Thursday, January 19, 2017

[Resensi Novel Anak-Anak] A Monster Calls (Panggilan Sang Monster) by Patrick Ness

#4_2017
First line:
Sang monster muncul persis lewat tengah malam. Seperti monster-monster lainnya.
---hlm.11, Chapter: Panggilan Sang Monster

Sang Monster Muncul Persis Lewat Tengah Malam. Seperti Monster-Monster Lain. Tetapi, dia bukanlah monster seperti yang dibayangkan Conor. Conor mengira sang monster seperti dalam mimpi buruknya, yang mendatanginya hampir setiap malam sejak Mum mulai menjalani pengobatan, monster yang datang bersama selimut kegelapan, desau angin, dan jeritan… Monster ini berbeda. Dia kuno, liar. Dan dia menginginkan hal yang paling berbahaya dari Conor. Dia Menginginkan Kebenaran.

Dalam buku karya dua pemenang Carnegie Medal ini, Patrick Ness merangkai kisah menyentuh tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Ia menulisnya berdasarkan ide final Siobhan Dowd, penulis yang meninggal akibat kanker.

Ini memang kisah sedih. Tetapi kisah ini juga bijak, kelam namun lucu dan berani, dengan kalimat-kalimat singkat, dilengkapi gambar-gambar fantastis dan keheningan-keheningan yang menggugah. A MONSTER CALLS merupakan hadiah dari penulis luar biasa dan karya seni yang mengagumkan.

Judul: A Monster Calls (Panggilan Sang Monster)
Pengarang: Patrick Ness (berdasar ide Siobhan Dowd)
Ilustrator: Jim Kay
Penerjemah: Nadya Andwiani
Editor: Barokah Ruziati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Rilis: 29 Februari 2016
Tebal: 216 hlm
ISBN: 9786020320816
My rating: 3,5 out of 5

A Monster Calls (atau sesuai alih bahasa: Panggilan Sang Monster) adalah salah satu contoh buku yang saya beli karena kepengaruh hype-nya yang kenceng banget. Lumayan telat, sih, soale bukunya sendiri sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak awal tahun 2016 lalu. Saya beli ini pun pas banget ada tawaran diskon 50% di olshop @hematbuku20.

Nama Patrick Ness sudah sering saya dengar sepanjang tahun 2016. Bahkan sangking seringnya, saya juga kepincut beli buku dia yang lain yaitu trilogi Chaos Walking, meskipun yang saya beli belum lengkap ketiga bukunya (baru dua), yang sialnya malah kebeli buku kedua dan ketiganya, sementara buku pertamanya enggak nemu, huhuhu. Tambah nyesel, waktu berkunjung ke BBW Penang, saya sempat lihat trilogi Chaos Walking ini dan saat itu masih belum tertarik beli. Dobel sial!

Ternyata, saya merasa biasa-biasa saja selesai membaca buku ini. Entah karena sedang tak mood atau bagaimana, saya tak berhasil mendapatkan impresi sebagaimana kebanyakan pmbaca lain (terutama Goodreaders yang sudah kelar baca). Sebagian besar review menyebutkan novel ini tipe tear-jerking -siapin-tisu, tapi ternyata tidak buat saya. Sedih, lumayan sih, tapi enggak sampai bikin nyesek apalagi mewek.


Mulai dari adegan awal yang agak mirip adegan awal The Big Friendly Giant (The BFG by Roald Dahl---versi film) hingga sikap Conor yang tak sesuai ekspektasi saya (sebagai tokoh protagonis) membuat saya kurang bisa merasuk. Lagi lemot, saya. Kelar baca saya segera meluncur ke goodreads.com untuk baca-baca review dan menonton trailer filmnya, barulah saya ngeh pesan moral yang ingin disampaikan Patrick Ness (dan Siobhan Dowd) itu. Yaampun, saya dudul pisan euy. Owalah, gitu toh maksudnya.

Objektif enggak objektif saya memang gagal paham. Hahaha. Mungkin di suatu saat nanti saya kepingin re-read dan membaharui impresi saya akan buku ini. Atau nanti saya baca bareng dek Shasha, deh. Siapa tahu dengan begitu saya bisa lebih paham. *nyengir

Yang paling saya suka dari novel ini adalah ilustrasinya. JUARA! Dan, baru nyadar bahwa ilustratornya ini sama dengan yang bikin ilustrator untuk Harry Potter illustrated edition, ya. Emang keren, sih.





Oke, selamat membaca, tweemans. 

End line:
------(terlalu spoiler)
---hlm.215, Chapter: Kebenaran

0 komentar:

Post a Comment