Rating: 2,5 stars
Judul: I Ordered my Wife From The Universe
Penulis: Stanley Dirgapradja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 328 hlm
Harga: Rp45.000 (disc 25% TM Bookstore Depok – Best Price category)
Rilis: Februari 2011
ISBN: 978-979-22-6707-5
Database Goodreads: http://www.goodreads.com/book/show/10530048
Tuhan menyediakan pasangan jiwa bagi setiap manusia, bahkan untuk seseorang yang memiliki berat badan di atas 90kg sekalipun.
isssh…maen fisik nih, hihihi…
Teguh Pradana Wirawan adalah seorang eksekutif muda, mapan, siap menikah, stylish, up to date, mewah, dan memiliki pekerjaan idaman, serta seorang perempuan super cantik yang membuat pria lain senantiasa iri kepadanya. Namun, timbangan berat badannya yang melebihi batas ideal selalu menerbitkan rasa minder yang terkadang berlebihan, bahkan menenggelamkannya dalam kenaifan. Karena itulah, peringatan sahabat-sahabatnya soal isu negatif kekasihnya sering dianggapnya angin lalu belaka. Dan, ketika segala rahasia kelam perempuan pujaannya tersingkap, leburlah harapannya akan masa depan nan indah bersama perempuan yang disayanginya itu.
Teguh jatuh dalam keterpurukannya. Tubuhnya yang gemuk masih selalu menjadi alasan untuk menyalahkan dirinya sendiri. Dia pikir, gadisnya berpaling ke laki-laki lain karena berat badannya yang berlebih. Pada jurang terdasar kejatuhannya, seorang perempuan lain hadir memberikan secercah cahaya yang memandunya mendaki puncak terang kebahagiaan di atas sana. Dan ia percaya, Tuhan lah yang secara khusus mengirimkan perempuan itu kepadanya. Meskipun, pada kenyataannya perempuan itu tak sesempurna seperti yang disangkanya. Apakah perih yang dirasainya mampu tersembuhkan oleh kehadiran perempuan tersebut? Apakah akhirnya Teguh mampu menerima dirinya apa adanya dan mulai berdamai dengan kondisi tubuh gemuknya? Lalu, apa yang musti ia lakukan ketika dari perempuan masa lalu yang telah mengkhianatinya kembali hadir dalam hidupnya kini? Simak liku-liku kehidupan Teguh yang penuh dengan percikan air mata dan luka namun terkadang juga terselip tawa dan bahagia dalam novel metropop terbaru karya Stanley Dirgapradja ini.
Pattern metropop-nya tidak menyajikan sesuatu yang baru, namun Stanley dengan piawainya menciptakan karakter yang tak biasa hadir dalam standar dunia rupawan kebanyakan novel metropop. Hampir mirip karakter Bridget Jones yang direkayasa Helen Fielding untuk novelnya Bridget Jones’s Diary, Teguh adalah tokoh rekaan Stanley yang punya masalah dengan berat badan berlebih. Simbol-simbol metropolis disematkan melalui atribut pekerjaan impian yang rasanya begitu mudah diraih dan dijalankan, kekayaan yang meruah, serta tebaran merk-merk fashion terkemuka dunia yang mmm… selalu menjadi salah satu faktor novel lini ini dihujat, terlalu pamer, show off, dan kurang membumi. Terlepas dari unsur klise tersebut, tokoh Teguh memberikan warna yang berbeda (dalam arti positif) sebagai tokoh ‘aku’ yang protagonis pada novel ini, yang membuatnya tak sama dengan novel metropop lainnya. Konflik kepercayaan diri akibat bobot berlebih ini cukup fokus hingga separuh bagian pertama, meskipun kemudian seolah terlupakan dan bahkan tak menyisakan ‘bentuk’nya hingga ke ujungnya.
Stanley juga secara cemerlang menyajikan pilihan diksi yang menakjubkan, meskipun di beberapa bagian, dia terpeleset juga melakukan repetisi atas diksi-diksi tersebut, sehingga mengurangi keistimewaan diksinya itu sendiri. Syukurlah, frekuensi repetisi itu tidak terlampau sering.
Pada mulanya, konflik berputar-putar pada beban rasa percaya diri yang dipikul Teguh akibat fisiknya yang gemuk itu. Balutan kisah asmara semu yang diselipkan sebagai bumbu kekacauan di paruh pertama cerita nyatanya cukup mudah ditebak bagaimana akhirnya. Untunglah, Stanley menghadirkan karakter lain yang membuat kisah ini memiliki kerlip pesona yang lain. Jujur saja, konflik yang ada memang tidak sedahsyat yang saya harapkan. Keterpurukan Teguh yang nggak pedean ini terasa begitu dangkal dan mudah saja dilalui. Secara pribadi, tidak ada tokoh yang dapat saya nikmati ‘akting’nya di novel ini. Sebenarnya saya ingin bisa menyukai tokoh Teguh, sayang untuk beberapa hal karakterisasinya kurang masuk jika menelisik latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan pengalaman hidup yang disematkan kepadanya.
Sebagai sebuah bacaan, novel ini mengalir dengan lancar. Ia membawa pembaca (paling tidak saya) larut bersama setiap pergantian lembaran kehidupan keseharian dari tokoh-tokohnya. Saya ikut senang ketika Teguh menemukan kesenangan; saya prihatin ketika Teguh mendapati luka hati yang baru lagi; saya ikut bersemangat ketika Teguh menemukan muse baru untuk bangkit. Tapi, ya, hanya sekadar mengalir. Memang banyak quote-quote keren yang disajikan Stanley, sayang (bagi saya pribadi) saripati dari kisah pergulatan seseorang dalam mengalahkan kelemahan terbesarnya justru tidak mencapai klimaks sebagaimana yang saya harapkan.
Salah satu quote favorit saya ada di halaman 88:
Aku tidak akan menyalahkan siapa pun, tidak akan menyebarkan amarah ini pada siapa pun. Kurasa aku sudah cukup dewasa untuk tidak menyebarkan kekesalanku pada lingkunganku.
Sementara, satu adegan paling romantis menurut saya adalah ketika Teguh mengajak kekasihnya yang ….tetttttttttttttttttt….untuk berenang, yang dideskripsikan dengan manis oleh Stanley di halaman 303-306.
Durururururummmmmmm…..why oh why, banyak sekali typo-nya sihhhh. Saya sempat curiga bahwa proofreader-nya mulai bosan dengan cerita yang datar sehingga tampak tergesa dan tak lagi awas memeriksa tiap detail kata per katanya. Begitu juga editor-nya. *asli nuduh*. Nah, beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
(hlm. 18) “Guh, semalam Ibu…bla…bla…...duh Nduk, kapan toh kamu mau nikah dan memberi Bapak dan Ibu cucu? …bla…bla...” Kalau tak salah itu sms Ibu pada Teguh, kenapa jadi disebut, Nduk?Yang masih membuat saya bingung hingga kini adalah:
(hlm. 41) …ini salah satu kartu kreditmu ada tangan dia, …sepertinya ada yang ketinggalan, harusnya ada kata di di antara ada dan tangan.
(hlm. 56) aneh nggak sih kalimat ini: Aku membeli sebuket tulip dan sekotak Premium Swiss Chocolate dan membawaku menuju lantai 21,” jadi yang membawa ‘aku’ itu sebuket tulip dan sekotak cokelat? Ataukah itu seharusnya lift yang membawanya ke lantai 21?
(hlm. 86) tunjukan = tunjukkan, (92) menunjukan = menunjukkan
(hlm. 195) saya dan aku dipakai secara inkonsistensi di dalam satu paragraf, oh GOD!
(hlm. 202) automatis = otomatis?
(hlm. 306) Vemmy, harusnya Vemy (dengan m satu saja)
(hlm. 249) dan keteledoran paling fatal ada di halaman ini, bayangkan dalam satu paragraf bisa tertukar-tukar nama begitu (OH MY GOD), bagi saya ini adalah kesalahan paling tak termaafkan. *lebay*
1. Apakah kata “sudah menemaniku dua tahun ini” (hlm. 17) itu sama artinya dengan “sudah hampir tiga tahun ini kami bersama” (hlm. 46)?
2. Apakah mereka (Teguh dan pasangannya) membawa beberapa handuk karena di (hlm. 295): “Kututup bagian bawahku dengan handuk kuning yang kami bawa tadi.” (hlm. 300): “Aku bangkit berdiri dan kuletakkan handuk putihku di kursi.” So, handuknya berubah warna dengan sendirinya atau memang ada dua jenis handuk yang dibawa (yang tidak diceritakan)?
Pada akhirnya, saya cukup terhiburkan oleh novel ini, meskipun sepertinya saya tidak ada keinginan untuk membacanya ulang dan sangat siap untuk melemparnya dalam tumpukan “buku sudah dibaca dan belum diniatkan untuk dibaca ulang.”
Selamat membaca, kawan!
Salam kenal mas Ijul.
ReplyDeleteSy jg sempat baca novel ini, ceritanya lumayan, tp mmg ada kejanggalan2 dlm hasil editan tulisannya.
Cukup menginspirasi jg, terutama pd crta si Teguh menggambar hati yang besar dan merah itu dan berdoa agar cintanya sebesar dan semerah gambarnya. :)
Salam pecinta buku!
wah saya lagi incer buku ini lho. tapi kehabisan mulu.
ReplyDeleteitu sebutan "nduk" untuk Teguh memang ada dalam bahasa Jawa yang artinya "Nak" :)
ReplyDelete