Witing tresno jalaran soko kulino...
Pembaca tersayang,
Siapkan paspormu dan biarkan cerita bergulir. BANGKOK mengantar sepasang kakak dan adik pada teka-teki yang ditebar sang ibu di kota itu. Betapa perjalanan tidak hanya mempertemukan keduanya dengan hal-hal baru, tetapi juga jejak diri di masa lalu.
Di kota ini, Moemoe Rizal (penulis Jump dan Fly to The Sky) membawa Edvan dan adiknya bertemu dengan takdirnya masing-masing. Lewat kisah yang tersemat di sela-sela candi Budha Wat Mahathat, di antara perahu-perahu kayu yang mengapung di sekujur sungai Chao Phraya, juga di tengah dentuman musik serta cahaya neonyang menyala di Nana Plaza, Bangkok mengajak pembaca memaknai persaudaraan, persahabatan, dan cinta.
เที่ยวให้สนุก, tîeow hâi sà-nùk, selamat jalan,
EDITOR
Judul: Bangkok – The Journal
Pengarang: Moemoe Rizal
Editor: Ibnu Rizal
Proofreader: Christian Simamora
Penata letak: Gita Ramayudha
Desain sampul: Jeffri Fernando
Ilustrasi isi: Tyo
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 436 hlm
Harga: Rp57.000
Rilis: 2013
ISBN: 978-979-780-629-3
Bangkok menjadi destinasi ketiga yang saya tuju ketika
menaiki ‘kereta-memori’ Setiap Tempat Punya Cerita yang dicetuskan Gagas Media –
Bukune, setelah Melbourne dan Roma. Awalnya, saya menjadwalkan mengunjungi
Manhattan terlebih dahulu, namun dikarenakan begitu banyak komentar positif
pada novel ini, akhirnya saya memutuskan untuk menyetop kereta-memori dan
menerima ajakan Moemoe Rizal melancong ke Bangkok, Thailand, untuk mencari
jurnal lama milik Ibu sang tokoh utama.
Jujur saja, saya terkesan banget membaca Bangkok. Sejauh ini, Bangkok menjadi buku travel-fiction terfavorit saya. Gaya dan
ritme bercerita yang lincah. Ceplas-ceplos. Manly,
panas, sekaligus cerewet. Kaya konflik. Dan, yang paling utama, saya tidak
berasa dijejali pengalaman mengunjungi tempat-tempat wisata di Bangkok. Seluruh
kunjungan ke lokasi-lokasi populer di kota itu terjadi secara natural mengikuti
alur kisah hidup dan perjalanan romansa tokoh utamanya.
gambar dari sini: http://www.interasia.com.au |
Baiklah, saya memang sempat shock ketika baru menjejak halaman 5, f-word sudah terlontar di buku ini. Well, seketika itu saya berusaha keras mengingat-ingat buku apa ya
yang terang-terangan menyebut kata itu dan hasilnya... nihil. Saya gagal
mendapati memori saya akan buku lokal (atau terjemahan) yang dengan gamblang
menuliskan f-word tersebut. Oh, ada
sih, Twivortiare (Ika Natassa, kalau tidak salah) tapi edisi nulisbuku yang
tahu sendiri donk, itu kan self-publishing
jadi tentu saja bisa sesuka hati pengarangnya mau menulis apa, kan? Hoh, berarti
penerbit lokal sudah mulai tak peduli dengan ketabuan ‘f-word’ ini, ya?
Buat saya pribadi sih, f-word bisa lah digunakan sebagai istilah dalam percakapan
sehari-hari antarteman. Namun, hati kecil saya tetap tak rela mengumbar kata
itu dalam buku cetakan resmi yang memungkinkan akses bagi siapa pun untuk
mengambil dan membacanya, termasuk anak SD. Tapi, ya balik ke masing-masing
pribadi sih. Setiap orang seharusnya sudah diberikan pemahaman dasar akan
baik-buruknya sesuatu. Menjadi pembaca sudah pasti cerdas.
gambar dari sini: http://english.samaylive.com |
Kembali ke sisi cerita Bangkok. Novel ini seolah-olah
sesak. Banyak sekali subplot cerita yang dijejalkan untuk membangun kisah
perjalanan ‘napak-tilas’ yang dilakukan Edvan (tokoh utama) yang ditemani Charm
(tokoh utama perempuan pendamping) untuk menemukan warisan dari ibunya yang
baru saja meninggal, berupa 7 jurnal yang tersebar di seluruh pelosok Bangkok
(wew, mau nggak mau, saya terbayang horcrux di cerita Harry Potter, wkwkwk). Mulai
dari kisah dramatis Edvin yang bertansformasi menjadi Edvina dan mewakili
Indonesia dalam kontes Miss International Queen di Pattaya. Lalu disambung
dengan kisah hidup Max, adik lelaki Charm yang cinta mati pada seni bela diri
sekaligus olah raga muay thai yang
memiliki sifat membingungkan (straight or
gay?). Sampai dengan kiash-kisah dari orang-orang Bangkok yang dititipi
jurnal oleh sang ibu. Novel ini menjadi padat dengan banyaknya subplot itu,
ditambah lagi dengan berbagai informasi objek wisata di sekitaran Bangkok yang untungnya
dituliskan dengan menarik. Senang rasanya tidak dihinggapi kebosanan ketika
membaca lembar demi lembar novel ini.
gambar dari sini: http://uhmcwellness.wordpress.com |
Sepertinya sudah menjadi rahasia umum ya, kalau latar
tempatnya Bangkok pasti unsur sex-nya
begitu kental. Tak hanya tentang hubungan intim secara harfiah, tapi juga
orientasi seksualnya (tak perlu khawatir, di sini tak ada adegan intim yang
diceritakan secara eksplisit kok). Maka, selama perjalanan melacak jejak
keberadaan jurnal-jurnal peninggalan ibu Edvan, kita juga disuguhi drama
kehidupan orang-orang Thailand. Tak jarang, drama itu menyentil rasa terdalam
yang ada di jiwa. Bagus.
Namun demikian, saya agak kecewa dengan ending-nya. Hmm, harus ya dibuat seperti
itu? Agak klise dan ‘terlalu-mudah’ untuk menghentikan perjalanan nyaris
mustahil dalam mengumpulkan jurnal dari tahun 1980-an itu. Saya malah
berandai-andai, bagaimana jika alasan yang disampaikan Charm ketika menolak
rasa di hatinya itu adalah yang sebenarnya, bukan seperti yang ditulis sebagai
akhir kisah novel ini. Agak drama-drama sinetron sih, tapi konflik akan semakin
memuncak, dan saya menjadi penasaran bagaimana keputusan harus dibuat oleh
Edvan. Kalau dengan ending begini,
saya sudah tak perlu berimajinasi lagi, memang pasti begitu ending-nya. Too bad.
Hmm, ada beberapa bagian yang membuat saya meringis, yaitu di
halaman 360. Apakah itu benar-benar begitu? Seorang Perdana Menteri ikut turut
tangan untuk pengambilan keputusan pemberian izin mendirikan bangunan? Hohoho. Kalau
di Indonesia sih oke, Presiden saja sampai ngurusin artis gak penting. Tapi,
apakah di Thailand juga sampai segitunya? Juga di halaman 414. Salah satu orang
Thailand yang ditemui Edvan, berkunjung ke Indonesia (Bandung) tapi oleh-oleh
pulangnya wayang kulit. Heh? Okay,
mungkin wayang kulit di Bandung ada sih. Tapi, bukankah lebih umum,
oleh-olehnya itu wayang golek, ya? Penasaran saja sih, intinya. Lagi, di halaman 281, disebutkan Pasar Terapung di daerah Taling Chan lebih baik dibandingkan Pasar Terapung di Kalimantan Timur. Heh? Hmm, mungkin memang ada pasar terapung di Kaltim (saya sih nggak pernah lihat), tapi setahu saya, di Indonesia ini pasar terapung yang paling populer masih yang ada di Kalimantan Selatan (Banjarmasin atau Martapura). Saya sempat merasai berbelanja di Pasar Terapung Banjarmasin.
gambar dari sini: http://portalbanjarmasin.com |
Dari segi cetakan, hmm, tentu saja typo masih tersebar di
beberapa titik. Namun,
berhubung kisah dan gaya berceritanya yang superlincah, saya sampai tak peduli
dengan typo-typo itu. Meskipun demikian, jika di kemudian hari novel ini cetul
(cetak ulang) semoga beberapa typo ini bisa diperbaiki sehingga novel ini
menjadi makin mantap dari segala aspek. Hmm, terus, entah disengaja atau tidak
penyebutan Edvin dan Edvina yang kadang ngasal
agak sedikit mengganggu. Itu Edvan-nya yang labil atau memang disengaja begitu
untuk menegaskan posisi Edvin yang seorang transgender? Entahlah.
Oiya, hal lain yang saya suka dari novel ini adalah gaya
penulisan footnote-nya. Kebanyakan footnote adalah komentar ringan Edvan
sebagai tokoh utama tentang apa pun yang oleh pengarangnya dianggap perlu
diberikan komentar. Ini seru ketimbang komentar jayus di dalam tanda kurung
yang digunakan oleh beberapa penulis. Sementara di novel ini justru kocak. Ide yang
keren. Dannn, seperti halnya Nina Ardianti dalam Restart yang kisahnya ada
kaitan dengan Fly to the Sky, Moemoe
pun mengaitkan Bangkok ini dengan novel duet itu. Edvan diceritakan menaiki
pesawat dari maskapai Indonesia Airbridge dengan co-pilot Ardian dan salah satu pramugarinya adalah Leila Lupitasari.
Saya pikir, awalnya Moemoe mau menjodohkan Edvan dengan Leila ini, hehehe.
Beberapa bagian yang #makjleb buat saya:
“Aku ingin wisata alam. Wisata yang bangunannya diciptakan langsung oleh Tuhan.” (hlm. 94)“Tidak semua orang punya kesempatan bertemu dengan orangtua setiap hari. Tapi, ada saja orang yang dengan sengaja melepaskan kesempatan itu untuk ego pribadi.” (hlm. 147)“Kalau kubilang kamulah kebahagiaanku, maka TITIK. Kamulah kebahagiaanku.” (hlm. 253)“Biarkan saja penyesalan jadi kenangan. Penyesalan bukan untuk dinikmati.” (hlm. 323)“Berhenti di tengah-tengah perjuangan, sama saja membiarkan makanan menumpuk di perut, tidak pernah dikeluarkan. Nanti, menambah-nambah masalah dan menciptakan kerepotan baru.” (hlm. 381)
Secara keseluruhan, saya sangat menikmati perjalanan
wisata saya ke Bangkok. Tak banyak komplain saya sampaikan pada Moemoe Rizal,
sang sopir tuk-tuk, hehehe. Dan terima
kasih juga karena sudah mengarang novel ini. Akhirnya saya merasai lagi, novel
yang bener-bener laki-laki, di
tengah hiruk-pikuk novel romance yang
cenderung feminin banget. Well done. Ditunggu
karya-karya selanjutnya.
Rating: 4,5 out
of 5 stars.
Whii... untung kmarin aku milih buku ini mas, buat hadiah UnforgotTEN. Udah keliatan bakal seru sih, Moemoe Rizal gitu.. Novel Jump-nya aja rame banget (dan banyak makian2 juga).
ReplyDeleteGa sabar pengen baca!
Whooa..whooaa... sebagai penyuka olahraga Muay Thai saya baru tahu bahwa ada desas desus itu olahraga straight or gay... :O
ReplyDelete@Nana....iya, superlincah gaya berceritanya, jadi nggak ngebosenin....:)
ReplyDelete@Rhein....bukannnnn, yang isu straight or gay itu karakter Max-nya, bukan muaythai.nya...:)
Wih... dari beberapa bagian, komentar Bang Ijul seperti mewakili suara hati aku. Seperti Bangkok menjadi travel-fiction terfavorit aku juga, Karakter si Max yang sedikit membingungkan, Perasaan aku yang nggak merasa terpaksa saat harus mengunjungi tempat-tempat itu, namun lebih merasa memang harus kesana. Juga endingnya, aku memang agak kecewa sama endingnya.
ReplyDeleteTapi, aku cukup puas sama novel ini. Membuat aku menilai novel Bangkok jadi nomor 1 nya novel STPC. Bang Ijul setuju? :D
dari seri buku "Setiap Tempat Punya Cerita", kisah yang paling keren emang Bangkok (menurut gua sih)... hehehe...
ReplyDelete