Cerita yang sesuai
(banget) dengan judulnya…
Alia, Rian, dan Tina bertemu di Jogja ketika kuliah, dan sejak itu mereka bersahabat. Persahabatan mereka berlanjut di Jakarta, kota tempat mereka menjalani karier. Alia jadi dokter gigi, Rian jadi copywriter di advertising agency, sedangkan Tina bekerja di biro hukum ternama.
Persahabatan mereka tadinya berjalan mulus, meski Rian dan Tina sering bertengkar sejak pertama kenal. Hingga suatu hari Tina mengaku ke Alia bahwa dia sebetulnya naksir Rian.
Hubungan segitiga mereka semakin ruwet ketika Rian mengarang sandiwara konyol untuk mengelabui kedua orangtuanya dengan melibatkan Alia.
Ternyata persabahatan mirip kedondong, mulus di luar tapi berduri di dalam. Dan mempertahankan persahabatan tetap di jalur yang benar sepertinya memang mustahil jika hati mereka telah terlibat!
Judul: Just The Three Of Us
Pengarang: Larasati Torres-Sanz
Ilustrator: Innerchild Studio
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 272 hlm
Harga: Rp47.000
Rilis: September 2013
ISBN: 978-979-22-9830-7
Kategori: Happy
Ending, Sahabat Jadi Cinta, Cinta Segitiga, Jakarta
Peringatan – bisa jadi
reviu ini termasuk spoiler!!!
Hmm, baru pertama kali ini saya benar-benar setuju bahwa
judul sangat mencerminkan isi buku. Maksud saya, tanpa perlu berpikir keras
mengartikan makna kata atau frasa, ya… buku ini memang bercerita sebagaimana
judulnya itu, “hanya kita bertiga”,
tokoh lain serupa figuran yang berperan mengantar teh, mengelap perabot,
mengepel, atau membetulkan genteng, selebihnya lampu sorot hanya menyinari
ketiga tokoh utamanya.
Mestinya, cerita bakal menjadi lebih intens karena fokus
tak terbelah untuk mengurusi karakter lainnya. Buat yang suka nonton film horor,
kalau tak salah, film Saw yang
pertama juga tak banyak tokohnya kan, justru digambarkan seseorang yang dicekam
ketakutan lantaran dia disekap (saya sok tahu, nonton saja belum, hihihi). Atau
untuk film romance, ada seri Before Sunrise-Before Sunset-Before
Midnight yang pemerannya juga tidak banyak, tapi tetap mampu menyajikan
kisah romantis nan menyentuh. Namun, buat saya, justru cerita dalam novel ini
seperti kehilangan arah. Seperti katak dalam tempurung, ia hanya bisa menyeruduk
ke sana kemari tapi tetap tak bisa membalikkan tempurung itu, hingga akhirnya
terjebak di titik yang sama selamanya.
gambar dari sini: http://www.shorpy.com |
Tak bisa dimungkiri, seperti yang saya tweet berkali-kali, novel ini dipenuhi
dengan kalimat-kalimat cantik yang quoteable
banget, paling tidak buat saya. Diksinya bagus (saya suka!) dan pas, dengan
alur cerita yang nyaman untuk dibaca. Meskipun demikian, saya kurang suka
dengan gaya sinetronish yang
digunakan pada beberapa bagian novel ini. Gaya ini ditandai dengan seringnya
para tokohnya bermonolog-hati alias ngomong sendiri semacam tokoh-tokoh di
sinetron-sinetron di televisi. Mungkin ini subjektif saja, tapi saya memang
mulai ‘mudah-gerah’ pada novel yang memaksa tokoh yang seharusnya disetir
dengan sudut pandang (point of view –
PoV) orang ketiga harus tampil dalam PoV orang pertama. Bagaimana ya, agak
kurang sreg saja. Buat yang punya masalah serupa pasti sudah paham bagaimana ‘gue-sampe-pengen-muntah’-nya kita kalau
sinetron sudah zoom out dan si
pemeran melotot sambil ada yang ngomong di-dubbing.
Errggh, sampai kepengin nyolok mata si artisnya kalau saya sih. Unfortunately, novel ini menghadirkan sensasi
yang seperti itu.
Novel ini memasang Alia-Tina-Rian sebagai tiga tokoh
utamanya, tapi sebenarnya tokoh Alia-lah yang mendominasi hampir keseluruhan
cerita ini. Saya sempat berharap, kamera akan diputar-putar ke ketiganya,
nyatanya tidak, kamera tetap menyorot Alia seorang. Kisah pilu Tina yang
berasal dari keluarga broken home
atau Rian yang bekerja di sebuah kantor agen periklanan besar yang sounds fun,
tak pernah dihadirkan secara optimal. Sementara, Alia mendapat privilege,
kliniknya selalu dikeker kamera.
Dan, untuk pertama kalinya saya kurang suka dengan satu
tokoh protagonis yang diciptakan sebegini sempurnanya. Cantik, cerdas, karier
cemerlang (dokter gigi yang sudah sanggup buka klinik sendiri), keluarga
harmonis, teman-teman yang baik, pacar superbaik, dan segala keberuntungan lain
ditumplekkan ke Alia seorang. Si tokoh ini hanya dibuat ‘cacat’ dengan
kebingungan mencari apa yang sebenarnya dimauinya. Hidup serbapasti yang nyaman
tapi membosankan ataukah hidup spontan yang penuh kejutan tapi menegangkan? Sudah,
masalah Alia hanya itu, yang saya tangkap. Yah, ada memang satu dari sejuta
orang yang punya masalah ‘sekadar-itu’ saja, tapi kok ya, entahlah, saya jadi
kurang bersimpati saja pada tokoh ini. Berasa kurang bersyukur.
gambar dari sini: http://www.wallpaperswala.com |
Sahabat menjadi cinta adalah tema utama novel ini. Maka,
seperti yang saya bilang di muka, dengan judulnya sendiri yang sudah jelas --Just The Three Of Us--, bisa menebak
bagaimana kisah ini bakal berakhir, kan? Tinggal menngira-ngira saja, siapa
jadian sama siapa. Saya hanya berharap peran Andre dan Daniel lebih banyak
sehingga mampu memberikan sumbangsih yang nyata pada simpul konflik utama novel
ini. (Btw, saya justru suka tokoh Haryo dan Danang, sahabat Rian, yang superkocak itu). Serius deh, saya jadi cuman seperti mendapat cerita: jalan bareng—marahan—baikan—jalan
bareng—marahan—baikan—jalan bareng—jadian. Sudah, begitu saja.
Tema recycle
ini pada dasarnya (kembali) memberikan pemahaman tentang pentingnya sahabat,
sebagaimana salah satu part di
halaman 136 ini:
“Kalian sudah bersahabat begitu lama. Sudah banyak yang kalian lewati bersama. Memang menyedihkan sekali dijauhi sahabat. Tapi jika dia seorang teman sejati, dia seharusnya bisa memaafkanmu. Apa pun kesalahanmu. Sahabat salah satu sumber kekuatan kita selain keluarga. Tanpa sahabat hidup akan terasa sepi.”
Buat saya, tak ada hal baru yang ditawarkan oleh novel
ini. Jalan cerita yang mudah ditebak dan pernik persabahatan yang begitu-begitu
saja membuat saya terkadang membaca cepat dan melewati banyak bagiannya
(berharap menemukan sesuatu yang baru). Namun, saya sangat menyukai gaya
menulis dan diksi yang digunakan. Untuk kamu yang butuh membaca buku dengan
tema ini, selamat membaca novel perdana di genre metropop karya Larasati
Torres-Sanz ini, Just The Three Of Us.
My rating: 2,5 of 5 stars
0 komentar:
Post a Comment