Sekelumit kisah manis dari gempa
Judul: 57 detik
Pengarang: Ken Terate
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Genre: Friendship, Teenage Romance
Tebal: 232 halaman
Rilis: Juni 2009 (cetakan pertama)
Harga: Rp30.000 (Harga Toko)
ISBN: 978-97-22-4632-2
Hmm…saya pernah ikut tren dengan menggilai novel-novel yang oleh penerbit dikategorikan sebagai teenage-literature a.k.a teenlit ketika booming novel beginian sekitaran tahun 2004-2005. Urusan tema memang hampir seragam, mulai dari urusan cinta monyet, cinta segitiga, isu gencet-menggencet di sekolahan, hingga tema persahabatan biasa. Tidak banyak yang ditawarkan novel yang kebanyakan juga dibuat oleh remaja-remaja tanggung yang bahkan belum mempunyai “nama” di dunia perbukuan tanah air itu. Tidak heran jikalau kemudian banyak anak usia sekolahan “mendadak-terkenal” karena tulisannya diterbitkan dan laris terjual. Lalu, Gramedia memunculkan ide mengadakan lomba untuk menjaring bibit-bibit baru penulis Indonesia. Dari lomba itu terdapat sosok Ken Terate yang terpilih sebagai juara ketiga melalui novelnya yang berjudul My Friends My Dreams. Dari situlah saya mulai menyukai tulisan-tulisan Ken. Ia memiliki gaya yang khas dan lain daripada beberapa penulis teenlit yang kebetulan novelnya saya baca.
Kalau bisa dibilang saya termasuk orang yang cukup loyal. Begitu saya menyukai sesuatu, saya akan langgeng menyukainya. Termasuk dalam hal ini hasil tulisan seseorang. Tulisan Ken masuk dalam hitungan. Saya hampir selalu membaca buku-bukunya. Jadi, ketika Ken mengirimkan email kepada saya dan memberitahukan bahwa akan segera terbit novel terbarunya berjudul 57 detik (pertamanya doi bilang tuh nopel cuman dibikin versi e-book khusus handphone doank), maka kemudian saya menjadi tak sabar menantikan rilis dalam bentuk cetak-nya.
Yang paling saya suka dari gaya penulisan Ken adalah kemampuannya membuat kalimat-kalimat hiperbola yang menggelitik dan menggemaskan. Padahal ada yang bilang bahwa semua hal yang terlalu (hiper atau hipo) itu tidak bagus. Tetapi “kalimat terlalu” buatan Ken justru menjadi daya pikat tersendiri, bagi saya, dalam setiap bukunya. Hal lain yang saya suka dari Ken adalah konsistensinya dalam menulis. Saya perhatikan dari sejak novel pertamanya Ken selalu menggunakan kata ganti orang pertama (aku, gue) untuk keseluruhan karakter utama dalam novel-novelnya. Hal ini jelas membutuhkan ketelitian dan kecermatan tersendiri dalam menjaga agar tiap aktor yang diciptakan tidak melenceng dari sifat rekaannya. Satu karakter tidak boleh tertukar dengan karakter lain, atau jangan sampai antar-karakter saling bertubrukan alias timpang satu dengan yang lainnya.
57 detik mungkin menjadi novel pertama Ken yang lahir dari sebuah kisah nyata. Yah, itu cuman dugaan saya belaka. Kebenarannya saya kurang tahu. Dalam pengantar novelnya, Ken secara khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa orang yang berjasa “memberinya” beragam cerita yang membantunya membangun plot novel ini.
Teenlit dengan sampul yang didominasi warna kuning cerah ini mengambil latar kejadian gempa yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya beberapa waktu silam. Judulnya sendiri mengacu pada durasi gempa yang mengguncang kota gudeg tersebut. Di beberapa bagian Ken secara kreatif memberikan tambahan-tambahan tulisan semisal tips menghadapi gempa yang dikemas dalam bahasa komedi, serta beberapa headline dan foto asli suatu peristiwa yang ada kaitannya dengan gempa. Interesting. Ceritanya sendiri khas sekali untuk konsumsi usia anak sekolahan. Bumbu-bumbunya tak jauh dari gonjang-ganjing persahabatan, persaingan merebut posisi strategis di sekolahan (ketua cheerleader), dan lakon-lakon anak SMA masa kini, termasuk cemburu-cemburuan dalam urusan percintaan.
Harusnya memang ada air mata yang tumpah begitu membaca novel ini karena hampir separuh bagiannya diisi kejadian tragis mengenai situasi saat dan setelah gempa. Setting lokasi dan emosi para tokohnya pun coba dibangun oleh Ken untuk membangkitkan rasa haru, paling tidak menurut saya begitu, namun sayang saya hanya larut sebentar saja. Keharuannya kurang mampu membuat saya menitikkan air mata, padahal saya terkenal paling mudah lumer pada hal-hal sedih dalam sebuah tulisan. Hmm, entahlah, saya mengharapkan tragedi yang lebih sengsara lagi (tentu saja nggak untuk kehidupan nyata).
Selebihnya sih, Ken banget. Semuanya saya suka. As usual. Ken berhasil menjaga konsistensi tiga tokoh utamanya meski kesemuanya menggunakan kata ganti orang pertama. Yang juga saya suka dari Ken adalah dia tidak melulu menjejali pembaca dengan gula-gula cinta namun juga asem-manis-pahitnya sebuah persahabatan. Dan itulah yang membedakannya dengan kebanyakan pengarang teenlit lainnya. Maju terus Ken. Semoga tetap produktif.
Selamat membaca!
Sinopsis (cover belakang)
Judul: 57 detik
Pengarang: Ken Terate
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Genre: Friendship, Teenage Romance
Tebal: 232 halaman
Rilis: Juni 2009 (cetakan pertama)
Harga: Rp30.000 (Harga Toko)
ISBN: 978-97-22-4632-2
Hmm…saya pernah ikut tren dengan menggilai novel-novel yang oleh penerbit dikategorikan sebagai teenage-literature a.k.a teenlit ketika booming novel beginian sekitaran tahun 2004-2005. Urusan tema memang hampir seragam, mulai dari urusan cinta monyet, cinta segitiga, isu gencet-menggencet di sekolahan, hingga tema persahabatan biasa. Tidak banyak yang ditawarkan novel yang kebanyakan juga dibuat oleh remaja-remaja tanggung yang bahkan belum mempunyai “nama” di dunia perbukuan tanah air itu. Tidak heran jikalau kemudian banyak anak usia sekolahan “mendadak-terkenal” karena tulisannya diterbitkan dan laris terjual. Lalu, Gramedia memunculkan ide mengadakan lomba untuk menjaring bibit-bibit baru penulis Indonesia. Dari lomba itu terdapat sosok Ken Terate yang terpilih sebagai juara ketiga melalui novelnya yang berjudul My Friends My Dreams. Dari situlah saya mulai menyukai tulisan-tulisan Ken. Ia memiliki gaya yang khas dan lain daripada beberapa penulis teenlit yang kebetulan novelnya saya baca.
Kalau bisa dibilang saya termasuk orang yang cukup loyal. Begitu saya menyukai sesuatu, saya akan langgeng menyukainya. Termasuk dalam hal ini hasil tulisan seseorang. Tulisan Ken masuk dalam hitungan. Saya hampir selalu membaca buku-bukunya. Jadi, ketika Ken mengirimkan email kepada saya dan memberitahukan bahwa akan segera terbit novel terbarunya berjudul 57 detik (pertamanya doi bilang tuh nopel cuman dibikin versi e-book khusus handphone doank), maka kemudian saya menjadi tak sabar menantikan rilis dalam bentuk cetak-nya.
Yang paling saya suka dari gaya penulisan Ken adalah kemampuannya membuat kalimat-kalimat hiperbola yang menggelitik dan menggemaskan. Padahal ada yang bilang bahwa semua hal yang terlalu (hiper atau hipo) itu tidak bagus. Tetapi “kalimat terlalu” buatan Ken justru menjadi daya pikat tersendiri, bagi saya, dalam setiap bukunya. Hal lain yang saya suka dari Ken adalah konsistensinya dalam menulis. Saya perhatikan dari sejak novel pertamanya Ken selalu menggunakan kata ganti orang pertama (aku, gue) untuk keseluruhan karakter utama dalam novel-novelnya. Hal ini jelas membutuhkan ketelitian dan kecermatan tersendiri dalam menjaga agar tiap aktor yang diciptakan tidak melenceng dari sifat rekaannya. Satu karakter tidak boleh tertukar dengan karakter lain, atau jangan sampai antar-karakter saling bertubrukan alias timpang satu dengan yang lainnya.
57 detik mungkin menjadi novel pertama Ken yang lahir dari sebuah kisah nyata. Yah, itu cuman dugaan saya belaka. Kebenarannya saya kurang tahu. Dalam pengantar novelnya, Ken secara khusus mengucapkan terima kasih kepada beberapa orang yang berjasa “memberinya” beragam cerita yang membantunya membangun plot novel ini.
Teenlit dengan sampul yang didominasi warna kuning cerah ini mengambil latar kejadian gempa yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya beberapa waktu silam. Judulnya sendiri mengacu pada durasi gempa yang mengguncang kota gudeg tersebut. Di beberapa bagian Ken secara kreatif memberikan tambahan-tambahan tulisan semisal tips menghadapi gempa yang dikemas dalam bahasa komedi, serta beberapa headline dan foto asli suatu peristiwa yang ada kaitannya dengan gempa. Interesting. Ceritanya sendiri khas sekali untuk konsumsi usia anak sekolahan. Bumbu-bumbunya tak jauh dari gonjang-ganjing persahabatan, persaingan merebut posisi strategis di sekolahan (ketua cheerleader), dan lakon-lakon anak SMA masa kini, termasuk cemburu-cemburuan dalam urusan percintaan.
Harusnya memang ada air mata yang tumpah begitu membaca novel ini karena hampir separuh bagiannya diisi kejadian tragis mengenai situasi saat dan setelah gempa. Setting lokasi dan emosi para tokohnya pun coba dibangun oleh Ken untuk membangkitkan rasa haru, paling tidak menurut saya begitu, namun sayang saya hanya larut sebentar saja. Keharuannya kurang mampu membuat saya menitikkan air mata, padahal saya terkenal paling mudah lumer pada hal-hal sedih dalam sebuah tulisan. Hmm, entahlah, saya mengharapkan tragedi yang lebih sengsara lagi (tentu saja nggak untuk kehidupan nyata).
Selebihnya sih, Ken banget. Semuanya saya suka. As usual. Ken berhasil menjaga konsistensi tiga tokoh utamanya meski kesemuanya menggunakan kata ganti orang pertama. Yang juga saya suka dari Ken adalah dia tidak melulu menjejali pembaca dengan gula-gula cinta namun juga asem-manis-pahitnya sebuah persahabatan. Dan itulah yang membedakannya dengan kebanyakan pengarang teenlit lainnya. Maju terus Ken. Semoga tetap produktif.
Selamat membaca!
Sinopsis (cover belakang)
JOGJA, KORAN REMAJA--Aji, Ayomi, dan Nisa adalah
remaja "biasa", kayak kita-kita gitu deh. Mereka mengaku kadang bosan dengan hari-hari mereka. Sekali-sekali mereka pengin juga meng-alami kejadian seru. Tapi tentu saja bukan seru yang menyengsarakan seperti GEMPA. Namun, itulah yang terjadi! Gempa itu tiba-tiba datang dan mengacau-kan semuanya. Cuma 57 detik, tapi akibatnya begitu mengerikan. Petualangan luar biasa terpaksa mereka jalani. Apa aja cerita mereka? Bagaimana mereka bertahan? Apa ada kejadian lucu dalam tragedi ini? Berikut wawancara dengan mereka.
Tanya: Waktu gempa rasanya seperti apa?
Aji: Seperti ditabrak buldoser.
Ayomi: Seperti naik rollercoaster... tanpa sabuk pengaman.
Nisa: (lirih) seperti sulap.
Tanya: Apa yang membuat kamu paling sedih?
Aji: Bencana itu rasanya nggak adil, sepertinya selalu menimpa orang yang sudah susah.
Ayomi: Aku nggak bisa menari lagi, padahal menari adalah hidupku.
Nisa: (lirih juga) Sahabatku Aisyah... dia... (tidak berhasil melanjutkan)
Tanya: Apa hikmah yang bisa kamu dapatkan?
Aji: Akhirnya gue tau apa yang gue inginkan, setelah gue capek memenuhi harapan orang lain.
Ayomi: Dapet pacar baru.
Nisa: Aku sadar aku sangat sayang pada keluargaku, meski mereka sama sekali nggak keren.
Wow! Petualangan mereka bener-bener seru dan sangat menarik untuk disimak. Misalnya, Nisa yang harus bertahan di puing-puing tanpa makanan lebih dari sehari-semalam, lalu Aji yang jadi relawan dadakan, dan Ayomi yang merasa dunianya hilang dalam sekejap gara-gara isu tsunami fiktif.
Oh iya, ada cerita-cerita lucu dan romantisnya juga lho. Dapatkan kisah lengkap mereka di buku ini, sekarang juga!