First line:
Dia menyelinap turun dari tempat tidur.
“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel
“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana
Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
Goodreads: “Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana
Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
Judul: Last Forever
Pengarang: Windry Ramadhina
Penyunting: Jia Effendie
Penerbit: Gagas Media
Tebal: vi + 378 halaman
Rilis: 20 Oktober 2015
ISBN: 9789797808433
Rating: 2,5 out of 5 star
ide cerita dan eksekusinya:
Sebagaimana telah dinyatakan dengan cukup jelas di sinopsis (blurb)-nya, Last Forever berkisah tentang dua tokoh antikomitmen yang justru harus tunduk pada komitmen. Dalam perjalanannya, konflik ini dibumbui perang batin masing-masing (terutama menyangkut prinsip hidup dan karier) ditambah kisah hidup orang terdekat mereka yang sedikit-banyak memberi pengaruh bagi pengambilan keputusan.
Namun, ya, begitu saja. Tak seperti Memori atau Interlude atau Walking After You atau London: Angel yang memberi kesan begitu mendalam dan kompleks, Last Forever selesai begitu saja. Hampir tak ada rasa yang membekas ketika saya membalik halaman terakhirnya. Bahkan, ending-nya pun terasa... ya, begitu saja. Tidak ada ledakan yang mengejutkan. Tidak ada lelehan manis yang memabukkan. Entahlah, kali ini saya dicukupkan hanya pada kenikmatan diksi racikan Windry Ramadhina yang, seperti biasa, demikian indah.
meet cute:
Kedua tokoh utama sudah saling mengenal sehingga tak ada adegan perkenalan bernuansa romantis, paling hanya ketika salah satu tokoh membuka lembar ingatan saat mereka kali pertama bertemu dalam sebuah event di Cannes.
plot, setting, dan karakter:
Last Forever beralur maju, dengan beberapa bagian para tokohnya memutar kenangan masa lalu dalam rangka pengembangan konflik atau penguatan karakternya.
Last Forever ber-setting waktu modern (masa kini tanpa penyebutan tahun secara pasti) dengan setting lokasi: Jakarta, Flores, dan Washington. Sebagian besar cerita terjadi di Jakarta tapi Flores adalah lokasi sumber konflik. Oleh karena latar belakang para tokohnya, ada sedikit gaya penceritaan kisah perjalanan (traveling) di lokasi-lokasi tersebut.
sumber: travel.kompas |
konflik:
Well, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konfliknya cuma satu: perang batin dua tokoh antikomitmen. Lana dan Samuel digambarkan sebagai dua pekerja kekinian yang hampir-hampir tak lagi terikat adat ketimuran. Keduanya memilih berhubungan tanpa status, tanpa komitmen, dan mungkin (awalnya) tanpa cinta.
Ini juga yang membuat saya agak terganggu selama proses pembacaan. Tumben banget, Windry membuat tokohnya sedemikian bebas. Pun, orang-orang di sekitar mereka seolah-olah mengamini dan mendukung mereka. Hanya ibu Lana saja yang sepertinya berkeberatan meskipun hanya sejenak. Namun, ini murni preferensi pribadi saya saja. Mungkin saya kolot, mungkin saya tidak open-minded, hanya saja saya selalu dan terus berharap para pengarang tetap berupaya mengampanyekan hal-hal baik, minimal yang telah disepakati secara umum.
Bumbu konflik utama minim sekali. Poros bumi sepertinya hanya berpusar pada Lana-Samuel. Sumbangan subplot yang paling terasa hanya pada rahasia kehidupan pernikahan orangtua Lana. Selebihnya hanya remahan yang melingkupi tarik ulur antara Lana dan Samuel. Karenanya saya sampai membaca-cepat alias skimming dengan melewati banyak bagiannya. Entahlah, apakah ada hal penting yang akhirnya tak tertangkap radar baca saya, tapi saya rasa tidak.
ending:
catatan:
Sebagai seseorang yang bercita-cita bisa menulis dan menerbitkan buku sendiri, saya menyukai gaya menulis Windry yang tak berlagak serbatahu. Contohnya: Windry tak pernah menarasikan sesuatu yang belum terdefinisikan lewat jalan tengah seperti ketika menggambarkan warna sesuatu: kehitam-hitaman, kecokelatan, keemasan, dan sebagainya alih-alih langsung menyebut: berwarna hitam, cokelat, atau emas.
kesimpulan:
So far, Last Forever menjadi novel Windry yang paling tidak saya favoritkan, menyusul kemudian Orange. Biasanya selalu ada kesan mendalam selepas membaca karya-karya Windry, tapi saya tak mendapatinya kali ini. Selama proses pembacaan saya hanya merasa datar-datar saja. Karakter yang coba dibangun pun hanya sanggup bertahan sampai pertengahan, setelahnya tak bisa membuat saya bersimpati kepada keduanya. Pat dan Rayyi mungkin menyumbang poin untuk novel ini, tapi saya justru kepincut sama Nora. Asisten Samuel ini benar-benar menyenangkan, tampak tanpa beban, dan sepertinya bisa menaklukkan siapa saja yang dihadapinya. Maka, kali ini saya hanya menyematkan 2,5 bintang dari skala 1-5, dengan poin besar untuk diksi menawan khas Windry.
Kini, tinggal menunggu Angel in the Rain. Saya (lumayan) suka London: Angel dan berharap bisa kembali tak hanya menyukai diksinya saja tapi juga sekaligus cerita racikan Windry. Semoga! Selamat membaca, tweemans.
end line:
Bertiga, mereka melewatkan pagi.