Saturday, September 13, 2008

Resensi Novel Metropop: Tria Barmawi - Topsy-Turvy Lady: Setipe Dengan the Nanny.

Gladys, anak orang kaya, yang bergaya hidup hedonis tiba-tiba saja jatuh cinta pada Sandi, pria yang tak jelas asal-usulnya. Cinta itu membutakan dirinya, membuatnya memilih meninggalkan keluarga demi hidup bersama lelaki itu. Namun, bukannya membaik, hidupnya malah porak-poranda. Ia dicoret dari daftar keluarga, dan yang lebih miris, lelaki itu meninggalkannya setelah menguras tabungannya dan meninggalkan banyak utang di kartu kreditnya.

Sadar dirinya ditipu, Gladys panik dan bingung. Gladys terpaksa downsizing, menurunkan standar hidup, dan mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Dengan statusnya yang masih mahasiswa, Gladys hanya bisa bekerja sebagai babysitter.

Sebagai anak bungsu yang dimanja, Gladys awalnya bingung harus berurusan dengan anak kecil. Namun akhirnya ia menikmati pekerjaannya, bahkan mulai mencintai Naima, anak asuhnya... apalagi, ayah Naima tidak memperlakukannya sebagai babysitter. Sekali lagi Gladys merasakan benih-benih cinta muncul di hatinya dan ia yakin cintanya pada duren itu tak bertepuk sebelah tangan.
Judul: Topsy-Turvy Lady
Pengarang: Tria Barmawi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romance
Rilis: Agustus 2008
Tebal: 224 hlm
Harga: Rp35.000 (harga toko)

Saya tidak tahu seputar serial komedi situasi Amerika ini, hanya sepenggalan informasi yang saya dapatkan di situs ensikopledia-online gratis, wikipedia.org, di sini. Jadi, sama atau tidaknya separuh plot dari novel kesekian karya Tria ini dengan sitkom tersebut saya juga tidak tahu. Hanya saja, memang, beberapa kali dalam novel ini juga menyinggung sitkom tersebut.
Saya kali pertama tahu Tria Barmawi adalah ketika booming genre Metropop keluaran Gramedia lewat Lost in Teleporter (LiT) yang sayang sekali tidak kelar saya baca berhubung tidak terlalu klik sesuai dengan selera saya (romance-comedy sci-fi? kurang pas menurut saya). Sejak saat itu saya kurang mengikuti kiprah Tria, hingga akhir tahun 2007 silam (atau awal tahun ini) ia kembali menulis Metropop berjudul The Lunch Gossip (TLG) yang akhirnya membuat saya suka padanya.

Kembali ke novel ini. Tria menyebutkan di bagian thanks to bahwa novel ini merupakan salah satu karyanya yang keluar dari comfort zone-nya. Sekali lagi, berhubung lama saya tidak secara kontinyu mengikuti deras gairah karya-karya Tria, saya jadi kurang ngeh dengan comfort zone dari mbak yang satu ini. Apakah daerah teknologi informasi? Saya tidak tahu. Yang jelas, kalau berhubungan dengan teknologi, novel ini juga masih menghadirkan komputer sebagai penghias meskipun tidak diulas sebegitu mendalam, seperti dalam LiT atau TLG.

Bergerak kelewat cepat adalah gambaran yang saya tangkap dari aliran kalimat per kalimat yang dirangkai oleh Tria dalam novel yang sebagian besar mengupas soal dunia per-babysitter-an ini. Konflik hadir silih berganti, namun serasa sekadar numpang lewat, penghangat suasana atau pemancing minat pembaca untuk terus mengikuti alur kisah si karakter utama. Bukan tidak berhasil, sukses malah, tapi sekali lagi pergerakannya ‘terlalu’ kencang. Kurang fokus, mungkin adalah kata yang agak tepat untuk menggambarkannya.

Kelemahan lain yang membuat kenikmatan saya ‘mengunyah’ novel bersampul imut ini agak kurang adalah sosok a bestfriend as an angel yang serba bisa dan selalu memberikan jawaban plus solusi atas hampir sebagian besar masalah yang dihadapi oleh karakter utama. Bukannya tidak mungkin (remember, nothing is impossible in this world) hanya saja agak terlalu gampang jika berulang kali si karakter utama mampu mengatasi masalahnya hanya dengan bertumpu pada seorang sahabat. Saya merasa sahabatnya itu ‘terlalu’ powerful meskipun beberapa kali disebutkan karakter sahabat juga memiliki titik-titik lemahnya.

Alur ceritanya sendiri cukup runtut dan mengalir secara natural. Tema tak biasa namun sudah hampir sering nongol bekalangan ini, selain sitkom The Nanny, ada juga novel yang sudah difilmkan The Nanny Diaries (Scarlet Johansson) atau program serial televisi Nanny 911 (MetroTV) atau Seleb Sitter (GlobalTV), memberikan nilai lebih untuk novel ini. Termasuk beberapa koleksi buku panduan seputar anak yang bisa dijadikan referensi bagi pembaca yang kebetulan juga kebingungan mengurus anak.

How about the ending? Absolutely, happy ending. Saya adalah salah satu pembaca yang lebih sreg dengan akhir yang happy ending ketimbang sad ending. Alasan utamanya, cukup sederhana, karena si tokoh utama sudah jungkir balik dihantam pelbagai masalah jadi sudah selaiknya harus berakhir dengan suatu kesenangan yang mampu membangkitkan gairah. Saya keki kalau habis membaca masih harus meratapi nasib si tokoh utama yang tentu saja selalu saya ngedumel sendiri “Apa ya worthed banget saya masih mikirin si tokoh utama, padahal saya punya kehidupan sendiri yang membutuhkan konsentrasi penuh?

0 komentar:

Post a Comment