Judul: the Sweetest Kickoff
Pengarang: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romance in Metropop
Tebal: 312 halaman
Rilis: Juli 2009 (cetakan pertama)
Harga: Rp40.000 (Toko)
ISBN: 978-979-22-4783-1
Saya terpesona pada novel metropop bertajuk Say No To Love beberapa tahun silam. Novel karya Wiwien Wintarto (novelis yang awalnya gua kira cewek, bukan mo seksis, tapi namanya sekilas lazim dipake cewek, kek nama gua juga sih, Yuli….kecewekan, padahal gua cowok) bernuansa kantoran itu begitu menghipnotis saya. Jujur, saya ngiri berat dengan novel tersebut. Sudah lama saya memimpikan bisa membuat novel yang hampir-hampir tidak ada tokoh antagonisnya sama sekali seperti itu. Apa menariknya, kalo gitu? Hmm…susah juga jika saya ditanya begitu. Bagi yang menyukai novel penuh drama, Say No To Love mungkin terkesan membosankan. Namun, bagi saya yang percaya bahwa sebenarnya (seharusnya) tidak ada manusia antagonis di dunia ini, tidak ada orang yang jahat (adalah setan/iblis yang membisiki), sehingga cerita dalam novel tersebut begitu menyejukkan. Begitu mendamaikan. Dan, sang penulis begitu piawai mengolah cerita damai tersebut menjadi dongeng yang jauh dari kesan boring. Setidaknya, bagi saya.
Tahun 2009, Wiwien kembali menelorkan karya metropopnya yang kedua, kalau tidak salah. Novel dengan background sepakbola ini diberi judul the Sweetest Kickoff. Dalam blog pribadinya, PandoraBox, Wiwien menyebutkan bahwa novel ini lahir sebagai jawaban dari beberapa kritik yang dilayangkan pembaca Say No To Love (karya metropop pertamanya).
Berikut petikan pernyataannya tentang novel ini:
Hmm, entahlah, saya sendiri kurang mengerti apa yang dimaksud dengan “ruang-development” itu. Yang jelas jika itu dikaitkan dengan the Sweetest Kickoff yang beberapa tokohnya “berubah” secara harfiah (berubah dalam arti real, kek dari warna item brubah jadi putih), maka saya justru tidak begitu klik dengan novel ini. Benang merah perubahan itu terkesan klasik yang klise. Bahkan, seperti yang disebutkan oleh Wiwien sendiri dalam blognya bahwa ia mengambil premis Hollywood-style, tak ayal memang begitulah adanya. Kelewat romantis, kelewat mudah ditebak, dan kelewat mustahil. Meskipun disertai ulasan seputar dunia persepakbolaan yang cukup canggih, kesan menye-menye-nya begitu terasa. Dan, bagi saya itu agak annoying. Padahal, gua tuh fans berat nopel menye-menye.The Sweetest Kickoff kubangun dari salah satu kritik terhadap Say No to Love (2007). Dalam salah satu resensi di internet, novel itu dikritik karena nggak memberi ruang development untuk tokoh-tokohnya. Dewi, Wisnu, dan siapapun nggak berkembang jadi manusia yang berbeda. Hanya sekadar jadian, nggak lebih.
Itu sebabnya, saat hendak memulai nulis The Sweetest, aku sudah berpatokan untuk menulis tentang seseorang yang remuk dan belakangan menjadi baik setelah kecemplung di kawah Candradimuka. Kawah itu bernama Magelang FC, sesuatu yang benar-benar berada di luar semesta yang diketahui seorang Farah.
Dari segi pemilihan kata, gaya bahasa, dialog, dan setting-nya tidak ada masalah, semuanya memenuhi kriteria novel metropop selera saya. Bahkan, beberapa karakter saya suka. Pun, dari segi teknis cetak, saya tak menemui banyak cacat. Hanya ada satu kata yang, well, salah ketik saja sepertinya:
Saya pikir harusnya bukan Malang tetapi Magelang karena fokus setting lokasinya dan topik pembicaraan pada bagian itu adalah rencana kepergian salah satu tokohnya ke kota Borobudur itu.Hal 104, paragraf ke-5
Farah tertawa menyeringai. “Very funny! Memangnya………………, kamu pengeeeeen banget ninggalin semua kerjaanmu itu dan ikut denganku ke Malang.”
Sejujurnya saya banyak lompat-lompatnya ketika membaca novel ini. Pertama, saya memang bukan penggemar fanatik bola dan tidak terlalu berminat dengan olahraga rebut bola dengan kaki itu sehingga agak merasa bosan ketika membaca banyak bagian yang dihubung-hubungkan dengan bola. Kedua, saya merasa kali ini seharusnya ada tokoh antagonisnya dalam novel ini untuk menyegarkan plot yang agak garing dan kurang berwarna. Apalagi dengan segala atribut Hollywood-nya dan kesan “sinetron-banget” makin membuat novel ini kurang menarik.
Kelemahan yang paling kentara adalah banyaknya adegan-adegan klise di novel. Yang paling mengesalkan justru pada bagian paling vital, bagian pengantar menjelang klimaks. Saya sampai gemas sendiri. Sebenarnya situasi digambarkan dengan kegemilangan yang sangat, namun eksekusinya justru lemah sekali. Terlalu…klise (sorry, kalo gua terlalu banyak make kata ini, tapi gua ga nemu kata laen yang lebih tepat). Terlalu…mudah ditebak.
Hmm, banyak kali kritikannya, kek gua bisa bikin nopel ajah! Ya, ini hanyalah bentuk dari ekspresi terbuka saya. Jika suatu hasil tulisan bagus, saya tak segan memujinya setinggi langit dan sebaliknya jika kurang memuaskan ya... apa boleh buat, saya terpaksa harus menyuarakan ketidakpuasan saya. Dan, perlu saya tegaskan, saya hanyalah sekadar pembaca yang disetir oleh selera. Maka, jika kemudian saya menemukan novel yang tidak memenuhi kriteria selera saya, ya…pasti sulit untuk bisa menikmatinya. Dan, masalah selera adalah masalah personal. Saya suka, Anda suka. Saya suka, Anda tidak suka. Saya tidak suka, Anda suka. Semua tergantung kepuasan selera masing-masing. Perbedaan selera adalah kurnia Sang Pecipta, tak perlu dipermasalahkan.
Sinopsis (cover belakang)
Tak ada yang lebih mengejutkan ketimbang sebuah warisan yang aneh. Farah mengalami itu saat menerima peninggalan khusus dari kakeknya yang baru saja meninggal dunia, berupa Magelang FC, sebuah klub sepakbola profesional yang berlaga di Divisi II Liga Indonesia.
Sebenarnya yang Farah perlukan hanya sarana untuk membuatnya bisa sedikit lebih serius dan bertanggung jawab terhadap hidup. Kebiasaannya dugem dan beredar dari satu pesta jetset ke pesta lainnya membuat semua orang gerah.
Mereka berharap Magelang FC akan memberikan arah baru pada kehidupan Farah dan membuatnya berhenti menghambur-hamburkan uang-apalagi karena semua itu bukan duitnya sendiri.
Sayang, semua tak berjalan semulus yang direncanakan. Selain nol besar soal sepak bola, sifat Farah yang semau gue dan gampang naik darah mengacaukan hari-hari awal pekerjaan barunya sebagai owner klub. Bahkan ia langsung terlibat perang dingin dengan Danu, mantan pesepakbola nasional yang direkrut menjadi pelatih baru Magelang FC.
Namun, tugas berat untuk menyelamatkan klub dari jurang degradasi ke Divisi III tetap harus dilaksanakan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Farah harus pusing mengurusi orang lain, bukan dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana yang tertulis di kartu-kartu ucapan, what doesn't kill you only makes you stronger, itu berlaku pula buat Farah.
keren pol! nggak ngira bukuku bisa diulas seperti demikian.
ReplyDeletemakasih atas komentarnya. makasih lagi karna udah mau meluangkan waktu untuk baca.
majulah novel Indonesia!
hehehehe, iya mas Wien....
ReplyDeletetetep produktif ya....
yakkk, maju terus novel Indonesia! (klo ada tikungan ya belok, tapinya, klo lurus terus..nabrak nanti)