Thursday, July 25, 2013

[Resensi Novel Romance] Coba Tunjuk Satu Bintang oleh Sefryana Khairil


“Tidak mungkin aku memisahkan bintang dari pendarnya.”
~pg.192

Adakah Tuhan sedang memberi jeda untuk kita atau memang tak ada nama kita dalam takdir-Nya?

Menjalani hari bersamamu begitu menyenangkan. Tidak ada yang lebih daripada dirimu yang aku inginkan. Kita tenggelam dalam riuhnya impian, hingga baru tersadar setibanya di persimpangan. Aku dan kamu berbeda tujuan.

Namun, kita sama-sama ragu apakah perpisahan yang benar-benar kita inginkan. Kita memutar arah, berusaha kembali dari sudut yang berseberangan.

Mungkin kita bisa bertemu kembali di ujung jalan yang sama. Mungkin kita bisa merajut kembali mimpi yang tertunda.

Kalau saja belum ada dia...
 
Pengarang: Sefryana Khairil
Editor: Mita M. Supardi
Proofreader: Jumali Ariadinata
Penata letak: Gita Ramayudha
Desainer sampul: Amanta Nathania
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 210 hlm + vi
Harga: Rp40.000
Rilis: Juni 2013 (cet ke-1)
ISBN: 978-979-780-647-7

Beruntung, blog saya masuk dalam 30 besar blogger buku yang dipilih oleh Gagas Media untuk mendapat Kado Untuk Blogger dalam rangka perayaan ulang tahun Gagas Media yang ke-10. Setelah mendapat konfirmasi, saya dipersilakan untuk memilih 10 buku dari daftar buku yang disediakan... senang rasanya memilah-milih buku, dan salah satu pilihan saya jatuh pada novel terbaru karya Sefryana Khairil berjudul Coba Tunjuk Satu Bintang (CTSB) yang sudah sering dipromosikan baik oleh sang pengarang maupun penerbitnya.


Menilik ketebalan buku yang terbilang tipis ini, akhirnya saya memutuskan untuk membaca CTSB terlebih dahulu untuk event #unforgotTEN Gagas Media. Kebetulan pula ukuran huruf (font) yang digunakan gede-gede, jadinya motivasi membaca kian besar, karena pasti cepat selesai, hehehe. Mungkin untuk kondisi normal, saya mencak-mencak kalau membeli buku yang sudah berasa tipis, ukuran hurufnya pun sebesar ini. Saya selalu merasa kalau saja ukurannya disusutkan setengahnya, novel ini bisa lebih tipis lagi. Dan, harganya bisa jadi tak semahal harga resminya.

Meskipun belum banyak novel karangan Sefry yang saya baca (dikoleksi sih sudah hampir semua, kurang Beautiful Mistake aja), namun saya sudah menduga akan mendapati novel dengan tata tulisan rapi dan diksi yang menawan. Benar saja, saya mendapati nuansa itu dalam CTSB ini. Indah. Lembut. Santun. Mendayu. Menghanyutkan. Seolah setiap kepingan kata ditulis dengan segenap rasa. Tumpah dari kedalaman jiwa.

twitter.com

Astronomi dan rasi bintang menjadi latar belakang kisah cinta sejati ini. Dua tokoh utamanya menyukai bidang tersebut. Bahkan, konflik utama sehingga kisahnya mengalir sebagaimana dirangkai sang pengarang di novel ini juga karena bidang itu. Cukup menarik. Pembaca disuguhi wawasan seputar benda angkasa melalui jalinan memori dan dialog dari hati ke hati kedua tokoh utamanya, meskipun baru sebatas nama dan sedikit karakteristik dari benda-benda angkasa tersebut.

Dalam novel ini dikisahkan bahwa pada suatu kali Dio lebih memilih mengejar mimpinya tepat ketika ia dengan sadar merencanakan sebuah pernikahan dengan Marsya yang akan dihelat beberapa saat lagi. Saya sempat tercenung pada bagian ini. Mungkin, hal semacam ini pun akan terjadi dalam kehidupan nyata. Tapi tetap saja, saya merasa kok semudah itu mengingkari sebuah kesepakatan pernikahan? Yah, kalau di kehidupan nyata di sekitar saya, beberapa teman memilih menikah dulu meskipun kemudian mereka terpisah, toh ada bermacam teknologi yang bisa tetap membuat mereka bisa terus berhubungan, tapi intinya mereka tetap berkomitmen dalam biduk rumah tangga. Apalagi dalam cerita ini keduanya digambarkan menyukai bidang yang sama, berarti Marsya seharusnya memahami keputusan perginya Dio, tapi Dio pun tetap bisa bertanggung jawab, nggak asal pergi begitu saja. Tapiiii... kalau nggak gitu jadi nggak ada konfliknya donk...

space.about.com

Hal lain yang juga menggiring saya untuk bertanya adalah dengan peristiwa sedahsyat itu kok saya kurang merasa ‘perih’ sebagaimana yang dialami Marsya, ya? Iya, dia digambarkan sengsara tapi itu masih kurang atau bahkan tidak menggambarkan perasaan terguncang akibat rencana pernikahan yang sudah dirancang sebegitu matang, gagal seolah hanya dengan menjentikkan jari saja. Dan, sekali Dio datang, sudah... semua kembali tenang. Cinta pun menyatu. Terasa begitu mudah. Terasa... tak pernah ada luka di sana. Entahlah, apakah saya yang terlalu sinis atau bagaimana, namun ini menjadi terlalu ideal, buat saya.

Saya pemuja cinta sejati. Saya sering dibuat heran betapa cepatnya seseorang menautkan cinta pada satu hati ke hati yang lain. Tapi, kehidupan memang begitu, kan? Nothing is impossible. Jadi, ya sudahlah. Saya adalah saya. Cinta sejati tetap saya puja. Begitupun nanti, ketika saya benar-benar menemukan cinta, saya akan menjaganya selayaknya cinta sejati. Cinta yang ditakdirkan hanya untuk saya. Sayangnya, saya tak sependapat dengan ‘cinta sejati’ yang saya kira menjadi pondasi cerita novel ini. Entahlah, mungkin kembali ke pribadi saya yang lebih memilih melupakan ‘tragical moment’ dan move on mencari cinta lain karena sekali disakiti saya percaya ‘dia’ memiliki kesempatan untuk menyakiti saya kembali di lain waktu. Dan, Marsya seolah tak punya rasa sakit itu. Well, apakah saya seorang pendendam? Tergantung penilaian Anda. Saya pribadi tak merasa begitu. Tapi, saya memang berprinsip seperti yang saya sebutkan tadi: tak pernah ada kesempatan kedua untuk seseorang yang sudah melakukan kesalahan sebesar itu. Just leave it and move on.

initokokita.com

Membaca novel ini lagi-lagi saya terganjal beberapa hal karena sekelebatan kemiripan dengan satu-dua keadaan (penting) pada novel Melbourne-nya Winna Efendi dan film Ada Apa Dengan Cinta. I know, I know, I shhouldn’t compare these two things, but I can’t help myself. Duh! Semoga kalian tak mengalami deja vu sesaat ketika membaca bagian-bagian itu di novel ini. Ohiya, sebagaimana Cintapuccino-nya Icha Rahmanti di mana saya menjadi #TeamAdit di sini saya pun lebih memilih menjadi #TeamAndro: “klub pemilik cinta yang tulus namun tak berbalas dan di-PHP-in saja”.

Laporan typo:
(hlm. 46) saling berpandangan = saling memandang = berpandangan

(hlm. 51) di maksud = dimaksud (gabung)

(hlm. 63) dipindah tugaskan = dipindahtugaskan (gabung)

(hlm. 68) memterbuka = terbuka

(hlm. 73) antaruang = antarruang

(hlm. 79) Sekali pun = Sekalipun

(hlm. 88) dimasukin-ya = dimasuki-nya

(hlm. 97) Kimy = Kimmy

(hlm. 100) risih = risi

(hlm. 106) ter-ik = te-rik

(hlm. 110) mendegus?

(hlm. 110) denga = dengan

(hlm. 116) mer-eka = me-reka = mere-ka

(hlm. 119) menjentikan = menjentikkan

(hlm. 124) terlanjur = telanjur

(hlm. 135) Masya = Marsya

(hlm. 135) ditentengya = ditentengnya

(hlm. 147) perseneling = persneling

(hlm. 148) ditelinganya = di telinganya

(hlm. 201) berterbangan = beterbangan

Agak aneh:
1.       Mungkin karena kultur, saya kurang nyaman orangtua disebut namanya langsung, bukan dengan sebutan “Bapak/Ayah” atau “Mama/Ibu”. Di sini ibu Marsya cukup ditulis menjadi Fera.
2.       (hlm.31) “Dio bilang pesawatnya tiba pukul sepuluh, tapi sekarang sudah pukul satu sebelas lewat.” ---ini hanya kegagalan saya memahami apa maksud kalimat ini. Apakah saat itu “pukul satu lebih dua belas menit” karena kata ”sebelas lewat” atau sebenarnya hanya mau menggambarkan bahwa saat itu sudah pukul “sebelas lewat” saja?
3.       (hlm. 76) Dio—paling—paling tidak, bisa berteman—tapi—tapi—
4.       Catatan buat diri sendiri: (hlm. 91) Dermaga Marina di sini adalah di Manado (berada di belakang Marina Plaza) bukan Marina Ancol.
5.       (hlm.95) ...berenang bersama-sama, melihat terdapat berbagai...
6.       (hlm. 95) ...medan wall salah satu membuat mereka takjub berhadapan dengan sebuah...
7.       Penggunaan memberitahu dan memberi tahu yang tidak konsisten
8.       Penggunaan lenggang dan lengang yang tidak konsisten
9.       (hlm. 155) Rama mengajak Kimmy untuk di pinggir pantai...

Sebenarnya, novel ini ditulis dengan begitu manis. Saya selalu suka membaca novel romance yang ditulis lembut, sedikit mendayu, santun, dengan diksi yang bagus. Seolah-olah saya sedang mendapat treatment pijat refleksi. Damai. Menenangkan. Namun, sayang, mungkin karena terlalu tipisnya novel ini serta beberapa hal yang secara pribadi tidak masuk dalam selera, saya cenderung sinis ketika membaca novel ini. Mohon maaf.

Rating: 2,5 out of 5 stars


2 comments:

  1. Aku selalu salut dengan kemampuan baca Bang Ijul. Detail. Hehehe! Kalo aku sih agak susah nemu 'something wrong' pada buku yang aku baca. :D

    Baca review ini, aku jadi inget film Sex and the City. Ada tuh kan bagian cerita yang batal nikah itu lho, Bang.

    Terus soal yang mengganjal itu. Heemmm, mungkin maksudnya adalah jam satu lewat sebelas menit. Cuma kebalik susunan katanya. Mungkin. Mungkin ya...

    Lenggang/lengang... Aku pilih Lenggang aja deh! Kalo di Palembang, Lenggang itu nama makanan soalnya. Enak lho, Bang! Wkwkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  2. Makasih info buku2 terbarunya...:)

    ReplyDelete