Saturday, July 10, 2010

Resensi Novel Chicklit: Yunisa KD - Memory and Destiny (Amore 02)

(mungkin) Saya hanya nggak dapet feel-nya

Rating: 1 out of 5 stars



Judul: Memory and Destiny
Penulis: Yunisa KD
Editor: Hetih Rusli
Co-editor: Raya Fitrah
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Lini: Amore
Tebal: 264 hlm
Harga: Rp30.000
Rilis: April 2010
ISBN: 978-979-22-5658

Maroon Winata kecil tidak menyadari bahwa sesosok lelaki dewasa bernama Donald Basuki yang selalu menemaninya belajar dan bermain adalah bukan seutuhnya manusia. Maroon seolah tak peduli dan hanya menikmati kehangatan hubungan yang terjalin diantara dirinya dan Donald, karena Donald selalu berhasil membuatnya nyaman sebagai sahabat yang membantu melewati masa-masa sulit sejak kepindahannya dari London ke Jakarta. Namun perjumpaan itu pada akhirnya harus berujung pada sebuah perpisahan ketika Donald menghilang dari kehidupan Maroon.

Waktu terus berganti, cerita kehidupan Maroon pun bergulir meninggalkan jejak-jejak yang penuh warna. Begitu pula pada tokoh-tokoh lain, termasuk keluarganya, teman-temannya, juga dua orang lelaki yang kelak menggoreskan tinta dengan warna berbeda pada lembaran kehidupan Maroon yang sangat penting, yaitu Donald dan David. Lalu di manakah Maroon dapat bertemu dengan destiny-nya? Apakah sepotong memory masa lalunya yang sempat hilang dapat menuntunnya ke arah yang benar? Temukan jawabannya dengan membaca novel dalam lini terbaru Gramedia, Amore, karya Yunisa KD ini.

Sejak awal, saya sudah menyampirkan asa setinggi angkasa bahwa lini baru Gramedia ini setidaknya bisa melengkapi lini metropop yang novel-novelnya saya gemari. Apalagi ketika saya menyadari editor yang menggawangi kemunculan lini ini sama dengan yang membidani kelahiran metropop. Buncah harapan itu terbit dalam bisik kalimat di hati, “kalo yang ini oke, guwe bakal ngikutin Amore seterusnya deh, gak peduli siapa penulisnya.” Nyatanya, hmm… saya agak kecewa, dan yah boleh dibilang icip-icip saya ini membawa simpulan untuk mencukupkan baca lini Amore pada novel ini saja. Saya fokus ke metropop saja lah. Seperti sejak mula.

Sekilas, kemasan novel pada lini ini hampir mirip dengan harlequin. Baik dari segi ukuran (panjang-lebar) hingga cover design-nya. Sedangkan jika dibandingkan dengan metropop yang sebagian besar masih menggunakan gambar ilustrasi (bukan foto) saya lebih appreciate metropop yang menggunakan cover gambar karena lebih original (penilaian subjektif). Tapi, dibanding Lukisan Keempat (Amore 01 karya Rina Suryakusuma) saya lebih suka cover novel ini, karena saya adalah penggemar kota London (Inggris secara umum).

Membaca lembar-lembar awalnya, saya seolah diberikan harapan akan mendapat sebuah sajian romance story yang menjanjikan. Namun, antusiasme saya justru terus menurun dan secara perlahan saya menjadi agak terengah-engah membaca lembar-lembar selanjutnya. Yang paling membuat saya hilang semangat adalah potongan adegan di halaman 34 – 35. Karena adegan tersebut sangat mirip dengan film Just Like Heaven-nya Reese Witherspoon dan Mark Ruffalo. Saya mungkin tidak akan mempermasalahkannya kalau saja penulis tidak secara terang-terangan mengidolakan Reese, yang artinya seharusnya dia sudah menonton film ini. Entah ceritanya beliau terinspirasi dari film tersebut sehingga menulis novel ini atau bagaimana, yang jelas saya agak kecewa dengan kesamaan adegan ‘pengusiran-arwah’ (bahkan soal sosok Donald juga mirip dengan Elizabeth yang diperankan oleh Reese, yang keduanya adalah ‘jiwa-kelana’ dari seseorang yang sedang koma, sama-sama berprofesi sebagai dokter, serta mengalami jenis kecelakaan yang sama, astaga!). Dan, yang membuat saya semakin ilfil adalah film ini pun sudah dijiplak (entah berijin atau tidak) oleh Multivision Plus dalam bentuk sebuah film televisi yang saat ini masih bisa didapatkan keping VCD originalnya (saya beli!) dengan judul Cinta Untuk Cinta yang dibintangi oleh Masayu Anastasia dan Dimas Seto. Ya ampunn….

Okay, mungkin karena penulisnya tinggal dan menetap di luar negeri sehingga tak tahu-menahu soal FTV ini, lalu apakah editor (yang orang Indonesia) juga tidak tahu? Fine, mari di-justifikasi lagi bahwa penulis dan editor tidak tahu atau kenyataan bahwa di zaman sekarang sudah lumrah jika satu karya dengan karya yang lain bisa saja ada kesamaan, tapi… apa iya harus mirip banget begitu? Soalnya yang bikin geli, versi novel ini mirip banget sama versi FTV-nya (ada ahli agamanya, ada ahli perdukunan lokal, dan ada ahli perdukunan China). What a coincidence, hah!

Dan, ngomong-ngomong soal kebetulan, novel ini dipenuhi dengan taburan kebetulan demi kebetulan yang too much, menurut saya. Okay, judulnya memang merujuk pada destiny, tapi masak iya destiny itu begitu mudahnya dituju dengan serendipity yang sebagian kurang penjelasan. Pertama, saya ingin tahu bagaimana seorang Donald bisa berteman dengan Wiro, di mana Wiro adalah bersepupu dengan Sharon yang adalah teman Maroon. Kedua, termasuk juga kebetulan Donald satu tempat fitness bersama Romeo II (ada dua nama Romeo di novel ini) yang nantinya adalah calon suami Sharon, teman Maroon, kok bisa? Ketiga, saya ingin tahu mengapa Donald bisa bertugas sebagai dokter di Singapura dan secara kebetulan Maroon sedang mengambil spesialisasi keahlian kedokterannya di negeri Singa itu. Keempat, sedang ngapain kah Donald ke Westminster Abbey pada Kamis 18 Juni 2009 ketika Maroon juga secara kebetulan pergi ke situ. Saya perlu logic-nya.

Amnesia lagi – amnesia lagi. Rasanya sudah semakin membosankan tema hilang-ingatan-sementara ini diangkat menjadi latar sebuah kisah percintaan karena ujungnya pasti ketebak, begitu ingatannya kembali, si tokoh akan kembali ke pelukan love interest pertama. Dan, penulis mengambil pakem itu juga. Yang agak aneh adalah begitu ingatannya kembali, Maroon blingsatan mencari kesana-kemari sosok Donald di Singapura. Lah, kan di handphone Maroon ada nomor kontak Donald (seingat saya tidak diceritakan Donald mengganti nomor kontaknya dan meskipun di halaman 203 disebutkan Maroon tak yakin itu nomor kontak Donald, setidaknya ia bisa mencobanya, ataukah karena amnesia maka seluruh kejadian di saat amnesia akan terlupa ketika ingatan sudah kembali? Dunno).

Sudah hilang selera akibat adegan per adegannya, kepenatan saya ditambah dengan banyaknya typo dan kejanggalan kata/kalimat yang bertaburan di sana-sini. Sebut saya aneh (atau bahkan gila/miring/sedeng) bahwa saya kurang kerjaan banget memelototi kesalahan teknis sebuah buku. Namun, apa mau dikata jika kesalahan-kesalahan teknis tersebut memengaruhi kenyamanan saya dalam membaca. Maklum, otak saya tidak lagi prima (sudah dari dulunya sih) sehingga sedikit kesalahan teknis-cetak membuat proses membaca saya menjadi ter-pause dan otak bekerja keras menafsir sendiri apa maksud dari kata/kalimat tersebut. Berikut beberapa kejanggalan yang saya temukan:
(hlm: 11) menggenaskan, (hlm: 24) mengenaskan = inkonsistensi

(hlm: 15 dan 63) kata di panggil harusnya digabung menjadi dipanggil (merujuk kata kerja)

(hlm: 16) meski dia sudah pernah mendengar….., dan dia masih ingin… ini hanya soal enak diucap-didengarkan versi saya sih, sebaiknya kata meski diikuti kata sambung tapi/namun, bukan dan….meski dia sudah pernah mendengar….., tetapi/namun dia masih ingin…

(hlm: 18, 64, 137) ha-rus, pergela-ngan, ada-lah, sebaiknya tanda (-) dibuang saja karena kata tersebut muat dalam satu kalimat (sebatas marjin halaman).

(hlm: 20) …menunjuk ke arah pedagang asongan [yang:] menawarkan… (hlm: 117) …aku tidak bisa mengingat siapa laki-laki [yang:] duduk itu,….lebih enak dikasih tambahan kata ‘yang’

(hlm: 21) memertahankan, (hlm: 89) memedulikan, (hlm: 171) memerkenalkan, (hlm: 192) memerlakukan, (hlm: ?) memerlancar…terkhusus hal ini saya sendiri belum mencari aturan bakunya, namun secara lidah penulisan itu kurang begitu enak diucapkan.

(hlm: 27) aku sempat cita-cita menjadi penyanyi opera…lebih enak jika kata cita-cita diubah menjadi bercita-cita.

(hlm: 28) menyamangati = menyemangati

(hlm: 36) …masker oksigen di pasangkan…kata dipasangkan terpisah batas marjin, sebaiknya demi konsistensi diberi tanda (-) menjadi di-pasangkan.

(hlm: 37) Lalu kau bisa menghajar anak-anak yang mengolok-olokmu…saya merasa terlalu kasar nasihat yang diberikan Donald pada Maroon yang baru 10 tahun ini (kata “menghajar”).

(hlm: 48) semua bully di kelasku menjadi tidak berkutik…bukankah seharusnya yang tidak berkutik itu ‘pelaku’ bully, bukan bully-nya.

(hlm: 62) mengantung = menggantung

(hlm: 68) …aku sudah memimpikannya keberadaannya……fungsi –nya pada kata memimpikannya untuk apa ya? Menurut saya mending dibuang saja.

(hlm: 73-74) entahlah, saya masih tidak bisa menerima seorang profesor salah memberikan resep.

(hlm: 74) pertanyaan-pertanyakan = pertanyaan-pertanyaan

(hlm: 76) Maroon tidak hanyak = hanya

(hlm: 77) padahal dia baru beberapa tahun yang lalu, ia melewati masa…….saya agak kurang sreg dengan kalimat ini, redundansi pada kata ganti (dia, ia), lebih baik dibuang salah satunya.

(hlm: 82) saya agak muak dengan proses pengenalan tokoh David di sini karena kemudian terdapat jeda yang agak lama sebelum tokoh ini ‘tampil’ lagi, maaf.

(hlm: 89) …pria muda ini mengajak orang-nya bersulang….orang-nya = orangtuanya?

(hlm: 92) …mendampingin = mendampingi (ataukah sengaja dipakai sebagai bahasa gaul dengan tambahan huruf n, kalau mau gaul sekalian ditulis “ngedampingin”)

(hlm: 94) kuturunkan cursor, kembali kembali ke…….duplikasi kata ‘kembali’

(hlm: 94) tidak hapis bikir…..hapis = habis

(hlm: 95) tidak ada yang menyeram di jogging…….menyeram = menyeram[kan:]

(hlm: 110, 119) terpekur, (hlm: 124) tepekur = inkonsistensi

(hlm: 111) keaggunan = keanggunan

(hlm: 114) menakhlukkan = menaklukkan

(hlm: 131) penasar-an, (hlm: 179) tatan-an….. yang ini saya belum mencari kebenaran cara pemenggalan kata tersebut.

(hlm: 137-138) mati aku, ini cewek ini kayaknya…..duplikasi kata ‘ini’, sebaiknya buang salah satu

(hlm: 165) ada alasan untuk mengantarnya Maroon untuk pulang…..’nya’ itu merujuk ke Maroon, jadi sebaiknya pilih salah satu saja, menggunakan ‘nya’ atau Maroon.

(hlm: 177 dan satu hlm lagi saya lupa) nama Maroon terketik Maron, kurang satu 'o'.

(hlm: 189) ..untuk memainkan melodi Basch....siapa itu Basch? Johann Sebastian Bach (Bach)kah yang dimaksud?

(hlm: 214) …entah karena…..dengan sepenuh hati atau makin benturan kepala……saya merasa ada kata yang ‘nyelip’ di antara kata makin dan benturan.

(hlm: 228) rencanaku pertama sebenarnya memang menyusul Donald di negeri Singa….bagaimana kalau saya usul begini: rencana pertamaku sebenarnya memang untuk menyusul Donald ke negeri Singa.

(hlm: 236) …mirip orang gadis Harajuku yang…….saya kok merasa kata orang dan gadis redundansi ya? Sebaiknya kata orang-nya dibuang, langsung disebut gadis Harajuku saja.

(hlm: 237) …setengah menelanjangi isi hatiku, sambil melepaskannya pelukan beruang Teddy ala…….aku kok merasa kurang pas dengan kata melepaskannya pelukan.

(hlm: 239) pria yang baru akan kukenal…..kukenal = kukenal[kan:]

(hlm: 247) …lagu Sunday Morning milik Maroon 5 yang selalu diputar Donald di setiap Minggu pagi saat kami bertemu untuk brunch selama beberapa ini……saya merasa ada informasi yang hilang, harusnya setelah kata beberapa ditambahkan keterangan waktu.

(hlm: 251) …ketika kamar pintu diketuk….rasanya terbalik, lebih enak ‘pintu kamar diketuk’.
Tambahan: cetak miring/tidak pada beberapa tempat juga masih inkonsisten, termasuk untuk menggambarkan suasana hati (bukan dialog) kadang menggunakan tanda petik, kadang dimiringkan.

Itulah beberapa kejanggalan yang saya temukan ketika merampungkan-baca novel bercover dominasi langit biru ini. Untuk deskripsi saya juga agak terganggu dengan pengulangan-pengulangan informasi tokoh atau keadaan. Misalnya, di awal sudah dideskripsikan bahwa Donald itu tampan bla-bla-bla, dan saya yakin pembaca sudah mampu menangkap pesannya, namun informasi ini diulang lagi-ulang lagi untuk menggambarkan sosok Donald. Begitu juga dengan tokoh David yang dimirip-miripkan Ricky Martin. Behhhh, saya sampai mual membaca nama Ricky Martin yang banyak itu, saya sampai berniat nyeletuk, “iya-iya udah tau, kan dah lo bilang tadi, capek dehhh…” Termasuk juga informasi soal Wiro yang homo. Beberapa kali jika tokoh ini muncul, si pembicara selalu menambahi, “sepupu Sharon yang homo.” Saya pikir sekali-dua kali saja pembaca sudah bisa menangkap deskripsi tokoh tersebut, tidak perlu diulang-ulang-ulang-ulang-ulang-ulang.

Intermezo: novel ini harusnya bersifat futuristik (setting hingga tahun 2015, berarti 2012 nggak jadi kiamat) sehingga seharusnya penulis berkreasi dengan menciptakan nuansa-nuansa masa depan. Sayang sekali, saya justru tidak merasakannya. Misal istilah lebay yang sekarang sedang nge-trend ternyata oleh penulis masih dianggap sebuah trend di tahun 2015. Gosip-gosip artis juga jadul sekali, misal soal perceraian Britney Spears – Kevin Federline atau tentang salah satu lagunya Jessica Simpson. Saya berharap penulis berinovasi dengan menghadirkan suasana future yang mampu menggeliatkan fantasi pembacanya.

Soal lain, saya berharap penulis konsisten untuk menghadirkan tokoh Olivia (adik Maroon), yang kadang disebutkan sebagai Olive. Hal itu tidak menjadi masalah kalau nama Olivia dan Olive dibedakan pemakaiannya, misalnya dipanggil Olive jika terjadi dialog atau ketika salah satu tokoh bercerita dari PoV mereka (sebagai panggilan sayang) dan disebut Olivia dalam narasi/deskripsi.

Hmm, kritik terakhir. Dan, lagi-lagi berdasar selera saya (subjektif banget). Konsistenlah, wahai sang penulis. Jikalau tidak bisa fokus, mending gunakan satu PoV saja dalam penceritaannya, tidak perlu berganti-ganti PoV. Saya jadi merasa bahwa penulis benar-benar tuhan di novel ini. Penulis mencoba menjadi dalang otoriter yang mengendalikan semua tokohnya sehingga tidak menyisakan ruang imajinasi bagi pembacanya.

Akhirnya, saya hanya dapat menyimpulkan bahwa novel ini adalah sekadar kisah cinta segitiga biasa yang seperempat bagian awalnya mirip jalan cerita sebuah film. Konflik hanya berputar di situ-situ saja dengan senjata andalan: amnesia. Namun, tentu saja, keseluruhan cuap-cuap ini hanyalah sekadar penilaian subjektif saya yang kebetulan kurang dapat feel dari novel setebal 250-an halaman ini. Maka, bagi yang ingin mengerti maksud judul Memory and Destiny, silakan baca novel yang ditulis oleh Yunisa KD, salah satu dari Top 5 Finalis Pantene Shine Award 2006 di Singapura, ini.

Selamat membaca.

Sinopsis (cover belakang buku):
Memory and Destiny. Kisah cinta dua dunia. Apakah teman khayalan itu benar-benar ada? Ataukah itu malaikat pelindung anak kecil?

Maroon Winata, calon dokter, yakin bahwa Donald-nya benar-benar ada. Sejak pertemuan pertama di Westminster Abbey, pada hari terakhir Maroon kecil di kota London, sampai Maroon di Jakarta dan berjuang menyesuaikan diri dari lidah bule ke bahasa ibunya, Donald adalah teman bermain dan belajar.

Maroon dan Donald dewasa bertemu, namun mereka belum menemukan tali penghubung memory masa lalu mereka. Nasib mempermainkan mereka. Lalu muncullah David yang tampan dan kaya. Lelaki itu percaya destiny telah mempertemukannya dengan Maroon. Memory dan destiny dalam hidup Maroon pada akhirnya menunjukkan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.

11 comments:

  1. wow.. panjang banget ya reviewnya, dan sangat detail bangett.. heheh.. makasih infonya, jadi ngga perlu beli buku ini :)

    ReplyDelete
  2. Ijul, salam kenal. Salut sama ketelitiannya dalam me-review. Hehe, tapi jangan gara2 novel ini, jadi gak suka sama amore lagi ya, Jul ;)
    Anyway, nice to read your blog. Jadi dapat banyak resensi buku keren :)
    Keep reviewing, ya.

    cheers
    Rina

    ReplyDelete
  3. @sapidudunk (Ana?)....terima kasih, eh, klo penasaran gpp kok beli, kan bergantung selera Non...(barusan berkunjung ke blognya, blognya eren euy, jadi malu)

    @Rina...hehehe, iya sih, lumayan ekstrim juga ya, tapi gara-gara didorong temen, aku malah pengen baca Lukisan Keempat yang tulisanmu, Non...baiklah, nanti aku nyomot deh, hehehe....hmm, klo ntar aku kritik segini panjang kali lebar kali tinggi gpp kan?...:) tetep produktif yaaa....

    ReplyDelete
  4. Kereen reviewnya, k ijul orgnya perfeksionis bgt

    ReplyDelete
  5. @Endru.....nggak perfeksionis juga kok, cuman saya kadang agak gatal kalo melihat ada salah-salah gitu pada sebuah buku yang sudah mahal-mahal kita beli, kan...makanya kritik-kritik begini biar penerbit+pencetak+penulis lebih memperhatikan kualitas cetakannya, di samping kualitas ceritanya...:)

    ReplyDelete
  6. @Ijul : Gak apa-apa banget Jul, kutunggu ya :)
    Hehee, beneran, aku malah senang kalau bisa dapat banyak review dari teman-teman semua. Apalagi kalau review gak hanya typho, tapi menyangkut jalan cerita dan karakter tokoh. Supaya di novel mendatang, ceritaku bisa lebih solid dan menarik
    thanks a lot ya Jul!
    anyway, review mu ttg buku-buku di blog ini beneran keren kok :)

    Cheers
    Rina

    ReplyDelete
  7. Mas Ijuuul.. detail sekali review-nya. Hehehe.. Aku mau dong bukuku direview olehmu, nanti kuhadiahkan sesuatu *nyogok ceritanya* :p

    ReplyDelete
  8. wah, saya suka sama review-nya dan udah langsung saya rate juga di goodreads...

    ada tanggapan terbarunya loh di http://memory-and-destiny.blogspot.com/

    keep reviewing bung!
    pustakawan amatir seperti saya rasanya sangat terbantu membaca review2 sejenis ini sebelum membeli buku untuk perpustakaan sekolah tempat saya bekerja...

    ReplyDelete
  9. @Rina....Lukisan Keempat baru saja kelar dibaca, sekarang sedang mencari inspirasi untuk bisa menyusun review yang semoga saja bersifat membangun, btw, saya suka lho ceritanya...:)

    @Syefri....hai, Syefri, iya nih, saya masih belum pernah me-review bukumu ya...semoga tak lama lagi...

    @Just Another Incredibla (susah ye nick-nya, hehehe)....iya, memang, penulisnya sudah memberikan beberapa tanggapan atas pertanyaan yang saya ajukan di review...:)

    ReplyDelete
  10. saya sampai ke sini gegara gugling penulisnya, dan wauw! Reviewnya dahsyat! Berapa lama ini bikin reviewnya?

    Penulisnya mestinya bangga ada pembaca yang mau mendalami karyanya sampai sedetil ini ;)

    ReplyDelete
  11. huuuaaa.. thank youu.. *terharu*
    thanks, mas. ditunggu ya.. hihi :D

    ReplyDelete