Monday, February 1, 2010

(2010 - 4) Resensi Novel Metropop: aliaZalea - Miss Pesimis

Perlukah dibentuk LSB (Lembaga Sensor Buku)?



Judul: Miss Pesimis
Penulis: aliaZalea
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta segitiga, Teman jadi kencan, Seks pranikah, Kebimbangan
Tebal: 272 halaman
Harga: Rp36.000 (Toko)
Rilis: Januari 2010

Sejak kali pertama melihat Ervin yang bak Dewa Yunani itu, Adriana sudah jatuh hati pada laki-laki yang ternyata adalah calon teman kantornya sendiri. Namun, jejak cinta pertamanya di SMP dulu pada Baron mengaburkan debaran-debaran aneh setiap berdekatan dengan Ervin. Jauh sebelum bertemu Ervin Adriana sempat menjalin hubungan dengan bule di Amerika, dimana Adriana terpaksa menolak lamarannya karena cinta terpendamnya pada Baron yang masih disemainya.

Ketika muncul keberanian Adriana mengutarakan isi hatinya pada Baron, ia justru shock mendengar kabar bahwa sang pujaan hatinya itu akan segera bertunangan dengan Olivia, teman SMP mereka. Demi menata hatinya, Adriana mencurahkan waktunya ke pekerjaan dan mempererat persahabatan dengan Ervin. Tetapi, dunia seolah sedang mempermainkannya, karena meskipun telah mencoba memblokir segala kemungkinan ia bertemu dengan Baron, justru laki-laki itu yang menemukannya. Puncaknya, ketika Adriana tak lagi bisa menghindar dari Baron di pesta reuni SMP. Dan, sadarlah Adriana bahwa sebenarnya dari sejak dulu Baron juga mencintainya. Namun, di saat yang sama mengapa ia menjadi ragu? Mengapa ia menjadi tak lagi percaya bahwa Baron-lah yang dia inginkan menjadi kekasih hatinya?

Tak mau menyakiti Olivia, Adriana kemudian menolak lamaran Baron. Meski begitu, perih yang menyiksa batinnya ternyata tak dapat disingkirkannya semudah yang ia bayangkan. Maka ketika Ervin mengajaknya pergi berlibur, Adriana dengan berat hati menyetujuinya. Di tempat liburan, Adriana bertekad melupakan Baron dengan melakukan hal-hal gila yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Dan siapa yang menyangka kalau hal-hal gila itu ia lakukan bersama Ervin? Lalu, ketika Adriana menyadari bahwa ia hamil, apakah ia akan menuntut Ervin untuk bertanggung jawab, padahal Adriana merasa Ervin tak pernah menganggapnya sebagai seseorang yang spesial? Hanya sebagai serep ketika tak ada lagi perempuan yang tersisa untuk diajak kencan olehnya?

Menyimak lembar-lembar pertama novel ini, saya sangat lega, bahwa akhirnya terbit juga sebuah novel dalam line metropop-nya Gramedia dengan pakem yang sudah saya suka dari awal kemunculan line ini. Belakangan saya seperti kehilangan selera membaca novel-novel metropop yang sepertinya tak lagi memiliki "something" yang seingat saya membuat saya tergila-gila. Beberapa diantaranya bahkan menerbitkan rasa sesal karena membelinya.

Masih dengan taburan tema klise dan adegan daur-ulang, Miss Pesimis tampil memukau dengan beberapa dialog cerdasnya yang mengingatkan saya pada film drama Hollywood favorit, When Harry Met Sally, Before Sunset, It's Complicated, dan sebagainya. Dan, ya, novel ini memang memiliki alur dan adegan seperti kebanyakan film-film tersebut. Bebas, ceria, kadang ekstrim, dan selebihnya menyenangkan. Bagi kebanyakan perempuan yang menyukai film drama Hollywood mungkin akan jatuh suka juga dengan novel ini. Ceritanya mengalir lancar dan menyegarkan.

Namun demikian, saya menganjurkan untuk juga menganggap novel ini hanya sekadar hiburan semata. Begitu selesai, ya sudah, cukup mengomentari jalan cerita atau tingkah polah para tokohnya atau gaya penceritaan penulisnya. Sebut saya naif, atau kolot, tapi saya sepenuhnya tidak menyukai kebanyakan adegan dalam novel ini. Tak perlu bicara moral ketika membaca novel ini (dan kebanyakan novel jenis beginian saat sekarang). Hampir semuanya sudah terpengaruh budaya barat. Free sex. Hubungan intim pra nikah. Partying. Alcohol. Hamil di luar nikah, dan lain sebagainya. Sekian lama hidup di negara yang (katanya) menjunjung adat ketimuran, hal-hal tersebut tetap saja membuat saya geleng-geleng kepala dan mencoba untuk mengingkarinya. Saya takut jika yang demikian lambat laun dianggap sebagai hal yang lumrah dan semua memakluminya, karena saya masih menilai (secara logika) bahwa hal-hal itu salah. Tak perlu pendidikan tinggi untuk menilainya sebagai suatu kesalahan.

Maka, saya pun merasa punya hak ketika mempertanyakan apakah perlu dibentuk sebuah Lembaga Sensor Buku (LSB), semacam Lembaga Sensor Film (LSF), yang bertugas menyunting adegan-adegan tak layak baca? Saya selalu bertanya, sebegitu pentingkah menarasikan bagaimana dua orang berciuman sampai lebih dari satu halaman? Seberapa perlunya menggambarkan adegan ranjang? Seberapa signifikankah adegan-adegan intim yang semustinya dilakukan oleh pasutri itu diumbar dalam sebuah novel? Apakah dengan membuatnya "tersamar" akan mengacaukan keseluruhan jalan ceritanya? Ataukah ini usaha penulis (penerbit dan editornya) untuk menarik minat calon pembeli-bacanya? Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bumbu seks selalu berhasil mengundang kontroversi yang harus diakui dapat menjadi media promosi (iklan) yang murah. Tapi kontroversi selalu-lah akan menjadi kontroversi, yang bagi saya berkonotasi negatif. Nge-boom dalam waktu singkat dan tenggelam dalam waktu yang singkat pula.

Jika sudah demikian, saya hanya bisa berharap bahwa para pembaca cukup "pintar" bagaimana menikmati sebuah bacaan. Pembaca yang secara tegas dapat membedakan mana fiksi dan mana non-fiksi. Pembaca yang tak kebingungan menilai sesuatu dengan hati nurani dan segala norma yang dipercayainya. Meskipun begitu, saya tidak dalam posisi menggurui atau berlagak sok suci. Semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Saya percaya, secara naluriah setiap orang sudah dibekali filter yang cukup memadai untuk menyaring beragam informasi yang didapatnya detik demi detik dalam kehidupannya. Yang terpenting bahwa segala keputusan ada konsekuensinya. Saya hanya khawatir jika ada pembaca yang tak bijak menyikapi novel seperti ini, sehingga bisa memicu "keinginan berbahaya yang terpendam" untuk meniru apa yang tertulis dalam novel. Semoga saja tidak!

Meskipun menggoyang imajinasi saya sedemikian rupa, ada juga beberapa scene yang agak aneh bagi saya. Salah satunya adalah adegan ketika Adriana mempraktikkan ilmu psikologinya dengan memberikan konseling pada Baron dan Olivia yang sedang bertengkar. Hahahaha... saya tidak bisa menangkap apa esensi dari adegan itu. Meskipun scene tersebut merupakan salah satu titik balik keseluruhan cerita, saya sedikit kecewa dan lebih mengharapkan adegan lain, walaupun saya juga tidak bisa memberikan ide adegan seperti apa yang saya inginkan. Yang jelas, bukan yang seperti itu.

Untuk urusan teknis percetakan, beberapa salah ketik masih ada, antara lain:

Halaman 51: "Gampanglah, nanti kita ke sini dulu
sebelum gue lo antar ngambil mobil.", setahu saya dialog itu bagiannya Ervin, sehingga harusnya penulisan yang benar, "...sebelum elo gue antar...", karena pada bagian tersebut Adriana lah yang meminta diantar.
Halaman 87: Font untuk paragraf pertama di halaman tersebut tampak lebih besar ketimbang font yang semestinya.
Halaman 186: Bagus, itu berarti lo masih sadar. Pak baju, Dri, kita....." seharusnya tertulis, "....sadar. Pakai(e)baju, Dri....."

Jujur, tiga bab terakhir saya membacanya bak seorang sprinter. Kencang dengan banyak bagian yang saya lompati, karena saya memang, well, kecewa dengan endingnya. What? Sebegitu mudahkah hubungan rumit ini diakhiri? Ya ampun, jauh dari ekspektasi saya jika melihat betapa para tokohnya dibuat jumpalitan dengan beragam peristiwa yang mereka lalui. I want something bigger than that!

Overall, saya cukup puas dengan novel ini. Semoga saja untuk bulan-bulan berikutnya di tahun 2010 ini, Metropop terbitan Gramedia kembali kepada form terbaiknya. Tentu saja, saya masih menunggu karya-karya terbaru dari novelis favorit, Alberthiene Endah, Dewie Sekar (Alita@First sudah terbit, saya akan segera mencarinya), Wiwien Wintarto, Retni SB, Ika Natassa, dan beberapa novelis lainnya.

Sinopsis (cover belakang)
Bertahun-tahun Adriana Amandira memendam cinta pada Baron tanpa berani memperlihatkannya, karena mnegira dia bukan tipe wanita yang disukai lelaki itu. Sepuluh tahun kemudian, ketika sudah sama-sama dewasa dan sukses, kenyataan berkata lain dan kesempatan terbuka untuknya untuk memiliki kebersamaan mereka.

Namun ketika Baron melamarnya, Adriana bimbang. Jika ia menerima pinangan lelaki itu, berarti dia akan melukai hati Oli, tunangan Baron yang juga teman mereka.

Adriana merasa frustasi, patah hati. Untuk melupakan Baron, dia lalu memutuskan untuk melakukan perbuatan gila-gilaan yang belum pernah dilakukannya selama hidup, dan bukan khas dirinya. Salah satunya, dia ingin sekali berkencan dengan seseorang, sembarang lelaki, siapa pun dia. Dan Adriana tak mengira, bahwa yang datang menyambut tawarannya adalah sahabatnya sendiri...

4 comments:

  1. hai, saya lagi saya baca miss pesimis. bener banget yang halaman 51 tuh, jadi rada aneh ngebacanya. trus waktu ervin, adri, baron di hard rock waktu jazz nite pas halaman 119, "Kenapa juga sih lo harus baik sama semua orang? Sama Baron, Reza, tuh bule di Hard Rock?" tapi pas dicari di halaman2 sebelomnya gak ada bagian ada bule. padahal itu kan waktu di hard rock di ceritainnya lengkap kan yaaa?? bingung deh hahha..

    ReplyDelete
  2. Thankx sudah mampir...tapi kok nickname-nya monster...hehehe...jadi gak bingung manggilnya...

    iya, sebenarnya scene di Hard Rock juga ada yg pengin saya tanyakan, klo nggak salah saat itu kan pertemuan antara Baron - Ervin dengan membawa Adriana ya? dan terungkap klo Ervin tau Adri itu cinta matinya Baron...trus adegan berikutnya kan Ervin ngambek dg alasan Adri terlalu baik pada Baron, agak kurang pas menurutku, lha wong Baron - Adri sudah diketahuinya pernah dekat, kan, ngapain pake ngambek ya....hehehhe, tau ah...:)

    ReplyDelete
  3. Salam kenal....
    Saya memang baru tau ada blog ini, itu pun secara tidak sengaja pula.
    Terus terang saya suka baca metropop karena ringan isinya, jadi tidak terlalu mikir,lumayan bisa menghibur dikala penat oleh pekerjaan. Kadang kala bikin seneng juga karena merasa tersentil merasa kisahnya hampir sama dengan isi cerita.
    Kalau boleh saya mau komentar dikit...
    Saya pribadi, pada saat saya membaca metropop saya tidak begitu mempermasalahkan "pelengkap" dalam cerita itu. Yang saya maksud "pelengkap" disini apabila penulis menyertakan "branded things", atau sikap konsumtif lainnya, bahkan mungkin segala adegan "17 tahun keatas" yang dimuat yang memang dimaksudkan untuk menambah isi novel supaya menarik.
    Saya cukup kan pada isi cerita saja.
    Saya membaca Miss Pesimis baru saja. Buku ini memang sudah lama saya beli, tapi baru sempat saya baca mengingat kebiasaan saya yang membeli tanpa menakar apakah saya punya cukup banyak waktu luang untuk membaca, memang membuat banyak buku yang sudah beli menjadi telantar karena belum sempat saya baca.
    Saya juga sempat terkejut dengan adegan didalam novel ini. Tapi karena saya sudah cukup terkesan dengan isi novel ini yang menurut saya kejadiannya nyaris sama dengan yang pernah saya alami (tanpa menyertakan kehidupan tokoh cerita tentunya), maka saya tidak terlalu mempermasalahkan adegan-adegan sebagai bumbu cerita.
    Apa mungkin saya yang kebangetan kali ya.....tidak terlalu mempedulikan apa yang terjadi?
    Meskipun dari dalam lubuk hati saya juga setuju dengan pendapat Anda bahwa sebenarnya untuk membuat cerita itu menarik bukan berarti harus menyertakan "adegan 17 tahun keatas", barang-barang merk...cukup isi cerita saja. Oleh karena itu dibutuhkan kelihaian penulis untuk mengemas ceritanya.
    Saya menulis disini tidak mewakili siapa-siapa, murni diri saya sendiri. Saya tidak bisa memberikan batasan yang dimaksud "mesum" itu bagaimana, "jorok" itu bagaimana, saya cuma penikmat cerita...
    Tapi saya salut dengan Anda, yang bisa review isi cerita dengan detil sekali.
    Senang seandainya saya bisa berkenalan dengan Anda.
    Terima kasih

    ReplyDelete
  4. baru nemu blog ini,,,dan tertarik dgn kata2 JooLee bahwa ternyata beliau suka dgn novel2 karya penulis Dewie Sekar, Alberthiene Endah, Retni SB, Ika Natasha..(Wiwin Wintarto ga tll suka walo pnya novelya, krg cocok dgn gaya pnulisannya...)

    tapiii i'm so takjub ada jg org yg ksukaannya sm dgn sy suka karya 4 penulis tsbut.. soalnya biasanya org pd suka Clara Ng, Agnes Jesica yg krg metropop ato lbh parah lg ada yg suka Harlequein hehe.. maap jk ada yg kontra, ini hnya opini sy :)

    sy tggu resensi2 yg lain yg uptodate yah..

    bookmark dolo ah..

    ReplyDelete