NIEN:
Nien tidak membalas pagutan bibir Sam, pun tidak menolaknya. Nien hanya diam. Membayangkan Lena. Membayangkan pipinya yang merona setiap membicarakan Sam. Membayangkan matanya mencuri-curi pandang ke arah Sam.
NA:
“Brain is the sexiest part of a man’s body. And you have a brain, Sir, one of the best among all.” Na menyebutkan itu sambil mengerling manja pada Lukman. Hanya jam terbang Lukman yang tinggi dalam menghadapi perempuan yang membantunya tidak tersedak mendengar pernyataan seintimidatif itu.
RIE:
Jujur, sebenarnya aku lebih menikmati pembicaraan kami via Yahoo! Messenger. Di dunia maya aku bebas mendeskripsikan mimik dan wajah Adit sesukanya. Dan kalau suatu saat aku mati gaya, pembicaraan bisa ditunda dengan alasan ketiduran, ada telepon masuk, atau sinyal yang sedang tidak bersahabat.
RIA:
Yang terbayang dalam pelupuk mata Ria hanyalah Bagas. Bagas yang tidak ganteng. Bagas yang tidak gaul. Bagas yang gendut. Bagas yang aneh. Bagas yang nerd. Bagas yang menorehkan nyaman dan tidak mau pergi dari pikiran Ria.
AYA:
Aku menatap laki-laki di hadapanku dengan saksama. Mencari-cari keindahan di wajahnya, menganalisis seberapa tinggi tingkat keenakannya untuk dilihat, dan berharap ada hal yang cukup bagus untuk menjelaskan kegemaranku pada lelaki ini. Tidak Ada.
Namaku Riana. Aku mengenal mereka semua.
Judul: Riana: I'm the Other Woman
Pengarang: Fifi Mardhi
Pewajah sampul: Orkha Creative
Tebal: 176 hlm
Harga: Rp45.000 (hadiah event Gramedia Central Park shopping race)
Rilis: Februari 2015
ISBN: 978-602-031313-9
Kalau saja saya tak tahan membacanya dan berhenti di tengah-tengah, saya akan menyimpulkan bahwa buku ini sebenarnya kumpulan cerita pendek (kumcer/antologi) bukan novel seperti yang tertulis di kovernya karena meskipun ada beberapa petunjuk sebagai pengikat antarcerita, saya sulit merasai relasi satu cerita dengan yang lainnya. Termasuk soal linimasa yang digunakan. Saya baru tahu bahwa cerita berlatar waktu berurutan dari cerita pertama sampai dengan cerita kelima, setelah sampai di cerita penyimpulnya.
"Lo sadar nggak sih, Ya, kalau lo itu sakit?"
Itu yang ditanyakan Rury setelah cerita kelima berakhir. Buat saya itu menjawab beragam tanya yang muncul dalam benak sejak membaca cerita kedua, "Mau dibawa gimana sih buku ini?" Saya setuju dengan beberapa pembaca yang sudah merampungkan-baca buku ini yang tak sepakat jika menyebut tokoh Riana dalam buku ini mengalami multiple personality disorder (MPD). Saya manggut-manggut kecil di ujung cerita dan teringat serial United States of Tara atau film Belahan Jiwa-nya Dian Sastro yang merupakan adaptasi buku Kembar Keempat-nya Sekar Ayu Asmara. Dalam kasus Riana ini, kepribadian yang ditampilkan tidak berlangsung dalam waktu yang bersamaan, melainkan pada waktu yang berbeda-beda, sehingga memang lantas agak sulit dikategorikan sebagai MPD juga.
Yang tidak saya duga adalah saya menyukai gaya menulis Fifi Mardhi. Latar belakang keilmuannya --sebagai ahli hukum-- juga dimanfaatkannya dengan baik untuk menghidupkan karakter dalam buku ini. Pada banyak bagiannya, saya cukup puas dengan gaya bertutur Fifi. Nuansa khas metropopnya juga tercipta dengan baik sehingga bisa membuat saya sedikit bernostalgia dengan cerita-cerita metropop di awal kemunculannya dulu. Beginilah mestinya gambaran kehidupan kaum urban dalam sebuah novel metropop.
Sayangnya, ceritanya biasa saja. Oke, saya suka cerita kedua, berjudul Kepada Lukman, yang tentang Na yang ambisius, naughty, dan powerful dalam kapasitasnya sebagai seorang konsultan pengembangan bisnis. Bagaimana Na bisa menyetir seorang bos besar berusia matang hingga menyetujui proposal yang diajukannya. Bagaimana Na bisa membuat lelaki mapan yang sudah beristri itu bertekuk lutut di hadapannya. Saya suka sekali kisah yang satu ini. Kisah yang lain, saya baca dengan cepat, tanpa meninggalkan kesan yang mendalam.
Satu cerita tuntas dalam setiap babnya tapi terbilang menggantung sebagai satu keutuhan cerita novelnya dan ceritanya dieksekusi agak terlalu cepat serta tidak tereksplorasi dengan baik. Inilah yang menurut saya membuat cerita dalam buku ini kurang bisa memikat hati pembacanya. Mungkin idenya bagus, tapi ketika jalinan antarkisahnya kurang bisa engage jadilah bikin pembaca bosan. Apalagi, tak dapat dimungkiri, jumlah pembaca penyuka cerpen jauh lebih sedikit dibanding penyuka novel, termasuk saya. Balik ke poin awal, jika tak cermat, buku ini memang terkesan seperti kumcer.
Secara cetakan, buku ini termasuk dalam buku tipis dengan ukuran font besar-besar. Yap, sudah tipis, gede-gede lagi tulisannya. Di sana-sini juga masih ada beberapa typo meski tak terlalu mengganggu. Overall, saya suka gaya menulis Fifi Mardhi (berharap bisa menemukan tulisannya yang lain, yang lebih utuh) tapi karena kemasan buku ini yang agak blur antara menjadi novel atau kumcer sehingga saya tak terlalu menikmati membacanya. 2,5 dari 5 bintang untuk Riana, sang wanita lain.
Selamat membaca, tweemans.
0 komentar:
Post a Comment