First line:
[sidang kedelapan, New York Criminal Court; Lantai 13
"Red! Astaga, Nona Harris! Jangan lari-lari begitu! Nanti Anda jatuh!" teriak Hakim Walter yang baru saja hendak memasuki ruang sidang nomor 1301.
---hlm.5, Chapter 1 - Preambule
Judul: The Case We Met
Pengarang: Flazia
Penyunting: Miranda Malonka
Penyelaras aksara: Wienny Siska
Perancang sampul: Fitria N.A (@fitnrdm)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 440 hlm
Rilis: 23 Maret 2020
My rating: 4 out of 5 star
Thanks to Kak Raya, yang sudah ngasih kejutan manis di hari-hari terakhir jelang kebijakan kantor untuk #WorkFromHome (WFH) dalam rangka #SocialDistancing dan #PhysicalDistancing #DiRumahAja guna memutus rantai penyebaran virus Covid-19 yang makin mengkhawatirkan ini. Setuju juga sama Kak Raya yang sedih harus banyak membatasi aktivitas berkumpul, padahal kalau para pembaca sudah berkumpul dan ngobrolin buku itu seru banget. Namun, demi masa depan yang lebih sehat, kita semua harus mematuhi imbauan, anjuran, bahkan larangan yang ditetapkan pemerintah, ya?
It's definitely a PAGE-TURNER! Saya benar-benar kepincut dari awal baca dan nggak bisa berhenti hingga halaman terakhir. Untunglah, di sela-sela WFH, saya bisa segera menuntaskan-baca novel ini. Melirik kiprahnya, Flazia (Fildzah Izzazi Achmadi) bukan nama baru di industri perbukuan, tapi untuk di lini metropop, sepertinya ini karya debutannya. Dan, buat saya, cukup memesona serta tidak mengecewakan.
Plot: Redita "Dita" Harris, pengacara berhijab (yang karenanya dijuluki Red Riding Hijab) asal Indonesia yang sukses menangani beberapa kasus kontroversial di New York, terutama kasus-kasus antara lansia-pasien melawan dokter yang diduga melakukan tindakan malapraktik. Dalam satu titik, Dita harus kembali ke Indonesia, sekaligus menjadi pengacara untuk Natanegara "Natan" Langit, dokter anestesi yang dituduh melakukan malapraktik hingga menyebabkan meninggalnya pasien yang ditanganinya. Tak hanya harus berjibaku membuktikan bahwa Natan tidak bersalah di persidangan, Dita pun harus menata hatinya demi menemui lelaki yang sudah ditaksirnya habis-habisan sejak lama--sejak SMA, mantan tunangan yang menjadi lawannya di persidangan, hingga ancaman pembunuhan dari salah satu narapidana yang sakit hati karena kalah dan dipenjara berkat Dita.
Saya menyukai latar kesehatan: dokter, rumah sakit, ruang operasi, dan sebagainya; sejak membaca beberapa novel karya Mira W. Juga karena duluuu banget saya pernah bercita-cita menjadi dokter, yang akhirnya nggak kesampaian. Ditambah dengan intrik persidangan yang lumayan, membuat The Case We Met begitu asyik untuk dinikmati. Khusus untuk unsur kesehatannya, cukup mendetail. Bahkan, mungkin, untuk sebagian pembaca akan terkesan terlalu detail.
Buat saya sih, yang memang menggemari novel-novel metropop dengan alasan agar bisa menambah wawasan dunia kerja kaum urban, rupa-rupa dunia kesehatan di novel ini--khususnya spesialis anestesi, sangat menarik karena Flazia berhasil mengemasnya sedemikian rupa hingga tidak seperti sedang membaca jurnal ilmiah. Karena saya tidak bekerja di bidang kesehatan dan sedang tidak berminat fact-check, saya nggak bisa memastikan apakah seluruh fakta kesehatan di novel ini sudah benar. Well, Flazia memang kuliah di kedokteran/farmasi (?) dan berprofesi sebagai dokter (sekaligus script writer?)--profil linkedin: fildzahia, jadi mestinya faktanya dapat dipertanggungjawabkan ya.
Sementara untuk intrik hukum/persidangannya, tentu saja jangan mengharapkan yang sepelik seperti dalam novel-novelnya John Grisham, ya. Agak mendekati kasus yang diselesaikan Elle Woods di film Legally Blonde-nya Reese Witherspoon itu, deh. Ya nggak silly-komedi begitu, cuma agak gampang ditebak ujungnya dan kurang mendebarkan untuk tokoh Natan sebagai terdakwa.
via GIPHY
Untungnya lagi, unsur romance yang dibangun Flazia pun tidak cringe, terhindar dari instalove--cenderung slow burn, dan cukup manis. Cinta lama bersemi kembali, cinta yang ternyata bertepuk sebelah tangan, dan cinta yang salah sasaran. Mungkin novel ini tidak menyimpan plot twist, tapi banyak kejutan kecil yang bikin saya memekik bahagia campur haru di sana-sini. Tak jarang, di banyak bagiannya saya juga tergelak oleh dialog yang kocak dan witty-banter yang oke punya. Well done, Flazia.
Sayangnya, saya tak jadi memberikan 5 bintang utuh ke novel ini, karena seperempat bagian akhirnya. Oke, saya paham harus ada adegan penyerangan itu--sop.iler(spoiler), untuk konsistensi cerita, tapi... entahlah. Agak kurang meyakinkan, nanggung saja jadinya.
via GIPHY
Hal lain yang menurut saya agak menyulitkan novel ini menjangkau pembaca yang lebih luas (semoga saya salah, semoga saya salah, semoga saya salah):
1. gaya penulisan Flazia di novel ini sangat mirip dengan gaya novel terjemahan, yang sayang sekali, beberapa pembaca masih merasa novel terjemahan tak terlalu nyaman dibaca;
2. meskipun tidak jatuh ke gaya dakwah/ceramah sedalam novel-novel religi islam (yes, ayat-ayat cinta, dsb), tapi konten bernuansa islam pada beberapa bagian (terutama menuju ending) cukup kental dengan mengutip serta menginterpretasikan ayat alquran dan hadis.
Overall, for me, The Case We Met adalah novel metropop debutan yang cukup mengejutkan--in a good way. Dengan menyematkan rating 4 bintang, tentu saja, novel ini berhasil memikat saya, mulai dari gaya menulis, latar belakang, plot, dan parade karakter yang kuat. Namun demikian, masih ada beberapa bagian yang agak nanggung.
Topik bahasan:
1. Cinta lama bersemi kembali
2. Menyukai sahabat kakak
3. Office romance
4. Latar: hukum (pengecara) dan kesehatan (dokter)
5. Bad boy became a good guy
6. Drama keluarga
7. Setting: New York dan Yogyakarta
Selamat membaca, kamu.
End line:
Ayo kita pulang sekarang.
---hlm.434, Adendum
[sidang kedelapan, New York Criminal Court; Lantai 13
"Red! Astaga, Nona Harris! Jangan lari-lari begitu! Nanti Anda jatuh!" teriak Hakim Walter yang baru saja hendak memasuki ruang sidang nomor 1301.
---hlm.5, Chapter 1 - Preambule
Sign in as Redita Harris
From : Ratu Maheswari < ratumahestjip@chef.net >
Subject : Re: Re: Baca NY Times
Dita, kamu bahkan masuk berita NY Times karena mendadak ambruk waktu sidang dan orang jadi ngira kamu mau dibunuh sama lawan kamu—you should take a break, for God’s sake! Jadi, kenapa juga tiba-tiba kamu ribet ngurusin kasus malapraktik di sini? Kamu bahkan udah nggak ketemu Natan bertahun-tahun, dan terakhir kali ketemu pun kamu masih gagap-bisu di depan dia! Masih nanya sebaiknya kamu terima jadi pengacara dia atau nggak? Kecuali hati kamu akhirnya berhasil beralih, yang jelas ini bukan keputusan yang bagus, Red.
Sign in as Natanegara Langit
From : Akbar Zaydan < dn.akbr@dr.com >
Subject : Butuh Propofol?
Nat, someone said that being a good doctor is like being a goalkeeper. No matter how many goals you’ve saved, people will only remember the one you missed. Kematian pasien kali ini jelas bukan salah kamu, dan rumah sakit lagi sibuk cari jalan keluar, jadi kenapa sekarang kamu malah ke New York? Harus dianestesi biar diem, hah? Persetan sama konferensi di Wyndham. Kami tahu kamu nggak akan lari, jadi ayo cepet balik. Dita datang ke rumah sakit pagi ini, cari kamu.
From : Ratu Maheswari < ratumahestjip@chef.net >
Subject : Re: Re: Baca NY Times
Dita, kamu bahkan masuk berita NY Times karena mendadak ambruk waktu sidang dan orang jadi ngira kamu mau dibunuh sama lawan kamu—you should take a break, for God’s sake! Jadi, kenapa juga tiba-tiba kamu ribet ngurusin kasus malapraktik di sini? Kamu bahkan udah nggak ketemu Natan bertahun-tahun, dan terakhir kali ketemu pun kamu masih gagap-bisu di depan dia! Masih nanya sebaiknya kamu terima jadi pengacara dia atau nggak? Kecuali hati kamu akhirnya berhasil beralih, yang jelas ini bukan keputusan yang bagus, Red.
Sign in as Natanegara Langit
From : Akbar Zaydan < dn.akbr@dr.com >
Subject : Butuh Propofol?
Nat, someone said that being a good doctor is like being a goalkeeper. No matter how many goals you’ve saved, people will only remember the one you missed. Kematian pasien kali ini jelas bukan salah kamu, dan rumah sakit lagi sibuk cari jalan keluar, jadi kenapa sekarang kamu malah ke New York? Harus dianestesi biar diem, hah? Persetan sama konferensi di Wyndham. Kami tahu kamu nggak akan lari, jadi ayo cepet balik. Dita datang ke rumah sakit pagi ini, cari kamu.
Judul: The Case We Met
Pengarang: Flazia
Penyunting: Miranda Malonka
Penyelaras aksara: Wienny Siska
Perancang sampul: Fitria N.A (@fitnrdm)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 440 hlm
Rilis: 23 Maret 2020
My rating: 4 out of 5 star
Thanks to Kak Raya, yang sudah ngasih kejutan manis di hari-hari terakhir jelang kebijakan kantor untuk #WorkFromHome (WFH) dalam rangka #SocialDistancing dan #PhysicalDistancing #DiRumahAja guna memutus rantai penyebaran virus Covid-19 yang makin mengkhawatirkan ini. Setuju juga sama Kak Raya yang sedih harus banyak membatasi aktivitas berkumpul, padahal kalau para pembaca sudah berkumpul dan ngobrolin buku itu seru banget. Namun, demi masa depan yang lebih sehat, kita semua harus mematuhi imbauan, anjuran, bahkan larangan yang ditetapkan pemerintah, ya?
It's definitely a PAGE-TURNER! Saya benar-benar kepincut dari awal baca dan nggak bisa berhenti hingga halaman terakhir. Untunglah, di sela-sela WFH, saya bisa segera menuntaskan-baca novel ini. Melirik kiprahnya, Flazia (Fildzah Izzazi Achmadi) bukan nama baru di industri perbukuan, tapi untuk di lini metropop, sepertinya ini karya debutannya. Dan, buat saya, cukup memesona serta tidak mengecewakan.
Plot: Redita "Dita" Harris, pengacara berhijab (yang karenanya dijuluki Red Riding Hijab) asal Indonesia yang sukses menangani beberapa kasus kontroversial di New York, terutama kasus-kasus antara lansia-pasien melawan dokter yang diduga melakukan tindakan malapraktik. Dalam satu titik, Dita harus kembali ke Indonesia, sekaligus menjadi pengacara untuk Natanegara "Natan" Langit, dokter anestesi yang dituduh melakukan malapraktik hingga menyebabkan meninggalnya pasien yang ditanganinya. Tak hanya harus berjibaku membuktikan bahwa Natan tidak bersalah di persidangan, Dita pun harus menata hatinya demi menemui lelaki yang sudah ditaksirnya habis-habisan sejak lama--sejak SMA, mantan tunangan yang menjadi lawannya di persidangan, hingga ancaman pembunuhan dari salah satu narapidana yang sakit hati karena kalah dan dipenjara berkat Dita.
Saya menyukai latar kesehatan: dokter, rumah sakit, ruang operasi, dan sebagainya; sejak membaca beberapa novel karya Mira W. Juga karena duluuu banget saya pernah bercita-cita menjadi dokter, yang akhirnya nggak kesampaian. Ditambah dengan intrik persidangan yang lumayan, membuat The Case We Met begitu asyik untuk dinikmati. Khusus untuk unsur kesehatannya, cukup mendetail. Bahkan, mungkin, untuk sebagian pembaca akan terkesan terlalu detail.
Buat saya sih, yang memang menggemari novel-novel metropop dengan alasan agar bisa menambah wawasan dunia kerja kaum urban, rupa-rupa dunia kesehatan di novel ini--khususnya spesialis anestesi, sangat menarik karena Flazia berhasil mengemasnya sedemikian rupa hingga tidak seperti sedang membaca jurnal ilmiah. Karena saya tidak bekerja di bidang kesehatan dan sedang tidak berminat fact-check, saya nggak bisa memastikan apakah seluruh fakta kesehatan di novel ini sudah benar. Well, Flazia memang kuliah di kedokteran/farmasi (?) dan berprofesi sebagai dokter (sekaligus script writer?)--profil linkedin: fildzahia, jadi mestinya faktanya dapat dipertanggungjawabkan ya.
Sementara untuk intrik hukum/persidangannya, tentu saja jangan mengharapkan yang sepelik seperti dalam novel-novelnya John Grisham, ya. Agak mendekati kasus yang diselesaikan Elle Woods di film Legally Blonde-nya Reese Witherspoon itu, deh. Ya nggak silly-komedi begitu, cuma agak gampang ditebak ujungnya dan kurang mendebarkan untuk tokoh Natan sebagai terdakwa.
via GIPHY
Untungnya lagi, unsur romance yang dibangun Flazia pun tidak cringe, terhindar dari instalove--cenderung slow burn, dan cukup manis. Cinta lama bersemi kembali, cinta yang ternyata bertepuk sebelah tangan, dan cinta yang salah sasaran. Mungkin novel ini tidak menyimpan plot twist, tapi banyak kejutan kecil yang bikin saya memekik bahagia campur haru di sana-sini. Tak jarang, di banyak bagiannya saya juga tergelak oleh dialog yang kocak dan witty-banter yang oke punya. Well done, Flazia.
Sayangnya, saya tak jadi memberikan 5 bintang utuh ke novel ini, karena seperempat bagian akhirnya. Oke, saya paham harus ada adegan penyerangan itu--sop.iler(spoiler), untuk konsistensi cerita, tapi... entahlah. Agak kurang meyakinkan, nanggung saja jadinya.
via GIPHY
Hal lain yang menurut saya agak menyulitkan novel ini menjangkau pembaca yang lebih luas (semoga saya salah, semoga saya salah, semoga saya salah):
1. gaya penulisan Flazia di novel ini sangat mirip dengan gaya novel terjemahan, yang sayang sekali, beberapa pembaca masih merasa novel terjemahan tak terlalu nyaman dibaca;
2. meskipun tidak jatuh ke gaya dakwah/ceramah sedalam novel-novel religi islam (yes, ayat-ayat cinta, dsb), tapi konten bernuansa islam pada beberapa bagian (terutama menuju ending) cukup kental dengan mengutip serta menginterpretasikan ayat alquran dan hadis.
Overall, for me, The Case We Met adalah novel metropop debutan yang cukup mengejutkan--in a good way. Dengan menyematkan rating 4 bintang, tentu saja, novel ini berhasil memikat saya, mulai dari gaya menulis, latar belakang, plot, dan parade karakter yang kuat. Namun demikian, masih ada beberapa bagian yang agak nanggung.
Topik bahasan:
1. Cinta lama bersemi kembali
2. Menyukai sahabat kakak
3. Office romance
4. Latar: hukum (pengecara) dan kesehatan (dokter)
5. Bad boy became a good guy
6. Drama keluarga
7. Setting: New York dan Yogyakarta
Selamat membaca, kamu.
End line:
Ayo kita pulang sekarang.
---hlm.434, Adendum