Haruskah saya ikut bilang, “harap maklum”?
Judul: 7 Hari Menembus Waktu
Pengarang: Charon
Penyunting: .... (Ike)
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Teenlit
Tebal: 176 hlm
Harga: Rp25.000 (Toko)
Rilis: Maret 2010
ISBN: 978-979-22-5518-8
My rating: 1 out of 5 star
Marissa secara tak sengaja terlempar ke masa dua puluh tahun ke belakang saat mengumpat di depan sebuah lukisan ‘ajaib’ yang terpajang di gedung tempat penyelenggaraan pesta yang tak dikehendakinya untuk dihadiri. Dari tahun 2008 Marissa terperangkap di tahun 1988 ketika kedua orangtuanya belum bersepakat menjalin hubungan. Di tahun itu, ia bertemu dengan Wiliam, seorang anak yatim-piatu kaya yang bersifat dingin dan tertutup.
Berdasarkan simpulannya, ia baru bisa kembali ke masanya 7 hari dari hari itu, ketika lukisan ajaib itu untuk kali pertama dipajang. Sembari menunggu waktu tersebut, Marissa berpetualang bersama Wiliam. Dan, rekaman 7 hari petualangan Marissa bersama Wiliam itulah yang menjadi inti keseluruhan teenlit ini.
Permakluman adalah satu bentuk pengingkaran terhadap sesuatu dengan mengesampingkan pemenuhan kriteria demi pengakuan terhadapnya. Dan, mungkin saja, saya juga diingatkan untuk mempersembahkan “harap maklum” ketika membaca (dan meresensi) novel teenlit terbaru karya Charon ini. Ya maklum donk, ini kan teenlit, dan kau bukanlah target yang disasar novel ini jadi jangan menilai seenak jidatmu, teriak ‘suara-di-salah-satu-sisi-kuping’ saya yang mempermaklumkan keberadaan novel ini. Tapi, lagi-lagi saya bersembunyi di balik kata “hak saya” untuk tak mengindahkan imbauan permakluman tersebut.
Ide ceritanya memang cemerlang, harus saya akui itu. Segar dan menghibur. Namun sayang, gaya penyampaiannya agak kurang oke, menurut selera saya. Lagi-lagi saya dibuat muak dengan tokoh yang tidak semestinya. Imagining, umur 18 tahun, masih suka lelet-leletin lidah, ya ampun. TK banget sih. Tak cukup begitu, sebagai produk Jakarta di tahun 2008, saya tidak menemukan sentuhan modern dari seorang cewek masa kini pada diri Marissa. Bahkan, ketika ia terlempar ke situasi jadul, ia bisa nge-blend (beradaptasi) dengan begitu mudahnya. Ia hanya kagok pada jenis makanan dan permainan yang berbeda antara masa itu dan masanya di 2008. Harusnya dibuat agak sedikit gegar budaya untuk merasionalkan cerita.
Oke, berikut list kejanggalan yang saya temukan di teenlit ini:
(hlm: 23) tanpa sebab, kenapa Wiliam memanggil Marissa kakak padahal di awal jumpa Wiliam cukup memanggil namanya saja, hal tersebut membuat karakter Wiliam yang dingin menjadi agak meleleh tidak pada waktu yang tepat.
(hlm: 35) harusnya halaman ini berkaitan dengan halaman 10, soal pencantuman tanggal 6 Juli 1988, nyatanya tidak ada keterangan tanggal itu di halaman 10, justru di halaman 13 tanggal itu baru tercantum.
(hlm: 37) dua tahun yang lalu, ketika Marissa sembunyi-sembunyi memakai kosmetik, Mami marah besar. Sekarang, ternyata Mami…kata dua tahun lalu dan sekarang agak kurang pas digunakan, karena rujukan waktunya di masa lalu. Lebih baik jika diganti, “padahal waktu mudanya/masa kuliahnya Mami…(hanya usulan).
Bandingkan ini, apakah ada yang janggal (hlm: 34) dengan seribu rupiah, kau bisa membayar bensin motor selama seminggu. (hlm: 41) dua mangkuk mie bakso hanya 500 rupiah. 1000=4 mangkuk bakso=seminggu bensin? Benarkah? Akuratkah data ini?
(hlm: 47) harusnya Jimmy tertulis Jummy.
(hlm: 48) harusnya Wiliam tertulis William.
(hlm: 59) harusnya menyadari tertulis meyadari.
Logika menjadi terlupa ataukah sengaja dipercepat ketika Marissa yang tidak punya uang (dan menjadi punya uang dengan minta ke Wiliam, hlm: 34) mendadak bisa membayar makanan (hlm: 60 dan 78) tanpa meminta uang lagi pada Wiliam? Termasuk ketika Marissa memaksa belanja ke pasar tanpa minta uang pada siapapun (hlm: 93).
(hlm: 63) harusnya di tangannya tertulis di Tangannya.
Kembali logika menjadi pecah ketika dinyatakan Ferry-Diana sudah berteman lama (hlm: 80) tapi Ferry yang gugup menelepon Diana beralasan takut Diana tidak mengenalinya (hlm: 76) padahal di awal (hlm: 39) Ferry terlihat hanya menjadi sasaran cela Diana. Agak rancu mendeskripsikan kompleksitas hubungan Ferry-Diana ini.
Yang ini juga membingungkan (hlm: 148) …dari atas dan jendela kamarnya, Diana melihat Ferry memandangnya dengan putus asa. Kalimat awalnya ambigu, susah dimengerti.
Secara keseluruhan teenlit ini membosankan sekali. Untung saja, sekali lagi, ide ceritanya segar sehingga saya masih tertarik menghabiskannya hingga lembar halaman pamungkasnya. Namun, sumpah, gaya mendongengnya kaku banget, saya sampai geregetan. Kalau boleh membandingkan buku ini serupa namun berkebalikan dengan novel Pillow Talk-nya Christian Simamora. Serupa, karena saya sukar membedakan mana bahasa tulisan dan mana bahasa lisan pada keduanya. Sedangkan berkebalikan, maksudnya, kalau di Pillow Talk yang lebih terasa adalah bahasa lisan-nya maka di teenlit ini sebaliknya, bahasa tulis-nya lah yang lebih menonjol. Bahkan untuk kalimat percakapannya (dialog) sekalipun, kaku banget. Ugh!
Marissa kesal sekali ketika harus ikut ayahnya ke Gedung Albratoss. Itu artinya dia akan bertemu Michel, mantan pacarnya. Dan itu berarti, dia juga akan bertemu Selina, musuh bebuyutannya, yang telah merebut Michel dari sisinya.
Merasa frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di depan sebuah lukisan, dan bergumam seandainya saja ia bisa menghilang.
Dan ia betul-betul menghilang... terlempar ke masa 20 tahun yang lalu, saat ia belum lahir, saat orangtuanya pun masih belum berpacaran...
Bersama Wiliam, anak kecil yang ditemuinya di masa lalu, ia mengalami hal-hal yang lucu dan menyenangkan di masa lalu, hal-hal yang akan mengubah kehidupan Marissa dan Wiliam di masa depan...
Merasa frustrasi oleh situasi, tak sadar Marissa menangis di depan sebuah lukisan, dan bergumam seandainya saja ia bisa menghilang.
Dan ia betul-betul menghilang... terlempar ke masa 20 tahun yang lalu, saat ia belum lahir, saat orangtuanya pun masih belum berpacaran...
Bersama Wiliam, anak kecil yang ditemuinya di masa lalu, ia mengalami hal-hal yang lucu dan menyenangkan di masa lalu, hal-hal yang akan mengubah kehidupan Marissa dan Wiliam di masa depan...
Judul: 7 Hari Menembus Waktu
Pengarang: Charon
Penyunting: .... (Ike)
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Teenlit
Tebal: 176 hlm
Harga: Rp25.000 (Toko)
Rilis: Maret 2010
ISBN: 978-979-22-5518-8
My rating: 1 out of 5 star
Marissa secara tak sengaja terlempar ke masa dua puluh tahun ke belakang saat mengumpat di depan sebuah lukisan ‘ajaib’ yang terpajang di gedung tempat penyelenggaraan pesta yang tak dikehendakinya untuk dihadiri. Dari tahun 2008 Marissa terperangkap di tahun 1988 ketika kedua orangtuanya belum bersepakat menjalin hubungan. Di tahun itu, ia bertemu dengan Wiliam, seorang anak yatim-piatu kaya yang bersifat dingin dan tertutup.
Berdasarkan simpulannya, ia baru bisa kembali ke masanya 7 hari dari hari itu, ketika lukisan ajaib itu untuk kali pertama dipajang. Sembari menunggu waktu tersebut, Marissa berpetualang bersama Wiliam. Dan, rekaman 7 hari petualangan Marissa bersama Wiliam itulah yang menjadi inti keseluruhan teenlit ini.
Permakluman adalah satu bentuk pengingkaran terhadap sesuatu dengan mengesampingkan pemenuhan kriteria demi pengakuan terhadapnya. Dan, mungkin saja, saya juga diingatkan untuk mempersembahkan “harap maklum” ketika membaca (dan meresensi) novel teenlit terbaru karya Charon ini. Ya maklum donk, ini kan teenlit, dan kau bukanlah target yang disasar novel ini jadi jangan menilai seenak jidatmu, teriak ‘suara-di-salah-satu-sisi-kuping’ saya yang mempermaklumkan keberadaan novel ini. Tapi, lagi-lagi saya bersembunyi di balik kata “hak saya” untuk tak mengindahkan imbauan permakluman tersebut.
Ide ceritanya memang cemerlang, harus saya akui itu. Segar dan menghibur. Namun sayang, gaya penyampaiannya agak kurang oke, menurut selera saya. Lagi-lagi saya dibuat muak dengan tokoh yang tidak semestinya. Imagining, umur 18 tahun, masih suka lelet-leletin lidah, ya ampun. TK banget sih. Tak cukup begitu, sebagai produk Jakarta di tahun 2008, saya tidak menemukan sentuhan modern dari seorang cewek masa kini pada diri Marissa. Bahkan, ketika ia terlempar ke situasi jadul, ia bisa nge-blend (beradaptasi) dengan begitu mudahnya. Ia hanya kagok pada jenis makanan dan permainan yang berbeda antara masa itu dan masanya di 2008. Harusnya dibuat agak sedikit gegar budaya untuk merasionalkan cerita.
Oke, berikut list kejanggalan yang saya temukan di teenlit ini:
(hlm: 23) tanpa sebab, kenapa Wiliam memanggil Marissa kakak padahal di awal jumpa Wiliam cukup memanggil namanya saja, hal tersebut membuat karakter Wiliam yang dingin menjadi agak meleleh tidak pada waktu yang tepat.
(hlm: 35) harusnya halaman ini berkaitan dengan halaman 10, soal pencantuman tanggal 6 Juli 1988, nyatanya tidak ada keterangan tanggal itu di halaman 10, justru di halaman 13 tanggal itu baru tercantum.
(hlm: 37) dua tahun yang lalu, ketika Marissa sembunyi-sembunyi memakai kosmetik, Mami marah besar. Sekarang, ternyata Mami…kata dua tahun lalu dan sekarang agak kurang pas digunakan, karena rujukan waktunya di masa lalu. Lebih baik jika diganti, “padahal waktu mudanya/masa kuliahnya Mami…(hanya usulan).
Bandingkan ini, apakah ada yang janggal (hlm: 34) dengan seribu rupiah, kau bisa membayar bensin motor selama seminggu. (hlm: 41) dua mangkuk mie bakso hanya 500 rupiah. 1000=4 mangkuk bakso=seminggu bensin? Benarkah? Akuratkah data ini?
(hlm: 47) harusnya Jimmy tertulis Jummy.
(hlm: 48) harusnya Wiliam tertulis William.
(hlm: 59) harusnya menyadari tertulis meyadari.
Logika menjadi terlupa ataukah sengaja dipercepat ketika Marissa yang tidak punya uang (dan menjadi punya uang dengan minta ke Wiliam, hlm: 34) mendadak bisa membayar makanan (hlm: 60 dan 78) tanpa meminta uang lagi pada Wiliam? Termasuk ketika Marissa memaksa belanja ke pasar tanpa minta uang pada siapapun (hlm: 93).
(hlm: 63) harusnya di tangannya tertulis di Tangannya.
Kembali logika menjadi pecah ketika dinyatakan Ferry-Diana sudah berteman lama (hlm: 80) tapi Ferry yang gugup menelepon Diana beralasan takut Diana tidak mengenalinya (hlm: 76) padahal di awal (hlm: 39) Ferry terlihat hanya menjadi sasaran cela Diana. Agak rancu mendeskripsikan kompleksitas hubungan Ferry-Diana ini.
Yang ini juga membingungkan (hlm: 148) …dari atas dan jendela kamarnya, Diana melihat Ferry memandangnya dengan putus asa. Kalimat awalnya ambigu, susah dimengerti.
Secara keseluruhan teenlit ini membosankan sekali. Untung saja, sekali lagi, ide ceritanya segar sehingga saya masih tertarik menghabiskannya hingga lembar halaman pamungkasnya. Namun, sumpah, gaya mendongengnya kaku banget, saya sampai geregetan. Kalau boleh membandingkan buku ini serupa namun berkebalikan dengan novel Pillow Talk-nya Christian Simamora. Serupa, karena saya sukar membedakan mana bahasa tulisan dan mana bahasa lisan pada keduanya. Sedangkan berkebalikan, maksudnya, kalau di Pillow Talk yang lebih terasa adalah bahasa lisan-nya maka di teenlit ini sebaliknya, bahasa tulis-nya lah yang lebih menonjol. Bahkan untuk kalimat percakapannya (dialog) sekalipun, kaku banget. Ugh!