Monday, December 17, 2012

[Resensi Novel Romance] Kiss the Sky by Liz Lavender dan Raziel Raddian

Sampaikan rinduku pada langit...



Judul: Kiss the Sky
Pengarang: Liz Lavender & Raziel Raddian
Penyunting: Evi Mulyani & Delia Angela
Desain sampul: Dadan Erlangga
Penerbit: Elf Books
Tebal: 202 hlm
Harga: Rp38.500
Rilis: November 2012
ISBN: 9786021933534

Emma dan Hayden bertetangga dan bersahabat sejak kecil. Maka, benih cinta pun bermekaran di kebun hati masing-masing. Namun, takdir mengisahkan cerita yang lain. Hayden yang mencoba merengkuh cita-citanya menjadi seorang penerbang pesawat tempur harus menempuh akademi militer selama empat tahun, terpisah dari Emma yang tinggal dan bekerja di New York. Keduanya mencoba menjaga keutuhan cinta yang terpisah jarak, tapi jarak dan keadaan lah yang kemudian menumbuhkan benih keraguan di hati masing-masing.

Seteguh apa pun tekad dan setegar apa pun perasaan, gelombang cobaan demi cobaan yang menghantam biduk cinta mereka akhirnya menggoyahkan semuanya. Kelopak bunga asmara itu luruh satu demi satu. Mengguratkan luka pada sanubari terdalam. Mereka berjanji kepada langit. Hayden menjanjikan akan mengajak Emma terbang berdua. Di langit mereka. Masihkah janji itu merekatkan pondasi cinta mereka? Bagaimana dengan bangunan lain di sekitar mereka? Haruskah mereka tak mengacuhkannya?

Simak perjuangan Hayden dan Emma untuk menyatukan janji mereka untuk terbang di langit yang sama dalam novel duet karya Liz Lavender dan Raziel Raddian bertajuk Kiss the Sky ini.




Ketika membeli novel ini bersama beberapa novel terbitan Elf Books yang lain, saya menduga novel ini pun tak jauh dari negeri ginseng, Korea, nyatanya saya salah sangka. Korea hanya disebut sekali ketika terdapat adegan sarapan di sebuah restoran Korea. Selebihnya, novel ini bernuansa novel impor Amerika. Bahkan, seperti novel terjemahan. Tak hanya setting lokasi, karakternya pun asli mancanegara. Tak setitik pun unsur Indonesia ada di dalam novel ini. No problem sih..., meskipun saya tetap mengharapkan bahwa novel tulisan orang Indonesia harus tetap mengalirkan denyut lokalitas di dalamnya, meskipun lokasi ada di Kutub Utara sana, misalnya. Haha, just my subjectivity.

Kisahnya sungguh romantis. Kekasih tentara, bertempur di medan laga, sang pujaan hati setia menanti. Lalu kesepian, masuklah laki-laki sipil yang menggoda iman. Selintas pikir, saya mengasosiasikan novel ini dengan Dear John-nya Nicholas Sparks atau serial drama Army Wive’s meskipun dua-duanya saya sama sekali belum baca dan menontonnya. Jadi, tidak tahu, apakah benar ada kemiripan di sini. Saya hanya menduga. Maklum, kisah tentara-perempuan biasa ini rasa-rasanya menjadi kisah yang sudah sering diulas di Amerika sana, menurut saya. Hal tersebut, lagi-lagi membuat saya sedikit meragukan keaslian kisah cinta Emma-Hayden ini. Tapi, untunglah, saya belum membaca satu pun karya tulis berkisah hal itu sehingga saya membaca novel ini dengan lancar dan tanpa terganggu kilasan gambaran kisah yang lain.



Plotnya rapi. Jalan cerita juga mengalun sempurna. Saya bahkan sulit mengenali mana bagian yang ditulis oleh Liz dan mana bagian yang ditulis oleh Raziel. Itu bagus. Separuhnya karena belum mengenal gaya menulis keduanya dan baru novel inilah karya mereka yang saya baca, separuhnya lagi karena memang begitulah adanya novel ini. Sangat mudah dibaca dan dicerna. Meski tanda waktu sering melombat-lompat tak keruan, alur majunya membuat membaca novel ini menjadi nikmat. Haha, saya bukan pencinta alur mundur, soalnya.

Selain drama romantis nan mengharukan, novel ini juga mencoba memasukkan unsur laga melalui drama perang-udara, intrik politik, dan bisnis kotor. Namun sayang, menurut saya agak nanggung dan kurang kuat. Semacam tempelan biar kesannya novel ini kompleks. Saya masih butuh diyakinkan bagaimana gembong narkoba yang sedemikian kesohor bisa roboh oleh tiga orang biasa saja. Saya pun masih butuh diyakinkan bagaimana seorang calon senator tak memiliki tim kampanye yang solid. Maklum, saya penyuka serial Brothers and Sisters yang mana dalam satu penggal kisahnya ada yang bercerita soal itu, dan di serial itu saya benar-benar terkesima melihat perjuangan mencapai kursi senator. Di novel ini, hmmm, sedikit pun saya tak merasakan gegap gempitanya seseorang yang mencalonkan diri sebagai seorang senator.

Atau, lagi-lagi, kisah itu sekadar tempelan, karena toh yang ditonjolkan dalam novel ini adalah liku-liku asmara Emma-Hayden? Nah, kalau itu alasannya ya lain soal berarti. Tempelan ya tempelan, memang mudah lepas dan tak meninggalkan kesan. Weits, itu hanya menurut saya ya.

Terkhusus, saya suka gaya penulisan keduanya. Banyak kata-kata bagus yang bertebaran hampir di seluruh halaman. Ending-nya juga bikin surprise meski sudah bisa ditebak. Yang sedikit saya sesalkan juga adalah mudahnya semua penyelesaian bagi permasalahan Emma-Hayden. Tapi, lagi-lagi saya ragu, jangan-jangan saya nih yang belum percaya pada pepatah ini, “Kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?” Yah, well, sesuatu yang begitu dramatis seharusnya mendapatkan kejutan-kejutan yang lebih dramatis lagi, bukan hal-hal yang so predictable begitu.

Oiya, ini contoh kalimat yang saya suka. Sudah pernah saya tweet juga sih.

“Suatu saat aku akan mengajakmu terbang bersamaku, Em.”
“Hanya berdua?”
“Iya. Berdua. Ke langit kita.”
(hlm. 31)



Atau yang ini:

Hayden... masihkah kau tiupkan ciuman-ciumanmu di ranting-ranting udara saat kau terbang? Agar aku bisa memetiknya, ketika langit yang kau lalui kini berada di atasku.
(hlm. 161)
Hmm, namun demikian, typo masih bertebaran di beberapa bagian novel ini. bahkan, menuju bagian akhir, makin sering typo-nya, entah yang meriksa sudah tak sabar menunggu ending-nya atau geregetan karena bosan, sehingga tak lagi awas? Entahlah. Berikut beberapa di antaranya:
(hlm. 40) mempercayai = memercayai = kata ini digunakan secara tidak konsisten.
(hlm. 43) penasehat = penasihat
(hlm. 46) orangtua = orang tua = kata ini digunakan secara tidak konsisten.
(hlm. 80) disaat = di saat (dipisah).
(hlm. 82) resiko = risiko
(hlm. 93) disampingnya = di sampingnya (dipisah).
(hlm. 102, 126) apapun = apa pun (hlm. 124) = kata ini digunakan secara tidak konsisten.
(hlm. 106) becanda = bercanda.
(hlm. 123) disitu = di situ (dipisah).
(hlm. 129) disini = di sini (dipisah).
(hlm. 139) di masukkan = dimasukkan (digabung).
(hlm. 164) anggota keluarga keluarga Fontana = duplikasi kata ‘keluarga’
(hlm. 183) cafetaria = cafeteria.
Selain itu, ada juga adegan yang agak mengganggu yaitu ketika flashback masa kecil Hayden dan kakaknya Frederick. Tak ada tokoh masa kini yang meminta suguhan rekaman itu, tiba-tiba saja adegan itu ditampilkan, sepertinya sih untuk mendukung gagasan mengapa hubungan kakak-beradik itu bisa sampai seperti sekarang ini. Namun, saya butuh sebab mengapa gambaran itu ditayangkan. Tidak sekonyong-konyong ditampilkan terus selesai begitu saja. Sudah begitu ada adegan seorang ibu yang memarahi anaknya dengan menggunakan kata “fitnah”. Hmm, menurut saya sih kata itu tidak cocok untuk anak-anak. Kata “menuduh” cenderung lebih gampang.

Baiklah, dengan dua sisi tersebut, baik dan kurang, saya tetap memberikan tiga bintang untuk novel ini. Pada suatu ketika saya benar-benar dibawa hanyut kisahnya, meski kemudian saya sadar airnya hanya selutut sehingga saya sampai tak larut.

Good job, guys!

Selamat membaca, kawan.

3 comments: