Sunday, September 29, 2013

[Resensi Novel Metropop] Just The Three Of Us by Larasati Torres-Sanz


Cerita yang sesuai (banget) dengan judulnya…

Alia, Rian, dan Tina bertemu di Jogja ketika kuliah, dan sejak itu mereka bersahabat. Persahabatan mereka berlanjut di Jakarta, kota tempat mereka menjalani karier. Alia jadi dokter gigi, Rian jadi copywriter di advertising agency, sedangkan Tina bekerja di biro hukum ternama.

Persahabatan mereka tadinya berjalan mulus, meski Rian dan Tina sering bertengkar sejak pertama kenal. Hingga suatu hari Tina mengaku ke Alia bahwa dia sebetulnya naksir Rian.

Hubungan segitiga mereka semakin ruwet ketika Rian mengarang sandiwara konyol untuk mengelabui kedua orangtuanya dengan melibatkan Alia.

Ternyata persabahatan mirip kedondong, mulus di luar tapi berduri di dalam. Dan mempertahankan persahabatan tetap di jalur yang benar sepertinya memang mustahil jika hati mereka telah terlibat!
 
Pengarang: Larasati Torres-Sanz
Ilustrator: Innerchild Studio
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 272 hlm
Harga: Rp47.000
Rilis: September 2013
ISBN: 978-979-22-9830-7
Kategori: Happy Ending, Sahabat Jadi Cinta, Cinta Segitiga, Jakarta

Peringatan – bisa jadi reviu ini termasuk spoiler!!!

Hmm, baru pertama kali ini saya benar-benar setuju bahwa judul sangat mencerminkan isi buku. Maksud saya, tanpa perlu berpikir keras mengartikan makna kata atau frasa, ya… buku ini memang bercerita sebagaimana judulnya itu, “hanya kita bertiga”, tokoh lain serupa figuran yang berperan mengantar teh, mengelap perabot, mengepel, atau membetulkan genteng, selebihnya lampu sorot hanya menyinari ketiga tokoh utamanya.

Mestinya, cerita bakal menjadi lebih intens karena fokus tak terbelah untuk mengurusi karakter lainnya. Buat yang suka nonton film horor, kalau tak salah, film Saw yang pertama juga tak banyak tokohnya kan, justru digambarkan seseorang yang dicekam ketakutan lantaran dia disekap (saya sok tahu, nonton saja belum, hihihi). Atau untuk film romance, ada seri Before Sunrise-Before Sunset-Before Midnight yang pemerannya juga tidak banyak, tapi tetap mampu menyajikan kisah romantis nan menyentuh. Namun, buat saya, justru cerita dalam novel ini seperti kehilangan arah. Seperti katak dalam tempurung, ia hanya bisa menyeruduk ke sana kemari tapi tetap tak bisa membalikkan tempurung itu, hingga akhirnya terjebak di titik yang sama selamanya.

gambar dari sini: http://www.shorpy.com
Tak bisa dimungkiri, seperti yang saya tweet berkali-kali, novel ini dipenuhi dengan kalimat-kalimat cantik yang quoteable banget, paling tidak buat saya. Diksinya bagus (saya suka!) dan pas, dengan alur cerita yang nyaman untuk dibaca. Meskipun demikian, saya kurang suka dengan gaya sinetronish yang digunakan pada beberapa bagian novel ini. Gaya ini ditandai dengan seringnya para tokohnya bermonolog-hati alias ngomong sendiri semacam tokoh-tokoh di sinetron-sinetron di televisi. Mungkin ini subjektif saja, tapi saya memang mulai ‘mudah-gerah’ pada novel yang memaksa tokoh yang seharusnya disetir dengan sudut pandang (point of view – PoV) orang ketiga harus tampil dalam PoV orang pertama. Bagaimana ya, agak kurang sreg saja. Buat yang punya masalah serupa pasti sudah paham bagaimana ‘gue-sampe-pengen-muntah’-nya kita kalau sinetron sudah zoom out dan si pemeran melotot sambil ada yang ngomong di-dubbing. Errggh, sampai kepengin nyolok mata si artisnya kalau saya sih. Unfortunately, novel ini menghadirkan sensasi yang seperti itu.

Novel ini memasang Alia-Tina-Rian sebagai tiga tokoh utamanya, tapi sebenarnya tokoh Alia-lah yang mendominasi hampir keseluruhan cerita ini. Saya sempat berharap, kamera akan diputar-putar ke ketiganya, nyatanya tidak, kamera tetap menyorot Alia seorang. Kisah pilu Tina yang berasal dari keluarga broken home atau Rian yang bekerja di sebuah kantor agen periklanan besar yang sounds fun, tak pernah dihadirkan secara optimal. Sementara, Alia mendapat privilege, kliniknya selalu dikeker kamera.

Dan, untuk pertama kalinya saya kurang suka dengan satu tokoh protagonis yang diciptakan sebegini sempurnanya. Cantik, cerdas, karier cemerlang (dokter gigi yang sudah sanggup buka klinik sendiri), keluarga harmonis, teman-teman yang baik, pacar superbaik, dan segala keberuntungan lain ditumplekkan ke Alia seorang. Si tokoh ini hanya dibuat ‘cacat’ dengan kebingungan mencari apa yang sebenarnya dimauinya. Hidup serbapasti yang nyaman tapi membosankan ataukah hidup spontan yang penuh kejutan tapi menegangkan? Sudah, masalah Alia hanya itu, yang saya tangkap. Yah, ada memang satu dari sejuta orang yang punya masalah ‘sekadar-itu’ saja, tapi kok ya, entahlah, saya jadi kurang bersimpati saja pada tokoh ini. Berasa kurang bersyukur.

gambar dari sini: http://www.wallpaperswala.com
Sahabat menjadi cinta adalah tema utama novel ini. Maka, seperti yang saya bilang di muka, dengan judulnya sendiri yang sudah jelas --Just The Three Of Us--, bisa menebak bagaimana kisah ini bakal berakhir, kan? Tinggal menngira-ngira saja, siapa jadian sama siapa. Saya hanya berharap peran Andre dan Daniel lebih banyak sehingga mampu memberikan sumbangsih yang nyata pada simpul konflik utama novel ini. (Btw, saya justru suka tokoh Haryo dan Danang, sahabat Rian, yang superkocak itu). Serius deh, saya jadi cuman seperti mendapat cerita: jalan bareng—marahan—baikan—jalan bareng—marahan—baikan—jalan bareng—jadian. Sudah, begitu saja.

Tema recycle ini pada dasarnya (kembali) memberikan pemahaman tentang pentingnya sahabat, sebagaimana salah satu part di halaman 136 ini:
“Kalian sudah bersahabat begitu lama. Sudah banyak yang kalian lewati bersama. Memang menyedihkan sekali dijauhi sahabat. Tapi jika dia seorang teman sejati, dia seharusnya bisa memaafkanmu. Apa pun kesalahanmu. Sahabat salah satu sumber kekuatan kita selain keluarga. Tanpa sahabat hidup akan terasa sepi.”

Buat saya, tak ada hal baru yang ditawarkan oleh novel ini. Jalan cerita yang mudah ditebak dan pernik persabahatan yang begitu-begitu saja membuat saya terkadang membaca cepat dan melewati banyak bagiannya (berharap menemukan sesuatu yang baru). Namun, saya sangat menyukai gaya menulis dan diksi yang digunakan. Untuk kamu yang butuh membaca buku dengan tema ini, selamat membaca novel perdana di genre metropop karya Larasati Torres-Sanz ini, Just The Three Of Us.

My rating: 2,5 of 5 stars

0 komentar:

Post a Comment