Judul: Pink Project
Penulis: Retni SB
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romantic-Comedy on Metropop
Tebal: 264 hlm Rilis: Juli 2009 (cet. 1)
Harga: Rp40.000 (Toko), Rp34.000 (inibuku.com) --->Beli
Hmm…sudah lama sekali rasanya saya tidak membuat review untuk meng-update blog sederhana saya ini. Udah bosen, kali? Tidak juga, saya masih sangat antusias dalam dunia per-blog-an. Paling dah males baca buku!!!? Oh, tentu tidak (berasa kek iklan tipi obat cacing jadul). Belum ada sebab yang membuat saya menghilangkan hobi melahap buku, khususnya fiksi. Kecintaan membaca saya bahkan cenderung meningkat cukup signifikan dalam beberapa minggu terakhir. So? Ya, mungkin saya memang sedang terserang kemalasan yang amat sangat, sehingga untuk membuat review singkat yang biasa saja saya tidak sempat/bisa.
Namun, gelenyar semangat membuat resensi berpendar begitu hebat ketika saya “menemukan” karya terbaru mbak Retni SB ini, berjudul Pink Project terbitan Gramedia ini. Warna cover-nya yang didominasi girly pink (pas ama judulnya sih) sangat mengintimidasi saya. Dalam arti kurang bagus. Yah, apalagi kalau bukan soal gender. Novel ini jadi terlihat “cantik” dan makin tidak klop jika dipegang-baca oleh laki-laki. Apa boleh buat, saya cuek saja. Tak acuh dengan pandangan orang. Biarlah saya dipikir macam-macam. Yang penting saya tidak seperti yang mereka pikirkan, yang penting kan saya happy dan puas bisa menikmati lagi karya mbak yang sudah saya sukai gaya mendongengnya sejak novel Metropop perdananya, Metamorfosa Oase, menggondol titel juara kedua Lomba Penulisan Metropop yang diselenggarakan Gramedia beberapa tahun silam.
Seingat saya, novel ini menjadi novel keempat Mbak Retni dalam jajaran karya metropopnya, setelah Metamorfosa Oase, Cinta Paket Hemat, dan His Wedding Organizer. Rata-rata saya memang terpesona dengan gaya penulisan mbak yang satu ini, meskipun saya agak kurang klik dengan Cinta Paket Hemat. Bahkan, saya sudah tak ingat lagi, novel kedua beliau itu bercerita tentang apa (perlu dibaca ulang nih!).
Sedang untuk Pink Project, novel ini menjadi salah satu contoh novel yang punya “daya-sedot” yang tinggi. Bagi saya pribadi, dalam membaca selalu menggunakan ukuran daya sedot. Yang dimaksud daya sedot di sini adalah seberapa kuat daya tarik sebuah buku untuk membuat si pembaca tetap terpaku untuk terus membacanya hingga si pembaca tidak sanggup untuk meletakkan buku itu sebelum merampungkannya. Dalam skala saya hanya ada tiga ukuran. Level tinggi, sedang, dan rendah. Level tinggi artinya saya akan membaca buku tersebut secara non-stop, hanya disela kegiatan wajib (ibadah, makan, mandi, kerja). Level sedang artinya jam membaca saya masih bisa disela bahkan oleh kegiatan sekunder yang sebenarnya bisa saya tunda, namun buku tetap habis saya baca tidak dalam jangka waktu lama. Sedangkan level rendah artinya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk merampungkannya atau dalam artian saya sering macet atau jam membaca saya malah saya ubah menjadi jam untuk kegiatan lain. Dan... untuk novel ini saya masukkan ke dalam kategori berdaya sedot tinggi.
Entah, saya yang telah terpesona dengan gaya mendongeng mbak Retni atau karena faktor lain, yang jelas saya begitu lahap menghabiskan lembar demi lembar novel renyah ini. Saya sampai bingung bagian mana yang perlu saya kritisi (sebates peran gua sebagai pembaca awam). Semua-semuanya sudah pas. Cukup. Tidak kurang. Tidak lebih. Diksi, gaya bahasa, plot, dan cara mendongeng telah sesuai dengan selera saya. Saya justru lupa, apakah dari sejak mula mbak Retni memang begini piawai membuat sebuah cerita deskriptif, ya? Cara beliau menggambarkan sesuatu, terutama setting tempat, cukup detail namun tidak berlebihan. Apalagi bagi saya yang cenderung mencoba selalu melebur dalam setiap cerita fiksi. Saya benar-benar merasa berada di lokasi yang digambarkan olehnya. Sangat menghanyutkan. Ditambah dengan background dunia seni lukis yang manjadi penghubung tiap-tiap aktor rekaan-nya cukup memberikan wawasan kesenian bagi saya yang sangat buta sekali soal dunia seni lukis.
Dan, astaga, akhirnya saya harus mengucapkan kata salut bagi tim penerbitan novel ini. Meskipun terlena oleh gurihnya rangkaian cerita yang ditawarkan mbak Retni, saya tak jadi lupa untuk mendeteksi kesalahan cetak dalam novel ini. Dan…almost perfecto!, rasanya saya tak menemukan adanya kesalahan cetak di sini (bahkan font-nya aja gua suka, eye-catching banged), kecuali sebuah kalimat yang membuah dahi berkerut. Saya sih beranggapan salah ketik, atau karena persepsi saya yang salah ya? Berikut saya cuplikan, kalimat yang menurut saya agak janggal:
Halaman 176, alenia 7:
Kubalas rengkuhan Pring. Mendekapnya erat.…………………
………………………… bahwa aku pun ingin membagi kasihku padanya. Juga tanpa sarat.
Nah, sarat di paragraf tersebut seharusnya syarat (hal-hal yang harus dipenuhi agar…), atau memang sarat (yang berarti penuh). Entahlah, kalau saya pribadi menganggap itu salah kata. Lebih tepat kalau itu adalah kata syarat, disesuaikan dengan konteks kalimat sebelumnya. Soalnya kalau yang dimaksudkan adalah kata ‘sarat’ yang berarti penuh, harusnya kata sarat diikuti kata lain, semisal sarat keindahan, sarat makna. Ini hanya analisa awam saya belaka. Anyway, hanya itu saja kejanggalan yang saya temukan, dan tentu, sama sekali tidak menganggu sedikit pun kenikmatan saya untuk ‘menggigiti’ novel ini sampai habis.
Keindahan lain dari novel ini adalah penciptaan karakter-karakternya yang kuat, meski saya sempat juga merasakan kegoyahan pada karakter Ina, namun dengan sedikit penjelasan (meskipun tidak secara langsung) saya bisa memahami mengapa karakter tersebut dibuat demikian. Novel ini juga membuat saya jumpalitan untuk menebak-nebak kelokan demi kelokan plot yang coba disusun oleh mbak Retni. Meskipun tebakan besar saya, soal si aktris akan jadian dengan aktor yang mana, sesuai, namun mbak Retni pandai menciptakan cabang-cabang plot sehingga sukses mengayun-ayunkan emosi saya. Sungguh keterlaluan….yang memuaskan saya.
Masak sih gak ada minusnya? Bagi saya, hmm…, sulit menemukan titik lemah novel ini. Saya s-a-n-g-a-t menyukainya dan gagal mendaftar kekurangannya, di samping satu-satunya kalimat janggal dan tebakan besar saya yang ternyata benar. Mungkin soal tema. Yah, temanya memang tema klasik-klise yang sudah sangat sering digarap yaitu tema cinta yang “bertengkar-tengkar dulu, bermesra-mesra kemudian.” Tapi, percayalah, mbak Retni menyuguhkan racikan bumbu yang sangat sedap untuk mengolah tema klasik-klise itu menjadi sebuah jalinan cerita yang apik. I LOVE IT. GREAT job, once again, mbak Retni.
Sinopsis (cover belakang)
Puti ranin berang sekali ketika Sangga Lazuardi menyerangnya di ruang publik, di koran. Sangga mengejeknya sebagai katak dalam tempurung yang mencoba berceloteh tentang dunia! Karena berani memberi penilaian terhadap lukisan tanpa pengetahuan yang memadai.
Bah! Dia memang awam dalam soal seni, seni lukis khususnya, tapi apakah itu berarti dia tidak boleh mengapresiasi sebuah karya? Dan baginya, lukisan Pring menyentuh kalbunya. Sangga Lazuardi sangat pongah. Kesombongan lelaki itu membuat Puti mati-matian membela dan mengagumi Pring, pelukis yang dicela Sangga.
Namun yang tidak dimengertinya…Sangga Lazuardi selalu muncul dalam setiap langkah hidupnya… Bagai siluman, Sangga selalu muncul di mana pun dirinya berada. Apa yang diinginkan lelaki yang telah menghinanya habis-habisan itu?
Aku baru baca Pink Project, bagusss...
ReplyDeleteAlurnya juga oke. Jadi tak terasa saat membacanya. Inginnya lanjut terus ^^, sekarang aku penasaran sama Cinta Paket Hemat-nya.
pertama baca novel metropop-nya retni SB yg judulnya "his wedding organizer" langsung jatuh cinta...ternyata novel 'pink project' juga keren banget!!!!!!!!!Sekarang mo hunting novel 'cinta paket hemat' ama 'metamorfosa oase'.........
ReplyDelete