Judul: Alita @ First
Penulis: Dewie Sekar
Penyunting: -
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta tak tersampaikan, Persahabatan, Keluarga, HIV-AIDS
Tebal: 328 hlm
Harga: Rp45.000 (Toko) Rp38.250 (inibuku)--->Beli
Rilis: Pebruari 2010
Dewie Sekar bermaksud menguraikan kisah cinta tanpa syarat tersebut dengan menghidupkan tokoh Alita dalam novel metropop terbarunya bertajuk Alita @ First ini. Penggambaran Alita cukup detail dalam rentang usia sekolah menengah hingga dewasa dan bekerja. Mengikuti alur kehidupan Alita serupa membaca sebuah catatan kehidupan seseorang yang benar-benar nyata karena diksi dan gaya bahasa yang digunakan penulis cukup sederhana dan dekat dengan keseharian.
Cinta tanpa muara. Cinta tanpa hasrat memiliki dan menguasai. Itulah yang dicoba dibangun oleh Alita pada sesosok laki-laki yang telah memesonanya semenjak ia masih gadis berseragam putih-biru. Erwin, nama laki-laki itu, adalah teman kuliah kakak lelakinya (Yusa) di Jogja. Adalah peringatan orangtua, kakak, eyang, dan sahabatnya yang membuat Alita menembok hatinya pada Erwin yang sejatinya selalu mengisi lembaran fantasi romantika kesehariannya. Bahkan, secara tegas Yusa membisikinya bahwa Erwin bukanlah laki-laki yang pantas dijadikan suami karena dia adalah laki-laki yang berbahaya (hlm. 16). Maka, meskipun debur hatinya tak dapat dibohongi, Alita terpaksa mengunci rapat-rapat peti hatinya agar tidak diketahui siapa pun. Terlebih oleh Erwin, sang Arjuna penghias mimpi-mimpinya.
Kisah cinta diam-diam Alita juga dibumbui dengan cerita manis-romantis-tragis Yusa yang ikut menyeret Alita dalam pusarannya. Maka, kalau diperbolehkan membuat rangkuman, dalam novel ini bakal ditemui sisi manis-romantisnya, canda-tawanya, kerja-kerasnya, hingga sisi sedih-tragisnya. Sebagai awal dari sebuah cerita bersambung, ending dari Alita @ First sungguh membuat dada sesak. Dan, saya pribadi menjadi penasaran dengan kehidupan lanjutan Alita di novel berikutnya.
Trilogi Zona (Zona @ Tsunami, Perang Bintang, dan Zona @ Last) karya Dewie Sekar merupakan trilogi novel metropop favorit saya. Cara penulis menghidupkan karakter tokoh-tokohnya dan gaya bahasa yang digunakannya sungguh memikat, membuat saya susah berhenti membaca namun juga terlalu enggan menyelesaikannya dengan cepat. Saya ingin menikmati dan menghayati ceritanya secara perlahan-lahan. Kemudian Dewie Sekar menulis Langit Penuh Daya, yang entahlah, bagi saya kurang memuaskan. Maka, saya mencoba netral ketika melalui seorang teman dan konfirmasi di blog resmi sang penulis, novel terbaru Dewie Sekar akan segera terbit. Hanya mendengar judulnya, saya sudah memprediksi bahwa novelnya kali ini juga akan sambung-menyambung (berseri), namun apakah akan dibuat trilogi seperti trilogi Zona, saya kurang tahu. Mari ditunggu saja konfirmasi resmi dari sang penulisnya nanti.
Kalau saja tidak ada label metropop-nya, mungkin saya akan menyebut novel ini masuk kategori teenage literature (teenlit) karena pada lembar-lembar awalnya Alita digambarkan masih merupakan siswa SMP yang dilanda cinta pertama. Alita mendeskripsikan perasaannya itu dengan, "Jatuh cinta sama dengan... demam! (hlm: 14)", yang pada perkembangannya berubah menjadi, "Jatuh cinta bagiku kini sama dengan bermain api! (hlm: 26-27)".
Namun, ternyata itu hanya upaya sang penulis untuk mengilustrasikan bagaimana benih cinta yang tertanam di dasar hati Alita tersemai dan tumbuh seiring pertambahan usianya. Dan, di sinilah kepiawaian Dewie Sekar menyajikan jalinan romantisme yang manis namun tidak cheesy. Salah satu momen yang "...oh, so sweet bangets" adalah ketika terjadi kesepakatan yang dinamai Perjanjian Menjer (apa itu? baca novelnya untuk mencari tahu, ya...) antara Alita dan Erwin. Membaca bagian ini saya sungguh-sungguh dibuat iri dan terhanyut, namun juga tersenyum senang. Bahkan, saking indahnya hubungan antar tokohnya saya sempat setengah merengek meminta dalam hati, "....muga2 Dewie nggak iseng ngasih tragedi di tengah suasana menyenangkan ini! Dan, tolong jangan ada yang mati". Namun apa mau dikata, hanya berselang beberapa lembar setelah saya mengucap permohonan itu, justru tragedi benar-benar diciptakan oleh Dewie. Oh... ya ampun, saya langsung lemas. Hikz, *ambil-tissue-dulu*
Natural. Real. Manusiawi. Tiga kata itu merujuk pada satu simpulan: hidup dan nyata. Jika pada sebagian besar novel metropop yang sudah terbit biasanya ceritanya dibalur dengan beragam kehidupan glamor dan taburan barang-barang branded yang terlalu tak terjangkau (bagi saya), maka di dalam novel ini saya hampir-hampir tidak mendapati satu pun merk baju-sepatu-tas-kosmetika-perhiasan yang mengiringi rajutan kehidupan para pelakonnya. Bahkan, tokoh-tokohnya pun seolah hadir dengan standard masuk akal. Memang ada banyak kata ganteng-cantik-memesona-karismatik, namun tidak sampai terjerumus pada jurang "too perfect to be true", yang sering dijual novel-novel urban masa kini.
Ceritanya mengalir secara kronologis, ditandai dengan tahapan pertambahan umur Alita. SMP, SMA, kuliah, dan bekerja. Setting lokasi berturut-turut ada di Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan berseling dengan Bali. Benang merah cinta terpendam Alita pada Erwin ditempeli dengan sub-plot liku-liku kehidupan Alita yang sebagian besar berisi profesi sebagai guru les privat, sub-plot kisah haru-biru cinta Yusa dan usahanya mencari pekerjaan, sub-plot cerita cinta sahabatnya, dan ditutup dengan ending yang membuat pembaca berkaca-kaca.
Nilai lebih yang saya tangkap dari novel ini adalah pelajaran moral yang coba diselipkan Dewie dalam keseharian tokoh-tokohnya. Entah apakah dilakukan dengan sengaja atau tidak, yang jelas saya mendapatkannya. Sangat terasa bagaimana harmonisnya hubungan orang tua dengan anak, antar teman, atau hubungan intim antara lawan jenis. Jempol dua saya acungkan buat Dewie yang berhasil membuat cerita yang demikian indah tanpa disertai adegan tak senonoh yang belakangan makin vulgar ditulis dalam novel-novel. Tidak ada adegan ranjang. Tidak ada gemebyar suasana klub malam. Tidak ada kegiatan hedonisme. Tidak ada pesta minuman dan narkoba. Bahkan, kontak fisik hanya sebatas pelukan, itu pun tidak dimaksudkan sebagai penggambaran umbaran nafsu para tokohnya. Kalau sudah begini saya ingin teriak keras-keras kepada para penulis di mana pun mereka berada, "...SEE, NGGAK USAH PAKE NGOBRAL AURAT, ADEGAN MESUM MENJURUS PORNO, PESTA MINUM DAN NARKOBA-ROKOK, UNTUK BIKIN CERITA YANG BAGUS." Saya memang agak prihatin, dan risih, dengan semakin terbukanya para penulis (dan penyunting) mengilustrasikan adegan-adegan "kurang-pantas" dalam novel. Saya selalu bertanya, "...apa perlunya sih adegan-adegan intim itu disajikan secara detail dalam sebuah novel?". Maka, please, STOP adegan mesum!
Yang seru lagi adalah dialog-dialognya yang cerdas, bukan dialog kacangan. Beberapa guyonan juga membawa efek lucu yang spontan dan tidak terkesan dipaksakan, misalnya,
(hlm: 116)Aseli, saya tertawa ketika sampai pada bagian ini. Lawakan yang diselipkan Dewie sungguh pas dan memberikan kesan segar.
Erwin: Kucing yang nggak bisa nolak ikan-ikan...
Alita: Kucing Mama nggak doyan ikan. Maunya cuman makan jeroan ayam.
Erwin: Kucing mamamu pasti punya kelainan!
Beberapa quote yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya antara lain:
(hlm: 163) Nggak ada yang nggak bisa diubah kalau memang ada kemauan.Hmm, pada dasarnya saya sudah sangat puas (sekali) dengan novel ini, baik dari segi cerita, plot, karakter, dan konflik yang dihadirkan. Namun demikian, agar saya tetap terlihat dapat melontarkan kritik saya mencoba mencari-cari kesalahan dari segi cetakan/editan kata-kalimat hingga kekurangan layout-nya. Agak konyol memang, namun daripada tidak dapat temuan, kan? Hihihihi...Berikut beberapa kekurangan teknis tersebut:
(hlm: 222) Itu sama aja kayak minta dikasih sehat sama Allah, tapi sengaja main hujan-hujanan.
(hlm: 233) Soalnya si ustaz melarikan diri ke Tuhan... pelabuhan hati paling aman.
(hlm: 240) Perempuan baik-baik nggak tidur sama siapa pun yang bukan suaminya!
(hlm: 62-63) Sepertinya terjadi salah enter, ataukah memang disengaja karena tidak mau memotong tabel? Feeling saya seharusnya dua paragraf di atas tabel di halaman 63 diletakkan di bawah kalimat Sekarang bagaimana? yang ada di halaman 62.Tentu saja, temuan konyol saya itu sama sekali tidak memengaruhi kenikmatan saya melahap novel Alita @ First ini. Dan, off the record, saya sampai mewek (DASAR CENGENG!!!) membaca bab 42 dan 43. D**n!!!
(hlm: 291) ...untuk bilang aku mau ke mampir rumahnya seperti biasa...seharusnya kata ke diletakkan setelah kata mampir.
Sedangkan beberapa kata yang agak kurang sreg dalam penulisan misalkan magrib (maghrib?) dan mengiakan (mengiyakan). Serta ada satu kata yang dicetak miring yang saya tak paham artinya, probono (hlm: 290).
Good job, Dewie Sekar. You rock, girl! Can't wait to see the next chapter of Alita's life. Pssstt, nggak pake lama ya... mbak, nerbitinnya. OK?
Selamat membaca, sobat!
Sinopsis (cover belakang)
Sejak pertama berjumpa dengan Erwin, Alita jatuh cinta pada sahabat kakaknya itu. Bagi Alita, tak jadi masalah Erwin hanya menganggapnya adik. Toh Alita memang tak berniat jadi kekasih Erwin. Mencintai bukan berarti juga bersedia jadi kekasih. Bagi Alita, orang tak pernah butuh syarat apa pun untuk jatuh cinta, tapi jelas banyak yang harus dipertimbangkan saat sepasang insan berniat menjalin hubungan serius. Dan Erwin---yang terang-terangan mengaku dirinya buaya mata keranjang---tak masuk hitungan Alita, juga tak masuk hitungan orangtua Alita, kakak Alita, bahkan juga sahabat Alita.
Toh cinta Alita pada Erwin tetap tumbuh bersemi, meski tersembunyi dalam hati. Bagi Alita ini bukan pemberontakan melawan keluarga dan sahabatnya, sebab Alita merasa cintanya pada Erwin adalah jenis cinta sepihak yang tak menghendaki apa-apa dari yang dicintai. Cinta yang penuh kesadaran tak akan memperoleh pemenuhan. Cinta tanpa tujuan memiliki, apalagi menguasai. Cinta tanpa harapan, tanpa muara....
Tapi, sungguhkah jenis cinta semanis dan sesederhana itu bisa benar-benar ada? Sungguhkah Alita mampu tetap menggunakan akal sehatnya dan menuruti nasihat orang-orang terdekatnya, saat akhirnya Erwin juga jatuh cinta padanya?
Mudah-mudahan novel ini berseri hingga 2 jilid saja. Hehehe...
ReplyDeletePendapat pribadi untuk Trilogi Zona, saya menyukai jilid keduanya.
Saya juga suka sekali dengan novel-novelnya mbak sekar, sejak impian moira yang terkategori teenlit, memang mbak dewie sangat santun, dan mampu mencantumkan nilai moral tanpa terkesan menggurui.
ReplyDeleteSama dengan p49it, favorit saya juga Perang Bintang, dialognya cerdas dan spontan, apalagi penutup ceritanya itu...wah kagum betul saya sama laxmi!