tidak benar-benar digunakan dalam buku #WanderWoman, tapi testimoni dari Prameshwari Sugiri, dan saya setuju dengan penempatan quote ini di testimoni-nya, pas dengan napas bukunya |
First line:
Not all those who WANDER are lost (J.R.R. Tolkien).
--Prolog
"Tolkien mengatakan,“Not all those who wander are lost.” Tidak semua orang yang berkelana kehilangan arah. Tanyakan saja pada Arumi, Cilla, Sabai, dan Sofia—empat sahabat yang terpencar di berbagai negara. Dalam cerita mereka yang terinspirasi dari kisah nyata ini, “tersesat” punya makna berbeda. For them, home is never a place, but people—and sometimes even suitcases.
Kisah mereka bergulir dengan menarik dan membuat saya sebagai pembaca tak sabar untuk membalik setiap lembarnya. Inspiratif dan membuka wawasan!
—Rina Suryakusuma, penulis novel Gravity dan Falling
The best mother is the mother who adapts. Melalui keseharian empat sahabat ini, kita diajak mengingat salah satu kunci utama menjalankan peran seorang ibu: adaptasi.
—Prameshwari Sugiri, Pemimpin Redaksi & Pemimpin Komunitas Ayahbunda & Parenting Indonesia
Kisah para istri yang “dipaksa” hidup nomaden ini membuka mata mengenai budaya dan gaya hidup di luar Indonesia, dilihat dari kacamata orang-orang Indonesia.
—Susan Poskitt @pergidulu, travel writer"
Goodreads (06/11/2016 at 21.23 PM):
Kisah mereka bergulir dengan menarik dan membuat saya sebagai pembaca tak sabar untuk membalik setiap lembarnya. Inspiratif dan membuka wawasan!
—Rina Suryakusuma, penulis novel Gravity dan Falling
The best mother is the mother who adapts. Melalui keseharian empat sahabat ini, kita diajak mengingat salah satu kunci utama menjalankan peran seorang ibu: adaptasi.
—Prameshwari Sugiri, Pemimpin Redaksi & Pemimpin Komunitas Ayahbunda & Parenting Indonesia
Kisah para istri yang “dipaksa” hidup nomaden ini membuka mata mengenai budaya dan gaya hidup di luar Indonesia, dilihat dari kacamata orang-orang Indonesia.
—Susan Poskitt @pergidulu, travel writer"
Goodreads (06/11/2016 at 21.23 PM):
Judul: Wander Woman
Pengarang: Nina Addison, Irene Dyah, Fina Thorpe-Willett, dan Silvia Iskandar
Penyunting: -
Penerbit: Gramedia
Tebal: 360 hlm
Rilis: 19 September 2016
Genre: semi-fiksi
ISBN: 978-602-03-3375-5
My Rating: 3,5 out of 5 star
ide cerita dan eksekusinya
Seperti bisa dibaca di bagian Prolog dan Ucapan Terima Kasih di bagian belakang, buku ini ditulis (dan disusun) berdasar sekelumit kisah hidup senyatanya dari keempat pengarang. Perempuan. Istri. Ibu. Ekspat. Suka-duka tinggal di luar negeri. Secara gamblang di bagian Prolog, para pengarang menyatakan, "Mereka berempat hanyalah wanita-wanita biasa yang berusaha tetap waras dan bahagia, berusaha tidak tersesat dibawa berkelana tinggal di berbagai negara".
Saya tak bisa menyebut buku ini sepenuhnya non-fiksi atau fiksi, maka saya mengategorikannya "semi-fiksi". Ada elemen-elemen nyata dari pengalaman masing-masing saat bergulat dengan gegar-budaya di negara yang mereka tinggali, tapi ada pula kemasan fiksi dari racikan diksi dan narasi yang digunakan. Oleh karenanya, saya pun memberi judul "Resensi Buku Metropop" alih-alih #novelMetropop.
Buku ini terdiri dari empat cerita. (agak) Berkaitan, tapi enggak nyambung. Kalaupun iseng disobek jadi empat bagian, ceritanya bisa berdiri sendiri-sendiri. Kita tidak akan kebingungan meskipun hanya membaca satu bagiannya saja. Bahkan satu bagiannya pun bisa terdiri dari subbagian lain yang tidak langsung berkaitan. Jadi, jangan mengharapkan cerita bakal runut, semua serba lompat-lompat. Mungkin karena keempat pengarang memilih menceritakan pengalaman mereka tinggal di lebih dari satu negara (kecuali Sofia yang dikisahkan hanya tinggal di Australia saja). Itu pula yang membuat buku ini (jika dipaksakan berunsur fiksi) tak bisa disebut novel. Lalu, di setiap akhir subbagiannya tersedia Fun Facts yang sebagian besar memberi penjelasan (latar belakang) atas ceritanya. Some of them are (quite) interesting, but mostly they're boring.
kesan per bagian
Cilla: Amerika Serikat - Skotlandia by Nina Addison
Surprisingly, my least favorite part of the book. Entah memang ditulis dalam nuansa buru-buru atau dasar karakter para tokohnya, saya kurang bisa larut dalam kisah Cilla dan suaminya, Will, dan kedua anaknya, Alex dan Emily. Pada bagian ini saya sempat komplain di Twitter soal tokoh Cilla yang Indonesia dan para native-nya yang, kok, ya ngindonesia banget. Berharap, minimal, ketika berdialog para native-nya ya terasa native bukan malah kayak orang Indonesia. Bahasa Jawa nyebutnya wagu. Kenikmatan menyerap info lucu dalam kisah Cilla jadi kurang menyenangkan. Oh, well, cerita tentang suka-duka mendapatkan SIM di Skotlandia seru juga, sih.
Aberdeen di bulan Desember adalah tempat yang lebih dingin daripada suhu kulkasmu. |
And, this one is my second least favorite. Masalahnya hampir serupa dengan Cilla, tokoh dan para native-nya campur-aduk. Padahal, saya sudah bersiap menikmati London dari dekat. Sabai dan suami, Mark, serta tiga anak mereka: Lexie, Emma, dan Ariana, seharusnya bisa bikin saya baper soal London. Sayang, kurang menyenangkan juga. Catatan: cerita soal Sabai yang hampir kena tuntutan karena parkir mobil sembarangan di Korea bikin saya cengengesan sendiri.
setiap melihat bus tingkat merah melintas (di jalanan London), rasanya ingin melompat naik dan ikut ke mana pun benda itu pergi. |
Mood baca saya mendadak naik begitu mendapati bagian Sofia ini. Diksi dan narasinya pas dengan selera saya. Paduan budaya dari cara berkomunikasi para tokohnya juga sudah sesuai harapan. Konflik (jika bisa disebut begitu) juga lumayan kompleks. Sedikit banyak saya mendapat pemahaman seputar layanan kesehatan dan pendidikan di Australia. Di bagian ini saya juga menyukai fun facts yang disertakan. Cerita Sofia, Ronald (suami), dan Celly (anak) bisa saya nikmati dalam kapasitas yang cukup. Berulang kali saya tergelak sembari memonyongkan bibir membentuk kata "O" besar setiap mendapat info terbaru tentang apa pun dari negeri Kanguru itu. Well done, Silvia. Saya jadi pengin baca karya Silvia yang lain. Masukin keranjang wish-list dulu, deh.
waktu menunjukkan pukul setengah lima sore dan matahari musim semi (di Sydney) masih bersinar terang. |
This is my most favorite part of the book. Semua kekurangan dari kisah-kisah sebelumnya berhasil dihindari oleh Irene. Semua unsur cerita ada di sini. Karakter, setting lokasi, konflik, ornamen khas fiksi dan diksinya sukses membuat saya bersemangat merampungkan-baca buku ini. Arumi dan Yuza, suaminya, serta kedua anak mereka, Raya dan Tahlia, bercerita dengan penuh rasa di tiga tempat berbeda. Well, tanpa banyak kata, cukup: please, Irene, buat dong novel dari kisah Arumi sekeluarganya ini. Would love reading it.
demo di Bangkok amaaan. mai pen laaai. kalau demonya rusuh, orang Bangkok juga yang rugi. jadi kita protes dengan cara meriah dan damai saja. dari rakyat untuk rakyat. |
Secara teknis, masih ada beberapa typo yang terlewat. Justru di bagian Arumi yang banyak typo-nya, huhuhu. Saya juga berharap format buku ini makin kental nuansa fiksinya. Plus, lompatan antarsubbagiannya tidak sedemikian drastis. Contohnya kisah tentang Cilla yang awalnya tinggal di Houston, AS, kemudian diceritakan sudah berada di Skotlandia. Tak ada jembatan antara yang menjelaskan lompatan setting-nya itu. Namun, lagi-lagi saya menyukai bagian Arumi. Lompatannya tidak terlampau drastis dan bahkan ada jembatan antara yang cukup untuk menjelaskan mengapa Arumi sekeluarga akhirnya kembali ke Indonesia.
Oke, selamat membaca tweemans.
End line:
Mari kita pulang, Nak. Mama akan bikin bakwan kesukaanmu...
0 komentar:
Post a Comment