Sarah, single mom dari satu anak TK yang kritis dan suka bertanya segala hal, mulai dari pertanyaan sederhana seperti—Kenapa kita ulang tahun cuma satu tahun sekali, Ma?—sampai pertanyaan yang tidak bisa dijawab macam, “Mama, di mana Papa?”
Pada usianya yang masih 20-an, Sarah belajar dengan cara sulit bahwa hidup ini tidak seindah dongeng. Tak ada yang namanya Prince Charming. Namun ketika bertemu dengan Jeremy, Sarah bertanya apakah mungkin harapan itu masih ada. Bersama Jeremy, Sarah berpikir segalanya mungkin hingga ayah dari putrinya kembali ke dalam hidupnya.
Ketika kebahagiaan nyaris dalam genggaman, Sarah dihadapkan pada batu ujian hidup... terutama ketika dia harus kehilangan orang terpenting dalam hidupnya.
Judul: Just Another Birthday
Pengarang: Rina Suryakusuma
Pewajah sampul: Marcel A.W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 248 hlm
Harga: Rp48.000
Rilis: November 2013
ISBN: 978-979-22-9948-9
Membaca karya-karya Rina Suryakusuma selalu menerbitkan rasa damai dan menghindarkan sikap pesimistis. Kisah-kisah rekaannya selalu sukses membuat pembacanya, setidaknya saya, ikut optimis bahwa di setiap kesulitan pasti ada jalan keluar. Teruslah berjuang, maka setiap masalah akan dapat terpecahkan.
Just Another Birthday (JAB) pun membawa napas optimisme serupa.
Berkisah tentang Christina Sarah, seorang single mom yang mesti berjuang
mengasuh dan membesarkan anak semata wayangnya, Cassie, tanpa sosok lelaki yang
berperan sebagai suami sekaligus ayah di sisinya, bahkan sejak ia mengandung
gadis cilik yang kini genap berusia 4 tahunan itu. Lelaki pengecut itu, Rommy,
tega meninggalkannya sendiri dan menghindar dari tanggung jawab. Untung ada
sosok Mama yang selalu mendampingi Sarah dalam melalui segala macam hal pelik
dalam kehidupannya.
Kalau kamu sudah sering membaca karya seorang penulis,
maka kamu akan merasai sensasi yang familier ketika membaca karya penulis itu
sekali lagi. Dan, saya pun merasakannya ketika membaca JAB ini. Kekhasan Rina
yang tampil dalam diksi-diksi yang sederhana namun anggun sekaligus berbalutkan
nuansa religius berhasil membuat saya betah membaca dan merampungkan novel ini.
Energi positif menguar jelas ketika ikut terlarut dalam mengarungi perjalanan
hidup tokoh utamanya.
Tentang topik single
mother, buat saya, selalu menarik untuk diikuti, meskipun tak dapat
disangkal kepentingan ‘moral’ ikut bermain selama proses pembacaan. Semua hal
memang dapat diperdebatkan, tetapi tiap orang pasti punya prinsip masing-masing
yang tak dapat diganggu gugat orang lain. Pun dalam kasus single mother semacam ini, saya akan menilik sikap pribadi. Bagaimana
judgement saya pada Sarah, sang single mother? Mengapa ia menjadi single mother? Apakah latar belakangnya ‘negatif’
atau ‘positif’? Apakah saya sepatutnya bersimpati padanya atau menyalahkannya? Hal-hal
semacam itu bermain-main di benak saya dan sedikit banyak menggiring opini saya
pada banyaknya kemungkinan yang seharusnya terjadi pada Sarah. Dan, well, ada kalanya saya memang
menyalahkan Sarah di sini, tapi saya pun sadar bahwa “life must go on”, “nobody’s
perfect”, satu kesalahan pada perempuan bisa berakibat fatal hingga akhir
hayat. Pahamilah. Ambil pelajarannya. Jadikan cermin hidup. Keputusan ada di
masing-masing kita, mau memperbaiki diri atau tetap mengulang kesalahan yang
sama.
Setelah Lullaby
saya memang selalu menunggu penulis bisa membuat twist yang sedahsyat twist
dalam Lullaby. Saya melihat ada kemungkinan itu di JAB, dengan menghadirkan
sosok Mama, namun, entah kenapa saya justru sudah bisa menebak dari awal
sehingga tak mendapati surprise apa
pun ketika apa yang saya tebak memang terbukti. Saya justru berharap Cassie
yang menjadi twist-nya, alih-alih
sang Mama.
Dari segi cerita cukup klise sebenarnya. Antara bos yang
dikenal galak dan anak buah yang sedikit bandel. Untung latar belakang Sarah
yang single mother bisa menjadikan
kisah ini sedikit berwarna. Meskipun jika menilik ke belakang, sudah ada Perang
Bintang-nya Dewie Sekar atau sepenggal kisah dalam Metamorfosa Oase-nya Retni
SB mengangkat isu yang sama.
Salah satu turn off
saya pada novel ini adalah pernyataan Jeremy di ujung cerita bahwa ia sejatinya
sudah menaruh perhatian pada Sarah sejak kali pertama Sarah diterima bekerja di
kantor itu. Arrrrgggrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrghhhhhhhhhhhhhhhhhhh… klise paling
klise ya bagian ini, menurut saya. Dan, saya tak suka ini. Oh, bukan, saya
benci bagian ini. Buat apa ada pernyataan semacam ini? Oke, memang diperlukan
sebuah alasan mengapa seorang bos yang dikenal angker oleh banyak pegawai
justru luluh di hadapan seorang Sarah, tapi tidak juga dengan pernyataan bahwa,
“Aku sudah memperhatikanmu sejak kamu bekerja di sini,” preeeetdah! Adegan semacam
ini tuh saya ibaratkan mirip adegan di film aksi ketika penjahatnya sudah
berhasil meringkus si pahlawan tapi mau membunuh saja si penjahat ini ngoceh
terus, membeberkan kenapa dan bagaimana ia berbuat jahat. Ujung-ujungnya
penjahat itulah yang berbalik malah terbunuh. Kenapa sih kalau sudah berhasil
menangkap Batman, Joker nggak langsung nembak atau nampol si Batman yang sudah
terikat, dan malah ceramah? Hihihi… ya kalau pahlawannya mati, rusak dong skenario,
“Kebaikan selalu menang melawan kejahatan, ya?” #gilasendiri
gambar dari sini: http://joe-renaissanceman.blogspot.com |
Mengupas para tokohnya,terkadang saya masih merasa Cassie
tampil dalam tutur kata orang dewasa ketika mendapat porsi dialog. Masih perlu
sedikit sentuhan lagi untuk si kecil ini benar-benar terasa kanak-kanak. Menurut
saya, membuat karakter anak-anak yang tampil sesuai umurnya adalah salah satu
teknik menulis paling sulit. Entah karena dalam keseharian saya tak bergumul
dengan anak-anak atau bagaimana sehingga gambaran saya akan tokoh anak-anak
memang minim. Mungkin hal tersebut yang memengaruhi kemampuan saya menangkap
sensasi kanak-kanak dari tokoh anak-anak.
Untuk tokoh Sarah sendiri, sebagai ‘aku’ ia sudah bertutur dengan
baik. Sarah digambarkan sebagai sosok perempuan mandiri namun dirundung sepi. Sikapnya
yang kadang tergesa-gesa mengambil keputusan, lalu mengubahnya lagi di menit
berikutnya, bagi saya memang agak mengganggu. Sedangkan untuk Jeremy, hmm,
secara keseluruhan oke, cocok dengan penggambaran sebagai seorang family man. Meskipun, saya agak kurang
sreg ketika di adegan-adegan terakhir Jeremy terkesan cerewet, banyak omong,
dan rayuannya terlalu manis.
Secara keseluruhan, saya suka kisah ini. Konfliknya memang
sempit tapi tampil 'cukup' dan tidak berlebihan. Karena sudah tahu pakem novel
Amore, maka saya tak heran bahwa novel ini tampak feminin, halus, manis, dan
penuh cinta.
Catatan tekis: masih ada beberapa typo, meski tak signifikan, tapi kalau lebih cermat maka novel ini tentu saja akan menjadi lebih baik lagi (secara cetakan).
Selamat membaca, kawan!
0 komentar:
Post a Comment