Judul: Pingkan Sang Juara Penulis: Dewi "Dedew" Rieka Editor: Nur Fajriyah Penerbit: PT Sinergi Pustaka Indonesia (Sinergi Group "Kubus") Tema: anak-anak, remaja, persahabatan, perjuangan, menjadi juara Tebal: iv + 124 halaman Harga: Rp20.000 (Toko) Rilis: 2009 (Cet. 1)
Hadiahkan novel tipis ini untuk adik, ponakan, anak, teman, atau orang yang Anda sayangi, yang masih bersekolah pada jenjang SD-SMP. Untuk yang SMA juga boleh meskipun saya agak ragu apakah mereka masih bisa menikmati novel ini dengan santai, mengingat cerita dan gaya penceritaannya sangat kekanak-kanakan. Ceria dan sederhana. Dan, tidak ada cinta-cintaan-nya di sini.
Saya menyukai ide novel ini yaitu memperlihatkan bahwa untuk mencapai sesuatu harus melalui kerja keras. Pantang menyerah dalam berkompetisi. Rajin, tekun, serius, dan konsisten menjalani aktivitas yang diikuti.
Sejujurnya saya lebih banyak tertawa sekaligus geli ketika membaca novel mungil yang hanya terdiri dari 120-an halaman ini. Tertawa, karena ceritanya yang memang disengaja berunsur komedi dan geli, karena gaya berceritanya yang kekanak-kanakan. Saya sendiri mendengus, kok bisa ya guwe masih minat baca ginian? Hahahaha. Asli, saya benar-benar seperti kembali ke jaman SD atau SMP dulu. Pun dengan gaya jayus-nya Dedew yang sebagai narator kadang mengomentari setiap ceritanya sendiri. Harus saya bilang, saya paling benci yang begituan. Sok lucu, padahal garing. Tapi novel ini memang buku "kurikulum" khusus anak-anak, jadi saya mencoba maklum. :) Untuk ceritanya, seperti yang sudah saya bilang, sangat sederhana sekali. Alurnya mudah ditebak dengan ending yang happy. Tidak banyak konflik yang ditawarkan, karena setiap drama selalu ada pengakhirannya. Every problem has its own solution. bagusnya, di novel ini tidak diciptakan tokoh yang dipaksa jadi antagonis. Benang merahnya menyoroti usaha seorang anak (Pingkan) menemukan bakat dan kegemarannya karena termotivasi orang-orang di sekitarnya yang memiliki prestasi. Pingkan begitu bersemangat untuk menjadi juara. Tak peduli di bidang apa, yang penting juara. Maka, Pingkan kemudian membuat daftar bidang-bidang yang mungkin bisa mengantarkannya ke podium juara. Mulai dari bermain organ, berenang, bergabung di ekskul pramuka, dicobanya. Tapi dasar Pingkan pembosan, Semuanya macet di tengah jalan. Sampai akhirnya ia berlabuh pada menulis dengan bergabung di ekskul mading. Sejatinya menulis sudah ia sukai dari dulu karena Pingkan rajin menulis diary dan selalu mendapat nilai bagus di mata pelajaran bahasa Indoensia. Dari menulis, Pingkan bisa naik ke podium dan dielu-elukan temen-teman satu sekolah.
Kisahnya manis, untuk anak-anak, tentu saja. Kalau pun saya sebal dengan gaya penceriteraannya, saya tidak akan menyalahkan penulisnya. Karena, novel ini (mungkin) memang disasarkan pada pasar anak-anak dan remaja jadi gayanya memang disesuaikan, biar mudah untuk diikuti. Setelah membaca novel ini, yang bisa saya bayangkan adalah, "coba ya...dulu guwe serius menekuni sesuatu, mungkin guwe bisa jadi juara apa, gitu..." Siapa sih anak-anak yang tidak bangga menjadi juara dan menggenggam piala. Saya saja gembira sekali ketika menjuarai lomba pidato Ramadhan di kampung, meskipun cuma juara dua. Intinya, menjadi juara itu mimpi setiap orang. Dan, novel ini merekamnya dengan baik sehingga bisa menginspirasi, semoga.
Oiya, saya suka novel ini karena ada Pramuka-nya (saya ikut Pramuka dari SMP-SMA) dan mading sekolah (saya ikut mading di SMA). Membaca novel ini, saya juga jadi ingat bagaimana saya dulu sangat ingin belajar di bidang bahasa. Waktu SD, guru pernah mengikutkan saya di lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. Ada tiga kategori, Sains (IPA-IPS), PMP (PPKn), dan Bahasa Indonesia. Kata guru yang menyeleksi, saya cukup mampu untuk diikutsertakan di mata pelajaran IPA-IPS dan Bahasa Indonesia. Namun, karena tidak ada wakil lain di bidang IPA-IPS maka saya masuk ke kategori itu (hasilnya: cuman jadi peringkat 9 dari 10 yang masuk babak semifinal) padahal kata beliau juga, karangan saya untuk pelajaran Bahasa Indonesia cukup bagus. Di SMA, saya juga ingin masuk jurusan bahasa, namun wali kelas dan guru-guru menganjurkan saya untuk masuk jurusan IPA, karena nilai saya memang cukup memenuhi standar masuk jurusan IPA. Saya tidak pernah menyesal karena semua itu. Saya sangat bersyukur dengan keadaan saya sekarang. Bahkan, dengan kondisi saat ini, saya bisa meneruskan minat saya untuk membaca dan menulis (meskipun belum menghasilkan satu pun tulisan yang diterbitkan).
Okay, selamat membaca, kawan!
Sinopsis (cover belakang)
Pingkan ingiiin sekali jadi juara seperti teman-temannya. Ada Kak Lita yang juara kedua Olimpiade IPA tingkat Nasional, ada juga Gusti yang tim sepak bolanya juara Liga SMP se-Kota Bogor. Bahkan, kakaknya pun juara lomba pidato bahasa Inggris. Siapa yang tidak iri coba? Pingkan juga ingin sekali merasakan rasa bangga sebagai seorang juara. Dia ingin bisa bediri di atas podium sekolah dan mendengar sorak-sorai teman-temannya.
Tapi sampai saat ini Pingkan masih bingung apakah dia bisa jadi seorang juara. Dalam bidang apa? Pingkan payah dalam bidang olahraga, menyanyi juga fals sekali, apalagi bahasa Inggris. Dia hanya mengerti "yes" dan "no" saja. Jadi, bisakah dia mnejadi seorang juara?
Inilah kisah tentang seoarng anak yang sangat ingin menjadi juara. Banyak hal harus Pingkan jalani sebelum dia menemukan bisang yang dikuasainya. Mulai dari ikut les berenang sampai pramuka. Apakah Pingkan berhasil menjadi juara? Penasaran, kan? Buruan baca deh!
Pacaran dengan perempuan, berarti siap membeli satu paket dengan teman-temannya. Perempuan memang menyerahkan hati pada kekasihnya, tapi memberikan telinganya kepada teman-temannya.
Halaman 363 Janda-Janda Kosmopolitan by Andrei Aksana
Judul: Janda-Janda Kosmopolitan Penulis: Andrei Aksana Editor: Hetih Rusli Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Tema: Majikan-pembantu, Persahabatan, Dilema janda, Metropolis Tebal: 464 halaman Harga: Rp55.000 (Toko) Rilis: Januari 2010
Apakah saya sudah mulai jenuh dengan novel metropop? Waduh, kalau saya sampai jenuh maka terpaksa saya harus menutup/menghapus blog ini karena sejak awal saya memang mendedikasikan blog ini khusus sebagai penghargaan (dari seorang awam) atas karya-karya fiksi yang sering diremehkan kalangan pecinta sastra sejati ini, novel bergenre Metropop dan kroni-kroninya. Jika saya tak lagi berselera membaca novel-novel metropop, maka jelas tak ada resensi yang bisa saya buat. Dan klimaks yang pasti adalah saya harus mengalihkan minat baca saya ke jenis bacaan yang lain. Yang belum membuat saya bosan.
Janda-Janda Kosmopolitan (JJK). Sebenarnya judul tersebut membuat saya kurang tertarik dengan novel terbaru Andrei Aksana ini. Entahlah, ada perasaan tak nyaman dengan istilah itu. Ketimbang simpati, justru pikiran negatif yang merasuk dalam benak saya. Namun, dengan bekal kepuasan saya membaca Prety Prita, Cinta 24 Jam, dan Lelaki Terindah, serta belum adanya pilihan novel metropop baru lain, saya nekad mencomot JJK dari rak pajang dan membayarnya di kasir. Dan... kecewalah saya. Sejujurnya saya sudah menyiapkan diri untuk itu (baca: kecewa) sebelum memulai menikmati novel ini berhubung ketidaknyamanan saya membaca beberapa episode awal di cerita bersambung-nya Klasika-KOMPAS. Alih-alih mengabaikannya sebagaimana saya tak membeli-baca Tea For Two-nya Clara Ng yang juga mengecewakan ketika saya baca di cerber Klasika-KOMPAS, saya justru memutuskan untuk membeli novel ini. Maka, seharusnya saya menyalahkan diri sendiri, mengapa memaksakan diri untuk membelinya. Jika pun ada tendensi negatif pada review saya kali ini, sejujurnya hanyalah merupakan ungkapan rasa kecewa seorang fans atas karya yang jauh di bawah harapan. Bila dirangkum, novel ini berfokus pada cerita berikut: dunia pembantu dan majikan yang keduanya sama-sama janda, dunia majikan dan teman-teman hedonisnya, dunia pembantu dan teman-teman kampungnya. Kebebasan penulis yang meloncat dari satu penggal kisah ke penggalan kisah lainnya saya rasa melampaui batas, sehingga berkesan gamang dan tidak fokus. Membaca JJK saya seolah diberikan dua buku yang tidak menyatu. Satu buku mengoceh soal gemebyar kehidupan sang majikan dan satu buku lainnya mendongeng rupa-rupa polah "kampungan"nya pembantu. Yang menjadi persoalan adalah dua buku itu harusnya nge-blend menjadi satu kesatuan utuh cerita yang merangkum novel ini. Jadi, kalau sampai dengan lembar terakhirnya saya masih mendapati bahwa novel ini terpecah menjadi dua buku, ya... maaf, harus saya katakan novel ini gagal menjadi novel yang utuh. Dua bagiannya tetap terpecah dan kurang terpadu. Kali aja penulisnya emank pengen gitu? Hmm... mungkin saja sih, mengingat bahwa gelagatnya Andrei berhasrat membuat lanjutan novel ini. Bagi saya, No, thank you. One of them is enough for me. Saya sama sekali tidak mengharapkan kejutan klise lain yang akan menjadi bumbu di novel selanjutnya.
Terkait tak padunya cerita majikan-pembantu yang menurut saya menjadi benang merah novel ini makin diperparah dengan adanya perbedaan yang nyata di antara dua kisahnya. Saya menangkap, ada kesan peng"kasta"an di sini. Dan, yang amat saya sesali adalah cara Andrei menggambarkan dua dunia berbeda ini. Dia benar-benar mengilustrasikan kehidupan langit para majikan dengan kehidupan bumi para pembantu. Sedih demi menyadari bahwa penulis yang semustinya mampu mendobrak dogma-citra yang salah di negeri ini justru terkesan mendukungnya. Beberapa hal negatif yang saya tangkap, antara lain:
Pembantu paling banter memperoleh jodoh buruh, kuli, sopir, penjaga warnet, kernet, sedangkan majikan bisa menggaet miliarder yang punya kapal pesiar, apartemen mewah, pakaian serba branded, dan kartu kredit unlimited.
Nama pembantu: Nunung, Iin, Menik, Atun, Siti, sedangkan nama majikan: Rossa (double S), Dilla (double L), Inge, Sisil, Mona, Virna.
Nama pasangan pembantu: Karim, Mas Mu (anonim), sedangkan nama pasangan majikan: David, Marco, Virlo.
Pasangan pembantu diilustrasikan seperti preman pasar, sedangkan pasangan majikan digambarkan sempurna tanpa cacat.
Pembantu diidentikkan dengan musik dangdut, sinetron kelas rendahan, dan infotainment.
Ide Andrei mungkin bagus, yaitu mengangkat harkat dan martabat pembantu di Indonesia. Hal ini terlihat dari adegan para pembantu yang bersemangat untuk belajar, pembantu bisa "dianggap" sebagai bagian dari keluarga, majikan harus lebih menyayangi para pembantunya, dan lain sebagainya. Secara general ia juga menekankan agar bagi siapapun yang menyandang gelar janda, haruslah menjadi janda yang terhormat. Saya mencatat ada (satu-satunya) kejutan yang cukup bagus di novel ini, yaitu ketika penulis membeberkan siapa yang menjadi pengkhianat dalam hubungan persahabatan para tokoh majikan.
Dari segi materi, rasanya tak banyak yang ditawarkan oleh Andrei dalam JJK ini. Konflik majikan-pembantu telah menjadi menu sehari-hari di negeri ini, baik yang diekspos melalui media cetak maupun media elektronik, baik sebagai realita maupun produk seni. Dongeng tentang janda-janda kesepian dan harapan mereka menghapus stigma negatif per'janda'an juga bukan barang baru. Kelemahan materi setali tiga uang dengan tidak ditunjangnya konflik yang memadai. Drama-drama yang dihadirkan mudah ditebak dan tidak ada solusi mengejutkan atas segala problematika yang dirancang. Serupa memandang laut yang tanpa derai ombak. Datar. Hambar.
Jujur, saya membaca novel ini bak seorang pelari halang rintang. Beberapa bagian (BUUUANYAK) saya lompati karena bertele-tele dan lebay. Cerita terkadang juga terlalu detail sehingga tidak memberikan ruang untuk berimajinasi bagi pembacanya (saya meminjam simpulan ini dari bahasan tentang Andrei Aksana di blog sastrawan-jahat). Inilah saat ketika saya dengan menyesal mengatakan bahwa penulis nampak "menggurui" dan tidak mampu menjadi storyteller yang pandai mengayun-ayunkan fantasi pembacanya. Semua-muanya dijabarkan.
Dari segi teknis percetakan, beberapa salah ketik/edit masih banyak. Hal lain yang agak mengganggu adalah inkonsistensi dari pemberian terjemahan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, pada beberapa dialog. Bagi saya yang orang Jawa itu tidak masalah, namun bagi yang tidak paham bahasa Jawa, maka dipastikan pembaca tak akan mengerti pada sejumlah dialog yang terdapat di novel ini.
Bagi saya pribadi, novel ini tak memberikan kepuasan yang maksimal. Saya membaca hanya dengan jaminan nama penulisnya dan prinsip untuk membaca setiap buku yang sudah dibeli.
Namun demikian, kembali ke prinsip awal bahwa karya seni adalah tergantung selera masing-masing. Subjektivitas saya mungkin saja berbeda dengan Anda, jadi penilaian saya terhadap novel ini bisa juga berbeda dengan penilaian Anda.
Okay, selamat membaca, sobat!
Sinopsis (cover belakang)
Di balik gemerlap dan kemewahan kosmopolitan. Di balik gaun, sepatu dan tas bermerek. Di balik lipstik dan maskara. Ada yang diam-diam menimpa perempuan-perempuan kota besar....
Rossa menjadi janda di usia muda. Menikah instan, cepat pula bercerai. Ternyata kegagalan itu juga menimpa Inge dan Dilla. Bagaimana pergulatan mereka dengan predikat janda? Dirindukan dan ditinggalkan. Digoda dan diremehkan.
Betulkah mereka mampu hidup tanpa lelaki? Malam yang sepi... ranjang yang dingin.
Cinta datang dan pergi dalam kehidupan Rossa. Siapakah yang harus dipilihnya? Pengusaha yang menghadiahinya cincin berlian Bvlgari? Atau cowok SMA, pacar keponakannya, yang mengiriminya seikat mawar merah?
Hari-hari Rossa diwarnai dengan kehadiran Nunung. Pembantu trendi, seksi dan enerjik. Dan... janda. Persamaan nasib membuat persahabatan terjalin di antara keduanya. Termasuk bersama-sama melalui pahit-manis cinta. Tapi bisakah dua budaya disatukan? Majikan dan pembantu? Kota dan desa? Pop dan dangdut?
Sampai suatu hari terjadilah peristiwa itu... Rossa memergoki kekasihnya berselingkuh....
Salahkan JK Rowling dengan Harry Potter-nya jika kemudian saya tidak bisa tidak untuk membanding-bandingkan novel-novel fantasi yang saya baca pasca Potter-era. Salahkan pula Stephenie Meyer dengan Twilight Saga-nya ketika saya tidak bisa tidak untuk mengait-ngaitkan novel Hush Hush karya Becca Fitzpatrick ini dengan kisah cinta remaja terlarang antara vampir dan manusia itu. Memang tidak sama plek sih, bahkan selain hanya sama-sama ber-genre fantasi, tidak ada persamaan lain diantara keduanya. Hanya saja, saya melihat plot besar kedua cerita yang hampir mirip. Yaitu, tentang seorang cewek yang terpikat dengan seorang cowok misterius di sekolahnya yang pada akhirnya terbongkarlah rahasia bahwa si cowok bukan manuasia. Jika di Twilight si cewek, Bella Swan, akhirnya jatuh hati pada sosok vampir Edward Cullen, maka di Hush Hush, ada Nora Grey yang terpikat pada Patch yang adalah seorang malaikat (terbuang). Alurnya pun hampir mirip, baru bertemu di sekolah yang sama, si cewek penasaran pada si cowok, dan meskipun berbahaya, toh si cewek tetap saja terpesona dan perlahan terikat dalam simpul asmara.
Membaca bagian awal Hush Hush, ingatan saya terlontar ke waktu satu setengah tahun silam ketika saya tergila-gila dengan Twilight, yah karena plot yang hampir sama itu tadi. Untunglah bumbu ceritanya berbeda. Dan, yang terpenting, Hush Hush berupaya untuk menjadi sebuah novel fantasi remaja bernuansa gelap dan agak thriller, tidak seringan Twilight. Nampak sekali bagaimana Becca merangkai peristiwa demi peristiwa secara misterius dan memaksa pembaca untuk penasaran sehingga tak kuasa menebak-nebak bagaimana kejadian berikutnya. Berhasilkah usaha Becca ini? Buat saya pribadi, iya. Becca berhasil membuat saya penasaran. Mungkin ini karena saya bukanlah penikmat novel ber-setting misterius begini, saya lebih suka novel metropop yang cuman berkutat pada konflik cemburu-cemburuan, jegal-jegalan, atau cinta-cintaan yang ecek-ecek. Nah, begitu mendapati novel semacam Hush Hush ini, saya jadi gampang sekali ketipu. Sebenarnya, kalau saja saya jeli sedikit, di pertengahan novel, saya mungkin sudah bisa menebak (awas, spoiler) siapa peneror Nora dan siapa yang membuat celaka Vee ketika mereka mengadakan acara shopping bareng. Berhubung saya agak tulalit, maka saya baru menepuk kening dan berseru, "...oh, gitu toh?", begitu mencapai klimaks dan Becca membeberkan satu demi satu kejadian yang dirangkainya. Poor me! Payah banget deh gue. Hal lain yang membuat saya gemas adalah sifat bodoh dan ceroboh-nya Nora, meskipun sebenarnya dia digambarkan sebagai seorang siswi yang tidak ada masalah dengan nilai akademisnya (dalam artian cerdas, hanya agak kurang bagus di mata pelajaran Biologi). Saya dibuat jengkel, geregetan, putus asa, dengan penokohan Nora ini. Tentu saja, situasi itu menunjukkan bahwa Becca berhasil "menjebak" saya untuk larut dalam novelnya ini. Namun, olahan Becca juga menjadi agak kurang bisa "masuK" bagi saya karena kecanggungan hubungan Nora dengan sang ibu. Saya tak pernah bisa merasakan kekerabatan di antara keduanya. Entahlah, apakah mungkin karena saya menggunakan standar ketimuran untuk menilai hubungan ibu-anak khas Amerika ini?
Summary tokoh: Nora Grey (aku, keturunan malaikat, love interest-nya Patch), Patch (cowok misterius yang adalah malaikat terbuang yang bingung menentukan pilihan, love interest-nya Nora), Vee Sky (sahabat Nora), Elliot Saunders (cowok pindahan yang pedekate ke Nora), Jules (teman misterius Elliot), Dabria a.k.a Miss Greene (malaikat yang adalah mantan pacar Patch), Blythe Grey (ibu Nora). Beberapa tokoh lain: Marcie Millar, Rixon, Pelatih McConaughy (guru Nora), Detektif/polisi, dan beberapa tokoh minor lain.
Membaca novel fantasi memang harus sudah siap menemui dunia khayal macam apapun. Sihir, ilmu hitam, makhluk dongeng, mitos, urban legend, sampai yang agak menyinggung nilai spiritual. Hush Hush termasuk jenis yang terakhir. Dengan beberapa tokohnya adalah malaikat, mau tidak mau agak menyentil sisi spiritual saya, karena sesuai dengan keyakinan agama saya seharusnya malaikat adalah ciptaan Tuhan yang sepenuhnya tunduk kepada perintah Tuhan dan diciptakan tanpa anugerah berupa nafsu (sebagaimana dimiliki manusia, ingat nafsu adalah yang membedakan kita dengan malaikat dan kita wajib mensyukurinya, karena tanpa nafsu, kita nggak mungkin bisa menikmati dunia ini, namun nafsu pula yang dapat mencelakakan kita, maka kendalikan nafsu). Nah, dalam Hush Hush, para malaikat itu diceritakan juga memiliki nafsu, dan bagi yang tidak bisa menahan nafsu maka mereka dibuang ke bumi (malaikat terbuang, ditandai dengan dicabutnya sayap mereka), dan bagi malaikat yang berhubungan dengan manusia yang kemudian melahirkan keturunan maka keturunannya disebut dengan Nephil. Hmm, kalau sihir memang diyakini ada dan dikenal dalam agama saya (dengan label HARAM hukumnya), maka kisah nyeleneh Becca ini sungguh tak bisa saya terima secara keyakinan. Untuk menguatkan pondasi spiritual pribadi, saya kemudian meng-Googling masalah ini, dan saya menyimpulkan setidaknya mungkin kisah ini mirip dengan kepercayaan adanya Lucifer. Sorry, gua nggak tau apa itu dan jujur gua nggak mau tau. Dengan adanya crash soal spiritual ini, maka saya kemudian menguatkan diri dan menyatakan bahwa ini HANYA-lah sekadar novel fiksi, tidak perlu serius dalam menyikapinya.
Meskipun sarat dengan adegan kekerasan seperti percobaan pembunuhan dan penyiksaan fisik serta beberapa adegan brutal lainnya, Hush Hush tak lantas merekayasa cerita bombastis seperti dalam serial fantasi Percy Jackson dan Dewa-dewi Olympia karya Rick Riordian. Kejadian demi kejadian nampak biasa saja. Kekuatan penting malaikat pun hanya digambarkan sebatas beberapa hal ghoib saja, semisal menggerakkan benda dan memanipulasi pikiran manusia. Dalam benak saya, malaikat itu powerful, saya juga tidak tahu pasti apa jenis kekuatan malaikat, yang jelas terlintas dalam imajinasi saya adalah makhluk dengan kekuatan yang dahsyat. Novel ini juga tidak menjelaskan tempat "mangkal" para malaikat, sehingga sama sekali tidak ada dongeng tentang dunia permalaikatan dan segala ke-WOW-annya. Cerita cenderung lebih terfokus pada hubungan antara Patch dengan Nora serta segala kemungkinan mengapa Patch memilih Nora untuk didekati dan dipikat.
Tak banyak bacaan fantasi yang pernah saya baca berkisah seputar "keberadaan" malaikat, maka tak berlebihan jika saya menyebut Hush Hush sebagai novel dengan latar belakang/tema yang "cukup" baru di tengah makin banyaknya novel fantasi berlatar petualangan. Kelemahan cerita Hush Hush ada pada plot, yang selain hampir mirip dengan Twilight, juga seolah mengikuti pakem film-film Hollywood. Bahkan, ending-nya seperti mostly film aksi Amerika tersebut, dimana menjelang berakhirnya cerita si tokoh antagonis merinci kejahatan apa saja yang telah dilakukannya. So chlice!!!. Tapi, untuk para penggemar cerita fantasi, novel ini lumayanlah, sebagai bahan bacaan sembari menunggu terbitnya Twilight Saga baru karya Stephenie Meyer yang ditulis berdasarkan sudut pandang Edward Cullen (yang belum ketahuan kapan dirilis).
Bagi Nora Grey, jatuh cinta tak ada dalam kamusnya. Dia bukan cewek yang gampang tertarik dengan cowok di sekolah. Betapa pun sahabatnya, Vee, tak jarang menyodorkan cowok-cowok kepadanya. Patch pun datang, semua berubah. Nora jatuh cinta kepadanya meskipun akal sehatnya melarang.
Tetapi setelah serangkaian kejadian menyeramkan, Nora menjadi tak yakin, siapa yang harus dipercayai. Sepertinya Patch hadir di mana pun ia berada. Cowok ini tahu banyak tentang dirinya, melebihi sahabat Nora sendiri. Ia tak bisa memutuskan, apakah ia ingin jatuh ke dalam pelukan Patch, ataukah harus melenyapkan diri. Dan ketika berusaha memperoleh jawaban, Nora menemukan sekelumit fakta yang justru membuatnya resah, lebih dari yang ditimbulkan Patch selama ini terhadap dirinya.
Betapa tidak, Nora berada di tengah pertempuran yang telah berjalan berabad-abad antara malaikat yang dilempar ke bumi dengan Nephil—makhluk separuh manusia, separuh malaikat. Waktu memilih pun tiba, keputusan harus diambil, nyawa milik siapa yang harus diserahkan?
HUSH, HUSH menyuguhkan suasana yang kaya, dan membuatku penasaran tentang akhir ceritanya. Kalau ada cowok seberbahaya dan seseksi ini saat aku di sekolah menengah, aku tak mau lulus sekolah! Sepertinya akan ada cerita-cerita lain tentang malaikat yang dibuang dari penulis berbakat ini. --Sandra Brown, penulis buku laris White Host dan Smoke Screen.
Dapatkan VOUCHER DISKON 10% untuk semua judul buku anak-anak Clara Ng, SETIAP PEMBELIAN BUKU JAMPI-JAMPI VARAIYA.
Berlaku mulai 22 Des 2009 - 22 Feb 2010.
Silakan, bagi para penggemar karya Clara Ng untuk memanfaatkan kesempatan ini. Yang perlu diingat, promo ini khusus untuk karya Clara yang bergenre untuk anak-anak saja ya, bukan semua buku hasil tulisannya (Tiga Venus, Dimsum Terakhir, Indiana Chronicles).
Sedikit opini, saya sudah membeli Jampi-Jampi Varaiya, baru baca satu bab tapi sudah serasa menjinjing tas berisi campuran beton dan besi baja, beraaaaaaaaatttt untuk melanjutkan. Ceritanya nggakgue banget. Tentang sihir, padahal saya penggemar berat Harry Potter. Mau saya bilang ini cerita untuk anak-anak, tapi tokohnya udah tante-tante dan oom-oom, yang nggak tau apa maunya Clara, tokohnya terkesan masih anak TK. Childish bangets. Semoga saya bisa merampungkan-baca nanti, karena saya tidak menilai sesuatu tanpa membacanya tuntas. Ini hanya kesan singkat saya yang sudah tidak kuat untuk saya tahan-tahan.
Well, apakah para ilustrator di Gramedia mulai kehilangan kreatifitasnya?? Coba perhatikan dua buah novel tersebut. Satu merupakan novel metropop terbaru karya Andrei Aksana (Cinta 24 Jam, Lelaki Terindah, Sebagai Pengganti Dirimu, Abadilah Cinta) berjudul Janda-janda Kosmopolitan, yang pernah (kalau tidak salah) menjadi cerita bersambung di harian Kompas, dan satu lagi adalah novel terjemahan karya penulis populer Paulo Coelho (The Alchemist, The Fifth Mountain, The Winner Stands Alone) berjudul Eleven Minutes (Sebelas Menit).
Seluruh postingan dalam blog ini merupakan milik @fiksimetropop kecuali disebutkan lain. Pemuatan ulang sebuah artikel dari sumber lain akan disertakan keterangan atau tautan sumber aslinya. Dilarang memuat ulang sebagian atau seluruh artikel tanpa izin.
Resensi atas buku yang diulas di blog ini merupakan pendapat murni dan subjektif yang akan selalu disertakan alasan. Resensi tidak dapat dipengaruhi oleh faktor apa pun.