Judul: The Worry Tree (Pohon Cemas)
Penulis: Marianne Musgrove
Penerjemah: Dini Andarnuswari
Pewajah Isi (Ilustrator?): Aniza Pujiati
Penerbit: Atria (PT Serambi Ilmu Semesta)
Tema: Cerita anak-anak
Tebal: 110 hlm + 18 hlm tambahan
Harga: Rp19.900 (situs Atria)
Rilis: Desember 2008 (cet. 1)
Lokasi Pembelian: IBF 2010 (disc 20%)
Saya termasuk seseorang yang tumbuh dengan watak pencemas, meskipun sebenarnya kata cepat-panik lebih mewakili pribadi saya ketimbang sekadar cemas. Gampang gugup, minder-an, dan gak pede. Itu semua, tentu saja, ujung-ujungnya merepotkan diri sendiri, karena apapun yang saya lakukan/ucapkan dalam keadaan panik, jelas makin memperparah kondisi saya.
Berangkat dari pengalaman pribadi itulah saya mencomot novel anak-anak ini dari stan Serambi di Islamic Book Fair 2010 yang digelar beberapa waktu lalu. Saya terhipnotis pada judulnya dan harapan adanya saran penulisnya tentang bagaimana mengatasi masalah kecemasan ini.
Awalnya saya berasumsi akan ada sedikit pernik fantasi-magic dalam novel ini jika melihat ilustrasi sampulnya (depan-belakang) bergambar sebuah pohon yang di beberapa cabangnya “nangkring” hewan-hewan yang sebagian mustinya tidak bisa berada di situ. Ada wombat, kambing, burung merak, anjing, babi, dan bebek. Imajinasi saya langsung terbang ke dunia fabel, dengan mengira-ira bahwa para binatang tersebut pasti bisa berbicara. Ternyata, saya keliru.
Gambar pohon beserta para “penghuninya” itu aselinya, dalam cerita, ya tetap sebuah gambar/lukisan di tembok kamar seorang gadis cilik berusia 10 tahun yang mempunyai sifat gampang merasa cemas (khawatir berlebihan). Gadis cilik itu bernama Juliet Jennifer Jones, yang apabila digunakan untuk menandai kepemilikan atas suatu barang disingkat sesuai inisialnya, JJJ. Penyingkatan ini menjadi terasa manis karena selalu diberikan perumpamaan oleh penulisnya, misal: JJJ – persis seperti tiga kail ikan berjajar (hlm: 6), atau JJJ – seperti ekor tiga monyet sedang berjajar (hlm: 24), atau JJJ – seperti tiga tongkat terbalik berjajar (hlm: 63). Cantik sekali perumpamaannya.
Kisahnya sendiri sangat sederhana, lugu, dan menggemaskan. Benar-benar khas kanak-kanak. Tema hanya seputar kegelisahan seorang gadis kecil yang mulai mampu mencerna apapun yang terjadi di dunia ini, yang ditangkap oleh panca inderanya. Dimulai dari kekesalan akan gangguan adiknya yang jahil, kecemburuan teman lama ketika Juliet hendak menjalin persabahatan dengan teman baru, tindakan bullying yang dilakukan anak laki-laki bandel di sekolahnya, hingga perasaan menyalahkan diri sendiri karena orangtuanya bertengkar. Pada bagian ini saya terenyuh sekali. Berikut saya kutip paragrafnya (hlm: 86):
Gagasan itu membuatnya sedih, tetapi dia tahu itu akan memecahkan semua masalah mereka. “Stop!” serunya sambil berdiri. “Semuanya berhenti! Ini semua salahku, tetapi aku tahu cara menyelesaikannya.”
Duh! Seketika itu saya ikut merasakan beban berat yang terpanggul di pundak Juliet, gadis cilik itu, yang sedih karena melihat masing-masing anggota keluarganya mulai bertengkar dan saling menyalahkan. Adegan lain yang tak kalah harunya adalah ketika Juliet berusaha mendamaikan dua temannya yang saling berkompetisi meraih simpatinya. Gadis sekecil itu, kok bisa, ya?
Namun, jangan dipandang begitu “lapang-dada”nya si Juliet, karena pada dasarnya dia adalah anak yang selalu mengalami ruam-gatal jika dilanda kecemasan. Apalagi kalau sudah menghadapi adik kecilnya, Ophelia – Oaf, yang super ganggu dan cerewet, atau perasaan tak berdaya ketika di’gencet’ oleh cowok bengal di sekolahannya. Nah, berkat cerita dan bantuan dari Nana, neneknya, Juliet mulai mampu mengendalikan kecemasannya dengan menggantungkan rasa cemasnya itu di pohon cemas. Untuk mengetahui bagaimana caranya, silakan disimak di bukunya langsung ya…:)
Pada saat hampir bersamaan, bahkan lebih dulu start-nya malah, saya juga membaca novel fantasy klasik anak-anak berjudul Alice in Wonderland (Lewis Carrol). Namun, jika membandingkan keduanya, saya justru lebih mudah dan nikmat melahap habis Pohon Cemas ini. Hal tersebut tentu saja karena unsur kesederhanaan cerita dan aliran plot yang runut dan gampang diikuti. Saya tak perlu berkerut-kerut demi memikirkan beragam teka-teki yang dilontarkan tokoh utama. Semuanya dilajukan pada jalan tol yang mulus dan bebas hambatan. Tenang. Menghanyutkan. Namun demikian, novel ini tetap berwarna dengan serangkaian kondisi (konflik) yang dihadapi oleh Juliet.
Bagi pembaca anak-anak, novel ini dapat memberikan contoh bagaimana mengatasi masalah dan berhenti untuk mencemaskan segala hal. Sedangkan bagi para orangtua juga dapat mengambil pelajaran untuk tidak menggelar pertunjukan adu mulut (bahkan sampai adu jotos) di depan anak-anak, karena akan membawa dampak traumatik yang bisa saja sampai pada tahap serius. Dalam kasus di novel ini, timbul perasaan bersalah pada si anak karena menyangka mereka-lah penyebab cekcok kedua orangtuanya itu. Bagus, kalo si anak bisa seperti Juliet yang dengan lantang menyuarakan perasaannya. Bagaimana jika si anak yang melihat pertengkaran orangtuanya itu tipe anak tertutup, bisa-bisa si anak makin tertekan dan suatu ketika meledak, membawa dampak negatif yang luar biasa besar.
Maka, yang bisa saya sampaikan, untuk Anda sekalian yang sudah dianugerahi momongan, agar selalu dapat menjaga proporsi yang tepat dalam setiap pengambilan keputusan bersama pasangan Anda dalam biduk rumah tangga.
Baiklah, selamat membaca, temans!
hehehe...saran di paragraf terakhir jadi kayak bapak2 ^^v bukunya menarik
ReplyDelete