Mencari cinta terakhir...
Ava Torino, twenty-something-girl, yang bekerja sebagai produser di sebuah stasiun televisi lokal di Bandung, agak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Ava not really into romantic or love things. Ia menganggap pacaran adalah sesuatu yang seharusnya fun. Dan, biar semakin fun, ia nekad meneruskan ide gilanya semasa kuliah dulu: berganti-ganti pacar, sampai ke-26 alfabet tergenapi sebagai huruf awal nama-nama sang pacar.
Dengan ke-adventurous-annya, tidak sulit bagi Ava untuk memenuhi rencana gilanya itu. Namun, tanpa disangka, cowok yang paling sulit ditemukan justru yang namanya berawal huruf L. Maka, cara berpikirnya yang logis memutuskan, siapa pun dia, si L akan menjadi the Last Love-nya. Sayang, Ava tidak menyadari betapa rahasia semesta ini terlalu besar untuk ditaklukkan oleh logika pikirannya... hingga terjadilah peristiwa itu....
Judul:
L
Pengarang: Kristy Nelwan
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Genre: Romance, Metropop
Rilis: Agustus 2008
Tebal: 394+viii
Harga (Toko): Rp59.000
My rating: 4 out of 5 star
Keragaman cerita sejatinya hanya dapat tumbuh dari kreativitas penulis. Belakangan, novel-novel dewasa metropolitan yang sebagian besar tergabung dalam genre Metropop atau ChickLit seolah hampir sama rata. Tema berputar di ranah yang itu-itu saja. Bumbu-bumbu penyedap yang dua tahun silam mungkin terasa memesona kini sedikit kehilangan pamor, karena seringnya digunakan sebagai dekorasi novel yang hampir tiap bulan selalu terbit.
Kristy menawarkan tema yang hampir sama, tapi dikemas dengan sangat cantik. Memadukan pelbagai bumbu, yang uniknya malah tidak terasa kebanyakan bumbu. Pas. Lengkap, tapi tidak berlebihan. Lajang sukses, petualangan asmara berantai, jungkir balik mengurus persiapan pernikahan, hingga tragedi cinta berakhir dramatis disajikan dalam alur cerita yang mengalir bebas hambatan dan seperti tiada cela.
Namun, bagi saya pribadi, kemulusan gaya mendongeng Kristy justru menyengat sisi ‘keyakinan’ saya. Yah, keputusan Kristy untuk turut serta mengangkat sisi religius (agamis) dalam novelnya ini, sukses menyentil ‘emosi’ saya. Pada titik tersebut bahkan saya sempat ingin berhenti membaca. Namun, prinsip ‘beli buku harus dibaca tuntas’ yang baru saya terapkan memaksa saya untuk meredam gejolak yang membara di dada dan bertahan untuk membaca novel ini hingga halaman terakhir, yang tidak juga dapat saya tepati. Jujur, satu bab terakhir saya tidak berselera lagi meneruskannya.
Sisi itulah yang menjadi kritik terbesar saya. Keberanian Kristy menyandingkan dua agama berbeda dalam bungkus pemahamannya yang sangat berbeda dengan pemahaman saya, membuat saya naik darah. Bukan untuk menyinggung SARA, tapi saya sangat menyesalkan keputusan Kristy membawa-bawa tema ini ke dalam novelnya. Seandainya, ia membawakannya tanpa perlu menyandingkan dua agama berbeda itu, misalnya hanya mengambil salah satunya saja, saya tidak akan segeram ini. Sekali lagi, saya merasa selipan tema ini justru menghancurkan rangkaian cerita yang menurut saya
almost perfect untuk ukuran novel metropolis kontemporer.
Sisi agamis ini, bagi saya, menjadi titik singgung paling ‘sulit’ untuk dapat saya nikmati. Karakter dua tokoh terdekat si karakter utama, dengan dua agama berbeda, justru mengoyak-oyak keyakinan saya. Apalagi, si tokoh yang beragama sama dengan saya ‘dimatikan’ dengan cara yang… astaga, sangat menyinggung saya. Sekali lagi, mohon maaf, tiada niat menyinggung SARA, tapi ini murni pembelaan hati nurani saya. Jika Anda memiliki suatu keyakinan yang begitu besar tidak mungkin juga Anda tidak akan tersinggung, bukan?
Well, saya memang tipe orang yang sulit bersikap netral dalam beberapa hal. Salah satu yang paling utama adalah pada tema pluralisme dan istilah ‘semua agama sama’. Khusus untuk istilah semua agama sama, selalu timbul pertanyaan besar dalam benak saya, kalau begitu mengapa di satu agama memakan sesuatu (katakanlah babi) dihukumi haram, tapi di agama lain diperbolehkan? Itu namanya ‘beda’, kan?
Kembali ke novel ini, di luar sisi agamis yang saya sesalkan, sebenarnya saya sudah memasukkan novel kedua Kristy ini sebagai salah satu dari sepuluh novel favorit saya sampai dengan saat ini. Dari tema, gaya bercerita, alur, karakter para tokoh, sampai dengan pemilihan bahasanya saya suka. Seperti yang sudah saya bilang, novel ini lengkap namun tidak berlebihan.
Kritik lain, mengapa ya sampai sekarang masiiih saja ada salah ketik? Meskipun tidak banyak, tetapi tetap saja ada.
They’re big publisher for God'
s sake. Sudah sepantasnya mereka lebih teliti lagi sehingga kesalahan teknis begini tidak lagi terjadi. Saya berharap hal ini lebih mendapat perhatian dari penerbit, tidak hanya penerbit besar tapi juga penerbit kecil atau yang baru merintis usaha. Di novel ini juga saya sempat mandeg, ketika si karakter utama cerita soal salah satu film favorit saya sepanjang masa,
When Harry Met Sally yang dibintangi Meg Ryan dan Billy Cristal, tapi kok ditulisnya
When Harry Meet Sally, ya?
Meet sama
Met beda penggunaan, kan? Atau saya yang salah, coba deh cek
di sini, data ini saya dapat dari wikipedia.org.
Jempol dua saya acungkan untuk novel ini dalam hal tema, karakter, dan
ending yang tidak terduga. Sedangkan kritik tajam,
absolutely, pada sisi religius yang disertakan.