Monday, December 29, 2014

Masih sempatkah aku meminta maaf padamu sekarang, B?


Aku benci ketika kami bertengkar. Gulungan emosi akan membakar semua logika, lalu hanyalah kata-kata yang saling menyakiti yang akan terlontar dari bibir kami. Tak ada lagi ucapan saling menguatkan. Apalagi saling menenangkan. Ego menjadi satu-satunya yang didahulukan. Kalau sudah begitu, aku mensyukuri kami menjalani hubungan jarak jauh. Tak perlu saling menghindari kami sudah otomatis terpisahkan.

Dan, setiap kali sehabis bertengkar dengan kekasihku –aku memanggilnya B—di seberang sana, aku mesti mencari cara untuk mendinginkan pikiran. Sepotong tiramisu yang baru dikeluarkan dari kulkas, atau segelas es kelapa muda dan pipilan jagung bakar berbalur margarin, atau seseduh kopi hitam yang hanya kuminum di waktu super-menyebalkan macam ini. Lebih mudah lagi jika langit mencurahkan airnya ke bumi. Hujan selalu bisa mengalihkan segala masalahku. Rintiknya bisa mengaburkan semua gundah.

pic: http://joodude.deviantart.com

Tapi, tidak kali ini. Tidak di saat B mengetikkan satu pesan teks. Pendek saja. Tapi mampu menciptakan badai yang menggemuruhkan otakku.
Mas, aku minta waktu dimajukan. Lamar aku satu bulan lagi. Bisa?

Kuremas ponsel di genggaman. Sedikit gemetar. Bercampur degup jantung yang menderu serta kekesalan yang menggumpal di dada. 

Belum sempat kubalas pesan itu, panggilan masuk ke ponsel. Nama “B” terpampang di layar. Refleks kujatuhkan ponsel ke meja. Nada deringnya yang cukup berisik mengganggu beberapa pengunjung Your Coffee sore ini. Kecamuk emosi yang begitu hebat membuatku urung menerima panggilan itu. 
Selalu begini. Kalau ada masalah, Mas ndak pernah mau nerima teleponku. Angkat, Mas.

Aku masih bergeming, menatap nanar ponsel di meja.
Ndak bisa? Aku butuh kepastian, Mas. Kalau ndak bisa, ya ndak usah diteruskan ini semua.

Aku lemas. Tubuhku merosot di kursi. Dengan panik ku-dial nomor B.

***

Tapi, semua sia-sia. Aku tak bisa memberi apa yang diminta B. Waktu satu bulan yang dimintanya tak mungkin aku penuhi. B tahu aku tak bisa, tapi dia tetap memintanya. Apakah dia sengaja melakukannya? Agar bisa putus dariku? Ya, aku yakin dia sengaja melakukannya. Entah bagaimana, dia pasti sudah merencanakan untuk membatalkan kesepakatan kami. Kesepakatan untuk menikah tiga bulan lagi dari sejak dia meminta waktu dimajukan.

Secara sepihak, aku menimpakan separuh kesalahan padanya. Jelas saja, ini salahnya. Buktinya, dua bulan sejak dia minta putus, aku dengar dia sudah lamaran dan hendak menikah dengan pria lain. Coba, logika siapa yang tidak bakal mengira bahwa permintaan konyol B untuk memajukan waktu lamaran kami adalah skenario buatannya? Tipu-tipunya untuk membuatku punya alasan mengakhiri hubungan kami? Coba, siapa yang berani bilang ini semua bukan salahnya?

Dan, tahu apa yang lebih menyakitkan lagi? Dia akan menikah dengan lelaki yang beberapa waktu lalu dia keluhkan sebagai pengganggu. Aku masih ingat bagaimana dia menyebut pria itu kutu kupret.

"Mas, masak kamu ndak bisa ke sini bulan ini? Aku mau curhat..."

Begitu rajuk B ketika kubilang per telepon aku belum bisa menengoknya ke kota seberang bulan ini. Ada setumpuk kerjaan deadline plus uang tabungan sedang menipis. Waktu itu akhir bulan, gaji di tabungan tinggal beberapa digit saja, dan aku baru dari sana akhir bulan kemarin.

"Sebel banget aku karo cowok itu. Ganggu aja kerjaannya kalau mampir ke sini, Mas. Aku males lihat mukanya. Selalu bikin gara-gara. Kemarin dia seenak-enaknya nggodain aku. Sudah kubilang aku punya pacar, punya tunangan, dia masih aja deket-deketin aku. Aku kan risih, Mas. Terus...."

Curhat B selalu panjang ketika kutelepon. Dan, aku menjadi pendengar setia sekaligus terkadang mencoba untuk menenangkannya, jika ada yang dirasa mengganggu hari-harinya.

"Aku pengin Mas ke sini, biar si kutu kupret itu tahu aku sudah ada yang punya..."

Dan, si kutu kupret sialan itulah yang menikahinya. Benar-benar tak bisa kupercaya. Ya Tuhan... klise sekali! Hidupku bukan sinetron, for God's sake. Mengapa bisa ada selipan adegan tak bermutu itu di dalam hidupku. Yang benar saja!

Separuh kesalahan yang lain ada pada keluargaku yang memaksaku membuat kesepakatan sialan itu. Seandainya saja tak ada kesepakatan itu, aku dan B pasti akan tetap bersama. Aku dan B pasti sudah menikah dari setahun yang lalu, sejak aku mengajaknya ke rumah dan memperkenalkannya kepada seluruh anggota keluargaku. Aku dan B pasti sudah bermain bersama anak-anak kami--anak kembar tiga kami (aku yang bermimpi punya anak kembar tiga). Aku dan B pasti sudah…. 

Arrghhh….

Kata orang, nasi sudah jadi bubur. Semua asa yang kugantungkan di angkasa bersama B nyatanya tak ada artinya. Hanya sebatas fatamorgana. Maka, melupakan segalanya adalah satu-satunya jalan untuk membasuh semua luka. Manis-pahit, semua harus dimusnahkan. Jangan sampai ada setitik pun yang tertinggal.

Pergi. Menghilang. Memutus segala kontak. Demi masa depan, semua hubungan ditiadakan. 

Langkah pertama yang kuambil adalah mengganti nomor ponsel. Nomor kontak B, nomor ayahnya, ibunya, pamannya, semua kuhapus. Langkah selanjutnya, aku mati-matian minta dimutasi. Bekerja lebih rajin. Meminta pekerjaan tambahan. Menyodorkan diri untuk ikut kegiatan ini-itu. Hingga kabar yang kunanti-nantikan itu datang setahun berselang. Aku dimutasi ke Jakarta. 

Hiruk-pikuk Jakarta membuatku amnesia atas semua hal tentang B. Meski ternyata hanya bersifat temporer. Pada waktu-waktu tertentu, bayangan senyum manisnya, genggaman lembutnya, hingga gairah cumbuannya, tanpa permisi terputar kembali. Ternyata, pergi tak serta-merta memudahkanku melupakannya. Mungkin mata fisikku bisa kukelabuhi tetapi mata hatiku tidak. Masih ada yang kosong di sebelah dalam sana yang menganga dan terus-menerus mengirimkan keping demi keping kenanganku bersamanya. B, will you let me go, please?  

***

Mungkin saya memang harus menerima masa lalu itu. Bahwa, takdir tak digariskan untuk kami—aku dan B. Mungkin saja dalam catatan-Nya, Tuhan hanya memberi kami kesempatan untuk bertemu, mengucap janji, kemudian memisahkan kami kembali. Melupakan janji-janji. Dan, setelah sepuluh tahun berlalu, saya tersadarkan. Mungkin semua kesalahan tidak sepatutnya saya timpakan hanya pada B atau keluarga saya. Mungkin saya sendiri juga bersalah di sini. Bahkan B pernah mencoba menghubungi saya melalui teman dan menjangkau saya melalui Facebook, namun tak saya tanggapi. Saya tak ingin membuka luka yang sudah saya perban rapat-rapat. Salahkah saya?

An dan Arlet adalah si kembar penggemar memasak yang menjadi tokoh utama di novel ini

Saya merasa belum memiliki keberuntungan seperti halnya Anise, atau An yang dikisahkan dalam novel Walking After You karya Windry Ramadhina ini, yang telah berdamai dengan masa lalunya. An yang awalnya berpura-pura bisa menebus kesalahannya dengan membelokkan mimpinya sendiri untuk kemudian mengejar mimpi Arlet, adik sekaligus kembarannya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan yang selalu diasumsikan sebagai kesalahannya itu.
Itu masa lalu. Jangan terjebak di dalamnya terlalu lama (hlm 275), sudah saatnya kau melepaskan masa lalu (hlm 280).

Begitu yang dinasihatkan Julian, koki kebanggaan toko kue Afternoon Tea—tempat An berpura-pura sebagai Arlet, untuk bisa lepas dari rasa bersalahnya.

Bisakah saya seperti Anise? Bisakah saya mengirim seikat permohonan maaf secara terus-terang pada B? Jauh-jauh hari saya sudah menghantarkan sebuket keikhlasan seandainya B secara langsung maupun tak langsung meminta maaf kepada saya. Saya sudah memaafkannya. Mungkinkah dengan meminta maaf itu, semua kenangan masa silam yang merantai kaki bisa terlepas? Bisakah satu tempat di dasar hati saya terisi nama lain? Nama yang digariskan Tuhan sebagai jodoh saya? Masih sempatkah saya meminta maaf padamu sekarang, B?

Sepertinya saya harus melakukannya. Oh, tidak, saya tak mau berjanji. Saya akan mencoba melakukannya. Meskipun mungkin tidak dalam waktu dekat ini.

Bagaimana denganmu, tweemans? Adakah seseorang dari masa lalumu yang berhak menerima permintaan maafmu? Beranikah kamu meminta maafnya sekarang?

Tolong jawab pertanyaan saya di kolom komentar di bawah. Sertakan ID Twitter dan alamat E-mail di bawah komentarmu. Satu eksemplar novel Walking After You karya Windry Ramadhina persembahan dari gagasmedia mungkin bisa menguatkan niatmu untuk menyegerakan berdamai dengan masa lalumu. Tolong, bantu saya. Saya tunggu jawabanmu sampai pukul 24.00 WIB hari ini saja. Saya berharap bisa berguru padamu agar bisa berdamai dengan masa lalu.


28 comments:

  1. Pastilah ada seseorang yang berhak menerima permintaan maafku. Orang itu ialah guruku, yang sewaktu itu aku mengejeknya dengan semena-menanya dibelakangku.


    Entah mengapa, rasa penyesalan itu baru datang sekarang. Saat kuingat-ingat, ternyata sudah banyak yang diajarkannya untuk diriku dan berguna bagi kehidupanku.


    Ngomong-ngomong, saya berani meminta maaf kepadanya, maaf atas celaan yang pernah saya lontarkan dibelakangnya. Tapi, masalahnya sekarang berbeda. Kudengar dia pindah ke Jakarta. Dan aku sendiri masih di Medan, dan dia hilang kontak.


    ID Twitter: @_nikmal
    Email: emailnikmal@gmail.com

    ReplyDelete
  2. ia adalah sahabat karib saya. Hubungan kami sangatlah dekat. Hingga akhirnya saya memilih pilihan yang salah. Melupakannya dalam hidup saya karena ia melontarkan kata yang tidak saya harapkan datang dari mulutnya. Ia teman karibku mengapa ia berbicara soal cinta untuk saya? Hal itu yang membuat saya cemas untuk mempertahankannya, karena saya mencintainya sebagai teman saya. Saya memilih menyibukkan diri untuk meninggalkannya, berharap waktu akan menjauhkan rasa cintanya untuk saya. Saya sadar tindakan saya memang tidak benar, namun saya membenarkannya, dan sekarang saya benar-benar kehilangannya. Jika namanya terucap didepan saya, saya merasa sangat menyesal. Terus terang, saya ingin selalu berkata maaf untuknya setiap saya memikirkannya. Bodohnya saya menyia-nyiakan orang yang selama ini mencintai saya. Ingin saya teriak sekuat tenaga, agar semua orang mendengarnya. Tapi niat itu kembali saya urungkan. Saya tak berani berkata apa-apa lagi untuknya. Ia memang membawa perubahan banyak untuk saya, namun saya telah mengecewakannya. Jika saja saya bisa menggulung waktu ke masa itu lagi, tak akan ku biarkan ia lari dari kehidupan saya. Ini kesalahan terbesar saya didunia. Jika saya burung mau membisikan ucapan maaf saya kepadanya, mungkin kah ia berani mengambil tindakan untuk memaafkan saya? Dan jika memang inilah yang terjadi untuk hubungan kami, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih telah memberi warna dalam kehidupan abu-abu saya.

    twitter: @_mayg16
    email: sasgaluh.mayang@gmail.com

    ReplyDelete
  3. Setiap orang mempunyai hak untuk memaafkan dan dimaafkan. Salah satunya adalah dia. Aku masih ingat perjuangannya untuk menemuiku saat itu. Namun, ketika telah bertemu, aku malah mempermalukannya didepan umum. Alasannya, karena aku tak menyukainya dari segi fisik dan penampilan.


    Saat itu, sahabatku memarahiku karena sikapku yang tak sepantasnya. Tapi aku merasa tak bersalah, karena hatiku menginginkan begitu. Aku mencaci-makinya tepat disaat jam sibuk orang berlalu lalang. Tapi apa balasannya ? Ia hanya diam dan menatapku dngan senyum, meski dimatanya merasa bingung karena sikapku.


    Aku tahu itu kesalahan fatal dan mungkin tak termaafkan. Tapi sungguh, sampai saat ini pun aku belum bisa meminta maaf padanya. Karena beberapa hari setelah kejadian itu, ia memutuskan pergi dan kami loss contact. Aku menyesal, tak sempat meminta maaf. Mungkin bagi sahabat ataupun orang lain, mengapa aku tega membuat orang sebaik dia dicaci maki seperti itu dan mendapat perilaku tak sepantasnyaia terima.


    Jika aku diberi kesempatan untuk meminta maaf padanya, sungguh aku ingin meminta maaf.


    twitter : @avalia_kitty
    email : kaliakyrli@gmail.com

    ReplyDelete
  4. Rasanya tidak etis mengumbar aib seorang teman di hadapan orang lain. Namun jika bagian itu saya hilangkan, maka cerita saya akan menjadi rumpang dan tidak bisa dimengerti. Coba disimak, dan kalian akan mengerti maksud saya.. :)

    Remaja SMP adalah sosok yang tidak bisa disebut anak-anak, pun dewasa. Dia letaknya di tengah. Mungkin karena hal inilah, banyak hal-hal baru yang sulit saya pahami di lingkungan saya pada saat itu.

    Saya punya tiga teman akrab ketika masih SMP. Salah satunya, sebut saya Y. Dia anak yang ceria, lucu, dan sering membela saya ketika saya dimusuhi teman. Singkatnya, dia teman yang baik.

    Tidak tahu kapan pastinya, saya melihat gelagat aneh dari teman saya ini. Ketika jajan, biasanya kami ramai-ramai ke kantin. Seringkali, saya memperhatikan Y tidak membayar jajanan yang dia ambil. Ternyata tidak hanya saya, dua teman saya yang lain pun merasa demikian. Bahkan Y terkadang minta kembalian uang, padahal dia tidak membayar!

    Kami bertiga mulai sering bergosip di belakang Y. Terkadang saling memberi kode lewat lirikan mata ketika Y lagi-lagi berbohong pada penjaga kantin.

    Lambat laun, gosip tentang Y yang sering berbohong diketahui oleh beberapa orang. Dan mungkin sudah menjadi hukum alam, gosip itu cepat sekali menyebar. Kami bertiga, karena merasa malu berteman dengan Y, mulai menjaga jarak dengannya.. Dia jadi penyendiri, dikelilingi oleh orang-orang yang sibuk menggosipinya.

    Sekarang, entah Y ada di mana.

    Saya merasa sangat menyesal sudah bertingkah seperti penjahat. Bukankah mengetahui kejahatan tapi hanya terdiam justru kejahatan yang lebih kejam?
    Andai saya bisa memutar waktu, saya ingiiin sekali berada di samping Y, berbicara baik-baik dengannya, dan mengusahakan solusi untuk masalahnya.

    Seperti yang selalu dia lakukan untuk saya.

    Semoga suatu hari nanti, saya diizinkan bertemu dengannya lagi. Dan pada saat itu, saya akan minta maaf untuk kejahatan yang pernah saya lakukan.

    Ini cerita saya. Semoga kalian tidak melakukan kesalahan yang sama. :)

    @evizaid
    zuhelviyani@gmail.com

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Tuhan selalu mengajarkan kita untuk bisa memaafkan sesama, tidak peduli seperti apa rasa sakit yang pernah mereka tinggalkan pada kita.

    BERAT?

    Iya, sudah pasti. Tapi mari kita coba berkaca. Sebesar dan sefatal apakah kesalahan yang pernah kita lakukan pada Tuhan selama ini? Tentu banyak sekali bahkan mungkin kita sudah tidak mampu ingat :) Lantas apa Tuhan menutup maafnya pada kita? Tidak. DIA selalu membuka kesempatan kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
    Sama halnya dengan memaafkan kesalahan seseorang di masa lalu. Sekalipun berat, kenapa kita tidak mencoba berlapang dada, mengikhlaskan dan memaafkannya? Dengan kukuh menutup pintu maaf kita, bukankah itu sama artinya kita menjadi sama jahatnya? :)
    Maafkanlah semua orang-orang yang pernah menyakiti kita. Tidak serta merta, pasti--kita bukan Tuhan yang Maha Pengampun. Proses untuk ikhlas itu sendiri sangat sulit dilakukan. Tapi percayalah, dengan memaafkan orang yang pernah berbuat kesalahan pada kita, kita sama dengan ikut mengobati hati kita dari goresan-goresan yang pernah mereka buat :)
    Pun saya. Saya pun, Insyaallah, akan memaafkannya. Karena siapa tahu, dia tidak sengaja melakukannya. Tidak bermaksud menyakiti saya. Tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan menorehkan luka :)

    @orion____
    ken.orion91@gmail.com

    ReplyDelete
  7. Adakah seseorang dari masa lalumu yang berhak menerima permintaan maafmu? Ada. Dia yang menyayangiku lebih dari siapapun. Walaupun baru kutahu akhir-akhir ini. Baru kutahu akhir-akhir ini juga, kami adalah dua orang yang tak sengaja menyakiti tapi juga saling menyayangi. Dulu, sempat menyalahkan dia. Dia adalah seorang guru yang selalu membagikan rapor kepada murid-muridnya. Namun, rapor anaknya terbengkalai dan entah siapa yang mengambilnya. Dulu aku sempat berpikir, apa sih susahnya mengambilkan rapor anaknya sendiri? Datang, ambil, lalu pergi. Bukankah tak butuh waktu lama? Orang-orang tua lainnya juga mengambilkan rapor anaknya, kenapa aku tidak diambilkan? Dan orang itu adalah ibuku.
    Akhir-akhir ini, aku melihat ibuku menangis. Mungkin karena sikapku yang sudah berubah menjadi anak yang tak patuh pada orang tuanya. Namun, aku masih berpikir, sikapku yang seperti ini bukankah akibat dari perlakuannya yang tidak peduli padaku? Lalu bagaimana rasanya bila aku tidak peduli padamu, begitu pikirku.
    Namun, setiap melihat ibuku menangis rasanya aku juga ingin menangis. Sadarlah aku, bahwa kami adalah dua orang yang tak sengaja menyakiti dan aku berhutang maaf karena telah menyakitinya.
    Beranikah kamu meminta maafnya sekarang? Ya, karena aku juga bersalah padanya.

    @Rrhanf
    simple.hanif@gmail.com

    ReplyDelete
  8. waduh... u/ yg kayak gini aku mah byk bgt salah sm bbrp orang. setahun lalu aku freelance di surabaya. kalo pas senggang bantuin bude (aku numpang di sana) jagain toko sembako. nah, dasarnya aku ga sabaran & selalu murah senyum, kalo lagi capek atau bete, aku melayani dg jutek & wajah dingin. alamaakk.. salah apa pula mereka :')))) skrg sdh balik ke kampung halaman, aku mikir. Ya Tuhan.. salahku tuh banyak ya sm orang yg ga tau apa2 sm urusanku. pdhl dg bantuin bude kmrn itu bener2 latihan sabar ngadepin berbagai karakter orang di masyarakat. tp akunya malah cuek. sebenernya nggak cuek parah, hny pas kondisi capek berat dan bad mood. :p
    @agustine_w / lioluby(at)gmail(dot)com

    ReplyDelete
  9. Adakah seseorang dari masa lalumu yang berhak menerima permintaan maafmu? Beranikah kamu meminta maafnya sekarang?

    Ada, aku mencintai Ayahku. Sangat mencintainya. Tapi saat aku kecil aku tidak pernah mengijinkan ia menemuiku di sekolah atau tempat ngaji, aku malu karena pekerjaannya hanyalah seorang supir angkot dan kuli batu musiman. Aku benci diejek teman-temanku perihal pekerjaan ayah. Ayah dengan tubuh tambun itu selalu tersenyum ramah. "Iya nak biar ibu saja yang datang" setiap aku bilang tentang acara pertemuan orang tua di sekolah atau di tempat aku mengaji. Aku tidak pernah mau mengakuinya sebagai ayahku.

    Hingga beberapa tahun kemudian aku mulai menyadari kasih sayangnya. Ia yang hujan-terik selalu mengupayakan sesuap nasi bagiku. Pernah aku meminta sepeda, dalam hati aku sangat menginginkan hadiah itu tapi aku hanya diam. Aku tidak mau merengek. Tiga tahun kemudian ayah membelikanku sepeda Polygon, dengan uang tabungannya, saat itu harganya 1.200.000. Dia pulang ke rumah dengan senyum lebar, begitu lebar, "Mbak, ini sepeda barumuuuuu, sekolah yang rajin ya!"

    Aku ingin sekali meminta maaf padanya, saat ini juga tentang semua kesalahan-kesalahanku. Tapi aku yang bodoh ini ternyata tidak diberi kesempatan oleh Tuhan. Ternyata uhan lebih menyayanginya.

    @anodalen
    anodalen@gmail.com

    ReplyDelete
  10. Duh, kayaknya Walking After You ini novel bagus banget ya! Saya penasaran banget pengin baca.

    Btw, saya jadi inget teman masa SD saya. Waktu itu saya masih duduk di kelas 5 SD. Saya dan dia sama-sama saling suka, mungkin cuma cinta monyet sih, tapi hubungan saya dan dia waktu itu lumayan lucu kalau diingat-ingat. Sering berantem gak penting, tapi nanti baik-baikan lagi. Dia pernah beliin saya kalung Dora seribuan, dan gak saya terima karena takut dimarahin ibu saya. Sampai akhirnya di akhir tahun keluarga saya memutuskan buat pindah. Saya gak sempet bilang apa-apa sama dia, enggak juga pamitan, dan yang bikin tambah gak enaknya terakhir kali ketemu, saya marahan sama dia. Setelah nonton Life Of Pi, saya jadi mikir kalau ditinggal pergi sama seseorang tanpa kata-kata apapun itu menyedihkan (Pi sedih waktu Richard Parker pergi ninggalin dia gitu aja kan). Saya gak tau gimana perasaan dia, tapi saya merasa bersalah sampai sekarang. Harusnya hubungan kami sebelum berpisah baik, harusnya saya bilang sama dia kalau mau pergi, harusnya kami ngobrol sebentar atau gimana.

    Lalu apakah saya berani minta maaf sekarang? Jawabannya iya, walau pasti di depan dia saya bakal malu mengakui, dan mungkin dia bakal ketawa dengernya karena ini serasa 'dibesar-besarkan', tapi saya rasa dia berhak denger permintaan maaf saya. Kalau dikasih kesempatan ketemu lagi sekarang, saya mau cerita banyak sama dia, cerita gimana saya menyesal waktu itu. Yaaa, semoga suatu saat saya bisa dikasih kesempatan buat ketemu sama dia lagi ya, amin.

    @deasyds - ddirgantaris(at)gmail(dot)com

    ReplyDelete
  11. Sayangnya Ia masih ada.
    Seseorang yang berhak menerima kata maafku.
    Gadis itu, karib kepercayaanku
    Tempat menyandarkan beban hidupku
    Penumpas kesedihanku, lara dan semuanya
    Canda, tawa semua yang ada
    Ia masih disitu, disaat sulit sekalipun
    Tetapi mata ini luput
    Tanpa sengaja kutumbuhkan kecemburuan
    Taburkan Iblis keserakahan
    Kutanamkan kebencian dalam persahabatan dengannya
    Kau tahu apa yang kudapat?
    Ngarai menuju jurang kehancuran
    Persahabatan yang dibutakan cinta

    Pria itu, yang kucoba renggut darimu
    Seharusnya tak kulakukan
    Sesal dan tak ingin lagi
    Percayalah
    Sebenci apapun dirimu atas diriku
    Kau pantas menerima maafku

    *

    Setiap kesempatan untuk bertemu sudah kucoba
    Berusaha meminta maaf langsung padanya, hatinya tetap tak luluh
    Ia semakin mengunci diri, tak mau bertemu
    Aku masih menanti hari esok untuk bersua kembali.
    Semestinya aku menjaga seseorang yg sudah menyayangiku dalam diamnya. Bukan mengukir luka dalam hati lembutnya.

    @JeruknipisAnget
    athaya.irfan97@gmail.com

    ReplyDelete
  12. Adakah seseorang dari masa lalumu yang berhak menerima permintaan maafmu? Beranikah kamu meminta maafnya sekarang?

    Saya adalah tipe orang yang meyakini bahwa apa yang kita dapatkan akan sepadan dengan apa yang kita beri. Ada satu orang di masa lalu saya yang berhak menerima permintaan maaf dari saya yaiti ayah saya sendiri.

    Saya tidak pernah mempunyai pikiran bahwa saya akan membenci ayah saya sendiri sampai suatu hari beliau menyakiti ibu saya dengan cara jatuh cinta lagi ke wanita lain dan sudah menikahinya. Saat itu saya masih kecil, dan tidak tau apa yang terjadi. Tentu, saya bertumbuh dewasa dan mulai membenci ayah saya. Dia lebih memperdulikan istrinya yang lain. Benar, bahwa kami bukan keluarga yang harmonis. Dulunya, ayah saya selalu pulang pada hari minggu dan kembali kerja di hari senin. Itulah mengapa kita jarang berbicara antara ayah dan anak. Sampai suatu hari beliau meninggal di rumah istrinya yang lain.

    Jika saya bisa, saya mau minta maaf sekarang. Di hadapannya langsung, berharap dia memaafkan saya dan memeluk saya seperti kebanyakan ayah yang lain. Mungkin, jika kita bertemu nanti, di tempat yang kita sebut surga, saya ingin dia tahu bahwa saya menyesal atas segalanya. Apa yang dikatakan orang memang benar, kita tidak apernah tahu betapa berharganya seseorang sampai kita kehilangan orang tersebut.

    @ariefmaulan
    ariefmaulan@gmail.com

    ReplyDelete
  13. A.S.S, itulah inisial laki-laki yang sampai saat ini belum sempat saya mintai maafnya. Semua dimulai sejak saya duduk dibangku kelas 2 SMA di tahun 2010. Saat itu saya mengenalnya sebagai anak kelas 3 SMA yang berbeda sekolah tapi rumahnya berada dilingkungan sekolah saya. Saya yang mengenalnya dari teman lantas berlanjut ke obrolan menyenangkan lainnya sampai akhirnya saya berpacaran dengannya. Singkat cerita hubungan kami berjalan dengan bahagia dan nyaman. Saya yang cenderung sensitif dan mudah emosi selalu berhasil 'didinginkan' dengan sifat sabar dan mengalahnya. Akan tetapi di tahun ke-2 kami berhubungan, saya merasa mulai bosan dengan dia yang saya rasa 'terlalu baik' dan dengan hubungan yang saya sebut 'terlalu nyaman'. Semua makin saya perparah dengan kembali dekat dengan mantan pacar saya sebelumnya. Mantan pacar yang entah sudah berapa kali putus-nyambung seperti layangan dengan saya. Saya yang awalnya hanya iseng dekat lagi sampai akhirnya terlalu jauh mengkhianati kepercayaan A.S.S. Lantas saat saya akhirnya harus dengan tanpa sengaja dipergokinya sedang dengan sang mantan pacar-yang-sekarang-berlabel-selingkuhan, saya tidak bisa mengelak. Saat dia menanyakan alasannya saya hanya diam karena saya baru menyadari bukan dia yang salah tapi saya yang telah egois. Saya yang sebelumnya sangat yakin bahwa saya bosan dengan hubungan kami yang 'terlalu nyaman' ini, malah harus menangis hebat dan sampai jatuh sakit saat dia mengambil keputusan untuk melepaskan saya. Dan sialnya saya dengan sang mantan pacar-yang-sekarang-berlabel-selingkuhan pun ternyata tidaklah menjadikan apa-apa, saya dan dia pun berakhir begitu saja. Kurang lebih 4-5 bulan semenjak kejadian itu kami, saya dan A.S.S, masih bisa berhubungan sebagai teman. Tapi selepas itu saya kembali harus menangis. Saat dia dengan tiba-tiba memutuskan bekerja di ibukota sedang saya tengah mempersiapkan kelulusan. Jujur saat itu saya masih menyayanginya, saya ingin menebus kesalahan saya, saya ingin kembali lagi dengannya. Tapi sepertinya waktu tidak memihak saya, dia tetap pergi meninggalkan saya dengan setumpuk penyesalan. Satu tahun setelahnya saya mencoba 'move on' dengan berhubungan dengan laki-laki lain, dan yah saya menyayanginya, bukan sekedar pelarian saja. Tapi rupanya Tuhan kembali menguji saya, saat saya belajar lebih setia dengan hubungan, laki-laki itu malah memilih berselingkuh dan menikahi wanita lain. Terdengar klise?seperti sinetron? Ya memang seperti itu juga yang saya rasakan. Tapi toh ternyata ini nyata, saya benar-benar mengalami semua rasa sakit itu.

    Berawal dari situ, saya mulai mengerti apa pentingnya kesetiaan dan ketulusan dalam hubungan. Sampai sekarang saya masih sering mengutuki diri saya sendiri. Saya sering berandai-andai, seandainya saja saya dulu lebih tulus dan tidak egois mungkin saya tidak harus melalui semua proses menyakitkan ini, dia saja mau bertahan dengan saya dan segala ego saya, kenapa dulu saya malah dengan gampangnya berkhianat? Selalu seperti itu yang saya pikirkan. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi, saya sudah terlanjur mengkhianati semua kebaikannya, dan saya tidak mungkin bisa mengubah masa lalu. Meski sekarang saya masih belum bisa menghubungi A.S.S lagi, saya masih merasa berhutang permintaan maaf dari dia. Sesakit apapun masa lalu saya, saya tidak membenci itu semua. Karena dari masa lalulah saya belajar begitu banyak hal. Hal-hal yang hanya akan saya dapatkan setelah saya tahu pasti rasanya menyakiti dan disakiti. Sekarang pun saya masih belajar, belajar cara memaafkan diri sendiri, belajar bahwa tidak semua hal bisa saya kontrol dengan baik, dan semoga kedepannya, jika beruntung, saya bisa berdamai dengan masa lalu lantas menapaki masa depan dengan langkah yang lebih baik.

    Melalui tulisan ini saya mengingatnya kembali, sebagai kenangan berharga yang pernah mencintai-dicintai saya.

    Teruntuk A.S.S, semoga dipertemuan selanjutnya saya bisa lebih berani untuk meminta maaf.

    @dyounglady
    dhrusyant(at)gmail(dot)com

    ReplyDelete
  14. Walaupun dia bukan masa laluku (yah, setidaknya masih ada sampai sekarang), aku rasa aku perlu mendapatkan permintaan maafnya sebelum Tuhan yang memaafkanku. Aku ingin sekali dimaafkan... secara tulus dan ikhlas atas semua hal yang pernah aku lakukan padanya. Sebuah pengkhianatan untuk tindakan pembelaan yang dia lakukan untukku. Aku mengkhianatinya setelah berjanji akan bertahan, namun kenyataan berkata lain. Walaupun secara lisan dia memaafkan, aku rasanya hatinya belum. Setidaknya, aku bisa menjadi bagian yang menyenangkan dalam hidupnya, bukan malah menyakitinya


    @asysyifaahs/asysyifaahs@yahoo.com

    ReplyDelete
  15. Tentu saja ada. Dia sahabatku saat masih SMP, walaupun kami beda agama, tapi perbedaan itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk berteman. Dia sangat berhak menerima permintaan maafku. Dulu kami sangat dekat. Dan jarak rumah kami yang juga tidak terlalu jauh semakin mendekatkan kami. Dia sering berkunjung kerumahku dan aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Hampir setiap hari aku dan dia berangkat sekolah bersama. Waktu itu aku benar-benar merasa dia sebagai sahabat terbaikku.

    Tapi suatu peristiwa mengubah segalanya. Dimulai dari pertengkaran kecil kami karena aku kurang setuju dengan pendapatnya saat kerja kelompok. Saat itu aku sangat marah, karena aku orangnya memang suka panik. Jadi jika ada sesuatu yang memang tidak srek dihati, aku langsung kalang kabut dan kebingungan.

    Setelah kejadian itu, kejadian yang lebih parah menghancurkan semuanya. Dia menyukai orang yang juga aku sukai. Itu benar-benar menghancurkanku. Sungguh. Memang dia tidak salah sebenarnya, karena aku memang tidak pernah memberitahunya. Tapi tetap saja, hatiku hancur saat itu. Setelahnya, aku menjauh darinya. Dari temanku yang tidak tahu apa-apa. Saat akhirnya dia tidak pernah datang lagi kerumahku, ibu bertanya padaku kenapa dia tidak pernah main lagi dan aku hanya menjawab tidak tahu. Dia sebenarnya juga cukup dekat dengan ibuku.

    Sudah hampir 5 tahun aku menjauh darinya. Saat dia menyapa, aku membalasnya. Tapi dalam hati rasa tidak srek tetap saja ada. Lalu tanpa kuduga, dia datang saat lebaran kerumahku bersama adiknya. Satu hal yang masih melekat diingatanku saat dia berkata, “Kapan ya kita kayak dulu lagi, saat waktu SMP?” mendengar itu, aku sangat yakin jika sebenarnya dia merasa aku menjauh. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bisa tersenyum.

    Itu kalimat yang tidak pernah akan aku lupakan. Seharusnya dulu aku merelakan dia bersama orang yang kucintai. Kalau dipikir kembali, waktu itu aku terlalu egois. Aku hanya mementingkan diriku sendiri tanpa melihat bagaimana nantinya. Seharusnya dulu aku tidak menghancurkan persahabatan kami. Sebenarnya akulah yang berkhianat, bukan dia. Dan aku sangat berharap, dia mau memaafkanku, walau itu terlambat.

    @HikariMio
    rinaeko87(at)gmail(dot)com

    ReplyDelete
  16. Memaafkan adalah hal yang sulit dilakukan apalagi ketika seseorang terdekat kita melakukan kesalahan yang tidak bisa kita maafkan. Namun, Allah saja mau memaafkan hambanya yang sekalipun memiliki dosa besar, kenapa kita tidak bisa memaafkan ?

    Saya pernah mengalami hal ini. Ketika kata ‘maaf’ berulang kali tidak bisa saya ucapkan dan hanya tersangkut ditenggorokan. Dan ini termasuk pengalaman masa lalu yang benar-benar tidak bisa saya lepaskan. Tidak setelah apa yang ia lakukan pada saya. Seseorang berkhianat kepada saya. Dan dia sahabat terbaik saya. Kami selalu bersama, curhat-curhatan bersama, sebelum semuanya rusak dan berubah. Awalnya saya bercerita kepada dia bahwa saya menyukai seseorang. Ia begitu semangat dan menasehati saya ini itu. Saya pun rasanya senang bisa membagi cerita saya kepadanya. Apalagi rumah kami berdekatan. Tidak ada hal yang tidak saya ceritakan kepadanya. Semua masalah selalu saya ceritakan. Karena saya sendiri bukan pribadi yang suka memendam suatu masalah sendiri.

    Ia mendukung saya. Berkata bahwa kami memang cocok. Namun seiring berjalannya waktu, ada keanehan yang muncul. Ternyata, sahabat saya juga menyukai orang yang saya sukai. Ia bahkan terang-terangan menunjukkan sikap sukanya kepada saya. Awalnya saya marah dan kecewa. Perasaan saya campur aduk waktu mengetahui hal itu. Sebegitu teganya ia melakukan hal itu kepada saya. Dan saya mulai menjauhinya. Apalah gunanya sahabat kalau hanya berkhianat ?

    Namun, saya sadar menemukan sahabat yang ‘klik’ seperti dia sangat susah. Saya sadar seharusnya saya tidak melakukan hal itu padanya. Saya tidak harus mengorbankan persahabatan yang susah-susah saya bangun hanya demi hal sepele itukan ? Jadi, perlahan saya mulai menerimanya kembali, memaafkannya, begitu juga dengan dia. Dia berkata menyesal dan meminta maaf kepadanya saya. Dan biarlah masa lalu tetap di belakang. Saya hanya tidak perlu menoleh lagi jika tidak ingin merasakan sakitnya. Kita hanya perlu memandang ke depan. Menjalani semuanya seakan tak terjadi apa-apa.

    Dan begitulah adanya. Kami kembali menjalin persahabatan. Meskipun masih canggung, saya yakin kami bisa memulai semuanya dari awal. Karena kita memang tak perlu melepas masa lalu, tak perlu melupakan masa lalu, karena masa lalu tidak pernah bisa di ubah. Kita hanya perlu menerimanya dan berdamai dengan masa lalu dengan setulus hati kita.

    @Rany_Dwi004 / ranydwi11(at)yahoo(dot)co(dot)id

    ReplyDelete
  17. Sudah setahun lebih aku mendiamkan
    kenangan di ingatanku ini beranak-pinak.
    Sulit rasanya melupakan sebuah kenangan
    sepaket dengan rasa yang ada. Walaupun
    sebenarnya, aku tak yakin apakah ini bisa
    disebut kenangan atau tidak. Aku tak
    peduli, yang ada kenangan ini selalu
    menjejal dalam ruang ingatanku.
    ***
    Di luar hujan deras, aku masih bersama
    seorang wanita yg membuatku jatuh cinta
    lewat sambungan telfon. Hening suasana
    ditambah dinginnya percakapan itu
    membuat suasana makin membeku. Perlu
    diketahui bahwa dia yang sedang bertelfon
    dengan ku ialah dia yang aku cintai akhir-
    akhir ini setelah beberapa bulan aku putus
    dengan pacarku terdahulu. Aku
    memberanikan diri untuk mendakatinya,
    dan memperjuangkannya. Walaupun aku
    tahu dia adalah temanku sejak lama, kami
    sama-sama tahu sifat kami masing
    masing, kukira itu akan melancarkan kami
    dalam menjadi seutuhnya kita; iya benar,
    berpacaran maksudku.
    Tak kusangka, ini adalah malam yang
    paling tidak aku inginkan selama aku
    hidup. Aku masih mendengar suaranya
    yang lemah. Dia menangis, sepertinya dia
    sedang merangkai kata yang sulit untuk
    diungkapkannya. Dan tak kuduga kalimat
    terpahitnya pun keluar. “Kembalilah.”,
    suaranya pelan. “Apa?” , jawabku dengan
    mencerna kata yang sebelumnya ia
    ucapkan. “Kembalilah pada dia yg dulu
    pernah kamu cintai. Aku tidak bisa untuk
    bersamamu. Cerita ini terlalu rumit
    untukku.” “Bagaimana aku sanggup untuk
    kembali padanya, sedangkan aku telah
    memilih dirimu?” jawabku dengan kepalaku
    yang agak pening mendengarnya.
    Huuufffttt…, aku mendengar napas
    panjangnya, layaknya memberi aba-aba
    bagiku untuk siap mendengar setiap kata
    yang mungkin menusukku. “Cobalah
    mengerti. Kembalilah padanya. Aku
    hanyalah penyebab kalian tak bersama
    lagi. Kembalilah. Ku mohon. Atau kita tidak
    akan kembali lagi seperti awal.” “Tapi-
    tut…tut…tut… Dia menutup telfon sebelum
    aku melanjutkan kalimatku. Sungguh aku
    tak dapat menahan rasa sakitku. Mungkin ini salahku, aku telah jatuh cinta padanya sejak aku masih mempunyai seorang kekasih, yang tak lebih telah membagi cintaku jadi dua dan hatiku terlampau perih menerimanya. Jadi ku bulatkan hati untuk mencintainya tanpa peduli ia yang sedang kumiliki. Pacarku yang mengetahui itu salah paham dan menimpakan semua kesalahan padaku dan padanya, dan inilah penyebabnya dia yang kucinta tak dapat kumiliki. Bak jatuh ditimpa tangga pula, rasa sakit hati ini. Aku tak dapat memaafkan diriku yang bodoh ini. Aku telah menyia-nyiakan dua kesempatan sekaligus; bertahan dengan pacarku terdahulu atau memilih dia yang baru kucintai. Dan aku dengan bodohnya menutup rapat kedua pintu kesempatan ini.
    Sejurus dengan malam itu, dia tak pernah membalas pesan singkatku atau
    mengangkat panggilan dariku. Dan
    belakangan ku ketahui, dia sedang dekat
    dengan teman sekelasnya, yang juga teman
    baikku. Ku coba abaikan jika ada kabar burung yang sampai di telingaku tentang kemesraan mereka sekarang. Aku hanya sakit dan tak bisa memaafkan diriku ini.
    ***
    Oleh karena kenangan itu, aku benci hujan.
    Dia membuka gerbang kenangan yang ada
    di ingatanku untuk mengingatkanku
    tentang kejadian setahun lalu. Di derasnya
    hujan, ada suara tangisnya yang terus
    menghipnotisku untuk mengingat malam
    itu. Memang sulit untuk melupakan
    kenangan, kini aku tahu bahwa aku cukup
    mengikhlaskan dan menerima masa lalu
    sebagai bagian hidupku tanpa
    menyalahkan diri sendiri. Dan dirikulah satu satunya orang yang pantas kumintai maaf. Aku harus memaafkan diriku sendiri untuk melepas masa lalu. Aku yakin itu.
    “Aku berjanji, Aku akan Melepas Masa
    Lalu, bersama Permintaan Maafku pada Diriku Sendiri.”
    - @aditaken -
    - guruhaditya999@gmail.com -

    ReplyDelete
  18. Adakah seseorang dari masa lalumu yang berhak menerima permintaan maafmu? Beranikah kamu meminta maafnya sekarang?

    Pertanyaan yang cukup mengusik memori dalam otakku.
    Menghadirkan kenangan yang memang cukup pahit.
    Bukan aku memakan teman, tapi rasanya sekalipun dipaksa mati, cinta akan selalu menemukan jalan untuk bersatu.

    Mungkin permintaan maafku, ingin aku lontarkan pada (mantan) sahabatku, Y.
    Kami tidak bisa kembali seperti dulu karena sebuah kisah yang mungki terlalu dalam menyakitinya bertahun-tahun yang lalu.

    Kisah ini terjadi sekitar 6 tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk menerima cinta seorang laki-laki.
    Well, aku tak menerimanya begitu saja, aku menolaknya pertama, lalu dia tak urung berhenti dan aku menerimanya pada kedua kali dia menyatakan cintanya. Yaa, itu setelah Y berkata "Ya udah, kalo mau jadian ya jadian aja."
    Harusnya dia tak menyalahkanku bukan? Karena aku (sebenarnya) sudah mendapat izin darinya.
    Tapi, baiklah aku memang salah karena membiarkan diriku terjerumus dalam percintaan. Dalam cinta yang terlarang bagi Y.
    Oh well, tapi bukankah mencinta itu tidak salah?
    Beranikah meminta maaf?
    Aku sudah melakukannya sedari dulu, meminta maaf.
    Namun, itu terserah dia untuk memaafkan atau tidak bukan?

    Mungkin saat itu kami termakan ego, termakan ke-labilan hati kami, sehingga kami mengabaikan persahabatan yang sudah bertahun-tahun lamanya.
    Mungkin kesalahan itu ada untuk mengajarkan.


    @thafransisca
    still_inhere@ymail.com

    ReplyDelete
  19. Semua yang dari masa laluku, yang kulukai perasaannya, berhak menerima permintaan maafku. Semua kesalahanku juga apabila kusadari langsung segera memohon maaf kepadanya. Nggak pernah gengsi, karena aku memang salah.
    Tapi manusia itu nggak sempurna. Pasti pernah melukai hati seseorang tanpa sadar. Untuk itu, Aku meminta maaf untuk semua yang kulukai hatinya tanpa kusadari. Bagaimanapun, aku hanya manusia tak sempurna sama seperti dirimu.

    @drpdina
    dinaregitaputri@gmail.com

    ReplyDelete
  20. Kalau aku bisa mengirim seikat maaf, aku ingin mengirimkannya untuk Pakpuh dan Om Joni yang saat ini sudah tenang di sisi Allah..
    Maaf, karena keponakannya ini sibuk ini itu..
    Maaf, karena bahkan, keponakannya ini tidak tahu apaapa sampai ajal menjemput pakpuh dan om..
    Maaf, karena keponakannya ini belum sempat menjenguk, juga belum sempat hadir di pemakaman pakpuh dan om..
    Maaf, karena keponakannya ini cuma bisa menangis, menyesali kesibukan yang habis menggerogoti waktunya, menyesali waktu yang tidak bisa diputar..
    Maaf, karena keponakannya ini cuma bisa melantunkan doa, berharap supaya pakpuh dan om diberi tempat terbaik di sisi Allah..
    Maaf, untuk semua kebaikan pakpuh dan om yang keponakannya ini belum sempat balas..
    Maaf untuk semua khilaf yang selama ini keponakannya perbuat..
    Maaf, untuk semua waktu yang tidak bisa diulang, untuk semua salah yang belum sempat mendapat maaf..
    Maaf pakpuh, maaf om..
    Semoga, seikat maaf ini didengar Allah, lalu disampaikan pada pakpuh dan om..
    Semoga pakpuh dan om tetap bahagia di sana :)

    @AgintaFriska
    agintafriska@gmail.com

    ReplyDelete
  21. "Adakah seseorang dari masa lalumu yang berhak menerima permintaan maafmu? Beranikah kamu meminta maafnya sekarang?"
    Pertanyaan di atas menghidupkan kembali kenangan lama saya ketika saya membacanya. Kenangan ini cukup memberi pelajaran berharga kepada saya hingga saat ini.
    Sebelum nenek saya meninggal, ia mencoba untuk menelepon ayah saya. Namun, sayangnya ketika itu handphone ayah saya sedang dipegang oleh saya dalam keadaan non-aktif. Ketika saya sudah mengembalikannya, tengah malam Ayah mendapat kabar dari saudaranya kalau ibunya telah meninggal. Segera Ayah saya berangkat menuju kampung halaman untuk memakamkan ibunya. Keesokan harinya, Ibu saya mengatakan kalau Nenek saya ingin mendengar suara Ayah untuk yang terakhir kali tadi malam sebelum ia menghembuskan napas terakhir. Saya pun teringat ketika itu handphone Ayah sedang saya pegang dan saya non-aktifkan. Saya begitu menyesal meminjam handphone ayah saya dan me-nonaktifkannya. Padahal nenek saya ingin mendengar suara ayah untuk yang terakhir kalinya. Bahkan bukan bertemu secara nyata, hanya mendengar suaranya saja. Ya begitulah, setiap penyesalan selalu datang di akhir. Sebuah penyesalan yang dalam hingga saat ini. Saya bahkan malu untuk meminta maaf secara terus terang. Setiap lebaran saya selalu meminta maaf pada beliau dan selalu terselip maaf tentang masa lalu itu di dalam hati saya. Saya memiliki prinsip tentang maaf dan memaafkan, bahwa "Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan meminta maaf, tapi semua masalah bisa diselesaikan dengan memaafkan". Semoga Ayah, dan nenek di Surga sudah memafkan saya. Tanpa mengada-ada, saya berharap kisah ini bisa dijadikan pelajaran.

    @evitta_mf
    evitta_mf@ymail.com

    ReplyDelete
  22. aku ingin Nyai bisa menerima maafku, yang sekarang sudah tenang di sisi allah swt.aku adalah cucu yang paling dekat dengannya, dari lahir aku sudah berada di dekatnya jadi aku bertugas merawatnya . aku sering jengkel karena dia selalu cerewet dan menasihatiku. aku terkadang tak bisa membagi waktu untuk melakukan hobi ku dan aktivitas sekolahku, pada suatu hari aku hilaf dengan kelakuan nenekku. ku bentak dia hingga dia kadang menangis . aku menyesal sekarang, tiada lagi yg menasihatiku. sekarang aku hanya mengirimkan untaian doa agar ia selalu tenang di sisinya. seandainya malaikat bisa sampaikan permintaanku aku akan sangat bahagia karena sampai akhir menutup mata nya aku tak bisa mengucapkan terimakasih dan maaf . aku harap, tidak ada satupun orang yang mengulang kembali perbuatan yang aku perbuat .

    @mutiarairma1
    mickeymutiara25@gmail.com

    ReplyDelete
  23. Ada seorang sahabat yang aku kecewakan. Aku ingin meminta maaf padanya karena aku tidak bisa menerima perasaan cintanya. Karena ia sudah terikat dalam pernikahan. Aku ingin meminta maaf karena aku menolak cintanya, ia memutuskan menikah secara terburu-buru dengan gadis pilihan orangtuanya. Aku minta maaf karena aku tidak bisa menerima perasaannya yang tidak bahagia dengan pernikahannya.
    Aku minta maaf karena aku terlalu labil dan muda untuk memutuskan suatu hal yang besar. Jika aku merenggutnya, berarti aku merenggut karir dan mimpi-mimpinya. Walaupun sebenarnya saat itu aku cinta dia. Maka, aku mengalah mundur …
    Mencintai bukan berarti memiliki.
    Aku harap engkau bahagia dimanapun kau berada =) Karena kamu salah satu sahabat terbaikku.

    @siscacook
    siscawiryawan@ymail.com

    ReplyDelete
  24. Ada. Namanya 'Monster'.

    Beberapa waktu lalu kita dekat sekali. Hingga dia berjanji untuk mencoba mencintai aku lebih baik dan tidak membuka hati untuk sahabatnya. Kita sering menghabiskan akhir pekan bersama dan dia juga sering memberikan buku untuk menambah bacaanku. Entah apa yang membuatku tak berpikir positif, setelah perjanjian itu, Monster pergi menghilang tanpa kabar. Aku panik. Aku mencoba menghubunginya via whatsapp tapi tak ada balasan. Mencoba telepon berkali-kali tapi tak ada jawaban.

    "Kemana kamu? Apa yang membuatmu menghilang?

    14 hari dia menghilang, akhirnya Monster memberiku kabar! Saat membaca pesannya, entah apa yang aku rasa, dada ini tiba-tiba terasa sesak. Air mata membasahi pipi.

    "Aku bahagia bersama wanita lain. Dan kamu tahu siapa itu?!"

    Aku langsung meneleponnya. Dan sesak ini makin jadi ketika aku mendengar bahwa Monster telah menjalin hubungan dengan sahabatnya sendiri. Marah, benci, patah hati, dan tak bisa memaafkan. Aku memaki-maki Monster dan wanita itu. Marah sejadi-jadinya. Dan aku memutuskan pertemanan dengannya.

    Tiga bulan berlalu. Sejak kejadin itu, aku terus memikirkan Monster. Bermaksud ingin melupakan perasaan ini, aku ingin meminta maaf.

    Bisakah waktu mempertemukan kita?
    Bisakah kita berbincang untuk memperbaiki hubungan pertemanan kita?
    Dan bisakah kita berpisah secara baik?

    Aku minta maaf, Monster.

    @_ULUL_
    Hurul_dhyrul@yahoo.co.id

    ReplyDelete
  25. Sewaktu SMA aku punya seorang guru yang kalau bicara pelan sekali, sehingga kami selalu meremehkan dia dan bahkan mengisenginya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting. Meskipun hanya menyumbang tawa, aku merasa bersalah kepada beliau.

    Tentu berani. Hanya saja aku belum diberi kesempatan untuk berkunjung ke sekolah karena sibuk bekerja. Semoga ada kesempatan bersilaturahmi dengan beliau. Amin.

    @Juliaaprima
    julia_prima@ymail.com

    ReplyDelete
  26. Ada. Ia adalah, ngg.. Temanku. Tidak, tidak, sepertinya kami sudah tidak berteman. Oke, sebut saja dia Karyo. Aku tak lagi mendengar kabarnya sejak kejadian itu. Kejadian yg aku sendiri tak bisa melupakannya. Malam itu, karyo mengatakan isi hatinya. Karyo mencintaiku. Tapi saat yg sama, ia terluka. Aku tidak mencakarnya, ataupun menampar pipinya. Ia terluka karna perkataanku. Aku menolaknya karna alasan yg bodoh, tidak masuk akal, munafik. Dibalik alasanku menolak, sebenarnya ada seseorang yg sedang aku sayangi juga. Dan pada akhirnya, aku tak mendapatkan salah satu dari keduanya. Mungkin ini karma, tapi aku ikhlas untuk menerimanya. Karyo, jika kau baca tulisan ini. Aku minta maaf. Minta maaf sedalam-dalamnya atas kebohonganku. Atas kemunafikanku. Atas semua kesalahanku. Membuatmu pergi entah kemana. Kembalilah.. Aku tak mau meminta lebih. Cukup kau kembali menjadi temanku, aku sudah bahagia :) Karyo, maafkan aku..
    twitter : @dwiodie21
    email : dwi.rotua@gmail.com

    ReplyDelete
  27. Salah seorang temanku. Aku ingin sekali minta maaf kepadanya. Kami dulunya adalah teman sebangku. Dia anaknya seru, suka bercanda, dan baik sekali. Orangnya cerdas, pintar bicara dan pintar bersosialisasi. Temannya banyak, termasuk anak yang populer di sekolah. Aku termasuk beruntung bisa berteman dengannya, karena aku dapat berteman dengan anak-anak populer lainnya. Waktu itu, aku dan dia terlibat suatu kesalahpahaman, yang membuat aku dan dia pisah tempat duduk. Saat itu pelajaran Sosiologi, kami diminta untuk maju satu persatu dan menjelaskan materi yang baru saja diterangkan oleh guru. Karena wakti itu aku dan dia tidak memperhatikan karena sedang bercanda. Akhirnya kita tidak tahu harus apa. Sialnya, giliranku lah yang pertama. Aku maju, dan bicara di depan kelas sesuai apa yang kutahu. Aku gugup, namun aku akhirnya bicara juga. Dan sialnya lagi, guru itu berkata bahwa aku salah, anak laki-laki kompak menertawakan. Di kelasku kalau ada yang menjawab salah memang ditertawakan, dan kali itu akulah yang mendapat giliran ditertawai. Aku kesal sekali, setahu ku itu memang benar, aku sempat bertanya pada teman-temanku dan mereka juga setuju padaku. Tak lama kemudian, teman sebangku ku maju kedepan. Ia berniat membantuku, dan ia bilang pada guru bahwa kami berdua maju sekelompok, jadi nilainya untuk kami berdua bukan untuk dia saja. Ia akhirnya maju dan aku hanya menatapnya dengan kesal. Dalam hati aku berkata "Ngapain sih ini orang pake maju segala? Sekarang kan lagi giliranku, masa iya aku nggak boleh latihan bicara di depan orang banyak? Memang dia kira aku nggak bisa seperti dia?"

    Saat dia sedang bicara di depan kelas, tanpa pikir panjang aku sengaja meninggalkannya sendirian menuju ke tempat dudukku. Lalu aku membanting penggaris tanda kekesalanku sudah memuncak. Ia menatapku, lalu bicara "ini di lanjutin pak? Saya nggak enak sama dia." Dan aku tak peduli, tak sedikitpun menoleh ke arahnya. Sejak saat itu, kami tak pernah lagi bicara dan tak lagi duduk bersama.

    Tadinya aku bersikap biasa saja, karena aku merasa aku tak salah apa-apa. Namun lama kelamaan, beberapa temanku mulai bersikap mendiamkanku. Saat kutanya kenapa dia bersikap begitu, dengan hati-hati dia bilang, "gue nggak habis pikir lo waktu itu bersikap kayak gitu sama dia. Niat dia baik mau ngebantu lo, kalo gue jadi lo gue bakal terimakasih banget."

    Perkataan pedasnya itu lah yang menamparku. Tapi karena ego ku yang tinggi, aku tak juga meminta maaf padanya. Aku malah mengerahkan orang lain untuk ikut membencinya dan menceritakan beberapa keburukannya pada orang lain. Aku benar-benar butuh pendukung waktu itu, sayangnya semua orang tak ada yang benar-benar membelaku. Ibuku saja awalnya berkata bahwa itu mungkin salahku, namun saat aku membumbui cerita dengan beberapa hal negatif, akhirnya ibuku pun membelaku. Namun sebenarnya, mereka semua berpendapat serupa; bahwa aku yang salah.

    Kuperhatikan dia setiap hari, apa yang membuat dia begitu disukai banyak orang? Ternyata aku mendapatkannya. Dia tulus saat berbagi dengan orang lain, dia dia membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dia hanya ingin temannya bertambah banyak. Karena memang itu lah yang kulihat, semua orang yang baru melihatnya langsung kagum dengan kedewasaannya. Aku mulai memikirkan itu, dan akhirnya aku menyadari satu hal...
    Aku rugi telah kehilangan dia sebagai salah satu temanku.
    Aku ingin meminta maaf padanya, namun tak berani. Karena biasanya orang yang salah lah yang takut untuk bicara dan meminta maaf.

    @fazidaa_
    fabizdihar@gmail.com

    ReplyDelete
  28. jodoh itu diatur Tuhan, untuk itu harus mengikutkan Tuhan pula menjadikan mahligai indah. sangat ses & bro.

    ReplyDelete