“Tidak mungkin aku memisahkan bintang dari pendarnya.”
~pg.192
Adakah Tuhan sedang memberi jeda untuk kita atau memang tak ada nama kita dalam takdir-Nya?
Menjalani hari bersamamu begitu menyenangkan. Tidak ada yang lebih daripada dirimu yang aku inginkan. Kita tenggelam dalam riuhnya impian, hingga baru tersadar setibanya di persimpangan. Aku dan kamu berbeda tujuan.
Namun, kita sama-sama ragu apakah perpisahan yang benar-benar kita inginkan. Kita memutar arah, berusaha kembali dari sudut yang berseberangan.
Mungkin kita bisa bertemu kembali di ujung jalan yang sama. Mungkin kita bisa merajut kembali mimpi yang tertunda.
Kalau saja belum ada dia...
Judul: Coba Tunjuk Satu Bintang
Pengarang: Sefryana Khairil
Editor: Mita M. Supardi
Proofreader: Jumali Ariadinata
Penata letak: Gita Ramayudha
Desainer sampul: Amanta Nathania
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 210 hlm + vi
Harga: Rp40.000
Rilis: Juni 2013 (cet ke-1)
ISBN: 978-979-780-647-7
Beruntung, blog
saya masuk dalam 30 besar blogger
buku yang dipilih oleh Gagas Media untuk mendapat Kado Untuk Blogger dalam rangka perayaan ulang tahun Gagas Media
yang ke-10. Setelah mendapat konfirmasi, saya dipersilakan untuk memilih 10
buku dari daftar buku yang disediakan... senang rasanya memilah-milih buku, dan
salah satu pilihan saya jatuh pada novel terbaru karya Sefryana Khairil
berjudul Coba Tunjuk Satu Bintang
(CTSB) yang sudah sering dipromosikan baik oleh sang pengarang maupun
penerbitnya.
Menilik ketebalan buku yang terbilang tipis ini, akhirnya
saya memutuskan untuk membaca CTSB terlebih dahulu untuk event #unforgotTEN Gagas Media. Kebetulan
pula ukuran huruf (font) yang
digunakan gede-gede, jadinya motivasi
membaca kian besar, karena pasti cepat selesai, hehehe. Mungkin untuk kondisi normal, saya mencak-mencak kalau
membeli buku yang sudah berasa tipis, ukuran hurufnya pun sebesar ini. Saya
selalu merasa kalau saja ukurannya disusutkan setengahnya, novel ini bisa lebih
tipis lagi. Dan, harganya bisa jadi tak semahal harga resminya.
Meskipun belum banyak novel karangan Sefry yang saya baca
(dikoleksi sih sudah hampir semua, kurang Beautiful
Mistake aja), namun saya sudah menduga akan mendapati novel dengan tata
tulisan rapi dan diksi yang menawan. Benar saja, saya mendapati nuansa itu
dalam CTSB ini. Indah. Lembut. Santun. Mendayu. Menghanyutkan. Seolah setiap
kepingan kata ditulis dengan segenap rasa. Tumpah dari kedalaman jiwa.
twitter.com |
Astronomi dan rasi bintang menjadi latar belakang kisah
cinta sejati ini. Dua tokoh utamanya menyukai bidang tersebut. Bahkan, konflik
utama sehingga kisahnya mengalir sebagaimana dirangkai sang pengarang di novel
ini juga karena bidang itu. Cukup menarik. Pembaca disuguhi wawasan seputar
benda angkasa melalui jalinan memori dan dialog dari hati ke hati kedua tokoh
utamanya, meskipun baru sebatas nama dan sedikit karakteristik dari benda-benda
angkasa tersebut.
Dalam novel ini dikisahkan bahwa pada suatu kali Dio
lebih memilih mengejar mimpinya tepat ketika ia dengan sadar merencanakan
sebuah pernikahan dengan Marsya yang akan dihelat beberapa saat lagi. Saya
sempat tercenung pada bagian ini. Mungkin, hal semacam ini pun akan terjadi
dalam kehidupan nyata. Tapi tetap saja, saya merasa kok semudah itu mengingkari
sebuah kesepakatan pernikahan? Yah, kalau di kehidupan nyata di sekitar saya,
beberapa teman memilih menikah dulu meskipun kemudian mereka terpisah, toh ada
bermacam teknologi yang bisa tetap membuat mereka bisa terus berhubungan, tapi
intinya mereka tetap berkomitmen dalam biduk rumah tangga. Apalagi dalam cerita
ini keduanya digambarkan menyukai bidang yang sama, berarti Marsya seharusnya
memahami keputusan perginya Dio, tapi Dio pun tetap bisa bertanggung jawab,
nggak asal pergi begitu saja. Tapiiii...
kalau nggak gitu jadi nggak ada konfliknya
donk...
space.about.com |
Hal lain yang juga menggiring saya untuk bertanya adalah dengan
peristiwa sedahsyat itu kok saya kurang merasa ‘perih’ sebagaimana yang dialami
Marsya, ya? Iya, dia digambarkan sengsara tapi itu masih kurang atau bahkan
tidak menggambarkan perasaan terguncang akibat rencana pernikahan yang sudah
dirancang sebegitu matang, gagal seolah hanya dengan menjentikkan jari saja.
Dan, sekali Dio datang, sudah... semua kembali tenang. Cinta pun menyatu.
Terasa begitu mudah. Terasa... tak pernah ada luka di sana. Entahlah, apakah
saya yang terlalu sinis atau bagaimana, namun ini menjadi terlalu ideal, buat
saya.
Saya pemuja cinta sejati. Saya sering dibuat heran betapa
cepatnya seseorang menautkan cinta pada satu hati ke hati yang lain. Tapi,
kehidupan memang begitu, kan? Nothing is
impossible. Jadi, ya sudahlah. Saya adalah saya. Cinta sejati tetap saya
puja. Begitupun nanti, ketika saya benar-benar menemukan cinta, saya akan
menjaganya selayaknya cinta sejati. Cinta yang ditakdirkan hanya untuk saya. Sayangnya,
saya tak sependapat dengan ‘cinta sejati’ yang saya kira menjadi pondasi cerita
novel ini. Entahlah, mungkin kembali ke pribadi saya yang lebih memilih
melupakan ‘tragical moment’ dan move on mencari cinta lain karena sekali
disakiti saya percaya ‘dia’ memiliki kesempatan untuk menyakiti saya kembali di
lain waktu. Dan, Marsya seolah tak punya rasa sakit itu. Well, apakah saya seorang pendendam? Tergantung penilaian Anda. Saya
pribadi tak merasa begitu. Tapi, saya memang berprinsip seperti yang saya
sebutkan tadi: tak pernah ada kesempatan kedua untuk seseorang yang sudah
melakukan kesalahan sebesar itu. Just leave
it and move on.
initokokita.com |
Membaca novel ini lagi-lagi saya terganjal beberapa hal
karena sekelebatan kemiripan dengan satu-dua keadaan (penting) pada novel Melbourne-nya Winna Efendi dan film Ada Apa Dengan Cinta. I know, I know, I shhouldn’t compare these
two things, but I can’t help myself. Duh! Semoga kalian tak mengalami deja vu sesaat ketika membaca bagian-bagian
itu di novel ini. Ohiya, sebagaimana Cintapuccino-nya
Icha Rahmanti di mana saya menjadi #TeamAdit di sini saya pun lebih memilih menjadi
#TeamAndro: “klub pemilik cinta yang tulus namun tak berbalas dan di-PHP-in
saja”.
Laporan typo:
(hlm. 46) saling berpandangan = saling memandang = berpandangan
(hlm. 51) di maksud = dimaksud (gabung)
(hlm. 63) dipindah tugaskan = dipindahtugaskan (gabung)
(hlm. 68) memterbuka = terbuka
(hlm. 73) antaruang = antarruang
(hlm. 79) Sekali pun = Sekalipun
(hlm. 88) dimasukin-ya = dimasuki-nya
(hlm. 97) Kimy = Kimmy
(hlm. 100) risih = risi
(hlm. 106) ter-ik = te-rik
(hlm. 110) mendegus?
(hlm. 110) denga = dengan
(hlm. 116) mer-eka = me-reka = mere-ka
(hlm. 119) menjentikan = menjentikkan
(hlm. 124) terlanjur = telanjur
(hlm. 135) Masya = Marsya
(hlm. 135) ditentengya = ditentengnya
(hlm. 147) perseneling = persneling
(hlm. 148) ditelinganya = di telinganya
(hlm. 201) berterbangan = beterbangan
Agak aneh:
1.
Mungkin karena kultur, saya kurang nyaman
orangtua disebut namanya langsung, bukan dengan sebutan “Bapak/Ayah” atau “Mama/Ibu”.
Di sini ibu Marsya cukup ditulis menjadi Fera.
2.
(hlm.31) “Dio bilang pesawatnya tiba pukul
sepuluh, tapi sekarang sudah pukul satu sebelas lewat.” ---ini hanya kegagalan
saya memahami apa maksud kalimat ini. Apakah saat itu “pukul satu lebih dua
belas menit” karena kata ”sebelas lewat” atau sebenarnya hanya mau
menggambarkan bahwa saat itu sudah pukul “sebelas lewat” saja?
3.
(hlm. 76) Dio—paling—paling tidak, bisa berteman—tapi—tapi—
4.
Catatan buat diri sendiri: (hlm. 91) Dermaga
Marina di sini adalah di Manado (berada di belakang Marina Plaza) bukan Marina
Ancol.
5.
(hlm.95) ...berenang bersama-sama, melihat
terdapat berbagai...
6.
(hlm. 95) ...medan
wall salah satu membuat mereka takjub berhadapan dengan sebuah...
7.
Penggunaan memberitahu dan memberi tahu yang
tidak konsisten
8.
Penggunaan lenggang dan lengang yang tidak
konsisten
9.
(hlm. 155) Rama mengajak Kimmy untuk di pinggir
pantai...
Sebenarnya, novel ini ditulis dengan begitu manis. Saya selalu
suka membaca novel romance yang ditulis
lembut, sedikit mendayu, santun, dengan diksi yang bagus. Seolah-olah saya
sedang mendapat treatment pijat
refleksi. Damai. Menenangkan. Namun, sayang, mungkin karena terlalu tipisnya
novel ini serta beberapa hal yang secara pribadi tidak masuk dalam selera, saya
cenderung sinis ketika membaca novel ini. Mohon maaf.
Rating: 2,5 out
of 5 stars
Aku selalu salut dengan kemampuan baca Bang Ijul. Detail. Hehehe! Kalo aku sih agak susah nemu 'something wrong' pada buku yang aku baca. :D
ReplyDeleteBaca review ini, aku jadi inget film Sex and the City. Ada tuh kan bagian cerita yang batal nikah itu lho, Bang.
Terus soal yang mengganjal itu. Heemmm, mungkin maksudnya adalah jam satu lewat sebelas menit. Cuma kebalik susunan katanya. Mungkin. Mungkin ya...
Lenggang/lengang... Aku pilih Lenggang aja deh! Kalo di Palembang, Lenggang itu nama makanan soalnya. Enak lho, Bang! Wkwkwkwkwkwk
Makasih info buku2 terbarunya...:)
ReplyDelete