Wednesday, April 8, 2020

[Resensi Novel Metropop] Finn by Honey Dee

First line:
Mereka bilang tragedi identik dengan kematian.
---hlm.11, Bab 1-Liz

Setelah “membunuh” seseorang, apakah kita masih bisa “hidup”?

Sejak kematian Arthur, kehidupan Liz dan keluarganya seolah ikut mati. Tak ada lagi kehangatan maupun kebahagiaan. Muak dengan kehidupannya, Liz merencanakan pelarian menuju kebebasan.

Liz berkenalan dengan Andika Gautama, kakak dari seorang remaja penderita autisme. Perkenalan itu membawa Liz ke Balikpapan, tempat ia menyanggupi untuk bekerja sebagai terapis Finn, adik Andika.

Bagi Andika, Liz tidak hanya memenuhi semua kriteria menjadi terapis Finn, tetapi juga mengisi ruang kosong di hatinya. Bagi Finn, Liz adalah harapan setelah dunianya hilang saat kematian ibunya. Dan, bagi Liz, Andika dan Finn adalah kunci mendapatkan uang demi kehidupan baru dan memaafkan diri sendiri atas kematian Arthur.

Masing-masing berjuang menyembuhkan diri dari luka. Namun, jika tiga tragedi ini bersatu, akankah ada keajaiban atau justru lebih banyak musibah terjadi pada mereka?

Judul: Finn
Pengarang: Honey Dee
Penyunting: Anastasia Aemilia & Putri Wardhani
Desain sampul: Liffi Wongso
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 312 hlm
Rilis: 13 Januari 2020
My rating: 5 out of 5 star

Finn

Jujur, saya agak skeptis pada Finn sejak mula tersiar kabar akan diterbitkan dan banyak yang nge-tag di Instagram @fiksimetropop ataupun di Twitter @fiksimetropop. Saya pikir, "Ah, palingan novel ini 'karya Wattpad' kesekian yang coba di-booming-kan di industri perbukuan mainstream." Segala promosi gencar yang membuka PO, blog tour, dan segala perniknya itu makin menguatkan anggapan saya, sehingga meskipun telah tersedia di Gramedia Digital, saya tak lantas terburu mengunduh dan membacanya. Bahkan, waktu baca gila-gilaan bulan Maret 2020 kemarin, Finn merupakan #novelMetropop terakhir yang saya baca. Dan... WOW, saya benar-benar telah salah menilai sejak mula. Begitu saya mulai membaca, saya langsung jatuh hati dan begitu saja... terlarut dalam kisahnya yang heart-warming yet heart-wrenching at the same time.


via GIPHY

Yang paling pertama membuat saya betah membaca Finn adalah gaya menulis Honey Dee yang sekilas mengingatkan saya pada Ken Terate. Well, tidak sama persis sih. Cuman, beberapa gayanya yang cenderung mengarah disfemisme, sinisme, sarkasme, dan hiperbola, hampir mirip gaya menulis Ken Terate (setidaknya, menurut saya). Penggunaan kalimatnya pun serbaguna dengan diksi yang apik, menjadikan halaman demi halamannya demikian mudah saya susuri.

Contoh kalimat-kalimat yang saya suka:
"Romi cowok manis. Walau terkadang aku pengin menamparnya karena sok kaya dan sok ganteng, Romi cowok yang sopan." --halaman 16
"Tuhan memang Mahabesar, Rom. Bisa banget bikin kamu hidup sampai selama ini walau tanpa otak. Kamu keajaiban penciptaan." --halaman 35
"...naik pesawat jauh lebih nyaman daripada naik mobil. Paling nggak, selama di angkasa pesawat nggak akan menabrak apa pun, kan?" --halaman 46
"Yang salah itu kalau kamu ditanya tapi malah diam saja. Aku merasa seperti ngobrol sama kursi." --halaman 49


via GIPHY

Finn ditulis menggunakan kata ganti orang pertama oleh dua tokoh utamanya yaitu Elizabeth "Liz" Bachtiar, si tokoh utama perempuan, dan Finn, salah satu dari dua tokoh utama laki-lakinya. Saya begitu tergelitik dan excited mendapati Finn "Finn" Andreas, adik Andika "Dika" Gautama (tokoh utama laki-laki yang satunya lagi), penderita Autisme, menjadi PoV kedua di novel ini. Meskipun saya belum pernah kontak langsung dengan penderita Autisme, saya mendapati Honey Dee berhasil menggambarkan suasana kebatinan Finn dengan bagus pada bab-bab yang menjadi bagian Finn bercerita sebagai "saya". Tak heran memang, karena pada halaman "Menjura dalam Cinta" di bagian belakang bukunya, Honey Dee menjelaskan bagaimana dia bisa sebegitu fasihnya membicarakan tentang Autisme. *menjura*

Plot: Liz, 19 tahun, kuliah semester dua, nekat menerima tawaran bekerja yang diperolehnya dari Facebook sebagai pengasuh sekaligus terapis Autisme pada seorang laki-laki bernama Andika Gautama di Balikpapan. Berbekal pengalaman mengasuh adiknya dulu yang juga penderita Autisme, Liz memanfaatkan kesempatan hengkang dari rumah yang sudah dianggapnya seperti neraka. Tidak memedulikan fakta bahwa dia tidak tahu Balikpapan itu di mana, apakah Andika Gautama tidak bermaksud jahat, atau bahwa Finn yang akan diasuhnya bukan lagi anak kecil berusia sepuluh tahun seperti halnya Arthur, adiknya.

Hal kedua yang membuat saya betah memelototi gawai saya demi membacanya di Gramedia Digital adalah karakter-karakter unik dan kuat yang dihidupkan oleh Honey Dee. Selain tiga tokoh utama, ada Romi, Pak Agus, Julak dan Acil Komodo, serta beberapa tokoh sampingan lain yang benar-benar memiliki peran, bukan sekadar tempelan. Bahkan, cameo beberapa tetangga kepo dan usil di lingkungan tempat tinggal Liz pun cukup hidup (dan meriah). Kerennya lagi, karakter-karakter itu tetap memorable hingga akhir halaman.

Ketika disebutkan bahwa tema utama Finn adalah tentang Autisme, saya hanya berpikir bahwa konflik ya seputar kesulitan mengasuh Finn. Namun, ternyata saya (lagi-lagi) salah menduga. Honey Dee menyiapkan serangkan subplot yang kaya agar topik Autisme tak semata-mata tentang si penderitanya saja. Keluarga dan masyarakat luas (terutama tetangga) adalah subjek yang juga berperan besar dalam menyumbang konflik yang serbaruwet. Plot twist tentang masa lalu Liz dan kondisi Dika adalah salah dua yang membuat saya tercengang. Bravo!


via GIPHY

Hal ketiga yang membuat saya demikian relate sama novel ini adalah karena saya sempat tinggal dan menetap (meskipun tak lama) di Balikpapan. Jadi, ketika setting masuk area Kota Minyak itu, tak pelak sederet kenangan masa lalu segera memenuhi otak, membuat saya kepingin banget bisa berkunjung lagi ke sana, untuk sekadar napak tilas. Entah, apakah Honey Dee memang orang Balikpapan atau pernah tinggal di sana, dia berhasil menyelipkan sedikit nuansa kedaerahan yang khas: bahasa Banjar (yang memang menjadi bahasa keseharian mayoritas warga Balikpapan) dan penyebutan istilah Julak dan Acil untuk Paman dan Bibi (bahasa Banjar).

Overall, for me, Finn adalah novel metropop debutan yang FENOMENAL, menjadi buku pertama yang saya rating 5 bintang penuh. Saya menyukai segala-galanya dari buku ini: tema, plot, setting, karakter, hingga eksekusi yang dipilih. Meskipun ada sisi minor tentang drama keluarga yang agak berlebihan, menurut saya masih bisa ditoleransi untuk membentuk karakter yang memang begitu dengan eksekusi akhir yang seperti itu. Well done, Honey Dee. Suka banget!


via GIPHY

Topik bahasan:
1. Trauma masa lalu
2. Drama keluarga
3. Isu kesehatan mental: Autisme
4. Profesi: analis perminyakan dan pengasuh/terapis khusus Autisme otodidak
5. Setting: Balikpapan dan Jakarta

Selamat membaca, kamu.

End line:
Liza tersenyum pada lukisan saya. Liza berkata, "Bagus ya, Finn?".
---hlm.302, Bab 34-Finn

0 komentar:

Post a Comment