Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
Judul: Critical Eleven
Pengarang: Ika Natassa
Penyunting: Rosi L. Simamora
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 344 hlm
Harga: Rp79.000
Rilis: 10 Agustus 2015 (PO: 1 Juli 2015)
ISBN: 9786020318929
Ahh, kenapa gambaran Sefryana Khairil yang melambai-lambaikan novel Rindu di depan hidung saya yang terus-menerus membayang di pelupuk mata saya selama proses pembacaan Critical Eleven ini? Oh, Tuhan. Celakanya, saya bahkan belum menamatkan Rindu itu. Saya baru baca sinopsis dan (seingat saya) seperempat bagian novel itu. Tapi, kemiripan premis Rindu dengan Critical Eleven ini memang bedebah banget, ya. Bikin saya agak moody baca Critical Eleven. Dua-duanya berkisah tentang pergulatan batin untuk berdamai dengan rasa kehilangan. Bahkan, objek kehilangannya pun sama. Huffft.
Anyway, sebelumnya saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Venty S yang out of nowhere, tiba-tiba mengirim surel ke metropop.lover@gmail.com dan menanyakan apakah saya berminat membeli novel Critical Eleven hasil PO-nya itu. First of all, saya agak ragu, masak iya ada yang sudah susah-susah PO lalu dioper ke orang lain, kan? Jadi, sambil menata hati (kalau-kalau ternyata sekadar iseng) saya menjawab oke saja, dan setelah chit-chat singkat di surel, kami bersepakat. Dan, di awal masuk kantor lagi (di ujung libur Lebaran 2015) novel ini sudah berhasil sampai ke saya (yang akhirnya kelar saya baca beberapa hari kemudian). Again and again, makasih ya, Venty. Kamu baik banget.
Novel ini masih khas Ika Natassa. Dan, gue banget. Maksudnya, novel ini sudah barang tentu masuk kategori my cup of coffee. Gampang diteguk. Membasah di kerongkongan. Dan, menghangat di perut. Nyaman. A page-turner. Langsung dijejer di rak koleksi.
Buat yang baru kepikiran pengin baca tulisan Ika Natassa, maka bersiaplah. Jika merasa kemampuan berbahasa Inggris masih biasa-biasa saja (seperti saya), paling tidak siapkan Google Translate atau kamus bahasa Inggris-mu. Hitung-hitung persiapan jikalau ada satu-dua dari banyak bagian novel ini yang ditulis dalam bahasa Inggris mesti kamu pahami artinya dalam bahasa Indonesia. Dengan sudut pandang orang pertama antara Tanya "Anya" Laetitia Baskoro dan Aldebaran "Ale" Risjad, yang langsung dibedakan dengan menulis nama "Anya" atau "Ale" di awal setiap bagian, kisah romantis antara konsultan manajemen dan insinyur perminyakan ini memang seperti bahasa percakapan sehari-hari. Di beberapa tempat, malah seperti curhat dengan gaya menulis buku catatan (diary). Lo-gue, aku-kamu, dengan selipan bahasa Inggris gado-gado di sana-sini. Tenang saja, bahasa Inggris-nya masih dengan vocabulary yang mudah dipahami, kok. Kamus tadi sekadar buat persiapan saja, kali-kali kamu butuh.
Apakah kamu suka tulisan yang (agak sedikit) menggurui? Atau yang ditulis seolah-olah penulis berwawasan luas? Critical Eleven buat saya hadir dengan kesan agak seperti itu. Apakah saya mengeluhkan hal ini? Tidak sama sekali. Saya justru menyukai tulisan fiksi yang berisi beragam fakta yang menambah wawasan buat pembacanya (paling tidak, buat saya). Selain soal keseharian profesi Anya dan Ale, di dalam Critical Eleven ini juga banyak pemikiran-pemikiran modern mereka yang entah menyuplik dari buku, film, atau lagu, yang cukup asyik untuk diikuti. Yah, ini saya hanya sekadar memberitahu. Siapa tahu ada yang agak kurang nyaman dengan gaya bercerita macam begitu, kan?
Oh, satu hal lagi. Dalam Critical Eleven ini Ika benar-benar memanisfestasikan kegemarannya ber-traveling (atau ide ber-traveling). Selain dengan sengaja menyediakan dua halaman penuh (di akhir cerita) yang menjabarkan makna traveling menurut versinya, sepanjang mengisahkan romansa Anya dan Ale pun dia suka sekali membawa pembaca berjalan-jalan (paling tidak, lagi-lagi, buat saya). Ibaratnya, ketika hendak menyetop taksi di jalan besar di ujung sana Ika tidak langsung mengajak kita berjalan lurus ke jalan besar itu tapi kita dibawa memutar, berkeliling dulu, masuk-keluar gang kecil, sebelum akhirnya sampai di jalan besar.
Contohnya, adegan Ale yang diminta mengantar ayahnya ke kebun kopi keluarga, dalam benaknya Ale lalu menceritakan tentang kebun kopi, tentang hubungan dengan ayahnya, tentang cita-citanya, begitu seterusnya (yang bagi saya terkesan berputar-putar) sebelum adegan sebenarnya mereka sampai di tanah perkebunan dideskripsikan. Hmm, paham maksud saya, kan? Paling sering, kenangan-kenangan akan suatu kejadian yang dijadikan gang kecil untuk kita lalui. Honestly, kadang saya memang bosan, sih. Akhirnya saya skimming bagian yang menurut saya "teknik memutar ala Ika" dan langsung to the point ke adegan inti yang disiapkan oleh Ika. Apalah saya ini, terkadang memang begitu, jadi pembaca yang enggak sabaran. Dan, pembosan. Maaf.
Namun, Ika Natassa tetaplah Ika Natassa. Meski saya sempat nggerundel soal sikap Anya dan Ale yang katanya sama-sama cinta mati, masak cuman karena kekhilafan satu kali, harus sebegitu lamanya masalah itu tak terselesaikan, tetap saja saya dibikin haru dan bahagia selepas merampungkan-baca novel ini. Well, mungkin karena saya sendiri belum pernah mengalami "memendam luka" seperti itu sehingga saya enggak paham. Atau, saya sendiri belum pernah punya hubungan romantis dengan seseorang yang berumur selama itu sehingga ketika ada masalah tidak bisa langsung dipecahkan. Omong-omong tak bisa protes juga, sih, soalnya berkali-kali digambarkan Anya dan Ale sendiri tak paham dengan sikap mereka, hehehe. Masing-masing saling mempertanyakan diri mereka sendiri.
Buat penggemar tulisan Ika Natassa, berbahagialah, karena banyak cameo dari novel-novelnya yang lain yang hadir di sini. Semoga ini bukan spoiler, tapi untuk berjaga-jaga buat kamu yang menganggap ini spoiler, jangan baca ini.
Overall, saya tetap suka kok dengan novel ini, meski agak campur aduk. Saya suka karakter para tokohnya, setting, penggambaran latar belakang profesi para tokohnya, kemunculan para cameo, subplot yang kaya, dan pemikiran-pemikiran fresh yang bikin manggut-manggut. Saya kurang suka dengan kemiripan premis, teknik berputar-putar, dan eksekusi soal "bicaranya Anya dan Ale" serta ending-nya. Palang parkiran error, hello? Sementara itu, untuk typo tak banyak tapi tetap ada:
hlm 15: this is neither good or bad --> this is neither good nor badMungkin masih ada yang lain, tapi saya khilaf, tak memperhatikan, hehehe. Oiya, omong-omong untuk edisi PO ini, logo metropop-nya sengaja enggak dicantumkan, ya? Atau kelupaan karena buru-buru cetaknya?
hlm 97: limahkan --> limpahkan
hlm 321: sewaaan --> sewaan
Pada akhirnya saya bimbang, antara suka dan biasa saja, antara 3,5 atau 4 bintang. Tapi, dengan gaya menulis yang bikin saya betah memelototi halaman demi halaman hingga akhir tanpa banyak mengeluh, 4 out of 5 star untuk Critical Eleven.
Selamat membaca, tweemans.
0 komentar:
Post a Comment