Judul: Nyonya Jetset
Pengarang: Alberthiene Endah
Penerbit: PT Gramedia Penerbit Utama
Genre: Romance, Violence in Marriage, Based on a True Story
Tebal: 360 halaman Rilis: Juli 2009 (cetakan pertama)
Harga: Rp55.ooo (Toko)
ISBN: 978-979-22-4789-3; 40101090017
Saya adalah salah satu ‘penunggu’ setia kemunculan karya-karya Alberthiene Endah (AE). Saya telah terpikat padanya sejak terbuai kisah asmara penuh intrik metropolis yang disajikannya di Cewek Matre (gua nganggep ini adalah novel masterpiece-nya AE) dalam seri Lajang Kota-nya. Berturut-turut saya kemudian membaca hasil tulisannya, Jodoh Monica, Dicintai Jo, I Love My Boss, dan Jangan Beri Aku Narkoba (yang gak kelar gua baca, too serious). Rasanya hanya itu novel fiksi karya AE yang sudah diterbitkan, karena kemudian AE lebih sering membuat semacam biografi orang-orang penting tanah air, mulai dari pengusaha, artis, hingga ibu negara (yang masih dalam pengerjaan). Novel fiksi lain yang sempat terbit berjudul Selebriti tidak mampu menarik minat saya. Novel tersebut sempat menjadi cerita bersambung yang dimuat dalam Klasika – koran Kompas. Dan, beberapa episode saya baca, saya memang agak mengerutkan kening. Kok gaya AE jadi berubah ya?
Yang terbaru, Nyonya Jetset, berlabel based on a true story di pojok kiri atas. Saya sebenarnya bukan penggemar buku-buku dengan label begituan, terus terang saya sudah ilfil duluan. Kenapa? Karena sebuah cerita nyata yang kemudian diangkat menjadi sebuah karya fiksi menjadi kehilangan maknanya sebab menurut saya kisah real itu kemudian pasti diberi bumbu-bumbu penyedap agar cerita tidak hambar, bahkan mungkin bumbunya yang malah lebih banyak. Dan bumbu penyedap itulah yang menjadi penghancur kisahnya sendiri. Saya lebih setuju apabila sebuah kisah nyata diceritakan apa adanya. Tidak perlu dibumbui, karena saya percaya sebuh kisah nyata yang ‘berani’ dipublikasikan dan disetujui oleh penerbit untuk diterbitkan sudah pasti memiliki makna yang besar dengan nilai jual cukup tinggi di pasar buku.
Saya terpaksa harus menyatakan kekecewaan yang amat sangat pada novel ini. Harapan saya yang kelewat tinggi pada AE malah membuat saya lebih-lebih kecewa ketika merampungkan novel setebal 300-an halaman ini. Semua gaya khas AE di seri Lajang Kota yang saya sukai lenyap tak berbekas. Kepiawaiannya dalam membuat istilah-istilah unik (ondel-ondel bergincu, anak kecil berdasi, misalnya) tidak terlihat. Saya benar-benar merasa kehilangan dan sempat berpikir, apa benar ni nopel bikinan AE? Yang makin membuat saya gusar adalah hampir keseluruhan elemen dalam novel ini berantakan. Mulai dari segi penokohan, alur cerita, setting, konflik, hingga teknis cetaknya tidak memuaskan. Sungguh jauh dari harapan saya. Entah, karena label true story-nya sehingga AE tidak memiliki keleluasaan dalam mengembangkan cerita atau karena sebab lain. Sempat gua mikir, ini bukan ceritanya Manohara, kan? hehehehe...
Sebenarnya sampai beberapa bagian awal novel ini, saya cukup menikmatinya. Karena itulah saya membeli novel ini, selain faktor pengarangnya. Temanya yang mengambil latar belakang dunia per-model-an Indonesia terasa cukup menjanjikan, yang sayang sekali kemudian berbelok kepada isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Upaya AE untuk menyajikan fakta sebenarnya dalam dunia model yang dipandang glamor kurang menggigit dan terasa hanya sampai di permukaan belaka. Mungkin memang tujuan penulisan novel ini yang sengaja membahas KDRT sehingga isu itulah yang menjadi bahan utama penceritaannya.
Hmm…agak basi, menurut saya. Isu itu telah diangkat oleh banyak penulis sebagai ide pokok penulisan, baik fiksi maupun non-fiksi, termasuk juga dalam media layar (film/televisi). Semakin basi karena sokongan bumbu-bumbunya tidak begitu kuat. Gambaran kehidupan hedonis para sosialita yang menjadi nyawa novel ini pun tidak terbahas dengan mksimal. Hanya sekilas slide-show saja, yang sebenarnya sudah juga ditampilkan di banyak kesempatan. Jadi, tidak ada yang baru yang ditawarkan dalam novel ini.
Pada akhirnya, saya hanya berharap semoga produktivitas AE tetap terjaga dalam dunia penulisan fiksi. Meskipun mungkin tidak lagi bisa meneruskan seri Lajang Kota karena AE sudah married, tapi boleh lah serinya dilnjutkan dengan yang mengupas masalah after married. Dan, saya berharap semoga pula kreativitas AE tidak merosot.
Roosalin tak bisa menampik cinta yang ia yakini sebagai pilihan terbaik dalam hidupnya. Ia menikah dengan Edwan Susantono, tanpa menyadari betapa kaya sesungguhnya pria itu. Namun cinta pandangan pertama pada putra konglomerat itu ternyata mendorongnya masuk ke kehidupan yang sarat dengan lara. Pernikahan mewah dengan banyak luka dan keanehan.
Roos harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak ia duga. Gelimang harta dan kehormatan harus ditebusnya dengan bilur rasa sakit akibat perlakuan keji suaminya dan keangkuhan keluarga besar Susantono. Roos pun mulai bersahabat dengan kehidupan menyakitkan yang tak pernah luput dari penghinaan, penyiksaan, dan penginjakan harga diri. Roos tercampak dalam titik terendah harkatnya sebagai perempuan.
Namun, jiwa kuat Roos berusaha menyelamatkan keadaan. Di antara keping-keping hatinya yang berserakan, ia yakin, sesungguhnya cinta sejati ada, dan tak akan pernah hilang. Terlebih setelah Edwan menunjukkan kesungguhan untuk memperbaiki segalanya.
Mampukah Roosalin membenahi karut-marut kehidupan rumah tangganya, dan menundukkan dinding keangkuhan keluarga konglomerat itu? Benarkah cinta bisa memperbaiki nilai-nilai moral yang telah hancur di dalam keluarga besar Edwan?
'ondel-ondel bergincu' seingat saya itu 'ongol-ongol bergincu'hahaha. novel nyonya jetset ini menurut saya memang benar ini bukan style AE sekali.
ReplyDelete