Sunday, January 8, 2017

[Resensi Novel Metropop] Yes I Do But Not With You by Shandy Tan



First line:
AMY tidak pernah memikirkan kemungkinan dirinya memiliki bibit kegilaan meskipun hanya seperjuta miligram--itu jika kegilaan memiliki satuan berat--hingga hari ini.
--hlm.7, Yes I Do But Not With You

Amy tak pernah menyangka rencana masa depannya hancur berkeping-keping dalam sekejap. Pernikahan yang hanya tinggal sejengkal, tiba-tiba sirna. Joshua, sang calon suami sekaligus tujuan hidupnya, menghamili perempuan lain. Amy kehilangan kekasih, pekerjaan yang sangat ia suka, dan kepercayaannya terhadap laki-laki.

Tetapi, kemudian Semesta mempertemukan Amy dengan Gabriel yang melezatkan hari-hari Amy dengan pastry buatannya. Meski begitu, Joshua tak kunjung menyerah merebut Amy kembali, dan dia selalu tahu bagaimana meluluhkan pertahanan Amy. Akankah Amy menerima Joshua kembali? Ataukah ia akan melepaskannya, dan mendengarkan Semesta yang mencoba menghiburnya dengan kehadiran Gabriel.


Judul: Yes I Do But Not With You
Pengarang Shandy Tan
Penyunting: -
Ilustrator cover: Yulianto Qin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 224 hlm
Rilis: 3 Januari 2017 (cetakan ke-1)
ISBN: 9786020337111
Buku merupakan persembahan penerbit untuk resensi jujur saya.
My rating: 3 out of 5 star

ide cerita dan eksekusinya:
Enam tahun pacaran dan berencana menikah tahun depan, tapi semua berantakan. What will you do? Mencoba mencari jalan untuk memperbaiki atau memilih membiarkannya dan move on? Apa pun itu, semua pasti membawa konsekuensi, kan? Tak boleh gegabah mengambil keputusan. Pikirkan matang-matang. Penyesalan di kemudian hari hanya akan membawa kehampaan dalam kumparan waktu yang tiada sesiapa pun sanggup menebak kapan selesainya.

Perkara waktu memang berukuran nisbi. Enam tahun bisa saja singkat, bisa saja lama. Tergantung siapa yang mengukur dan merasainya. Namun, untuk sebuah jalinan asmara, enam tahun tentulah bisa masuk ukuran lama. Apalagi jika hubungan itu sudah kelewat intensif seperti yang terjadi pada Amy dan Joshua.

Joshua digambarkan sebagai salah seorang motivator muda sukses di Medan. Jadwal seminarnya tak berjeda. Amy-lah sosok di balik kelancaran jadwal ‘manggung’ Joshua. Tak ada lagi waktu tersisa untuk diri dan karier pribadi Amy. Semuanya untuk Joshua. Maka, ketika cinta sebagai simpul pertalian bisnis mulai goyah, hati pun kehilangan arah. Serbasalah.

Wajar jika Amy marah. Haknya juga untuk memilih apakah mencari jalan damai demi mempertahankan hubungan atau justru melepaskan dan move on. Dan, sahabat serta keluarga adalah sebenar-benarnya tempat pelarian yang paling tepat. Jika pun menghakimi, bicarakan. Teman baik mengerti kata-kata yang terucap; sahabat sejati mampu memahami yang tidak diucapkan (halaman 27).

Premisnya tentang hubungan pacaran yang cukup lama, hampir meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, tapi rusak. Dari sini pengarang menekankan pada putusan-putusan yang diambil si tokoh utama untuk menyembuhkan lukanya. Sayangnya, saya memang tidak terlalu puas dengan eksekusi akhirnya. Ending-nya kelewat sinetron. Bahkan, formula penyelesaian konfliknya old-fashion sekali. Mengingatkan saya pada ujung cerita Me vs High Heels karya Maria Ardelia bertahun-tahun silam.

plot, setting, dan karakter:
Mostly, plot bergerak maju dengan sedikit bagian mundur, sekadar mengingat kenangan masa silam. Sementara setting lokasi adalah di Medan (surprise!) meski tidak secara spesifik disebutkan di bagian mananya Medan. Set yang paling sering disebut adalah rumah Amy dan cafe Pondok Sarapan yang dikelola oleh Lucia dan Paris, dua karib Amy.

Desa-desa Resto, di Jalan Setiabudi No 190-12, Medan, brilio.net
Menyoal karakter, maaf saja, saya kurang bisa teryakinkan oleh hampir seluruh tokohnya, huhuhu. Tumben banget, lho, saya kok ya bisa nggak suka sama siapa pun di sini. Membahas tokoh utama: Amy. Sebenarnya dia ini gimana, sih. Apakah memang digambarkan multitalenta? Ingatkan saya jika ada bagian yang terlewat, tapi kok kayaknya Amy ini serbabisa banget. Awalnya jadi asisten pribadi merangkap pacar Joshua. Lalu, merintis karier pribadi sebagai penerjemah. Tapi tak jarang juga dimintai pendapat soal cita rasa menu kafe Pondok Sarapan. Jadi, Amy ini ahli di segala bidang, begitu? Well, itu baru dari latar belakang keseharian Amy. Sifat, pembawaan, pemikiran, dan lain-lainnya juga tak begitu memorable.

Gabriel. Wah, dia sih gambaran cowok ideal-pujaan-setiap-perempuan kayaknya. Kekar dan jago bikin pastry. Selama baca saya kebayang chef Yuda Bustara, hahaha. But, sekali lagi, saya enggak cukup teryakinkan dengan deskripsi Gabriel ini. Mungkin sayanya yang sudah kelewat terdoktrin sehingga ketika ketemu penggambaran baru, seolah saya langsung menolaknya. Entahlah. Karakter yang lain: ya sudahlah, begitu juga. Kurang memberi kesan mendalam, buat saya.


Lalu, ada pergantian angle yang cukup mengganggu ketika kisah bergulir kamera menyorot ke arah Amy dan mencakup orang-orang di sekelilingnya, mendadak kamera menyorot ke arah Gabriel (bentar banget, sedurasi iklan Pantene-nya Anggun kayaknya), terus pernah juga menyorot ke Lucia dan Paris. Hih, ngeselin.

konflik:
It's such a multi-angle love story. Mbulet ke sana kemari, tapi malah kurang seru karena tokoh-tokohnya ya itu-itu saja. Saya tak bisa bersimpati dengan siapa pun. Amy pun tidak. Bayangkan saja dia masih kalut soal hubungannya dengan Joshua (masih suka membayangkan hal-hal indah), kok bisa-bisanya memuji lelaki lain pada waktu yang bersamaan. Ya, ya, ya, mungkin kamu bakal bilang "Namanya juga hati, siapa yang tahu maunya apa, kan?". Hell, yes. Tapi, tetap saja, buat saya enggak sreg untuk situasi Amy yang masih kurang stabil.

Pada akhirnya, saya memang tidak mendapati konflik yang padat nan kompleks. Sederhana yang terlalu dibelit-belitkan. Oh, dan saya lebih merasa mestinya novel ini masuk Amore ketimbang Metropop karena tekanannya lebih banyak pada unsur romance-nya walaupun nuansa dunia kerjanya (pengusaha cafe dan profesi penerjemah) cukup ditonjolkan.

kesimpulan:
Untuk bacaan awal tahun, novel ini cukup ringan dan (buat pembaca cepat) pasti bisa kelar dalam satu kali duduk. Enggak ribet dan enggak perlu berkerut-kerut bacanya. Simpel banget. Ditambah diksinya yang mantap. Membacanya, selain baper, juga menyenangkan.

Oke, selamat membaca, tweemans.

End line:
I will be just fine, pikir Amy sambil mengunyah poptart dengan nikmat dan dalam hati bersenandung, "'Cause I am the champion of the world...."
---hlm.218, Chapter: We Are the Champions.

1 comment:

  1. Pengarang kayaknya emang tinggal di Medan deh. Aku pernah baca novelnya jg settingnya Medan tapi ga gitu jelas di mana tepatnya. Btw covernya bikin ilfil aku. Kayak cover buku tutorial menjahit. Hahaha...

    ReplyDelete