Rating: 2,5 dari 5 bintang
Judul: Blue Remembered Heels (Sepatu Biru Kenangan)
Pengarang: Nell Dixon
Desain sampul: Anne Mariane
Penerjemah: Tisa Anggriani
Editor: Lulu Fitri Rahman
Korektor: Elvina Alianto
Penerbit: M-Pop (Penerbit Matahati)
Tema: Komedi romantis, Misteri pembunuhan, Penipuan
Genre: Fiksi Dewasa (Adult Fiction)
Tebal: 311 hlm
Harga: Rp42.500
Rilis: Maret 2010 (Cet. 1)
ISBN: 978-602-96255-01-6
Membaca sekilas sinopsis di sampul belakang novel romantis ini, ingatan saya langsung melayang pada sebuah film Hollywood produksi tahun 2001 berjudul Heartbreakers besutan David Mirkin yang dibintangi oleh Sigourney Weaver dan Jennifer Love Hewitt. Film tersebut bercerita tentang ibu dan anak perempuannya yang memanfaatkan pesona kecantikan dan kelihaian tipu-tipu untuk menjerat pria-pria kaya kemudian menikah dengan mereka, menggugat cerai dengan tuduhan pria tersebut berselingkuh (si anak diplot jadi selingkuhan), dan mengajukan tuntutan pembagian harta gono-gini. Di akhir film, sesuai pakem Hollywood, ibu dan anak ini sadar dan menemukan cinta sejati yang membawa mereka kepada kehidupan yang biasa.
Sepatu Biru Kenangan mengambil ide cerita yang hampir mirip, meskipun tidak sama. Novel ini berkisah tentang tiga kakak beradik Gifford, Charlotte (Charlie), Abigail (Abbey), dan Christopher (Kip), yang melakukan tindak penipuan dengan pelbagai modus untuk menyerobot sejumlah uang dari para korbannya yang kebanyakan di’alibi’kan memperoleh atau mendapatkan kekayaannya dengan cara curang. Hingga suatu ketika Abbey kena musibah yang membuatnya tak lagi dapat berbohong, dan tentu saja itu menyulitkan profesi mereka yang membutuhkan kemampuan berbohong yang mumpuni. Maka ketika seorang polisi muda (dan seksi), Mike, melontarkan beragam pertanyaan, Abbey tak dapat mengontrol seberapa banyak rahasia perbuatan mereka yang bisa terlontar dari mulutnya. Lebih-lebih ketika sedang merencanakan penipuan baru di suatu daerah yang jauh dari pusat kota, mereka mendapatkan ancaman dan teror dari korban penipuan mereka sebelumnya, Freddie, yang tak terima dan menginginkan uangnya dikembalikan.
Ikut tegang. Itulah sensasi awal yang saya rasakan ketika mencoba melebur dalam kehidupan tokoh Abbey, yang menjadi pencerita di keseluruhan novel ini (point of view orang pertama: aku). Abbey yang tak lagi piawai berbohong jika ditanya orang terpaksa bekerja keras mencari cara agar dirinya tidak ditanya oleh orang lain. Bahkan, ia sampai menjalani sesi terapi regresi di bawah panduan Kip.
Ide cerita dan cara penyampaiannya sudah cukup baik. Saya benar-benar dibuat deg-degan dari sejak penyamaran awal yang dilakukan Abbey. Saya seperti seorang penonton sinetron norak yang selalu ingin menyerukan, “ya olohhh, jangan gerak ke sono, ntar ketauan lho,” atau “Gosh, dia bisa ngelihat kamu, dodol, plis deh, gitu aja kesandung mulu.” Hahaha. Sensasi semacam itu sungguh membuat saya gemas sendiri. Namun sayang, frekuensi-nya justru semakin menurun dan cerita lebih didominasi pada kisah percintaan mereka. Charlie dengan si target penipuan (Philippe), Abbey dengan Mike, dan Kip dengan tetangga rumah baru mereka (Sophie).
Jadi apa itu Sepatu Biru Kenangan? Hmm…ternyata sepatu biru kenangan itu adalah …teeeettttttt……(baca sendiri ya, nggak seru donk kalo di-spoiler). Bah, tapi mau donk ngasih bocoran dikit kenapa sepatu itu penting? Baiklah, begini, sepatu biru kenangan itu akan membantu mengungkap satu kisah masa lalu yang sangat penting bagi ketiga kakak beradik tersebut (dan kelam, dan menyedihkan) untuk dapat ditelusuri dan dipecahkan misterinya.
Secara utuh, cerita novel ini lumayan, meskipun tidak lagi orisinil. Untuk karakternya sendiri sudah cukup kuat walaupun saya kurang bisa merasuk pada masing-masing tokohnya. Saya suka Abbey, tapi kalau diminta mendeskripsikan sifatnya, saya blank. Kadang-kadang Abbey terlihat meragu, namun di saat yang lain dia dengan tegas tampil sebagai pengambil keputusan. Kip, yang digambarkan anti-sosial, suatu ketika tampil sangat jenius dan bahkan menjadi perancang segala macam perlengkapan tipu menipu.
Pada bagian romantisnya, kisah cinta Charlie dan Philippe gampang sekali tertebak, meskipun memang saya rasa penulis tidak berniat membuatnya misterius. Sedangkan love at first sight-nya Mike pada Abbey juga agak kurang reasonable. Entahlah, apakah saya yang belum sepenuhnya percaya pada yang namanya love at first sight atau bagaimana, yang jelas rasanya kurang kuat saja pondasi alasan mengapa Mike “mengincar” Abbey.
Yang juga belum masuk di logika saya adalah si Freddie yang menebar aroma tegang di novel ini, justru tak terlihat garang dan hanya gertak sambal, padahal kasus dan latar belakang orang ini cukup meyakinkan untuk menjadikannya sangar. Kalau si Freddie ini seorang milyuner, kenapa pula dalam beberapa hal ia tidak menyuruh anak buahnya atau orang bayaran misalnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat membuatnya “tertangkap”. Aneh. Dan, akhirnya yang menjadi pertanyaan besar saya adalah apakah seorang kriminal yang sudah mengakui perbuatan dan menyatakan bersalah tidak dihukum, sama sekali? Mau donk ngerampok bank, ngaku tobat, terus ketemu jodoh teller bank itu, so sweet. Enak benerrr!!!
Catatan (beberapa kesalahan teknis percetakan/typo yang saya temukan):
Alinea 3, halaman 8: pantulan di cermin oval emas si atas ---> di atas?Typo-typo tersebut jelas tidak begitu mengganggu, namun ada baiknya di penerbitan novel-novel berikutnya dapat dihindarkan, apalagi di novel ini ada editor dan korektor yang ikut berperan sehingga harusnya kesalahan-kesalahan kecil begini bisa diminimalisasi. Oiya, awalnya saya pikir Charlie itu cowok lho (dari sinopsis di belakang), ternyata itu nama panggilan Charlotte, kakak perempuan Abigail (Abbey). Dalam novel ini para karakternya memang secara tiba-tiba saja di"hidup"kan dengan nama panggilan mereka, tanpa perlu disebutkan bahwa itu nama panggilan mereka.
Alinea 1, halaman 20: Aku bahkan tidak kejadian dalam bayanganku itu. ---> kalimat ini agak janggal, seolah ada satu kata yang tertinggal di antara kata “tidak” dan “kejadian”
Alinea 2, halaman 22: …,tapi pekerjaan itu sangat beresiko ---> berisiko?
Alinea 4, halaman 81: Dia bangkit dari sofa dan pergi ke lantas atas untuk… ---> lantai?
Alinea 6, halaman 184: Hewan yang kumaksud sedang mengendus-endus di sekitar tapi danau. ---> tepi?
Alinea 3, halaman 212: penggunaan kata Mum yang tidak konsisten, karena di satu kalimat itu, berganti menjadi ibu.
Oke, happy reading, people!
Sinopsis (cover belakang)
Abbey Gifford dan kakaknya, Charlie, adalah penipu yang gemar merampok pria kaya. Itulah yang mereka kerjakan sampai suatu ketika Abbey tersambar petir.
Sejak itulah, Abbey mengalami ingatan kilas balik yang aneh. Sepasang sepatu biru kerap muncul dalam mimpinya. Parahnya lagi, dia jadi tidak bisa berbohong. Padahal, pekerjaan Abbey menuntutnya untuk terus-menerus berdusta. Lalu, ketika seorang detektif misterius yang tampan bernama Mike Flynn mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya, dia merasa seperti dijebak …
Dan jika Mike sampai tahu kenyataan kehidupan kriminal Abbey, mungkinkah Abbey akan menemukan kebahagiaannya?
0 komentar:
Post a Comment