Friday, October 3, 2014

[Resensi Novel Metropop] Fantasy by Novellina A.

A Classic Triangle Love Story...
Butuh tujuh tahun bagi Davina untuk memberanikan diri menginjak kota Tokyo, mengejar kembali apa yang telah hancur saat ia membiarkan Awang pergi mengejar impian. Perjalanan itu bukan semata untuk memenangkan kembali cintanya, namun ia membawa benih mimpi sahabatnya, Armitha: mimpi untuk berada di satu panggung kompetisi piano bersama Awang untuk membuktikan siapa yang terhebat di antara keduanya.

Fantasy berarti mimpi, imajinasi. Hingga sejauh apa Davina, Armitha, dan Awang melalui jalan mimpi yang tak pernah mudah? Inilah saatnya cinta, persahabatan, kesetiaan, dan kepercayaan teruji. Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, hingga Wina, mereka berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya.

Judul: Fantasy
Pengarang: Novellina A.
Editor: Ruth Priscilia Angelina
Desain sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia
Tebal: 312 hlm
Harga: Rp62.000
Rilis: April 2014
ISBN: 9786020303550

WOW. Legit! This is such a pleasant read. Mungkin beginilah rasanya ketika membaca sebuah buku tanpa mematok harapan pada ketinggian tertentu. Kejutan-kejutan menyenangkan muncul di sana-sini, memberikan suntikan motivasi yang berlebih untuk terus dan terus membaca hingga halaman terakhirnya. Saya bisa bilang novel ini page-turner banget. Sekali larut, maka akan terhanyut.

Buat saya, secara umum rasa dari novel ini memang tidak mencitrakan metropop yang glamor atau kompleks selayaknya urusan kaum urban pada kebanyakan novel metropop yang sudah saya baca. Bukan menyuguhkan drama perkantoran penuh intrik atau konflik asmara dan karier para eksekutif muda, Fantasy justru menghadirkan kisah cinta segitiga yang tak berujung dalam balutan alunan musik klasik yang mendebarkan. Dengan beberapa bagian beralur maju-mundur, perjalanan asmara tiga tokoh utamanya yakni Davina-Awang-Armitha diceritakan sudah terjalin sejak SMA sampai fase-fase dewasa dalam proses pencapaian impian masa kecil.


Buat kamu yang menyukai musik klasik, khususnya yang dimainkan dengan piano, dan kamu sudah familier dengan nama-nama semacam Beethoven, Mozart, Rachmaninoff, Johannes Brahms, Clara Schumann, dan nama-nama besar pianis top dunia lainnya, maka kamu akan dengan mudah juga untuk jatuh hati pada novel ini. Sedangkan buat saya yang buta sama sekali dengan musik klasik, novel ini berhasil membuka wawasan permusikan saya, sehingga bisa mendorong saya untuk mengenal dan mendengar lebih sering musik klasik. Beberapa komposisi musik klasik populer, kebanyakan dari Beethoven dan Mozart, ditampilkan dengan penjelasan lengkap di catatan kaki. Sangat menarik dan mencerahkan. Saya, sih, tidak merasa bosan. Saya justru bersyukur tak perlu harus meng-goggling segala.

Mozart's house in Salzburg, Austria
Selain itu, novel ini juga mendeskripsikan kota-kota lain di luar Surabaya (setting lokal di Indonesia), misalnya Wina dan Salzburg di Austria, Tokyo di Jepang, sampai Berlin di Jerman, meskipun tidak secara mendetail. Melalui perjalanan karier musik Awang-Armitha, pembaca diajak berkeliling dunia. Dengan diksi yang luwes serta plot yang rapi, Fantasy berhasil menyeret saya masuk ke simpul rumit cinta segitiga antara Davina-Awang-Armitha. Meskipun demikian, ada kalanya saya merasa di beberapa bagian pace-nya cenderung lambat dan berpotensi menimbulkan kebosanan. Lagi-lagi, saya mesti mengacungkan dua jempol untuk pengarang (dan editornya) yang sudah menyajikan kalimat demi kalimat yang efektif dan mengalir lancar. Oiya, novel ini dibagi menjadi tiga bagian yang dibedakan dari waktu serta menggunakan sudut pandang orang pertama, bergantian antara Davina dan Armitha.


Dari segi konflik ceritanya, sebenarnya saya agak kurang sreg pada beberapa bagian. Entah saya yang sangking terhanyutnya jadi terlupa detail bagian itu atau memang ada yang bolong saya agak ragu.
  1. Di halaman awal, Awang terkesan bad boy yang ke mana-mana dikuntit sidekick-nya, layaknya Draco Malfoy di serial Harry Potter. Tetapi, pada adegan-adegan berikutnya, citra itu langsung hilang. Bahkan, Awang terasa agak soliter alias tak memiliki teman selain Davina dan Armitha.
  2. Chemistry hadirnya cinta pertama Armitha pada Awang tidak saya temukan. Tiba-tiba saja pada bagian kedua novel ini, Armitha begitu memuja Awang padahal di awal justru  Armitha cuek tak keruan. Memang ada sedikit penjelasan di belakang, tapi tetap saja tak bisa meyakinkan saya bahwa ada senyawa kimia yang menggelegak antara Armitha dan Awang.
  3. Perjumpaan Davina dengan Awang untuk kali pertama (di Tokyo) setelah delapan tahun tak pernah berkomunikasi terasa hambar dan kurang gereget.
  4. Keterlibatan orangtua sangat minim dalam perjalanan hidup ketiga tokoh utamanya. Sempat disinggung, tapi tidak dijelaskan secara spesifik.
Awalnya, saya pun hendak mempermasalahkan sikap Awang yang plinplan. Secara dia sudah dewasa dan berani mengambil risiko (keluar dari zona nyaman) sejak lulus SMA, masak iya masih bersikap labil juga. Di satu sisi mengaku jatuh cinta pada Davina, tapi di sisi lain terkesan memberi harapan pada Armitha. Nyatanya, itulah salah satu skenario apik yang disusun oleh Novellina. Ada alasan khusus di balik sikap Awang yang plinplan itu. Kamu harus baca sampai tuntas untuk mencari tahu jawabannya, ya. Secara teknis, masih ada beberapa typo yang lolos dari kerlingan proofreader dan editor-nya, seperti kurangnya tanda titik pada beberapa dialog (contoh hlm 135), kebanggan - kebanggaan (hlm 140), keterjutanku - keterkejutanku (hlm 174), dan perasaannnya - perasaannya (hlm 280). Tak signifikan, sih. Sedangkan dari suntingan, tak masalah. Hanya satu kalimat yang saya enggak mudheng sampai sekarang (hlm 253):
Meskipun terkenal sebagai pianis yang sangat berpengaruh di abad 21, Jean juga memiliki beberapa komposisi yang dijadikan literatur di sekolah musik.
Itu mengapa menggunakan kata hubung "meskipun" ya? Bukankah kedua anak kalimat itu saling mendukung, bukan berlawanan? Maksudnya ketika menjadi pianis paling berpengaruh, maka bukan hal yang mengherankan jika komposisi karyanya bakal jadi literatur sekolah musik, kan? Atau bagaimana? Hehehe... Bagaimanapun, saya menyukai novel ini. Meskipun tak bercita rasa metropop, mungkin lebih tepatnya sejenis novel young adult, kali ya, namun Fantasy mampu membuat saya betah membacanya hingga tuntas. Serasa tak ada yang sia-sia dari setiap kalimat yang dituliskan dalam novel ini. Beberapa kalimat favorit saya:
Aku sedih saat kalian berdua berhenti mengontakku karena kalianlah alasan aku mengejar impianku. Seseorang perlu orang lain untuk mendukungnya, betapa pun besar bakatnya."
(hlm. 260)
Yang lucu adalah kita tidak memerlukan kesempurnaan untuk hidup bahagia, namun kita terus mencarinya bahkan rela mengorbankan jati diri untuk itu. Padahal yang dibutuhkan hanya satu, percaya.
(hlm. 261)
Awang: "Kamu tahu mengapa manusia begitu suka sulap?" Davina: "Karena sebenarnya manusia lebih suka ditipu?" Awang: "Benar juga." Davina: "Berarti ada jawaban lain yang lebih benar?" Awang: "Karena manusia hanya melihat apa yang ingin dia lihat. Dia tidak sadar bahwa bukan mata yang menipu, karena mata hanyalah alat, pikiran kita sendirilah yang menipu penglihatan kita."
(hlm. 269-270)
Selalu ada yang bersalah dalam setiap kejadian buruk. Pilihannya, salahkan orang lain, atau salahkan dirimu sendiri.
(hlm. 301)
Kamu adalah musikku, alasan musikku terlahir di dunia ini.
(hlm. 308)

Selamat membaca, tweemans.

My rating: 3,5 out of 5 star.

0 komentar:

Post a Comment