Kisah kita serupa dongeng. Dipertemukan tanpa sengaja, jatuh cinta, lalu bersama, dan akan bahagia selamanya. Tanpa banyak kata, kau tahu aku mencintaimu selamanya. Begitulah yang seharusnya.
Namun, ketika setiap pagi kutemukan diriku tanpa kau di sisiku, aku sadar bahwa dongeng hanyalah cerita bohong belaka. Kau pergi, meninggalkanku dalam sepi, dalam sesal yang semakin menikam.
Hidup tak akan sama lagi tanpamu. Apa yang harus kukatakan ketika mata polos gadis itu memelas, memintaku menceritakan dongeng-dongeng yang berakhir bahagia? Kau belum memberi tahu jawabnya untukku.
Kau tahu, kali ini, akan kulakukan apa pun untuk mempertahankanmu berada di sisiku. Pun sejenak. Namun, lagi-lagi, kau hanya ada dalam memori….
Judul: Priceless Moment
Pengarang: Prisca Primasari
Penyunting: Yulliya Febria
Proofreader: Mita M. Supardi
Pewajah sampul:Amantha Nathania
Penerbit: Gagas Media
Tebal:298 hlm
Rilis: Juli 2014
Harga: Rp48.000
ISBN: 9789797807382
*tarik napas dalam-dalam*
*lepaskan*
*bernapas dengan wajar*
*cuci muka*
*minum teh anget dulu*
.............................................................................................
What a book! Hm, sebaiknya mulai dari mana ya buat ngomongin buku ini. Saya masih speechless untuk membuat resensi buku kesekian karya Prisca ini. Well, saya masih hangover, sih. Yah, meskipun tak seberat ketika selesai membacanya. Saya sudah bisa membaca buku-buku yang lain lagi, hehehe. Good for me.
Oke, yang bisa saya bilang, Priceless Moment, sejauh ini adalah buku terbaik di tahun 2014 yang saya baca. *angkat topi buat Prisca* Saya tak sanggup menggambarkan betapa saya sangat bahagia karena telah dengan segera membeli dan membaca buku ini. Segala apa yang saya harapkan ada di sebuah buku fiksi tersaji dengan demikian apik di Priceless Moment. Mengutip judul buku ini, waktu yang saya habiskan untuk membaca buku ini sungguh-sungguh demikian tak ternilai harganya. Istimewa!
Daripada saya meracau tak jelas, baiklah, kita mulai saja membahas buku ini dari segi temanya dulu. Berdasar salah satu tweet Prisca, Priceless Moment menjadi bagian dari serial atau buku yang diterbitkan dengan tema Fatherhood di bawah bendera Gagas Media. Yang saya tangkap, tema ini berfokus pada cerita yang diilhami keteladanan sosok ayah. Buku lain yang masuk ke serial ini adalah Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya. Saya juga sudah punya buku itu, tapi saat ini masih dipinjam teman. Begitu kembali, saya ingin langsung membacanya. Janji! *crossed finger*
Tema fatherhood demikian menyentuh hati saya karena...*sigh*... secara pribadi, saya tak mendapati gambaran ideal seorang ayah (dalam kehidupan nyata) sampai saya masuk di umur jelang dewasa. *curcol* Selama usia kanak-kanak hingga tahun pertama SMA, gambaran orangtua ideal bagi saya adalah HANYA ibu saja. Ayah tak pernah hadir dalam frame orang yang mesti saya kagumi. Baru ketika ibu kembali ke haribaan, ayah menjadi sosok ayah yang saya impikan. Kali ini, saya bersyukur pada Tuhan, saya tak lagi memimpikan sosok ayah yang lain. Terima kasih, Ayah.
Mungkin karena temanya yang benar-benar relate ke (hati) saya, maka dengan mudah saya terbawa suasana yang dibangun oleh Prisca. Kekuatan para tokohnya menyumbang kontribusi terbesar dalam keterhanyutan saya di Priceless Moment ini.Yanuar, Lieselotte, Wira, Hafsha, Feru, hingga tokoh ayah Lis, kekasih Wira, dan orang-orang di sekeliling tokoh utama tampil demikian prima. Entahlah, saya sebenarnya tak ingin melebih-lebihkan, tapi buat saya, tak ada tokoh yang mubazir di novel ini. Meskipun sekadar cameo, mereka tampil dengan begitu hidup.
Tentang ceritanya, dari plot dan subplotnya sangat rapi. Saya iri banget bisa menulis dengan begini rapi. Standar kerapian di sini, biasanya saya tandai dengan apakah saya akan bertanya ini dan itu pada adegan demi adegan yang ada, dan... saya enggak banyak diganggu pertanyaan macam begitu. Hmm, ada --beberapa kali-- sih tapi, ya gitu, ceritanya sendiri sudah memikat saya sehingga saya tak lagi mempermasalahkannya.
Tak perlu takut merasa bosan karena novel ini begitu kaya akan nuansa. Memang bukan yang bersifat mengejutkan, tapi cukup kuat untuk bisa mengikatmu untuk terus dan terus membaca halaman demi halamannya. Subplotnya melengkapi cerita utamanya. Intinya memang tentang Yanuar yang baru kehilangan istrinya dan Lieselotte yang menyimpan duka karena tak merasai kasih sayang seorang ibu sejak kanak-kanak, tapi plotnya enggak melulu tentang mereka. Ada Wira dan kejomloannya yang justru positif untuk membantu kakaknya dalam pengasuhan Hafsha dan Feru. Ada juga dua anak menggemaskan yang bakal menggerecoki khidupan ayah, om, pacar ayahnya, dan pacar omnya, hehehe. Latar belakang profesi Yanuar dan Lieselotte juga cukup kuat untuk membungkus kisah romantis mereka menjadi satu suguhan yang tak habis dibicarakan.
Lingkungan kerja selalu menjadi unsur favorit saya di novel romance, itulah sebab mengapa saya sangat menggemari novel-novel metropop (dan chicklit). Saya tak mau hanya membaca novel romance bertabur adegan-adegan penuh gelombang asmara (dan adegan percintaan), tapi saya selalu berharap bahwa selama membaca sebuah novel saya mendapatkan banyak hal atau wawasan baru. Dalam hal ini, deskripsi tentang berbagai profesi yang disematkan ke para tokoh fiksi tersebut. Di Priceless Moment, saya menyukai lingkungan kerja Yanuar dan Lieselotte serta obsesi tersembunyi keduanya. Meski tak dijabarkan dengan begitu detail, saya jadi tahu bagaimana industri mebel berproduksi dan mendistribusikan produk mereka.
Soal gaya menulis dan diksi, Prisca tak mungkin salah. Sepertinya buku-bukunya selalu menarik dan hal itu ditunjukkan dengan banyaknya respons positif dari pembacanya. Dan, saya tahu dia editor yang mumpuni, maka tepat jika saya bilang, gaya menulis dan diksi tak perlu diragukan lagi. Saya pun suka. Well, saya baru baca dua buku Prisca, Priceless Moment dan Paris: Aline. Saya gagal suka Paris karena ceritanya, sih, sedang soal gaya menulis dan diksinya berhasil saya nikmati. Cerita Paris tak bisa merasuki benak saya sehingga menjadi terlalu biasa saja. Dari Priceless Moment inilah saya makin tertarik untuk membaca kisah-kisah rekaan Prisca yang lain.
Bagian favorit saya:
"Chuck Palahniuk bilang, Your heart is my pinata. Pintu hati manusia bagaikan pinata, yang begitu diketuk dan terbuka lebar-lebar, darinya muncul pernak-pernik manis layaknya permen beraneka rasa."(hlm.157)
"Kenangan itu bukan makhluk hidup. Banyak orang yang merasa cukup memiliki kenangan. Menurut saya, itu bodoh. Kenangan cuma bisa diingat, nggak bisa diapa-apain. Manusia butuh flesh and blood, bukan hal-hal yang sudah nggak berwujud lagi."(hlm. 239)
Dari segi teknis cetakan, novel ini juga sangat mulus dan hampir bersih dari typo. No wonder, ini Prisca gitu loh. Saya yakin, bahkan sebelum disetor ke Gagas Media, Prisca sudah mengeceknya berulang kali.
Hmmm, agak-agak terlalu sempurna ya, novel ini. Tapi, masih ada kok bagian yang tak begitu saya suka yaitu ending-nya. Entahlah, seperti pernah saya baca atau tonton di mana dan terkesan "dipaksakan" kisahnya diakhiri dengan adegan seperti itu. Tapi, secara utuh, saya sih suka-suka-dan-suka novel ini. Buku terbaik tahun 2014, sampai dengan saat ini. Dan, saya begitu bahagia, ketika Prisca berencana membuat tulisan tambahan untuk beberapa hal dari novel ini. Yayyy... sangat ditunggu ya, Prisca.
Selamat membaca, tweemans.
My rating: 5 out of 5 star
0 komentar:
Post a Comment