Bidadari-Bidadari Surga bercerita tentang pengorbanan seorang kakak (Laisa) untuk adik-adiknya (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana dan Yashinta) di Lembah Lahambay agar adik-adiknya dapat melanjutkan pendidikan mereka, meski ia harus bekerja di terik matahari setiap hari, mengolah gula aren setiap jam 4 pagi serta dimalam hari menganyam rotan, meski pada dasarnya keempat adik-adiknya tersebut berasal dari darah yang berbeda dengan dirinya.Judul: Bidadari-bidadari Surga
Satu sisi Laisa digambarkan sebagai kakak yang galak dan tegas, mengejar-ngejar adiknya yang bolos sekolah dengan rotan dan ranting kayu. Di sisi lain, kontradiktif dengan fisiknya yang gempal, gendut, berkulit hitam, wajah yang tidak proporsional ditambah dengan rambut gimbal serta ukuran tubuhnya yang tidak normal, lebih pendek, Laisa sesungguhnya tipe kakak yang mendukung adik-adiknya, rela mengorbankan diri untuk keselamatan ‘dua anak nakal’ Ikanuri dan Wibisana dari siluman Gunung Kendeng, serta mati-matian mencari obat bagi kesembuhan adiknya Yashinta yang diserang demam panas hingga kejang pada suatu malam.
Pengarang: tere-liye
Penerbit: Republika
Genre: Roman, Keluarga, Islami
Tebal: vi+368 halaman
Harga (Toko): Rp47.500
Rilis: Juni 2008 (Cetakan Kedua)
Saya mengenal, maksudnya tahu dan baca karyanya (bukan bertemu muka dan bejabat tangan langsung), tere-liye ketika genre Metropop baru dirintis oleh Gramedia, lewat sebuah novel metropop bergaya laki-laki, The Gogons. Tidak terlalu mengesankan, namun nuansa macho-nya memberikan kesegaran tersendiri di tengah lautan metropop yang lebih bercita rasa perempuan. Selanjutnya, saya tak lagi menyimak sepak terjangnya dalam dunia kepenulisan, selain hanya beberapa kali mendengar namanya disebut karena dua novel islami-nya masuk kategori best seller dan menuai banyak pujian, Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah.
Bidadari-bidadari Surga (B2S)-nya menarik perhatian saya ketika tidak ada novel Metropop terbaru yang menyandera minat saya (membaca dan membeli). Awalnya saya ragu, sebab testimonial ‘berlebihan’ yang ada di cover belakangnya. Entahlah, saya masih selalu menganggap testimonial begitu hanya ‘iklan-sampah’ yang kadang menjebak dan men’curang’i pembaca (yang membeli), karena umumnya testimonial begitu hanya berisi pujian selangit. Sedangkan, satu rinsip sudah pasti, segala buatan manusia tidak ada yang sempurna, cacat pasti selalu ada Untunglah, sebagian testimonial tersebut benar adanya.
Astaga. B2S sukses membuat air menderas dari kedua pelupuk mata saya bahkan sejak dari bagian awal. Setangah malu saya dibuatnya. Betapa tidak, saya yang gemar menenteng buku kemana-mana dan membacanya dalam suasana bagaimanapun juga, berulang harus buka-tutup dan pura-pura melihat sesuatu ke arah lain untuk menghindari tatapan ‘ada-apa?’ dari orang-orang yang melihat saya berkaca-kaca. Malu, tapi tak bisa berhenti.
Saya acungkan jempol atas jerih payah tere-liye menghidupkan karakter kunci menjadi sosok yang demikian luar biasa menyentuh namun tetap manusiawi. Selain dari sudut fisik yang masih gagal saya wujudkan, tokoh yang diciptakannya tersebut dengan mudah dapat divisualisasi dalam keseharian. Kisah epik dramatik dari area domestik rumah tangga begini sejatinya demikian mudah dapat ditemukan dalam kehidupan kita.
Setelah Laskar Pelangi, saya kira B2S-lah yang dapat secara natural mengangkat sebuah kisah perjuangan dahsyat dari kampung di daerah pedalaman, yang bahkan sebelumnya tidak ada listrik, menjejak tangga kesuksesan dalam pelbagai bidang, melalui jalur paling lazim yaitu pendidikan. Ada profesor yang melakukan penelitian untuk membuktikan soal kemungkinan bulan pernah terbelah, ada dua orang yang sangat ambisius dan mumpuni di bidang utak-atik otomotif yang berencana men-suplai spare part khusus mobil balap, ada pula peneliti biologi perempuan yang sedang bercengkerama dengan spesies alap-alap kawah (peregrin). Meskipun awalnya saya pesimis, runtut peristiwa yang disajikan novel bernuansa hijau ini cukup meyakinkan saya bahwa semuanya mungkin. Nothing is impossible, right?
Jalinan cerita, cara bertutur, tema, plot, setting, gaya flash back mixed by present (maju mundur)-nya sangat bagus dan kuat, penokohan, semuanya membuat saya jatuh cinta. Apalagi, sentilan ending yang tidak terduga (…loh kok gini?) membuat B2S ini begitu istimewa.
Namun, tiada gading yang tak retak. Tiada pula (buatan manusia) yang sempurna. Novel ini juga menyimpan beberapa kejanggalan yang menurut saya sedikit banyak mengganggu keliaran imajinasi saya yang kadung mabuk kepayang dengan pesona yang dimiliki novel ini. Pertama dan utama, ya ampuuuuuuuuuuuun Republika geto… loh, nyang nopel Ayat-ayat Cinta-nya Kang Abik katenye mega-bestseller-Asia kok ya masih sempet-sempetnya salah ngedit (ngetik) ya? Plis deh!
Sedangkan dari segi cerita, saya masih kurang menangkap esensi dari beberapa cerita yang agak ghoib (kalau tidak mau dibilang mistis atau takhayul) misalnya adegan ketika kakak-beradik Lembah Lahambay yang hampir dimangsa harimau penguasa Gunung Kendeng tapi tidak jadi, atau cerita soal adanya semacam sinar yang digambarkan sbagai ‘perwujudan’ karakter kunci ketika membangunkan adik bungsunya yang pingsan di areal Semeru. Bagaimana ya, susah saya menerimanya meskipun embel-embel ‘atas ijin Allah’ (kalau tidak salah sih) disertakan.
Kelemahan yang lain adalah peletakan cara memanggil karakter kunci yang kadang dipanggil Kak, kadang dipanggil Wak, di beberapa tempat agak berantakan. Kurang cocok, lebih tepatnya. Termasuk pula, ketidakkonsistenan dalam pengetikan, kadang istilah tak lazim dibuat miring tapi di tempat lain dibuat biasa. Oh iya, motto Safe The Planet itu benar, ya? Apa bukan, Save The Planet? Saya menafsir kira-kira dalam bahasa Indonesia artinya, Selamatkan Planet (Bumi), bukan? Ini, saya coba ketikkan kata 'safe the planet' pada google dan yang keluar adalah ini:
Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, saya sungguh dibuat haru biru oleh novel ini. Dan, benar sekali, novel ini cocok dipersembahkan kepada ibu, saudari perempuan, atau siapa saja (yang perempuan) ataupun lelaki (sebagai perenungan) karena novel ini benar-benar menggugah. B2S juga cukup ‘megah’ jika diangkat ke layar lebar, apalagi background Lembah Lahambay serta hamparan perkebunan strawberry-nya, pasti membuat layar bioskop terasa mendamaikan ketika dilihat.
gue rasa loe terlalu berlebihan kalau bilng gak bisa menulis "fiksi" kalau pd kenyataannya bisa buat review seperti ini, fasih.......
ReplyDeletemampir2 yah....
kemaren aku baca delisa ..
ReplyDeletekerennn bgt.
@Faizz....muji..ato apa nih? hihii...pada kenyataannya memang belum bisa nih bikin karya tulis apapun (kecuali karya tulis tugas akhir kuliah, hehehehe)
ReplyDelete@Dinna....walahh....delisa saya nggak tuntas bacanya, mogok di tengah jalan, novelnya malah udah saya kasih ke sodara....;(