Drama kehidupan seorang wartawati muda...
Menjadi putri seorang Seruni Said bukanlah hal yang mudah untuk dijalani oleh Dovima Said. Seruni, wartawati senior yang dikenal dingin, gemar mengkritik, dan gila kerja, tak pernah menjadi ibu bagi sang putri. Meninggalkan New York menuju Jakarta ditempuh Vima untuk melarikan diri dari bayang-bayang Seruni.
Menjalani hari-harinya sebagai calon reporter pada media nasional terkemuka, perlahan Vima mendapatijawaban atas pertanyaan-pertanyaannya di masa lalu. Rahasia demi rahasia yang semula ditutup rapat oleh Seruni pun satu demi satu terkuak. Mencoba kembali lari dari fakta-fakta yang memurukkan, Vima takjuga menemukan jalannya. Dengan kenyataan menyesakkan yang menggempurnya dari berbagai arah, hanya satu hal yang Dovima Said dapat perbuat. Bertahan.
Judul: Dramaturgi Dovima
Pengarang: Faris Rachman-Hussain
Penyunting: Irna Permanasari
Pewajah Sampul: Staven Andersen
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 232 hlm
Harga: Rp40.000
Rilis: Juni 2013 (cet ke-1)
ISBN: 978-979-22-9528-3
Betapa gembiranya saya ketika melihat novel ini ‘terpampang’
di antara buku-buku new arrival
beragam genre di toko buku. Saya sakau berat karena beberapa waktu terakhir ini
tak ada novel metropop yang terbit. Awalnya tak menyangka bahwa novel ini
adalah metropop, secara sekarang website www.gramediapustakautama.com
seperti tak peduli untuk memutakhirkan database-nya sehingga terkadang
buku-buku terbitannya justru sudah beredar terlebih dahulu tapi malah tidak ada
datanya di website. Sulit untuk mencuri informasi buku-buku baru yang segera
terbit jika tidak menyimak bocoran langsung dari penulis, editor, atau
pihak-pihak lain yang berhubungan langsung dengan buku itu. Maka, tak heran,
jika saya memang selalu menyempatkan diri keluyuran ke beberapa toko buku
sekadar untuk update info buku baru
saja. Dan, Dramaturgi Dovima ini
salah satu dari hasil window shopping
itu.
Baiklah, kembali ke novel ini. Setahu saya ini merupakan novel
perdana seorang Faris di lini metropop. Membaca lembar-lembar awal novel ini,
saya sempat berencana menyematkan label ‘nyastra’ pada novel metropop ini
sangking seriusnya kalimat yang dirangkai serta diksinya yang bagus. Belum lagi,
konflik dan alur yang dipilih juga berkesan terlalu berat (buat saya,
khususnya). Sebagai seorang yang (mengaku) menggemari metropop, satu-dua kali
saya memang terkadang menemui novel-novel dengan tampilan seperti ini. Dan,
menurut analisis dangkal saya, biasanya novel yang ‘agak berat’ begini sulit menjadi
populer di kalangan pencinta metropop.
Sebagaimana pernah saya sampaikan di banyak kesempatan,
saya memang menjatuhkan pilihan untuk menyukai novel-novel metropop itu bertujuan
untuk mencari hiburan/kesenangan sebagai pelepas lelah dari aktivitas harian. Berfoya-foya
dalam keceriaan, meskipun tetap berharap ada sesuatu yang bisa diambil
pelajaran dari kesenangan yang menjadi ciri khas novel-novel romansa kontemporer.
Tapi, pada dasarnya, saya menyukai sesuatu yang dibawakan secara ringan (kalau
bisa sekaligus ‘kaya’ isi).
Dramaturgi Dovima tampil serius di banyak bagiannya. Saya
sempat tersenyum cerah ketika tiga tokoh utamanya, Dovima-Kafka-Madji dililitkan dalam satu konflik
cinta segitiga. Belum lagi, gaya hidup hedonis keluarga Hussainduaja (Kafka)
mengingatkan saya pada era di awal terbitnya metropop, bertabur merek-merek
barang mewah. Kehadiran unsur ini saya harapkan sedikit melonggarkan kesan
serius latar belakang pekerjaan Dovima dan kasus-kasus berat yang melingkupi perusahaan
keluarga Hussainduaja. Namun, detail-detail ringan ini ternyata hanya muncul sekilas
saja. Balutan kisah novel ini tetap berkesan serius hingga ke ujungnya.
dra·ma·tur·gi n Sas keahlian dan teknik penyusunan karya dramatik---KBBI daring
--spoiler alert--
Novel ini berkisah tentang Dovima Said, seorang calon
reporter di sebuah majalah ternama, Kala, dengan memikul beban berat nama sang
ibu, Seruni Said yang sudah kesohor sebagai kontributor surat kabar New York Times dan majalah Times. Keluarga broken home membentuk pribadinya yang keras dan cenderung sinis
serta cuek. Belum lagi ditambah kondisi Seruni yang sedang sakit dan ayah
kandungnya yang terlibat masalah, membuat kehidupan Dovima senantiasa diliputi
drama. Di tengah-tengah upayanya mengejar mimpi sebagai wartawan yang mumpuni,
masuklah Imadji Djasin dan Kafka Hussainduaja memberikan letupan-letupan asmara
yang menambah efek dramatis pada fragmen kehidupannya.
Dari sisi cerita, novel ini padat dengan isu yang
disusupkan. Melalui profesi Dovima yang adalah wartawan (dan sempat
berpindah-pindah bidang peliputan), isu politik, ekonomi, dan gaya hidup
dituangkan dalam novel ini. Novel ini juga secara gamblang mengangkat isu PNS
secara umum (kinerja dan korupsi). Ohiya, jika Lauren Weisberger yang
menciptakan karakter Miranda Priestly di novelnya The Devil Wears Prada dikait-kaitkan
dengan Anna Wintour, maka saya membayangkan majalah Kala adalah Tempo, dan Isa
Moehammad (pemred) di sini agak merujuk Goenawan Mohamad. Hahaha. Itu sih,
usilnya pemikiran saya saja. Dannn....Ya Tuhan, ending-nya gantung banget. Arrrghhh.
Dari segi karakterisasi, saya sangat menyukai hampir
keseluruhan tokoh-tokohnya. Dovima yang sinis, cuek, dan cenderung penyendiri
benar-benar tergambar dengan jelas. Kafka jelas akan menjadi sumber fantasi
baru bagi pembaca perempuan, seorang pengusaha muda yang hot and sexy. Yang masih
bias adalah Madji, antara gambaran umum seorang wartawan dan sosialita muda,
hmm...agak sulit terbayangkan sih
bagi saya. Seruni Said, Gandhi Wirasetja, dan Isa Moehammad tampil bagus dalam
peran masing-masing.
Seperti yang sudah saya sebutkan di depan, novel ini
ditulis sangat rapi dengan gaya menulis dan diksi yang sangat bagus. Jempol saya
acungkan untuk unsur-unsur ini. Tetapi, lagi-lagi saya agak terganggu dengan
posisi yang diambil oleh pengarang. Sebagian besar cerita dikisahkan dengan sudut
pandang pencerita adalah orang ketiga, di mana pengarang leluasa menyorot siapa
pun tokohnya untuk mengambil peran. Sayang, di kesempatan yang lain, pengarang
pun memutuskan untuk menggunakan sudut pandang orang pertama untuk menyelami
perasaan tokoh-tokohnya. Well, that’s
okay. Tapi, buat saya sih ini mengesankan si pengarang ‘tuhan’ banget, yang
ingin membongkar seluruh rasa dari tokoh-tokoh rekaannya. Saya kurang nikmat
membaca buku yang pengarangnya menjelmakan diri sebagai seorang tuhan (yang
mengetahui segalanya) alih-alih sebagai seorang narator yang tetap punya sisi
ketidaktahuan akan hal-hal tertentu yang dialami tokoh-tokoh itu. Membiarkan saya
menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada tokoh tersebut.
Untunglah, pergantian sudut pandang pencerita ini telah
dibedakan dengan memiringkan (italic)
tulisan untuk kata ganti orang pertama. Dan, kebanyakan sudut pandang orang
pertama ini digunakan dalam adegan si tokoh mengingat sesuatu atau melalui
mimpi. Namun, prasangka saya bahwa yang beginian pasti akan gampang terpeleset,
ternyata terbukti. Benar saja, beberapa bagian dengan sudut pandang orang
pertama ‘lupa’ dibuat italic, atau
dibuat italic tapi tidak semuanya (ni
justru makin membingungkan, terkesan labil, “miring? nggak? miring? nggak?”). Belum lagi, saya merasa ada bagian-bagian
yang dibuat italic itu justru nggak perlu dilakukan karena toh masih menjadi
bagian cerita, jadi buat apa susah-susah dimiringkan?
Ngomong-ngomong cetakan, beberapa typo yang saya temukan,
antara lain:
(hlm. 45) ...putrinya tunggalnya = salah satu –nya sebaiknya dihilangkan(hlm. 78) berlapisi = berlapis(hlm. 87) yang biasa ke-nakan = yang biasa ia kenakan(hlm. 101) mengucapkan terima kasih lagi pria pemberi = ... lagi kepada pria pemberi(hlm. 112) sloki = seloki(hlm. 119) menayakan = menanyakan(hlm. 121) pengadaaan = pengadaan(hlm. 127) pria berambut plontos = pria berkepala plontos?(hlm. 135) memb-uatku = mem-buatku (pemenggalan kata yang kurang elok)(hlm. 136) semangkok = semangkuk(hlm. 177) Dokter Alfian = Dokter Alifian(hlm. 179) setelah = setelan(hlm.214) Meyentuh = Menyentuh
Hal lain seputar teknis cetakan:
1.
pemberian tanda (-) pada pemenggalan kata yang
sebenarnya masih tersedia ruangan (margin) yang tidak diteliti kembali ketika
pengaturan lay out.
2.
penggunaan kata ganti “aku” dan “saya” yang juga
tidak konsisten (hlm. 81).
3.
pemilihan istilah “Departemen” alih-alih “Kementerian”
untuk menyebut instansi pemerintahan tersebut pada isu terkini menjadi kurang
pas.
Baiklah, secara umum saya tak ada masalah berarti ketika
membaca novel ini, di luar tampilan seriusnya dan pergantian sudut pandang
penceritaannya. Meskipun tak ada niatan untuk membaca ulang dalam waktu dekat
ini, saya dengan senang hati menjadikan novel ini sebagai koleksi.
Rating: 3 out
of 5 stars.
Aku juga kaget mas pas tau ini masuk metropop. Soalnya dari sisi judul dan cover kesannya serius. Ehehe
ReplyDeleteIya, Na...isinya pun banyakan seriusnya, jadi kurang light bacanya...padahal di tengah-tengah, romansa Dovima-Kafka sudah sempet bikin aku berharap buku ini lucu-romantis gitu, hehehe...
ReplyDeletesaya juga agak2 males kalo baca metropop yang 'berat'. tapi penasaran juga sih, apalagi sempat menyentil isu pns. :P
ReplyDeleteIya, Vaan, tapi memang sentilannya pun hanya sedikit sih...seperti laporan reportase juga, secara tokohnya kan juga wartawan...:)
ReplyDelete