Survei Pembaca Chicklit Indonesia Berhadiah Buku Pilihan Sendiri
Syarat dan Ketentuan:
1. Menjawab seluruh pertanyaan yang disediakan (kecuali diberikan pilihan untuk boleh tidak menjawab);
2. Mengirimkan jawaban melalui email ke alamat metropop.lover@gmail.com disertai dengan identitas asli dan alamat pengiriman yang jelas serta nomor kontak yang bisa dihubungi. Jangan lupa menuliskan “Survei Pembaca Chicklit Indonesia” di kolom subject;
3. Satu orang hanya diperbolehkan mengirimkan satu jawaban;
4. Buku pilihan adalah kategori novel fiksi chicklit/teenlit/metropop tulisan penulis Indonesia (bukan karya terjemahan) terbitan Gramedia Pustaka Utama dan Gagas Media;
5. Buku pilihan adalah 2 (dua) buah judul novel fiksi chicklit/teenlit/metropop untuk masing-masing 3 (tiga) orang pemenang. Sertakan buku pilihan Anda di bawah jawaban yang dikirimkan, JAWABAN YANG TIDAK MENCANTUMKAN BUKU PILIHAN DIANGGAP TIDAK SAH; 6. Sistem pemilihan pemenang adalah pengundian;
7. Keputusan pengundian tidak dapat diganggu gugat;
8. Batas waktu pengiriman jawaban adalah hari Jumat, tanggal 6 Agustus 2010, pukul 00.00 Waktu Indonesia Bagian Barat.
9. Semoga sistem pengundian ini terlepas dari unsur-unsur haram dalam hukum keagamaan.
Pertanyaan:
1. Apakah menurut Anda ada perbedaan antara novel fiksi chicklit, teenlit, dan metropop? a. Ada, alasan:…………………………………………………………………………. b. Tidak ada, alasan:……………………………………………………………………...
2. Apakah Anda pernah membaca novel fiksi kategori chicklit/teenlit/metropop hasil tulisan penulis Indonesia? a. Sering b. Jarang c. Sekali waktu (satu-dua judul saja) d. Tidak pernah
3. Apakah Anda pernah membaca novel fiksi kategori chicklit/teenlit/metropop terjemahan? a. Sering b. Jarang c. Sekali waktu (satu-dua judul saja) d. Tidak pernah
Catatan: Jika Anda menjawab “Tidak pernah” untuk pertanyaan nomor 2 dan 3, maka Anda tidak perlu menjawab pertanyaan nomor 4 s.d. 6
4. Bagaimanakah kualitas novel fiksi kategori chicklit/teenlit/metropop Indonesia dibandingkan dengan karya terjemahan? a. Lebih baik b. Sama baik c. Cukup baik d. Kurang
5. Apa kelebihan novel fiksi kategori chicklit/teenlit/metropop menurut Anda? (pilihan boleh lebih dari satu) a. Menghibur b. Unik c. Menghadirkan hal-hal baru d. Bertema keseharian e. Lainnya:………………………………………………………………………………………….
6. Apa kelemahan novel fiksi kategori chicklit/teenlit/metropop menurut Anda? (pilihan boleh lebih dari satu) a. Lebay b. Klise c. Tidak realistis/too perfect to be true d. Tidak orisinil e. Lainnya:………………………………………………………………………………………………
Tambahan bacaan baru (yang entah kapan bisa dibaca, duhhh)
Grand Opening Gramedia Central Park Discount 30% All Items From : 31 July - 8 August 2010
Dari pertengahan hingga akhir bulan Juli ini, saya sudah mencanangkan gerakan “stop shopping and start reading”, mengingat timbunan buku-novel saya yang, astaganaga, sudah mulai tak muat dijubelkan di satu lemari buku saya. Fiuuhhh, gara-gara kalap di Pesta Buku Jakarta 2010 kemarin dan beberapa sesi diskon dari mulut ke mulut beberapa teman, saya dengan semangatnya membeli apa saja yang menarik mata. Nahhh, sekarang saya jadi susah ngebayangin bagaimana kalau saya pindah kost atau kontrakan,…iya kalau buku-buku itu sudah saya tuntaskan-baca seluruhnya, ini belum, double waduh lah…
Ehhhhh, ini Gramedia ternyata malah ‘menggoda’ saya lagi, dengan ngadain event diskon 30% all items pada Grand Opening Gramedia Bookstore di mal Central Park, kompleks Taman Anggrek. Maka, tak kuatlah benteng niat saya, sehingga hari ini, saya kembali kalap memborong beberapa buku-novel chicklit-teenlit-metropop di sana. Dan, untuk kali ini temanya adalah “Revenge for Gagas Media”. Iya, saya memang sedang sebal sama penerbit satu ini, karena jarang sekali memberikan diskon besar di pelbagai event. Bahkan di PBJ 2010 kemarin saja (sebagaimana keikutsertaan penerbit ini pada ajang pameran lainnya) kembali hanya memberi diskon 10%. Ya ampunnnn, minim banget sih. Diskon toko buku online saja 15%. Kebangetan.
Maka, pantaslah saya kali ini memilih tema ‘balas-dendam’ dengan membeli beberapa eksemplar novel terbitan Gagas Media. Hmm, pengen tau, buku apa saja yang saya beli? Berikut saya berikan daftarnya: Terbitan Gagas: 1. Orange (Windry Ramadhina) – Rp35.000 (Rp24.500) 2. Rain Affair (Clara Canceriana) – Rp34.500 (Rp24.150) 3. Kisah Langit Merah (Bubin Lantang) – Rp37.000 (Rp25.900) 4. Outrageous (Momoe Rizal) – Rp37.000 (Rp25.900) 5. Orang Ketiga (Yuditha Hardini) – Rp30.000 (Rp21.000) 6. Dongeng Semusim (Sefryana Khairil) – Rp35.500 (Rp24.850) 7. Rindu (Sefryana Khairil) – Rp35.000 (Rp24.500) 8. Mendamba (Aditia Yudio) – Rp34.000 (Rp23.800) 9. Mendua (Indah Hanaco) – Rp38.500 (Rp26.950)
Terbitan Gramedia: 1. Galau Remaja di SMA (Mira W) – Rp31.000 (Rp21.700) 2. Dari Jendela SMP (Mira W) – Rp38.500 (Rp26.950) 3. Suami Pilihan Suamiku (Mira W) – Rp32.000 (22.400) 4. Cewek Matre (Alberthiene Endah) – Rp55.000 (Rp38.500) ----BELI ULANG! Yang pertama beli sudah lepas jilidannya, duhhh, sayang bangets! 5. Best Man (Matt Dunn) – Rp50.000 (Rp35.000) 6. Fortunata (Ria N. Badaria) – Rp29.000 (Rp20.300)
Yah, itulah daftar belanjaan saya hari ini (plus ada bberapa eksemplar titipan teman)…ugh, sampai bikin pegel pundak pas mencangklong tas belanjaan tadi. Semoga semuanya bisa saya baca, amiiinnn….dan semoga pula cerita buku-novelnya bagus-bagus….amiiinn..
Nah, bagi yang mau ngeborong juga, tenang, Gramedia sale ini masih berlangsung satu minggu ke depan kok. Yah, siapkan stamina saja buat mengantrenya…pasti panjangggggg dan lamaaaaaa…..:)
Natasya Petra Rahadian melarikan rasa frustasinya setelah putus cinta dari Edward Dwiansyah dengan meng-apply lowongan pekerjaan sebagai stewardess sebuah maskapai penerbangan internasional yang berbasis di Amerika Serikat. Ia berharap diterima sehingga dapat segera menyingkir dari segala kenangan tentang Edward untuk sementara waktu, kalau perlu selamanya. Tak dinyana, Natasya lolos seleksi hingga dikirim ke Colorado untuk mengikuti training calon pramugari sebelum secara resmi dikontrak oleh maskapai tersebut. Dan, dimulailah babak baru episode kehidupannya.
Natasya mulai ada rasa pada trainernya yang ternyata adalah seorang pilot, meski kemudian dia kembali harus tertusuk realita bahwa cowok itu berselingkuh dengan teman baiknya sesama pramugari. Pada saat itulah, Natasya dipertemukan oleh takdir dengan seorang penumpang pesawat menyebalkan yang berusaha menarik perhatiannya. Aura permusuhan yang muncrat pada awalnya, perlahan menjadi semacam candu yang membakar gairah asmara Natasya hingga ia tak lagi mampu membohongi diri sendiri bahwa ia terjatuh dalam kubangan pesona si penumpang bengal tersebut. Apakah kali ini kisah cinta Natasya akan berakhir dengan happy ending? Belum lagi ketika laki-laki lain dari masa lalunya tiba-tiba menyeruak ke dalam hidupnya, bagaimana ia menghadapinya? Lalu, apa yang dimaksud dengan lukisan keempat itu? Temukan jawaban-jawabannya dengan membaca novel pertama dari lini Amore yang digagas Gramedia ini.
Kecewa dengan keseluruhan elemen cerita dalam novel Amore 02 membuat saya sempat mengucap ‘sumpah’ untuk tak lagi menyentuh novel lain dari lini Amore ini. Namun, ternyata saya malah tak tahan untuk ikut-ikutan teman yang sudah membaca novel Amore 01 dan berkomentar bahwa it was better than Amore 02. Saya menjadi tertarik dan kebetulan ada teman yang baru membelinya dan mengizinkan saya “memerawaninya” terlebih dahulu. Terima kasih buat mas Tomo.
Hasilnya? Saya setuju dengan komentar teman tersebut bahwa novel ini lebih ngalir ketimbang novel Amore 02. Meskipun masih sama-sama dalam dunia khayal kesempurnaan para tokohnya, namun Lukisan Keempat ini menyajikan cerita yang lebih natural dan smooth. Metamorfosis karakter rekaan sang penulis dapat terekam dengan baik dan cukup hidup dalam belitan konflik yang diciptakannya. Walaupun, lagi-lagi, semua berjalan dengan sangat sederhana. Dan, tidak terlalu istimewa. Seharusnya, terlebih dahulu saya mengosongkan pikiran dari segala pengetahuan yang pernah terekam dalam memori otak sebelum mulai membaca sebuah buku untuk menghindari keinginan hati mengaitkan cerita dalam buku yang saya baca dengan cerita lain yang pernah saya baca, dengar, atau lihat sebelumnya. Sayang, saya tak terpikir melakukannya ketika mulai membaca novel ini, sehingga kelebatan adegan demi adegan film View From The Top-nya Gwyneth Paltrow tak mampu saya bendung dan menyerbu benak saya. Tapi, untunglah, kesamaan novel ini dengan film itu sepertinya hanya terletak pada latar belakang kehidupan pramugari dan situasi training di awalnya saja. Selebihnya, seingat saya, berbeda sekali. Ahh, jadi pengen nonton film itu lagi…
Novel ini memang tidak menawarkan sebuah cerita yang rumit dan penulis juga nampaknya tidak berkeinginan untuk membuatnya rumit. Tak ada konflik bombastis dan hanya berkutat pada nasib percintaan tokoh utama sebelum dipertemukan dengan ‘jodoh’ yang telah dipersiapkan oleh si penulis. Yeah, ‘lil bit boring memang karena segalanya menjadi tampak begitu mudah. Pengaturan tokoh yang bermusuhan-dahulu-berkencan-kemudian terjadi begitu gampang tanpa banyak halangan. Namun, cara mengemas penulis patut diacungi jempol, sehingga pembaca (saya, maksudnya) bisa ikut larut dalam setiap adegan yang dimainkan oleh para tokohnya.
Pada satu sisi saya menyukai bagaimana sosok Craig ditampilkan sedikit tersamar, misterius. Namun, pada sisi yang lain juga ingin menuntut jawaban atas pertanyaan bagaimana ia bisa tahu banyak hal tentang Natasya. Dan, entah apakah ada fakta yang terlewat, seingat saya, penulis memang tidak menerangkan posisi Craig secara jelas, pekerjaan, keseharian, dan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga memungkinkannya untuk memperoleh informasi-informasi penting soal Natasya itu. Bukan masalah sih dibiarkan misterius, tapi tetap saja diperlukan jawaban pasti atas pertanyaan mendasar itu. Di buku selanjutnya, maybe?
As usual, berikut laporan kejanggalan yang saya temukan di novel ini:
(hlm. 22) …ucap si pris bule………, pris = pria
(hlm. 16, 23, 114, 194, 195)…..hmm, meskipun dalam KBBI terdapat kata ‘kuatir’ namun juga ingin tahu artinya disarankan merujuk kata khawatir, nah, dalam novel ini alih-alih kata khawatir atau cemas, penulis lebih menggemari menggunakan kata ‘kuatir’, bagi saya kata itu lebih cocok untuk percakapan/dialog, sedang untuk deskripsi/narasi lebih enak jika memakai ‘khawatir’. Namun, sempat pula agak keselip ingin menggunakan kata khawatir (hlm. 26) tapi justru menjadi typo….mengkhatirkan = mengkhawatirkan?
(hlm. 83) unbeliaveble = unbelievable
(hlm. 108) adakah istilah force major untuk kondisi darurat/mendesak……..kalau setahu saya sih force majeur(e)
(hlm. 114) ….Craig ada didekatnya……., didekatnya seharusnya dipisah = di dekatnya
(hlm. 123) “What?” Tasia tercengang menatap Craig……, ehmm, seharusnya demi konsistensi, untuk selain dialog penulisan nama tokohnya yang lengkap, Natasya, apalagi diceritakan bahwa panggilan “Tasia” hanya dilakukan oleh dua orang tokoh tertentu di novel ini
(hlm. 164) Semua impiannya terkabu……., terkabu = terkabul
(hlm. 170) “……apa akibatnya?” mama menatap anak…….., mama = Mama
(hlm. 188) kurang tanda titik pada kalimat akhir paragraf….gadis yang bisa dibawa-bawa(titik)
My thought: saya kok agak geli ya membaca frasa “memijit tombol handphone”…kalau mendengar kata itu, saya selalu terasosiasikan pada kegiatan pijat-urut. Sama juga dengan frasa “mengenakan lipstik”, hmmm….agak kurang familiar saja, bagi saya, soalnya terbiasa mendengar, “mengenakan kemeja” atau “mengenakan sepatu”
Dalam ukuran selera saya sih, typo tersebut masih dalam batas wajar dan tidak begitu mengganggu dalam proses melumat cerita novel ini. Namun, tetap saja, hal tersebut menunjukkan masih terdapatnya titik lemah pada sektor penjaminan kualitas cetakan yang perlu dibenahi. Kenapa sih guwe secerewet ini? Pertama, saya ingin seluruh elemen yang terlibat dalam penerbitan sebuah buku sadar bahwa kualitas cetakan juga penting sehingga sangat perlu untuk menghindari beragam ‘cacat’. Kedua, sudah ada yang namanya editor jadi harusnya kesalahan seperti ini dapat terminimalisir, kalaupun ada yang menyebutkan bahwa bisa saja terdapat faktor-faktor khusus pada proses konversi file ke dalam aplikasi lain untuk dicetak, masak iya nggak ada quality check lagi pada tahap itu? Ketiga, pada kenyataannya ada lho buku yang ‘nyaris’ tidak ada ‘cacat’ teknis cetaknya, jadi kenapa buku yang lain tak bisa begitu.
Oops, kok malah melantur ke mana-mana. Kembali ke…..buku ini. Pada akhirnya, saya memang menyukai novel Lukisan Keempat ini. Bagaimana alur dibiarkan mengalir alami dan latar belakang pramugari yang meskipun tidak diuraikan secara mendetail tapi cukup untuk dapat menghilangkan kesan bahwa profesi itu ‘hanya’ tempelan belaka, membuat saya nyaman menuntaskan novel tipis yang baru saya sadari font-nya agak lebih eye-friendly ketimbang novel Amore 02, sehingga tidak melelahkan mata. Ending berasa mengundang sekuel meskipun ternyata kata penulisnya, ia belum memiliki gambaran akan meneruskan cerita ini atau tidak. Bagi saya, I love to wait for the next story of Natasya.
Sebagai pramugari maskapai penerbangan internasional Corissa Airlines, tidak seorang pun mengira Natasya Petra Rahadian memiliki tiga fase kehidupan yang membuat gadis itu terluka karena cinta.
Dimulai dari ayahnya yang meninggalkan Natasya bersama ibu dan adiknya. Kekasih masa kuliah yang menduakannya dengan sahabat karibnya sendiri. Dan terakhir, pilot yang dekat dengan dirinya ketika menjalani pelatihan berselingkuh dengan teman sekamarnya.
Natasya bersumpah takkan jatuh cinta lagi. Sampai ia bertemu Craig Hayden, penumpang Corissa Airlines yang menyebalkan. Sementara Craig sudah tertarik pada Natasya yang begitu menawan hati saat kali pertama ia memandangnya.
Entah bagaimana Craig tahu, Nat memendam luka dalam hidupnya. Ia bertekad akan menyingkap kabut tersebut, memberi Natasya siraman kasih sayang, dan mengembalikan kepercayaannya kepada cinta.
Mampukah Craig membuktikan bahwa ia layak masuk dalam kehidupan Natasya? Bisakah Craig mewujudkan tekadnya untuk menjadi bagian dari lukisan hidup Natasya yang keempat, sekaligus yang terakhir?
Judul: Memory and Destiny Penulis: Yunisa KD Editor: Hetih Rusli Co-editor: Raya Fitrah Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Lini: Amore Tebal: 264 hlm Harga: Rp30.000 Rilis: April 2010 ISBN: 978-979-22-5658
Maroon Winata kecil tidak menyadari bahwa sesosok lelaki dewasa bernama Donald Basuki yang selalu menemaninya belajar dan bermain adalah bukan seutuhnya manusia. Maroon seolah tak peduli dan hanya menikmati kehangatan hubungan yang terjalin diantara dirinya dan Donald, karena Donald selalu berhasil membuatnya nyaman sebagai sahabat yang membantu melewati masa-masa sulit sejak kepindahannya dari London ke Jakarta. Namun perjumpaan itu pada akhirnya harus berujung pada sebuah perpisahan ketika Donald menghilang dari kehidupan Maroon.
Waktu terus berganti, cerita kehidupan Maroon pun bergulir meninggalkan jejak-jejak yang penuh warna. Begitu pula pada tokoh-tokoh lain, termasuk keluarganya, teman-temannya, juga dua orang lelaki yang kelak menggoreskan tinta dengan warna berbeda pada lembaran kehidupan Maroon yang sangat penting, yaitu Donald dan David. Lalu di manakah Maroon dapat bertemu dengan destiny-nya? Apakah sepotong memory masa lalunya yang sempat hilang dapat menuntunnya ke arah yang benar? Temukan jawabannya dengan membaca novel dalam lini terbaru Gramedia, Amore, karya Yunisa KD ini.
Sejak awal, saya sudah menyampirkan asa setinggi angkasa bahwa lini baru Gramedia ini setidaknya bisa melengkapi lini metropop yang novel-novelnya saya gemari. Apalagi ketika saya menyadari editor yang menggawangi kemunculan lini ini sama dengan yang membidani kelahiran metropop. Buncah harapan itu terbit dalam bisik kalimat di hati, “kalo yang ini oke, guwe bakal ngikutin Amore seterusnya deh, gak peduli siapa penulisnya.” Nyatanya, hmm… saya agak kecewa, dan yah boleh dibilang icip-icip saya ini membawa simpulan untuk mencukupkan baca lini Amore pada novel ini saja. Saya fokus ke metropop saja lah. Seperti sejak mula. Sekilas, kemasan novel pada lini ini hampir mirip dengan harlequin. Baik dari segi ukuran (panjang-lebar) hingga cover design-nya. Sedangkan jika dibandingkan dengan metropop yang sebagian besar masih menggunakan gambar ilustrasi (bukan foto) saya lebih appreciate metropop yang menggunakan cover gambar karena lebih original (penilaian subjektif). Tapi, dibanding Lukisan Keempat (Amore 01 karya Rina Suryakusuma) saya lebih suka cover novel ini, karena saya adalah penggemar kota London (Inggris secara umum).
Membaca lembar-lembar awalnya, saya seolah diberikan harapan akan mendapat sebuah sajian romance story yang menjanjikan. Namun, antusiasme saya justru terus menurun dan secara perlahan saya menjadi agak terengah-engah membaca lembar-lembar selanjutnya. Yang paling membuat saya hilang semangat adalah potongan adegan di halaman 34 – 35. Karena adegan tersebut sangat mirip dengan film Just Like Heaven-nya Reese Witherspoon dan Mark Ruffalo. Saya mungkin tidak akan mempermasalahkannya kalau saja penulis tidak secara terang-terangan mengidolakan Reese, yang artinya seharusnya dia sudah menonton film ini. Entah ceritanya beliau terinspirasi dari film tersebut sehingga menulis novel ini atau bagaimana, yang jelas saya agak kecewa dengan kesamaan adegan ‘pengusiran-arwah’ (bahkan soal sosok Donald juga mirip dengan Elizabeth yang diperankan oleh Reese, yang keduanya adalah ‘jiwa-kelana’ dari seseorang yang sedang koma, sama-sama berprofesi sebagai dokter, serta mengalami jenis kecelakaan yang sama, astaga!). Dan, yang membuat saya semakin ilfil adalah film ini pun sudah dijiplak (entah berijin atau tidak) oleh Multivision Plus dalam bentuk sebuah film televisi yang saat ini masih bisa didapatkan keping VCD originalnya (saya beli!) dengan judul Cinta Untuk Cinta yang dibintangi oleh Masayu Anastasia dan Dimas Seto. Ya ampunn….
Okay, mungkin karena penulisnya tinggal dan menetap di luar negeri sehingga tak tahu-menahu soal FTV ini, lalu apakah editor (yang orang Indonesia) juga tidak tahu? Fine, mari di-justifikasi lagi bahwa penulis dan editor tidak tahu atau kenyataan bahwa di zaman sekarang sudah lumrah jika satu karya dengan karya yang lain bisa saja ada kesamaan, tapi… apa iya harus mirip banget begitu? Soalnya yang bikin geli, versi novel ini mirip banget sama versi FTV-nya (ada ahli agamanya, ada ahli perdukunan lokal, dan ada ahli perdukunan China). What a coincidence, hah!
Dan, ngomong-ngomong soal kebetulan, novel ini dipenuhi dengan taburan kebetulan demi kebetulan yang too much, menurut saya. Okay, judulnya memang merujuk pada destiny, tapi masak iya destiny itu begitu mudahnya dituju dengan serendipity yang sebagian kurang penjelasan. Pertama, saya ingin tahu bagaimana seorang Donald bisa berteman dengan Wiro, di mana Wiro adalah bersepupu dengan Sharon yang adalah teman Maroon. Kedua, termasuk juga kebetulan Donald satu tempat fitness bersama Romeo II (ada dua nama Romeo di novel ini) yang nantinya adalah calon suami Sharon, teman Maroon, kok bisa? Ketiga, saya ingin tahu mengapa Donald bisa bertugas sebagai dokter di Singapura dan secara kebetulan Maroon sedang mengambil spesialisasi keahlian kedokterannya di negeri Singa itu. Keempat, sedang ngapain kah Donald ke Westminster Abbey pada Kamis 18 Juni 2009 ketika Maroon juga secara kebetulan pergi ke situ. Saya perlu logic-nya.
Amnesia lagi – amnesia lagi. Rasanya sudah semakin membosankan tema hilang-ingatan-sementara ini diangkat menjadi latar sebuah kisah percintaan karena ujungnya pasti ketebak, begitu ingatannya kembali, si tokoh akan kembali ke pelukan love interest pertama. Dan, penulis mengambil pakem itu juga. Yang agak aneh adalah begitu ingatannya kembali, Maroon blingsatan mencari kesana-kemari sosok Donald di Singapura. Lah, kan di handphone Maroon ada nomor kontak Donald (seingat saya tidak diceritakan Donald mengganti nomor kontaknya dan meskipun di halaman 203 disebutkan Maroon tak yakin itu nomor kontak Donald, setidaknya ia bisa mencobanya, ataukah karena amnesia maka seluruh kejadian di saat amnesia akan terlupa ketika ingatan sudah kembali? Dunno).
Sudah hilang selera akibat adegan per adegannya, kepenatan saya ditambah dengan banyaknya typo dan kejanggalan kata/kalimat yang bertaburan di sana-sini. Sebut saya aneh (atau bahkan gila/miring/sedeng) bahwa saya kurang kerjaan banget memelototi kesalahan teknis sebuah buku. Namun, apa mau dikata jika kesalahan-kesalahan teknis tersebut memengaruhi kenyamanan saya dalam membaca. Maklum, otak saya tidak lagi prima (sudah dari dulunya sih) sehingga sedikit kesalahan teknis-cetak membuat proses membaca saya menjadi ter-pause dan otak bekerja keras menafsir sendiri apa maksud dari kata/kalimat tersebut. Berikut beberapa kejanggalan yang saya temukan:
(hlm: 15 dan 63) kata di panggil harusnya digabung menjadi dipanggil (merujuk kata kerja)
(hlm: 16) meski dia sudah pernah mendengar….., dan dia masih ingin… ini hanya soal enak diucap-didengarkan versi saya sih, sebaiknya kata meski diikuti kata sambung tapi/namun, bukan dan….meski dia sudah pernah mendengar….., tetapi/namun dia masih ingin…
(hlm: 18, 64, 137) ha-rus, pergela-ngan, ada-lah, sebaiknya tanda (-) dibuang saja karena kata tersebut muat dalam satu kalimat (sebatas marjin halaman).
(hlm: 20) …menunjuk ke arah pedagang asongan [yang:] menawarkan… (hlm: 117) …aku tidak bisa mengingat siapa laki-laki [yang:] duduk itu,….lebih enak dikasih tambahan kata ‘yang’
(hlm: 21) memertahankan, (hlm: 89) memedulikan, (hlm: 171) memerkenalkan, (hlm: 192) memerlakukan, (hlm: ?) memerlancar…terkhusus hal ini saya sendiri belum mencari aturan bakunya, namun secara lidah penulisan itu kurang begitu enak diucapkan.
(hlm: 27) aku sempat cita-cita menjadi penyanyi opera…lebih enak jika kata cita-cita diubah menjadi bercita-cita.
(hlm: 28) menyamangati = menyemangati
(hlm: 36) …masker oksigen di pasangkan…kata dipasangkan terpisah batas marjin, sebaiknya demi konsistensi diberi tanda (-) menjadi di-pasangkan.
(hlm: 37) Lalu kau bisa menghajar anak-anak yang mengolok-olokmu…saya merasa terlalu kasar nasihat yang diberikan Donald pada Maroon yang baru 10 tahun ini (kata “menghajar”).
(hlm: 48) semua bully di kelasku menjadi tidak berkutik…bukankah seharusnya yang tidak berkutik itu ‘pelaku’ bully, bukan bully-nya.
(hlm: 62) mengantung = menggantung
(hlm: 68) …aku sudah memimpikannya keberadaannya……fungsi –nya pada kata memimpikannya untuk apa ya? Menurut saya mending dibuang saja.
(hlm: 73-74) entahlah, saya masih tidak bisa menerima seorang profesor salah memberikan resep.
(hlm: 77) padahal dia baru beberapa tahun yang lalu, ia melewati masa…….saya agak kurang sreg dengan kalimat ini, redundansi pada kata ganti (dia, ia), lebih baik dibuang salah satunya.
(hlm: 82) saya agak muak dengan proses pengenalan tokoh David di sini karena kemudian terdapat jeda yang agak lama sebelum tokoh ini ‘tampil’ lagi, maaf.
(hlm: 89) …pria muda ini mengajak orang-nya bersulang….orang-nya = orangtuanya?
(hlm: 92) …mendampingin = mendampingi (ataukah sengaja dipakai sebagai bahasa gaul dengan tambahan huruf n, kalau mau gaul sekalian ditulis “ngedampingin”)
(hlm: 94) kuturunkan cursor, kembali kembali ke…….duplikasi kata ‘kembali’
(hlm: 94) tidak hapis bikir…..hapis = habis
(hlm: 95) tidak ada yang menyeram di jogging…….menyeram = menyeram[kan:]
(hlm: 131) penasar-an, (hlm: 179) tatan-an….. yang ini saya belum mencari kebenaran cara pemenggalan kata tersebut.
(hlm: 137-138) mati aku, ini cewek ini kayaknya…..duplikasi kata ‘ini’, sebaiknya buang salah satu
(hlm: 165) ada alasan untuk mengantarnya Maroon untuk pulang…..’nya’ itu merujuk ke Maroon, jadi sebaiknya pilih salah satu saja, menggunakan ‘nya’ atau Maroon.
(hlm: 177 dan satu hlm lagi saya lupa) nama Maroon terketik Maron, kurang satu 'o'.
(hlm: 214) …entah karena…..dengan sepenuh hati atau makin benturan kepala……saya merasa ada kata yang ‘nyelip’ di antara kata makin dan benturan.
(hlm: 228) rencanaku pertama sebenarnya memang menyusul Donald di negeri Singa….bagaimana kalau saya usul begini: rencana pertamaku sebenarnya memang untuk menyusul Donald ke negeri Singa.
(hlm: 236) …mirip orang gadis Harajuku yang…….saya kok merasa kata orang dan gadis redundansi ya? Sebaiknya kata orang-nya dibuang, langsung disebut gadis Harajuku saja.
(hlm: 237) …setengah menelanjangi isi hatiku, sambil melepaskannya pelukan beruang Teddy ala…….aku kok merasa kurang pas dengan kata melepaskannya pelukan.
(hlm: 239) pria yang baru akan kukenal…..kukenal = kukenal[kan:]
(hlm: 247) …lagu Sunday Morning milik Maroon 5 yang selalu diputar Donald di setiap Minggu pagi saat kami bertemu untuk brunch selama beberapa ini……saya merasa ada informasi yang hilang, harusnya setelah kata beberapa ditambahkan keterangan waktu.
(hlm: 251) …ketika kamar pintu diketuk….rasanya terbalik, lebih enak ‘pintu kamar diketuk’.
Tambahan: cetak miring/tidak pada beberapa tempat juga masih inkonsisten, termasuk untuk menggambarkan suasana hati (bukan dialog) kadang menggunakan tanda petik, kadang dimiringkan.
Itulah beberapa kejanggalan yang saya temukan ketika merampungkan-baca novel bercover dominasi langit biru ini. Untuk deskripsi saya juga agak terganggu dengan pengulangan-pengulangan informasi tokoh atau keadaan. Misalnya, di awal sudah dideskripsikan bahwa Donald itu tampan bla-bla-bla, dan saya yakin pembaca sudah mampu menangkap pesannya, namun informasi ini diulang lagi-ulang lagi untuk menggambarkan sosok Donald. Begitu juga dengan tokoh David yang dimirip-miripkan Ricky Martin. Behhhh, saya sampai mual membaca nama Ricky Martin yang banyak itu, saya sampai berniat nyeletuk, “iya-iya udah tau, kan dah lo bilang tadi, capek dehhh…” Termasuk juga informasi soal Wiro yang homo. Beberapa kali jika tokoh ini muncul, si pembicara selalu menambahi, “sepupu Sharon yang homo.” Saya pikir sekali-dua kali saja pembaca sudah bisa menangkap deskripsi tokoh tersebut, tidak perlu diulang-ulang-ulang-ulang-ulang-ulang.
Intermezo: novel ini harusnya bersifat futuristik (setting hingga tahun 2015, berarti 2012 nggak jadi kiamat) sehingga seharusnya penulis berkreasi dengan menciptakan nuansa-nuansa masa depan. Sayang sekali, saya justru tidak merasakannya. Misal istilah lebay yang sekarang sedang nge-trend ternyata oleh penulis masih dianggap sebuah trend di tahun 2015. Gosip-gosip artis juga jadul sekali, misal soal perceraian Britney Spears – Kevin Federline atau tentang salah satu lagunya Jessica Simpson. Saya berharap penulis berinovasi dengan menghadirkan suasana future yang mampu menggeliatkan fantasi pembacanya.
Soal lain, saya berharap penulis konsisten untuk menghadirkan tokoh Olivia (adik Maroon), yang kadang disebutkan sebagai Olive. Hal itu tidak menjadi masalah kalau nama Olivia dan Olive dibedakan pemakaiannya, misalnya dipanggil Olive jika terjadi dialog atau ketika salah satu tokoh bercerita dari PoV mereka (sebagai panggilan sayang) dan disebut Olivia dalam narasi/deskripsi.
Hmm, kritik terakhir. Dan, lagi-lagi berdasar selera saya (subjektif banget). Konsistenlah, wahai sang penulis. Jikalau tidak bisa fokus, mending gunakan satu PoV saja dalam penceritaannya, tidak perlu berganti-ganti PoV. Saya jadi merasa bahwa penulis benar-benar tuhan di novel ini. Penulis mencoba menjadi dalang otoriter yang mengendalikan semua tokohnya sehingga tidak menyisakan ruang imajinasi bagi pembacanya.
Akhirnya, saya hanya dapat menyimpulkan bahwa novel ini adalah sekadar kisah cinta segitiga biasa yang seperempat bagian awalnya mirip jalan cerita sebuah film. Konflik hanya berputar di situ-situ saja dengan senjata andalan: amnesia. Namun, tentu saja, keseluruhan cuap-cuap ini hanyalah sekadar penilaian subjektif saya yang kebetulan kurang dapat feel dari novel setebal 250-an halaman ini. Maka, bagi yang ingin mengerti maksud judul Memory and Destiny, silakan baca novel yang ditulis oleh Yunisa KD, salah satu dari Top 5 Finalis Pantene Shine Award 2006 di Singapura, ini.
Memory and Destiny. Kisah cinta dua dunia. Apakah teman khayalan itu benar-benar ada? Ataukah itu malaikat pelindung anak kecil?
Maroon Winata, calon dokter, yakin bahwa Donald-nya benar-benar ada. Sejak pertemuan pertama di Westminster Abbey, pada hari terakhir Maroon kecil di kota London, sampai Maroon di Jakarta dan berjuang menyesuaikan diri dari lidah bule ke bahasa ibunya, Donald adalah teman bermain dan belajar.
Maroon dan Donald dewasa bertemu, namun mereka belum menemukan tali penghubung memory masa lalu mereka. Nasib mempermainkan mereka. Lalu muncullah David yang tampan dan kaya. Lelaki itu percaya destiny telah mempertemukannya dengan Maroon. Memory dan destiny dalam hidup Maroon pada akhirnya menunjukkan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.
Seluruh postingan dalam blog ini merupakan milik @fiksimetropop kecuali disebutkan lain. Pemuatan ulang sebuah artikel dari sumber lain akan disertakan keterangan atau tautan sumber aslinya. Dilarang memuat ulang sebagian atau seluruh artikel tanpa izin.
Resensi atas buku yang diulas di blog ini merupakan pendapat murni dan subjektif yang akan selalu disertakan alasan. Resensi tidak dapat dipengaruhi oleh faktor apa pun.