa datang saya kangen kisah Cinta dan Rangga, selain dengan memutar kembali filmnya (untuk keberapa puluh kalinya), saya bisa pilih alternatif lain dengan membaca novel ini.

Oke, selamat membaca, tweemans.


End line:
Milly berkata panik, "Mamet! Mamet ketinggalan!"
---hlm.186, Chapter: Perempuan...

Wednesday, January 25, 2017

[Wishful Wednesday] #1 Newbie is here...

Saya tahu bahwa meme ini dikreasi dan dipopulerkan oleh Astrid di blog bukunya yang kece, Books to Share. Saya pun sudah sering melihat rekan BBIers yang lain wara-wiri meramaikan keseruan hari Rabu dengan membagi daftar keinginan (wishlist) masing-masing. Berhubung awal tahun ini semangat membaca-nge-blog sedang lumayan bagus, saya niatkan untuk sebanyak-banyaknya bikin posting-an. Mumpung lagi semangat, kan?

Nah, salah satunya saya juga kepingin ikutan Wishful Wednesday ini. Sepanjang yang saya ingat, ini adalah keikutsertaan saya untuk kali pertama. So, let's make a wish, shall we?

Wishful Wednesday adalah meme mingguan kreasi Astrid of Books to Share dengan mem-posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari satu) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!



Minggu ini, saya kepingin menuliskan wish yang berhubungan dengan iPad. Eh, kok iPad, apa hubungannya sama buku? Begini. Seminggu yang lalu saya mengalami insiden konyol waktu di kamar mandi. iPad saya kecemplung ke bak mandi. Hih, lagian ke kamar mandi bawa iPad segala, sih. Kecentilan!!! Ya, ya, ya, silakan kamu ikut ngomelin saya. Hiks. Kali ini memang saya teledor enggak keruan.

Kamu pasti punya tempat paling asyik buat baca, kan? Saya: kamar mandi. Yeah, saat menjalankan ritual sebelum mandi saya paling senang membaca di kamar mandi/toilet. Baca apa saja. Mulai dari novel sampai berita online. Dulu, saya memang hanya membaca buku dan jarang sekali membawa gawai ke kamar mandi. Namun, sejak dunia baca digital makin marak saya pun enggak mau ketinggalan. Selain baca berita online ataupun update status di media sosial, saya menyimpan beberapa novel digital di iBooks. Alhasil, saya memang cenderung senang membawa iPad ke kamar mandi untuk membaca. Lumayan kan kalau bisa dapat dua sampai tiga bab.

Sejak kecemplung, iPad saya mengambek. Hari pertama nyemplung, dia masih bisa nyala dan berfungsi meski ada sebagian layarnya mulai tampak menggelap. Keesokan harinya, dia mulai kacau. Sering mati dan nyala sendiri. Lalu, baterai juga cepat sekali menyusut. Dalam kondisi normal, dia bisa saya pakai satu setengah hari nonstop. Tapi, kemarin, enggak sampai tengah hari dari 100% baterai penuh langsung drop ke 40% di siang hari. Holy crap!

Sekarang dia lagi diinvestigasi dan mesti opname di salah satu gerai servis gawai di Mal Ambasador, Kuningan, Jakarta. Saya mesti nunggu kurang lebih dua hari untuk mendapat kepastian apakah my baby iPad yang saya beli tahun 2012 silam itu masih bisa sehat dan beroperasi kembali. Jadi, saya sangat berharap (memohon dengan sangat) melalui Wishful Wednesday kali ini, saya masih berjodoh dengan iPad saya itu sehingga saya masih bisa terus membaca buku digital dengan menggunakan bantuannya. Ya Tuhan, semoga my baby iPad bisa sembuh, ya. Aamiin.

Share WW-mu minggu ini juga, ya:
  1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Tuesday, January 24, 2017

[Top Ten Tuesday] FREEBIE: Sepuluh Booktuber favorit

Top Ten Tuesday is an original feature/weekly meme created by The Broke and the Bookish. The Broke and the Bookish original title for January 24: FREEBIE --- that super specific list you want to make?? All yours to tackle this week!


Selain membaca, apa kegiatanmu di waktu luang? Apa pun, baik yang berhubungan sama buku maupun enggak. Nonton, ngemol, nge-trip, nge-tweet, atau nge-YouTube? Hmm, have you ever heard about Booktube or Booktuber? No?! According to wikitionary, Booktuber refers to Book + YouTuber. Artinya seorang pengguna YouTube yang dalam video-video unggahannya di YouTube kebanyakan tentang buku.

Nah, dalam waktu senggang nge-YouTube, selain kanal Music, kini saya juga menyukai berkunjung ke kanal Literature. Berikut adalah sepuluh Booktuber yang sering saya kunjungi akunnya:

1. Epic Reads (I adore Margot)


2. Maddie and Bee of Heart Full of Books


3. Jesse the Reader


4. Hailey in Bookland


5. Sandra Cattelya I Booktube Indonesia


6. ABookUtopia


7. Problems of a Book Nerd


8. The Daily Danny I Booktube Indonesia


9. Gabbyreads


10. The Book Elites I Booktube Indonesia


Honorable mention:
Dhyn Hanarun I Booktube Indonesia
Peri Hutan I Booktube Indonesia
A Clockwork Reader
 
So, do you have any favorite Booktubers? Tell me... tell me...

Monday, January 23, 2017

[Resensi Novel Metropop] Rule of Thirds by Suarcani

#5_2017
First line:
Mama pernah bilang bahwa pagi yang indah berawal dari dapur yang  nyaman.
---hlm.7, Chapter: Flare

Apa lagi yang paling menyakitkan dalam pengkhianatan selain menjadi yang tidak terpilih?

Demi mengejar cinta Esa, Ladys meninggalkan karier sebagai fotografer fashion di Seoul dan pulang ke Bali. Pulau yang menyimpan kenangan buruk akan harum melati di masa lalu dan pada akhirnya menjadi tempat ia menangis.

Dias memendam banyak hal di balik sifat pendiamnya. Bakat terkekang dalam pekerjaannya sebagai asisten fotografer, luka dan kerinduan dari kebiasaannya memakan apel Fuji setiap hari, juga kemarahan atas cerita kelam tentang orang-orang yang meninggalkannya di masa lalu. Hingga dia bertemu Ladys dan berusaha percaya bahwa cinta akan selalu memaafkan.

Ini kisah tentang para juru foto yang mengejar mimpi dan cinta. Tentang pertemuan tak terduga yang bisa mengubah cara mereka memandang dunia. Tentang pengkhianatan yang akhirnya memaksa mereka percaya bahwa hidup kadang tidak seindah foto yang terekam setelah mereka menekan tombol shutter.

Judul: Rule of Thirds
Pengarang: Suarcani
Editor: Midya N. Santi
Proofreader: Mery Riansyah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 280 hlm
Rilis: Januari 2017
Harga: Rp68.000 (promo diskon 50% di @hematbuku)
ISBN: 9786020334752
My rating: 2,5 out of 5 star

Saya hepi banget pas di pengujung Desember 2016 kemarin, Gramedia mempromosikan empat #novelMetropop baru yang akan dirilis di bulan Januari 2017. Ada Yes I Do But Not With You (Shandy Tan), Rule of Thirds (Suarcani), Lost & Found (Fanny Hartanti), dan Some Kind of Wonderful (Winna Efendi). Akhirnya, banyak lagi yang meramaikan rak buku #novelMetropop.

Sejauh ini saya sudah membaca dua di antara empat novel itu, Yes I Do dan Rule of Thirds ini. Agak kecewa, karena dua novel itu ternyata gagal mengimpresi saya. Semoga saja dua sisanya yang lain bisa membayar kekecewaan saya. Terlebih nama Fanny Hartanti dan Winna Efendi adalah dua nama yang cukup familier untuk selera bacaan saya.

Sejujurnya, Rule of Thirds berhasil menghanyutkan saya hingga seratusan halaman awal. Bab pertama menjanjikan karakter Ladys yang memukau tapi membumi dan Dias yang dingin tapi lembut. Ditambah antagonis pujaan: playboy tampan yang pintar merayu. Gaya tulisan Suarcani juga oke. Pada beberapa bagian tampil cukup efisien dan witty, sementara pada bagian lain berhasil menyampaikan hal-hal teknis seputar fotografi menjadi narasi yang luwes.

Rule of Thirds merupakan salah satu istilah dalam dunia fotografi. Dan, fotografi memang menjadi latar belakang keseluruhan kisah Ladys dan Dias ini. Buat yang suka fotografi, novel ini bisa jadi sarana rekreasi. Sedangkan untuk yang lain, novel ini bisa memberi pengetahuan baru seputar dunia fotografi. Beberapa bagian sangat teknis, beberapa bagian lainnya lebih emosional.

sumber: bridestory.com, foto pre-wedding Olla Ramlan-Aufar oleh Diera Bachir yang juga disebut di dalam Rule of Thirds

Sayangnya, selepas itu tingkat kenikmatan saya menurun hingga sampai titik jenuh. Konfliknya yang mestinya bisa menjadi gong yang dramatis malah jatuh ke tingkat drama-sinetron. Sudah begitu, ada belenggu cinta segi lima di sini. Meh! Cinta segi tiga saja sudah bikin eneg, apalagi segi lima, ya? Huhuhu. Enough... pleaseee... huhuhu...

Padahal (juga), subkonfliknya banyak lho. Ada dari sisi keluarga Ladys (sinetron), ada dari sisi keluarga Dias (sinetron lagi), ada dari sisi keluarga Esa (lebih sinetron lagi), dan subkonflik haha-hihi dari rekan kerja Ladys dan Dias. Subkonflik yang kelewat padat itu nyatanya malah membuat Rule of Thirds gagal melarutkan saya dalam emosi yang seharusnya. Pada salah satu chapter di dua per tiga bagian novel saya hampir saja menyerah dan langsung melongok halaman belakang untuk tahu ending-nya. Namun, saya menguatkan diri (meski tetap men-skip beberapa bagian) sampai saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya berhasil menuntaskan-baca novel ini. Yay me!

Kelemahan utama dari Rule of Thirds, menurut saya, adalah karakter yang tak begitu kuat. Seratusan halaman pertama yang begitu menjanjikan tidak dijaga dengan cukup baik hingga karakter para tokohnya "berguguran" satu demi satu. Mungkin, secara tak sadar, saya adalah pemuja novel bertipe character driven story, jadi begitu para tokoh pada sebuah novel berhasil menjerat saya maka saya dengan bahagia membaca lembar demi lembar halamannya. Dan, itu tak saya dapat dari novel ini.

Menyoal setting lokasi. Well, kebetulan banget, ya, saya sedang berencana pengin ke Bali, eh nemu novel ber-setting Bali. Kami berjodoh, hahaha! Saya sudah dua kali begini. Dulu sebelum ke Singapura, saya pun menemukan satu novel ber-setting Singapura, dua minggu sebelum saya terbang. Sayang seribu sayang, kali ini setting Bali-nya hanya disebut saja, tidak menjadi latar budaya yang memperkuat jalannya cerita. Yang jadi pertanyaan, dari banyaknya tokoh adakah yang asli Bali? Mestinya ada, ya. Soalnya ada yang dipanggil Bli oleh kedua tokoh utama. Sayangnya (lagi), nuansa Bali tidak tampak dari interaksi antartokohnya. Secuil kosakata bahasa Bali pun jarang digunakan (atau malah enggak ada, ya?).

sumber: Flickr spintheday, suasana Pasar Badung, salah satu setting lokasi di Rule of Thirds
Dari segi teknis cetakan, masih cukup banyak typo yang bertebaran di sana sini, terutama kata "menggangguk" yang semestinya tertulis "menganguk". Itu hampir di seluruh bagian novel yang ada kata mengangguk-nya. :)

Overall, 'lil bit disappointment for me. Too much drama. I looove drama. Tapi, drama yang di sini agak keterlaluan. Buat kamu yang pengin baca cerita ringan tentang menemukan cinta yang sesungguhnya berbalut nuansa wawasan baru (tentang fotografi) dengan setting lokasi yang berbeda (di luar Jakarta), maka Rule of Thirds bisa jadi pilihan bahan bacaanmu minggu ini.

End line:
"Aku sayang kamu. Sayang sampai mati."
---hlm.278, Chapter: Epilog

Thursday, January 19, 2017

[Resensi Novel Anak-Anak] A Monster Calls (Panggilan Sang Monster) by Patrick Ness

#4_2017
First line:
Sang monster muncul persis lewat tengah malam. Seperti monster-monster lainnya.
---hlm.11, Chapter: Panggilan Sang Monster

Sang Monster Muncul Persis Lewat Tengah Malam. Seperti Monster-Monster Lain. Tetapi, dia bukanlah monster seperti yang dibayangkan Conor. Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan jeritan… Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor. Dia Menginginkan Kebenaran.

Dalam buku karya dua pemenang Carnegie Medal ini, Patrick Ness merangkai kisah menyentuh tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Ia menulisnya berdasarkan ide final Siobhan Dowd, penulis yang meninggal akibat kanker.

Ini memang kisah sedih. Tetapi kisah ini juga bijak, kelam namun lucu dan berani, dengan kalimat-kalimat singkat, dilengkapi gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. A MONSTER CALLS merupakan hadiah dari penulis luar biasa dan karya seni yang mengagumkan.

Judul: A Monster Calls (Panggilan Sang Monster)
Pengarang: Patrick Ness (berdasar ide Siobhan Dowd)
Ilustrator: Jim Kay
Penerjemah: Nadya Andwiani
Editor: Barokah Ruziati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rilis: 29 Februari 2016
Tebal: 216 hlm
ISBN: 9786020320816
My rating: 3,5 out of 5

A Monster Calls (atau sesuai alih bahasa: Panggilan Sang Monster) adalah salah satu contoh buku yang saya beli karena kepengaruh hype-nya yang kenceng banget. Lumayan telat, sih, soale bukunya sendiri sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak awal tahun 2016 lalu. Saya beli ini pun pas banget ada tawaran diskon 50% di olshop @hematbuku20.

Nama Patrick Ness sudah sering saya dengar sepanjang tahun 2016. Bahkan sangking seringnya, saya juga kepincut beli buku dia yang lain yaitu trilogi Chaos Walking, meskipun yang saya beli belum lengkap ketiga bukunya (baru dua), yang sialnya malah kebeli buku kedua dan ketiganya, sementara buku pertamanya enggak nemu, huhuhu. Tambah nyesel, waktu berkunjung ke BBW Penang, saya sempat lihat trilogi Chaos Walking ini dan saat itu masih belum tertarik beli. Dobel sial!

Ternyata, saya merasa biasa-biasa saja selesai membaca buku ini. Entah karena sedang tak mood atau bagaimana, saya tak berhasil mendapatkan impresi sebagaimana kebanyakan pmbaca lain (terutama Goodreaders yang sudah kelar baca). Sebagian besar review menyebutkan novel ini tipe tear-jerking -siapin-tisu, tapi ternyata tidak buat saya. Sedih, lumayan sih, tapi enggak sampai bikin nyesek apalagi mewek.


Mulai dari adegan awal yang agak mirip adegan awal The Big Friendly Giant (The BFG by Roald Dahl---versi film) hingga sikap Conor yang tak sesuai ekspektasi saya (sebagai tokoh protagonis) membuat saya kurang bisa merasuk. Lagi lemot, saya. Kelar baca saya segera meluncur ke goodreads.com untuk baca-baca review dan menonton trailer filmnya, barulah saya ngeh pesan moral yang ingin disampaikan Patrick Ness (dan Siobhan Dowd) itu. Yaampun, saya dudul pisan euy. Owalah, gitu toh maksudnya.

Objektif enggak objektif saya memang gagal paham. Hahaha. Mungkin di suatu saat nanti saya kepingin re-read dan membaharui impresi saya akan buku ini. Atau nanti saya baca bareng dek Shasha, deh. Siapa tahu dengan begitu saya bisa lebih paham. *nyengir

Yang paling saya suka dari novel ini adalah ilustrasinya. JUARA! Dan, baru nyadar bahwa ilustratornya ini sama dengan yang bikin ilustrator untuk Harry Potter illustrated edition, ya. Emang keren, sih.





Oke, selamat membaca, tweemans. 

End line:
------(terlalu spoiler)
---hlm.215, Chapter: Kebenaran

Tuesday, January 17, 2017

[Top Ten Tuesday] Sepuluh buku EMEJING yang kurang laku

Top Ten Tuesday is an original feature/weekly meme created by The Broke and the Bookish. The Broke and the Bookish original title for January 17: Ten Underrated/Hidden Gem Books I've Read In The Past Year Or So (up to you if you want it to be those published in the past year or so or just ANY underrated book you've read recently)


Well, saya bingung mau ngasih judulnya dalam bahasa Indonesia, akhirnya saya pakai istilah "kurang laku". Bisa jadi enggak pas ya karena toh saya sendiri enggak tahu dan enggak ngecek data detail penjualan tiap-tiap buku yang ada di daftar sini. Palingan saya pakai data jumlah rating di www.goodreads.com dan asumsi saya mestinya buku-buku dalam daftar ini dibaca dan di-rating minimal seribu orang.

Oke, inilah SEPULUH buku bagus (emejing = amazing) yang mestinya ngehits. Tentu ini menurut saya sih, ya. Hehehe.

1. Buku-bukunya Dewie Sekar, terutama Trilogi Zona dan Duologi Alita. They're AWESOME! Dewie Sekar on www.goodreads.com

2.  L by Kristy Nelwan
https://www.goodreads.com/book/show/4944389-l?ac=1&from_search=true

3. Mencari Ratu Istana Cinta by Tria Barmawi
https://www.goodreads.com/book/show/8187624-mencari-ratu-istana-cinta?ac=1&from_search=true

4. Seri Empat Wartawan Lifestyle by Syahmedi Dean, terkhusus A.M.S.A.T. (Apa Maksud Setuang Air Teh)
https://www.goodreads.com/author/show/621997.Syahmedi_Dean#

5. Natsuka by Destika (Dewi Sartika... OMG, ternyata ini pseudo-name-nya, tho, baru tahu)
https://www.goodreads.com/book/show/8047185-natsuka?ac=1&from_search=true

6. Buku-bukunya Ken Terate, terutama seri My Friends, My Dreams sama Jurnal Jo
https://www.goodreads.com/author/show/920814.Ken_Terate

7. Cewek Matre by Alberthiene Endah
https://www.goodreads.com/book/show/1517251.Cewek_Matre?ac=1&from_search=true

8. Kana di Negeri Kiwi by Rosemary Kesauly
https://www.goodreads.com/book/show/1539982.Kana_di_Negeri_Kiwi?ac=1&from_search=true

9. Diary Princesa by Swistien Kustantyana
https://www.goodreads.com/book/show/20883179-diary-princesa

10. Metamorfosa Oase by Retni SB
https://www.goodreads.com/book/show/1498470.Metamorfosa_Oase?ac=1&from_search=true

Nah, itu sepuluh buku bagus yang sayangnya kurang begitu dilirik sama yang lain. Kalau kamu, ada buku yang menurut kamu emejing banget tapi enggak banyak yang tahu? Coba dibagi, deh.

Monday, January 16, 2017

[Resensi Novel Romance] Angel in The Rain by Windry Ramadhina

#3_2017

First line:
Di salah satu sisi Charlotte Street yang basah, dia berdiri memanggul tas besar.
---pg.8, Chapter: LONDON: Pertemuan di Tengah Hujan

Ini kisah tentang keajaiban cinta.

Tentang dua orang yang dipertemukan oleh hujan. Seorang pemuda lucu dan seorang gadis gila buku yang tidak percaya pada keajaiban.


Di Charlotte Street London, mereka bertemu, tetapi kemudian berpisah jalan.


Ketika jalan keduanya kembali bersilangan, sayangnya luka yang mereka simpan mengaburkan harapan. Ketika salah seorang percaya akan keajaiban cinta, bahwa luka dapat disembuhkan, salah seorang lainnya menolak untuk percaya.


Apakah keajaiban akan tetap ada jika hati kehilangan harapan? Apakah mereka memang diciptakan untuk bersama meski perpisahan adalah jalan yang nyata?

Judul: Angel in the Rain
Pengarang: Windry Ramadhina
Editor: Yuliya & Widyawati Oktavia
Penyelaras Aksara: Widyawati Oktavia
Desainer sampul: Windry Ramadhina & Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia
Rilis: 2016
Tebal: viii + 460 hlm
ISBN: 9789797808709
Format: e-Book on Playbooks (Google)
Harga: Rp19.000 (promo)
My rating: 4 out of 5 star

Saya begitu terbuai oleh LONDON: Angel dan benar-benar terhanyut bersama Walking After You, maka ketika terdengar kabar Windry akan menuliskan penggalan kisah lanjutan LONDON: Angel saya girang bukan main. Apalagi tokoh yang akan dihidupkan adalah Ayu dan Gilang. Saya sendiri begitu terpikat pada karakter Ayu di LONDON: Angel.

Namun demikian, saya baru saja kecewa pada pembacaan karya Windry terakhir, Last Forever. Oleh karenanya saya kelewat banyak berpikir untuk jadi membeli-baca atau tidak ketika Angel in the Rain, si kisah lanjutan itu, akhirnya benar-benar terbit. Maju-mundur-cantik-cantik setiap mau mencomot dari toko buku. Lalu saya pun memutuskan: 1) pinjam teman, kalau suka baru beli; atau 2) nunggu diskonan harga obral.

Ternyata pilihan kedua yang datang terlebih dulu, meskipun tak benar-benar sama, karena yang diskon justru berformat digital di Playstore. Gambling (karena enggak yakin bisa kelar baca di handphone), akhirnya saya beli juga versi digital yang diobral itu. Dan, Angel in the Rain menjadi buku panjang pertama yang selesai saya baca di handphone! Woo-hoo, rekor. Sebenarnya saya juga pembaca e-book, tapi lebih seringnya saya baca di iPad. Sedangkan di handphone saya hanya menyimpan beberapa judul novel saja, dan belum ada satu pun yang terbaca.

sumber: www.pinterest.com

Angel in the Rain ditulis dengan alur maju-mundur. Sebagian besar ber-setting di Jakarta dengan kilasan ingatan ber-setting di London. Kisahnya sendiri dimulai dari bagian akhir kisah LONDON: Angel, ketika Gilang dan Ayu kembali ke Jakarta. Rancangan pertemuan sudah bermula sejak mereka secara tak terduga bertemu di London. Namun, di Jakarta-lah silang kehidupan mereka akhirnya dipertemukan. Dengan segenap kerumitan yang diracik Windry.

Masih tampil dengan diksi menawan, kalimat efektif, dan narasi yang mendetail, saya begitu betah menekuni lembar demi lembar (versi digital) novel kesembilan Windry ini. Gairah saya yang memudar ketika membaca Last Forever, secara drastis meningkat puluhan kali. Didukung pula dengan semangat baca saya yang entah bagaimana cukup bagus di awal tahun 2017 ini.

Buat yang sudah baca LONDON: Angel pasti tahu dong kenapa Gilang pergi ke kota Big Ben itu? Belum tahu? Hmm, baca lagi kalau begitu... dan buat yang belum baca, saya sarankan baca dulu, deh. Hehehe. Kecuali kamu enggak begitu ingin tahu apa saja yang dialami Gilang selama di London, oke-oke saja sih kalau tetap mutusin baca Angel in the Rain tanpa membaca LONDON: Angel dulu. Toh, sebenarnya ada beberapa bagian di sini yang menjembatani bolong informasi itu. Tapi, ada baiknya kamu baca dulu LONDON: Angel, ya.

Di sini Ayu dikenalkan sebagai gadis si gila buku yang ternyata adalah seorang penulis novel pupoler yang cukup laris, sedangkan Gilang sebagai si pemuda lucu yang ternyata adalah editor sastra yang sedikit anti-novel populer. Kontras. lalu, bagaimana dua orang asing yang hanya kenal sepintas lalu (dan bertolak belakang sifatnya itu) akhirnya bertemu kembali? Semoga bukan spoiler, semua karena buku Burmese Days cetakan pertama karya George Orwell. Apa dan bagaimana? You should read it by yourself. Baca sendiri!

Singkatnya, memang ada yang terjadi antara Ayu dan Gilang. Tapi, jangan langsung berasumsi ini kisah yang gampang. Ada cerita lalu yang tak sepenuhnya berlalu. Ayu dengan Em, dan Gilang dengan Ning. Ada pula geng suporter Gilang: Brutus, Dum, Dee, dan Hyde. Lalu orangtua Ayu dan kakak perempuannya, Luh, yang menuntut Ayu terlalu banyak. Yakinlah, ini bukan kisah cinta yang gampang.

Angel in the Rain diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama baik dari sisi Ayu maupun Gilang. Namun, runutan kisahnya, sesekali dinarasikan oleh Goldilocks dan payung merahnya. Maka, jangan heran jika pada beberapa bagian novelnya seperti sok kenal sama kita--pembaca--dengan memanggil 'Sayang' dan mengajak kita mengobrol. Pernah lihat serial TV Gossip Girl atau Desperate Housewives yang fenomenal itu? Nah, seperti itulah Angel in the Rain diceritakan.

sumber: bestpaintingforsale.com
Departemen karakter juga digarap maksimal oleh Windry, as usual. Saya suka semua tokoh-tokohnya, tentu saja terutama Ayu dan Gilang. Keduanya tampil memesona, kuat, dan hidup dari awal hingga akhir. Tokoh pendamping juga tak kalah kuatnya. Sebut saja Ning, Luh, dan Em. Oh, dan juga Ungku, pemilik toko buku langka di kawasan Kota Tua.

Yang mengganggu saya justru hadir di akhir. Ending-nya bikin aaarggghhh... in a bad way. Entahlah. Saya mengharapkan sesuatu yang grande. Bukan sesuatu yang mudah begitu. Oke, bagi kedua tokohnya mungkin bukan akhir yang mudah. Tapi, secara keseluruhan, buat saya ending-nya kurang nendang. Tapi, don't ask me. Saya juga enggak tahu harus diapain tuh berdua. Yang pasti, bukan yang seperti itu. Atau bakal ada novel lain yang melanjutkan kisah mereka? Saya kok nangkap kesannya begitu waktu baca penggalan curhat Goldilocks di pengujung novel. Hmmm.

Oiya, saya bilang Angel in the Rain juga memuat unsur Walking After You? Yap, ada sebagian kisah di sini yang terjadi di toko kue Afternoon Tea yang dikelola An dan Julian yang merupakan napas utama novel Walking After You.  

Overall, saya cukup puas dengan Angel in the Rain, meski tidak semenghanyutkan Walking After You atau LONDON: Angel sekalipun. Nostalgia yang manis dengan malaikat hujan.

Jadi, selamat membaca, tweemans!

End line:
Gilang dan Ayu, meskipun demikian, bersisian semakin rapat di bawah payung merah.
---pg.50, Chapter: UBUD: Pertemuan Kembali di Tengah Hujan

Monday, January 9, 2017

[Resensi Novel New Adult] The Deal (Off-Campus #1) by Elle Kennedy

#1_2017

First line:
HE DOESN'T KNOW I'm alive.
--hlm. 9, Chapter 1: Hannah

 She's about to make a deal with the college bad boy...

Hannah Wells has finally found someone who turns her on. But while she might be confident in every other area of her life, she's carting around a full set of baggage when it comes to sex and seduction. If she wants to get her crush's attention, she'll have to step out of her comfort zone and make him take notice...even if it means tutoring the annoying, childish, cocky captain of the hockey team in exchange for a pretend date.

...and it's going to be oh so good

All Garrett Graham has ever wanted is to play professional hockey after graduation, but his plummeting GPA is threatening everything he's worked so hard for. If helping a sarcastic brunette make another guy jealous will help him secure his position on the team, he's all for it. But when one unexpected kiss leads to the wildest sex of both their lives, it doesn't take long for Garrett to realize that pretend isn't going to cut it. Now he just has to convince Hannah that the man she wants looks a lot like him.

Judul: The Deal
Seri: Off-Campus, buku 1
Pengarang: Elle Kennedy
Penerbit: Elle Kennedy Inc.
Rilis: 24 Februari 2015
Format: e-book, bahasa Inggris
Genre: New Adult
Tebal: 408 hlm
My rating: 3,5 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya:
Well, akhirnya saya berhasil juga membaca novel New Adult lagi. Hahaha. Actually, it just tells something about an ordinary romance. Sedikit campuran Cinderella story dan Romeo dan Juliet. Romantisme tercipta antara si gadis jurusan seni yang pintar dengan pemuda sang kapten tim hoki es yang terancam kariernya karena kegagalan akademis di salah satu mata kuliah. Bagian awal Chapter 1 berhasil menipu saya soal siapa love interest si gadis. Namun, dengan penggunaan PoV (point of view) orang pertama untuk dua karakter utamanya, saya langsung paham bahwa akan ada cerita soal cinta segi tiga di novel ini.

Selain itu, ada isu tentang kejahatan pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang membuat cerita romance yang sejatinya simpel saja menjadi lumayan kompleks. Elle berhasil mempertahankan premisnya dan membuat cerita bergulir dengan apik serta diakhiri dengan pas. Ada sih bagian ketika dua tokoh utamanya terkesan labil dan kepingin banget saya jorokin ke jurang, but overall, Elle berhasil membuat ending yang manis.

plot, setting, dan karakter:
The Deal dibuat dengan alur maju dan jarang ada kilas balik ke masa lalu, hanya dari percakapan kedua tokoh utamanya saja. Setting lokasi terutama di area kampus Briar University di Massachusetts, USA. Sesuai dengan judulnya, salah satu tokoh utamanya tinggal di sebuah rumah asrama (atau sewaan) yang terpisah dari kampus (off-campus).

https://thecrazyworldofabooklover.wordpress.com
Dua tokoh utamanya adalah Hannah Wells, si gadis jurusan seni (tepatnya musik, dan sedang dalam proses persiapan tampil di sebuah showcase), dan Garrett Graham, si pemuda kapten tim hoki es. Hannah adalah tipikal gadis protagonis kebanyakan: unpopular, cenderung miskin, bersuara emas, pintar secara akademis, dan (pada akhirnya) bertransformasi menjadi gadis cantik. Sedangkan Garrett juga tipikal atlet pujaan kampus: popular, tampan, kaya, playboy, dan kapten. Untung saja Elle tidak menstereotipkan Garrett sebagai cowok bodoh. Sebetulnya dia juga pintar, hanya saja sedang tidak beruntung di salah satu mata pelajaran.

Di luar keduanya ada tokoh sentral Justin Kohl, teman serumah sekaligus setim Garrett: Logan, Tucker, dan Birdie, teman sekamar Hannah: Allie, Cass Donovan (partner duet Hannah), dan beberapa tokoh pendamping lainnya. Untuk urusan karakter ini, tak ada komplain. Semuanya memiliki peran yang pas.

konflik:
Awalnya ini hanya tentang cinta segi tiga. Kenapa judulnya The Deal? Karena memang ada deal-deal-an antara Hannah dan Garrett di sini. Deal tentang apa? Baca sendiri, ya. Spoiler banget kalau saya kasih tahu. Nah, karena deal itulah subkonflik tentang isu perkosaan dan KDRT diselipkan. Yang jelas, meskipun tetap menitikberatkan pada unsur romance-nya, novel ini juga tak kehilangan bobot dengan menyajikan subkonflik yang oke. Inilah yang mesti ditiru penulis lokal, tambahkanlah subkonflik pada ceritamu biar makin kaya dan berbobot.


Namun, sama kayak waktu baca Tangled by Emma Chase, ternyata saya enggak se-open minded yang saya duga. Saya masih selalu risih bila menemui adegan main kuda-kudaan di ranjang. Apalagi di novel ini ada kurang lebih tiga chapter yang mengilustrasikannya. Hohmagat! Saya benar-benar terganggu. Yeah, mestinya saya kan sudah bisa mengantisipasi ya, ini kan novel NA ber-setting luar negeri pula, ya harus terima kalau budayanya beda sama di Indonesia. Tapi, nyatanya, ya... begitulah, saya enggak belum bisa. Edan memang saya. Ya sudahlah, kalau kamu memang sudah bersiap membaca yang ada beginiannya, novel ini sayang banget kalau dilewatkan.

meet cute:
Hannah sedang melirik-penuh-pemujaan ke gebetannya ketika Garrett memergokinya, di kelas Prof. Tolbert, di mana Garrett gagal memenuhi standar nilainya. Setelah tahu Hannah mendapat nilai A bulat untuk ujian kelas itu, dengan penuh percaya diri Garrett meminta-paksa Hannah untuk menjadi tutornya.

simpulan:
Cukup oke untuk bacaan awal tahun, meskipun banyak bagian yang saya skip karena alasan kuda-kudaan itu. Overall, bukunya bagus, hanya saja untuk lanjut ke buku berikutnya saya masih mikir-mikir dulu. Lebih baik saya coba judul lain dulu, deh.

Selamat membaca, tweemans.

End line:
I don't look back these days. I only look forward.
--hlm. 404, Epilogue: Garrett.

Sunday, January 8, 2017

[Resensi Novel Metropop] Yes I Do But Not With You by Shandy Tan



First line:
AMY tidak pernah memikirkan kemungkinan dirinya memiliki bibit kegilaan meskipun hanya seperjuta miligram--itu jika kegilaan memiliki satuan berat--hingga hari ini.
--hlm.7, Yes I Do But Not With You

Amy tak pernah menyangka rencana masa depannya hancur berkeping-keping dalam sekejap. Pernikahan yang hanya tinggal sejengkal, tiba-tiba sirna. Joshua, sang calon suami sekaligus tujuan hidupnya, menghamili perempuan lain. Amy kehilangan kekasih, pekerjaan yang sangat ia suka, dan kepercayaannya terhadap laki-laki.

Tetapi, kemudian Semesta mempertemukan Amy dengan Gabriel yang melezatkan hari-hari Amy dengan pastry buatannya. Meski begitu, Joshua tak kunjung menyerah merebut Amy kembali, dan dia selalu tahu bagaimana meluluhkan pertahanan Amy. Akankah Amy menerima Joshua kembali? Ataukah ia akan melepaskannya, dan mendengarkan Semesta yang mencoba menghiburnya dengan kehadiran Gabriel.


Judul: Yes I Do But Not With You
Pengarang Shandy Tan
Penyunting: -
Ilustrator cover: Yulianto Qin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 224 hlm
Rilis: 3 Januari 2017 (cetakan ke-1)
ISBN: 9786020337111
Buku merupakan persembahan penerbit untuk resensi jujur saya.
My rating: 3 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya:
Enam tahun pacaran dan berencana menikah tahun depan, tapi semua berantakan. What will you do? Mencoba mencari jalan untuk memperbaiki atau memilih membiarkannya dan move on? Apa pun itu, semua pasti membawa konsekuensi, kan? Tak boleh gegabah mengambil keputusan. Pikirkan matang-matang. Penyesalan di kemudian hari hanya akan membawa kehampaan dalam kumparan waktu yang tiada sesiapa pun sanggup menebak kapan selesainya.

Perkara waktu memang berukuran nisbi. Enam tahun bisa saja singkat, bisa saja lama. Tergantung siapa yang mengukur dan merasainya. Namun, untuk sebuah jalinan asmara, enam tahun tentulah bisa masuk ukuran lama. Apalagi jika hubungan itu sudah kelewat intensif seperti yang terjadi pada Amy dan Joshua.

Joshua digambarkan sebagai salah seorang motivator muda sukses di Medan. Jadwal seminarnya tak berjeda. Amy-lah sosok di balik kelancaran jadwal ‘manggung’ Joshua. Tak ada lagi waktu tersisa untuk diri dan karier pribadi Amy. Semuanya untuk Joshua. Maka, ketika cinta sebagai simpul pertalian bisnis mulai goyah, hati pun kehilangan arah. Serbasalah.

Wajar jika Amy marah. Haknya juga untuk memilih apakah mencari jalan damai demi mempertahankan hubungan atau justru melepaskan dan move on. Dan, sahabat serta keluarga adalah sebenar-benarnya tempat pelarian yang paling tepat. Jika pun menghakimi, bicarakan. Teman baik mengerti kata-kata yang terucap; sahabat sejati mampu memahami yang tidak diucapkan (halaman 27).

Premisnya tentang hubungan pacaran yang cukup lama, hampir meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, tapi rusak. Dari sini pengarang menekankan pada putusan-putusan yang diambil si tokoh utama untuk menyembuhkan lukanya. Sayangnya, saya memang tidak terlalu puas dengan eksekusi akhirnya. Ending-nya kelewat sinetron. Bahkan, formula penyelesaian konfliknya old-fashion sekali. Mengingatkan saya pada ujung cerita Me vs High Heels karya Maria Ardelia bertahun-tahun silam.

plot, setting, dan karakter:
Mostly, plot bergerak maju dengan sedikit bagian mundur, sekadar mengingat kenangan masa silam. Sementara setting lokasi adalah di Medan (surprise!) meski tidak secara spesifik disebutkan di bagian mananya Medan. Set yang paling sering disebut adalah rumah Amy dan cafe Pondok Sarapan yang dikelola oleh Lucia dan Paris, dua karib Amy.

Desa-desa Resto, di Jalan Setiabudi No 190-12, Medan, brilio.net
Menyoal karakter, maaf saja, saya kurang bisa teryakinkan oleh hampir seluruh tokohnya, huhuhu. Tumben banget, lho, saya kok ya bisa nggak suka sama siapa pun di sini. Membahas tokoh utama: Amy. Sebenarnya dia ini gimana, sih. Apakah memang digambarkan multitalenta? Ingatkan saya jika ada bagian yang terlewat, tapi kok kayaknya Amy ini serbabisa banget. Awalnya jadi asisten pribadi merangkap pacar Joshua. Lalu, merintis karier pribadi sebagai penerjemah. Tapi tak jarang juga dimintai pendapat soal cita rasa menu kafe Pondok Sarapan. Jadi, Amy ini ahli di segala bidang, begitu? Well, itu baru dari latar belakang keseharian Amy. Sifat, pembawaan, pemikiran, dan lain-lainnya juga tak begitu memorable.

Gabriel. Wah, dia sih gambaran cowok ideal-pujaan-setiap-perempuan kayaknya. Kekar dan jago bikin pastry. Selama baca saya kebayang chef Yuda Bustara, hahaha. But, sekali lagi, saya enggak cukup teryakinkan dengan deskripsi Gabriel ini. Mungkin sayanya yang sudah kelewat terdoktrin sehingga ketika ketemu penggambaran baru, seolah saya langsung menolaknya. Entahlah. Karakter yang lain: ya sudahlah, begitu juga. Kurang memberi kesan mendalam, buat saya.


Lalu, ada pergantian angle yang cukup mengganggu ketika kisah bergulir kamera menyorot ke arah Amy dan mencakup orang-orang di sekelilingnya, mendadak kamera menyorot ke arah Gabriel (bentar banget, sedurasi iklan Pantene-nya Anggun kayaknya), terus pernah juga menyorot ke Lucia dan Paris. Hih, ngeselin.

konflik:
It's such a multi-angle love story. Mbulet ke sana kemari, tapi malah kurang seru karena tokoh-tokohnya ya itu-itu saja. Saya tak bisa bersimpati dengan siapa pun. Amy pun tidak. Bayangkan saja dia masih kalut soal hubungannya dengan Joshua (masih suka membayangkan hal-hal indah), kok bisa-bisanya memuji lelaki lain pada waktu yang bersamaan. Ya, ya, ya, mungkin kamu bakal bilang "Namanya juga hati, siapa yang tahu maunya apa, kan?". Hell, yes. Tapi, tetap saja, buat saya enggak sreg untuk situasi Amy yang masih kurang stabil.

Pada akhirnya, saya memang tidak mendapati konflik yang padat nan kompleks. Sederhana yang terlalu dibelit-belitkan. Oh, dan saya lebih merasa mestinya novel ini masuk Amore ketimbang Metropop karena tekanannya lebih banyak pada unsur romance-nya walaupun nuansa dunia kerjanya (pengusaha cafe dan profesi penerjemah) cukup ditonjolkan.

kesimpulan:
Untuk bacaan awal tahun, novel ini cukup ringan dan (buat pembaca cepat) pasti bisa kelar dalam satu kali duduk. Enggak ribet dan enggak perlu berkerut-kerut bacanya. Simpel banget. Ditambah diksinya yang mantap. Membacanya, selain baper, juga menyenangkan.

Oke, selamat membaca, tweemans.

End line:
I will be just fine, pikir Amy sambil mengunyah poptart dengan nikmat dan dalam hati bersenandung, "'Cause I am the champion of the world...."
---hlm.218, Chapter: We Are the Champions.

Sunday, January 1, 2017

Selamat Datang 2017

Saya tak lagi ikut-ikutan merayakan (secara harfiah) pergantian tahun. Secara personal, tentu saja, pergantian tahun selalu mengingatkan akan jatah umur di dunia yang semakin menipis. Secara sosial, saya pun enggak dapat undangan merayakan pesta pergantian tahun dari mana pun atau siapa pun. Hahaha. Well, berasa ngarep diundang, padahal sih enggak. Seriusan. I don't like party that much.

Nah, untuk dunia baca-tulis-dan-blog, sepertinya saya pun enggak bakal pasang resolusi serbamuluk. Kapan tahun itu saya pernah mendaftar beragam tantangan baca alias reading challenge tapi dalam perjalanannya tak satu pun tantangan itu bisa saya tuntaskan. Gagal Total. MEMALUKAN! Saya jadi sedih. Dan, kecewa. Dan, terluka. Dan, sengsara. Aihh, mulai lebay. Yah, pokoknya begitulah. Semua berantakan. Enggak ada yang bisa dibanggakan.

Oleh karenanya, tahun ini saya cuman pengin semangat baca naik lagi. Timbunan makin berkurang. Kecepatan membaca sebanding lurus dengan kecepatan membeli/menimbun buku. Apalagi tahun 2016 kemarin status saya sudah berubah lagi. Jika 2015 dari melajang ke menikah masih berkesempatan membaca dalam jumlah yang lumayan, tahun 2016 status dari suami ke hubby, kayaknya bisa baca satu buku sebulan sudah bersyukur banget, ya. Maunya main sama anak mulu sekarang, hehehe.

Tahun ini enggak mau ngerencanain mau ikut tantangan baca apa dan menargetkan bisa membaca berapa. Go with the flow saja. Kalau lagi kepingin ya ikutan, pas malas ya sudah enggak ikut. Namun, biar enggak blank-blank banget, saya tetap mendaftar di beberapa tantangan baca, misalnya:


Terus, saya juga kepingin baca ulang Harry Potter. Enggak ada alasan khusus, pengin baca saja. Semoga dari bulan Januari saya bisa mulai baca buku 1-nya sehingga pas sampai bulan Juli, ketujuh bukunya sudah terbaca semua. Aamiin.

Selebihnya, sesuai situasi dan kondisi mendatang, deh. Yang pasti, saya masih tetap bersemangat untuk aktif di dunia baca-tulis-dan-blog ini. Selamat tahun baruuu, tweemans...