Tuesday, March 31, 2015

[Resensi Novel Metropop] Kismet by Nina Addison

Rangkaian serendipity demi sebuah destiny...
kismet//takdir//destiny. Kata yang melibatkan semacam rahasia kosmik, yang memberi letupan kejutan di sana-sini dalam hidup seseorang, menggiringnya ke tempat ia seharusnya berada.

Konsep itu menggelikan bagi Alisya.

Tetapi ketika di tengah hiruk pikuk New York City ia bertemu dengan Cia, perempuan yang seketika menjadi sahabatnya, Alisya bertanya apakah takdir sedang bekerja? Lalu muncul Raka, satu-satunya cowok yang bisa membuat Alisya jatuh cinta. Lelaki yang, lagi-lagi, dibawa takdir masuk ke hidupnya. Sayangnya, takdir yang satu ini berpotensi menghancurkan persahabatannya dengan Cia. Jadi, mana yang harus ia pilih?

Orang bilang persahabatan itu kekal, untuk seumur hidup. Namun, bukankah cinta sejati juga demikian?

Judul:  Kismet
Pengarang: Nina Addison
Penyunting: Dini Novita Sari & Harriska Adiati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 296 hlm
Harga: Rp60.000 (persembahan penerbit)
Rilis: 20 Maret 2015
ISBN: 9786020314877

Waktu mendengar pertama kali istilah kismet saya langsung mengerutkan dahi. Oke, saya sama sekali belum pernah mendengar istilah itu. Lalu, ketika sering menjadi tema tweet Mbak Nina Addison di akun Twitter-nya @ninaddison menjelang rilis novel terbarunya, saya makin mengerutkan dahi. Buat saya, dan beberapa yang lain (sepertinya), kismet tak begitu menjual sebagai sebuah judul. Well, mungkin dengan sedikit gambaran di sinopsis bisa, sih. Tapi, sebagian besar pendapat saya masih sama, kismet kurang gereget jadi sebuah judul. Tapi, ya, kalau memang itu yang dipilih tim penerbitan buku ini, saya pun nggak bisa apa-apa donk. Sekadar bilang enggak setuju saja, hehehe.


Namun demikian, saya tetap bersemangat menantikan kelahiran Kismet karya Nina Addison ini karena pengalaman menyenangkan ketika membaca Morning Brew dan cerpen Perkara Bulu Mata (dari antologi Autumn Once More). Dan, sekadar opini saja, saya rasa Kismet ini ditulis pada kurun waktu yang tidak berjauhan dengan cerpen Perkara Bulu Mata, soalnya gaya menulis Nina yang lincah di cerpen itu juga sangat terasa di sini. Sedangkan, sedikit ingatan mengenai Morning Brew, novel debut Nina Addison itu masih memiliki pace yang fluktuatif (kadang cepat, kadang lambat). Dan, kalau boleh jujur, saya lebih menyukai gaya menulis Nina di Morning Brew.


Meskipun sebagai judul saya masih enggak sreg, tapi mengangkat kismet sebagai topik utama dalam novel ini cukup menggemaskan. Tentu saja, konsep takdir yang sudah menggariskan pertemuan antartokoh dalam suatu cerita bukan barang baru. Banyak penulis atau pengarang lain yang sudah mengangkatnya. Namun, karena gaya menulis Nina yang lincah dan asyik diikuti serta tekukan-tekukan konflik sebagai twist di sana-sini membuat pembaca (saya) menikmati lembar demi lembar novel ini, sampai pada halaman terakhirnya.

Ganjalan pertama saya selama proses pembacaan novel ini adalah ekspektasi berlebih soal setting tempat, New York dan Manhattan, yang berkat film-film komedi romantis yang saya tonton dan serial Gossip Girls yang saya baca (dan tonton), bayangan akan kota yang glamor nan grande begitu merajai pikiran. Jadi, ketika ada tokoh dalam novel, hidup dan tinggal di kota se-wah New York dan ngobrolnya masih menggunakan logat "lo-gue" yang slang Indonesia banget itu, saya gemas bukan main. Dari situlah semangat membaca saya merosot tajam. Buat apa ditempelin New York kalau gaya ngobrol (dan akhirnya berimbas ke narasi) nggak kerasa New York-New York-nya? Pindahkan saja ke Jalan Sudirman, beres. Toh, pada paruh awal novel ini, setting kota New York seolah tak menyumbang pengaruh yang signifikan pada pengembangan cerita. Alisya dan Cia sibuk berbagi curhat soal cowok.


Lalu, beragam serendipity yang silih berganti hadir di kehidupan para tokohnya: Alisya, Cia, Raka, Ethan, dan Mr. Gajah. Cerita dalam novel ini benar-benar menjalankan prinsip, "Dunia (hanya) selebar daun kelor", sehingga satu orang di New York bisa saja dengan mudah terkoneksi dengan orang lain di Jakarta yang lalu menghubungkan dengan tokoh utamanya. So simple. Itu tanpa perlu bantuan aplikasi Find Alumni-nya LINE kayak Rangga yang mengontak Cinta, lho. Facebook, Twitter, Google+ juga enggak kepake. Semua serba diatur sama Yang Maha Di Atas. Mungkin-mungkin saja donk, apa sih yang nggak mungkin di dunia ini (terlebih di dunia fiksi)? Iya, kan?

Tapi, buat saya, tulisan Nina Addison memang sudah terlampau mempunyai bius yang membuat saya tetap bertahan menuntaskan-baca novel ini. Mungkin buat sebagian pembaca yang tak menyukai gaya tulisan gado-gado (Indonesia-Inggris), novel ini bakal enggak cocok jadi bahan bacaan kalian. Pada beberapa bagian, novel ini benar-benar gado-gado, campur aduk tak keruan. Yah, seperti novel-novelnya Ika Natassa-lah. Terpengaruh gaya menulisnya, diksi yang digunakan dalam Kismet juga tampak santai namun pada titik-titik tertentu bisa sangat #jleb dan mengena dan quotable serta puitis. Keindahan bahasa berbalut modernitas.

Soal karakterisasinya, saya mengalami dilema love and hate di sini. Sampai dengan menutup bukunya saya tidak memiliki tokoh favorit. Rasa suka saya bagi rata untuk semua karakternya. Awalnya, saya ingin menyukai Mr. Gajah, tapi perannya sebagai billionaire in disguse dengan takdir hidup yang dibuat sedemikian rupa dalam novel ini, akhirnya tak jadi membuat saya mengidolakannya. Saya jadi lempeng saja soal karakter-karakter di novel ini. Lagi-lagi, saya menyalahkan logat "lo-gue" yang digunakan di hampir sekujur halaman novel ini. Tambah lagi, keputusan untuk mengubah PoV orang pertama pada Raka dan Ethan di beberapa bagian (hanya sedikit saja, enggak lebih dari 1% sepertinya) juga ikut menghancurkan imajinasi komplet tentang para tokohnya. Pada titik ini, saya menuduh pengarang gagal menemukan cara bagaimana membuat adegan tampak dramatis tanpa mengubah PoV. Kalau saja dari awal PoV sudah dibagi rata pada ketiga tokoh tersebut, tentu tak jadi soal. Buat saya, ini salah satu bagian paling "bolong" dari novel ini.

Masih soal karakter, pada bagian tertentu akan saya bilang utopia banget, deh. Meski ada disebutkan Alisya mendapatkan kesulitan, tapi beragam kebetulan yang enak benar-benar bikin iri. Kalau saja dalam kehidupan nyata bisa begitu, ya. Baru berjumpa langsung bisa jadi teman (Alisya-Cia), nguping sebentar lalu ngobrol bisa jadi teman yang mau melakukan apa pun (Alisya-Mr. Gajah), setelah bertahun-tahun akhirnya ketemu dengan orang yang sama lewat orang yang dikenal (Alisya-Raka via Cia), tak pernah ketemu tapi langsung bisa jadi brother (Raka-Ethan). Mantap. Dunia akan damai banget kali, ya, kalau setiap orang bisa begitu. 

Lalu, entah ini plot hole atau sayanya yang kurang jeli mendapatkan penjelasan (karena sebagian paragraf memang saya skimming). Dari perjuangan yang gigih dan butuh sedemikian pengorbanan untuk belajar membatik, kenapa tidak diceritakan Alisya mewujudkan ambisinya membuat desain pakaian menggunakan batik, ya? Hanya disebutkan di halaman 253 bahwa Alisya mendapat kiriman paket kain batik hasil latihannya selama di Bandung. Sudah, itu saja. Atau saya ada miss di mana gitu? Ya, kalau memang itu benar-benar tak ada penjelasannya... agak absurd saja beberapa bab dihabiskan untuk menggambarkan drama-nya Alisya ketika belajar membatik. Doa saya: Semoga saya miss bagian penjelasan itu pada saat men-skim halaman.

PRO:
1. Gaya menulis lincah;
2. Diksi yang tampak santai, namun pada saat yang bersamaan bisa terdengar puitis dan quotable;
3. Sangat metropop banget meskipun tempelan pekerjaan pada masing-masing tokohnya tidak dicuplik secara mendetail;
4. Setting tempat: New York (Manhattan), Jakarta, Bandung;
5. Twist menarik di beberapa tempat;

KONTRA:
1. Penggunaan logat "lo-gue" di hampir sepanjang novel, terkhusus pada bagian awal;
2. Such a cinderella story;
3. PoV yang diubah tiba-tiba;
4. Judul yang kurang gereget;
5. Chemistry di antara para tokoh yang kurang kuat;
6. Terkesan: "Pada akhirnya, semua orang harus happy ending", khusus adegan bikin martabak untuk mengejutkan Raka, menurut saya itu sangat-sangat klise.
7. Catatan typo (dikittt... kok):
(hlm 25) sambil sambil -> sambil
(hlm 32) Welll then, -> Well then,
(hlm 68) Aku menuangkan diriku segelas... -> kenapa enggak langsung: Aku menuangkan segelas...
(hlm 76) ulang tahun tahun -> ulang tahun
(hlm 140) Nickleodeon -> Nickelodeon 
(hlm 182) buku kudukku -> bulu kudukku

My fave part:
"The thing about love, Al, it requires hard work to maintain it. Because in life, people are constantly changing. That's just what life does to us, it changes us."
(hlm. 259)
Kismet.
Agak romantis menurutku, mengesankan ada kata "kiss" dan "meet" sebelum melebur menjadi sebuah arti: "takdir".
(hlm. 285-286)

Overall, saya suka buku ini. Buat kalian yang sedang butuh bacaan romance yang bisa dibawa santai, Kismet sangat cocok menjadi bahan bacaan kamu berikutnya. Dari saya 3,5 out of 5 star untuk novel kedua karya Mbak Nina Addison, ini. Ditunggu novel Perkara Bulu Mata-nya, ya, Mbak.

Selamat membaca tweemans.





0 komentar:

Post a Comment