Amerika dan Islam. Sejak 11 September 2001, hubungan keduanya berubah.
Semua orang berbondong-bondong membenturkan mereka. Mengakibatkan banyak korban berjatuhan; saling curiga, saling tuding, dan menyudutkan banyak pihak.
Ini adalah kisah perjalanan spiritual di balik malapetaka yang mengguncang kemanusiaan. Kisah yang diminta rembulan kepada Tuhan. Kisah yang disaksikan bulan dan dia menginginkan Tuhan membelah dirinya sekali lagi sebagai keajaiban.
Namun, bulan punya pendirian. Ini untuk terakhir kalinya. Selanjutnya, jika dia bersujud kepada Tuhan agar dibelah lagi, itu bukan untuk keajaiban, melainkan agar dirinya berhenti menyaksikan pertikaian antarmanusia di dunia.
“Apa? Wajah Nabi Muhammad junjunganku terpahat di atas gedung ini? Apa-apaan ini! Penghinaan besar!” seruku pada Julia. Mataku hampir berair menatap patung di dinding Supreme Court atau Mahkamah Agung Amerika Serikat, tempat para pengadil dan terhukum di titik puncak negeri ini.
“Jangan emosi. Tak bisakah kau berpikir lebih jauh, Hanum? Bahwa negeri ini telah dengan sadar mengakui Muhammad sebagai patron keadilannya. Bahwa Islam dan Amerika memiliki tautan sejarah panjang tentang arti perjuangan hidup dan keadilan bagi sesama.
“Akulah buktinya, Hanum.”
Kisah petualangan Hanum dan Rangga dalam 99 Cahaya di Langit Eropa berlanjut hingga Amerika. Kini mereka diberi dua misi berbeda. Namun, Tuhan menggariskan mereka untuk menceritakan kisah yang dimohonkan rembulan. Lebih daripada sekadar misi. Tugas mereka kali ini akan menyatukan belahan bulan yang terpisah. Tugas yang menyerukan bahwa tanpa Islam, dunia akan haus kedamaian.
Judul: Bulan Terbelah di Langit Amerika
Pengarang: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Desain sampul: Hendy Irawan
Desain isi: Suprianto dan Ayu lEstari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 344 hlm
Rilis: Mei 2014
Harga: Rp75.000 (diskon 50%, beli di tokobuku.getscoop.com)
ISBN: 9786020305455
Saya termasuk yang paling bersemangat ketika mendengar kabar duet suami istri ini kembali menuliskan kisah perjalanan spiritual mereka di luar negeri. Melalui pengalaman kunjungan demi kunjungan ke beberapa kota yang kemudian mereka ceritakan, saya baru mengetahui bahwa jejak Islam banyak terdapat di kota itu. Well, itu yang saya dapat ketika membaca 99 Cahaya di Langit Eropa. Dan, saya benar-benar dibuat terpukau dengan "fakta-fakta" yang mereka paparkan di buku itu.
Bulan Terbelah di Langit Amerika. Dari judulnya saja saya sudah "merinding". Saya sangat berharap mendapatkan pencerahan sekali lagi tentang penelusuran jejak Islam di negara adidaya yang sempat merana akibat Black Tuesday, 11 September 2001, itu. Dan, memang benar, peristiwa Selasa Hitam itulah yang dijadikan dasar oleh Hanum dan Rangga dalam menulis kisah ini. Yang... ternyata tak sepenuhnya benar. Atau dengan kata lain, sebagaimana disampaikan sendiri oleh Hanum di bagian belakang buku ini, bahwa fakta-fakta yang ada di dalam buku ini bersifat debatable. Heh? Maksudnya? Detik itulah minat saya untuk membaca buku ini luntur dan digantikan upaya untuk sekadar menuntaskan-baca.
Yang paling saya suka dari 99 Cahaya di Langit Eropa adalah ketidaktahuan saya akan beberapa hal tentang Islam di Eropa yang dijawab dengan syahdu oleh Hanum dan Rangga dengan menyajikan banyak pengetahuan baru tentang sejarah Islam di Eropa. Saya tak henti-hentinya bertasbih demi menikmati suguhan fakta-fakta (lama) yang baru saya ketahui itu. Saya serasa mampir ke warung es di tengah perjalanan panjang di musim kemarau. Nyess... langsung menyejukkan. Jadi, apa yang kemudian disuguhkan dalam Bulan Terbelah di Langit Amerika dengan rangkuman fakta yang masih debatable, saya merasa tengah dalam perjalanan yang terus menerus diguyur hujan, tanpa henti. Memang sejuk, tapi juga bikin tak nyaman.
Semua yang saya harapkan kemudian menemui jalan bercabang yang berujung sama: KERAGUAN. Mendingan saya disuguhi kisah yang benar-benar fiksi saja. Atau, sebaiknya saya anggap saja Hanum dan Rangga itu tokoh rekaan belaka. Bukan Hanum dan Rangga yang benar-benar ada. Habis perkara, maka saya akan memberikan bintang 4 pada buku ini yang gaya menulis dan diksinya begitu indah. Namun, saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah telanjur menghubungkan bahwa antara 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika adalah dua fragmen yang membentuk satu jalinan cerita yang sama. Tak bisa dipisahkan, sehingga sulit jika satunya dibilang bermuatan fakta menakjubkan sedangkan satunya hanya berisi khayalan-khayalan tingkat tinggi. Saya tidak bisa.
Jefferson memorial |
Smithsonian museum |
protes pendirian Masjid di Ground Zero |
Selain kenyataan soal buku ini, plot-nya pun sangat tendensius. Inilah mengapa fakta debatable itu bisa menggulirkan anggapan bahwa unsur subjektivitas cukup tinggi di buku ini. Ending yang terlalu mellow, tokoh-tokoh heroik yang dihadirkan, serta keputusan-keputusan fantastis demi --maaf-- meninggikan Islam kurang believable. Benar-benar jauh dari gaya berkisah di 99 Cahaya di Langit Eropa. Seandainya saja buku ini hadir dalam bentuk 100% fiksi, saya akan lebih bisa mengapresiasinya dengan penuh percaya diri. Tapi, dalam Islam tak boleh "Seandainya, seandainya...," ya, jadi saya tak akan meneruskan persoalan ini. Yang jelas, saya mohon maaf jika pendapat saya soal buku ini agak tak seperti gaya meresensi yang biasanya.
Omong-omong kisah tentang bulan terbelah di masa Rasululloh Muhammad SAW, memang ada ayat yang menerangkannya dan hadis sahih yang mendukung peristiwa itu. Sebagai muslim, saya pun mengimani kejadian tersebut.
Apa pun itu, selamat membaca, tweemans.
My rating: 2 out of 5 star.
Terimakasih resensinya. It's a crunchy look :)
ReplyDeleteResensi yang sangat bagus dan Objektif. Saya tertarik untuk membaca "Bulan Terbelah di Langit Amerika" penasaran apakah ceritanya sebagus ""99 Cahaya di Langit Eropa"?
ReplyDelete