Sunday, November 29, 2009

Resensi Novel Teenlit: Meg Cabot - The Mediator (BUku 1) dan Ally Carter - The Galllagher Girls (Buku 1 & 2)

Konyol. Segar. Menyenangkan.

Meg Cabot Ally Carter

Hmm, yang begini ini yang harus dipunyai oleh para penulis teenage literature (a.k.a teenlit) dalam negeri. Tapi, saya tak akan men-judge karena selain beberapa teenlit favorit dari penulis tertentu dan yang kebetulan membuat saya tertarik, saya sudah lama tidak secara random membeli dan membaca novel teenlit. Bukan faktor malu, karena usia dan gender tidak selaras, namun lebih kepada tema dan gaya menulis yang begitu-begitu saja. Akan tetapi, saya tekankan sekali lagi, karena sudah lama tidak membaca teenlit, saya kurang tahu bagaimana perkembangannya. Apakah semakin baik, tetap, atau bahkan turun. Yang jelas, saya berharap dunia teenlit lokal tetap hadir dengan beragam tema dan kemasan yang terus berkembang.

Entah karena kebetulan yang terbit dan diterjemahkan di Indonesia adalah teenlit yang berkualitas dan sukses secara komersial di negara asalnya, beberapa teenlit mancanegara memang terkesan lebih beragam meskipun dengan tema yang mulek di situ-situ saja tetapi berhasil diberikan sentuhan yang menyegarkan. Belum lagi, biasanya novel terjemahan hasil tulisan penulis luar negeri memang cenderung memperhatikan detail sehingga dari semua unsur aksesoris dan karakter para tokohnya demikian hidup dan menjadikan kegiatan membaca teenlit seumpama membaca novel biasa saja (bukan novel yang "dikhususkan" untuk para remaja)

Teenlit terjemahan yang saya baca terakhir ini adalah serial The Gallagher Girls-nya Ally Carter (Buku 1 dan 2) dan serial The Mediator-nya Meg Cabot (Buku 1). Khusus Meg Cabot yang populer (dan saya rasa menjadi salah satu pioner lahirnya novel teenlit) lewat seri Princes Diaries-nya memang menjadi salah satu novelis luar favorit saya. Saya memang tidak membaca seri Princes Diaries-nya (kalau ini saya sungguh tak tega membacanya, saya cowok dan saya sudah berumur), tapi saya sudah menonton dua film dari cerita yang ditulisnya (yang dibinangi Anna Hathaway itu). An American Girl adalah novel Meg pertama yang saya baca, kemudian berlanjut ke Ready or Not (sekuelnya) dan Teen Idol. Jujur, gaya menulis Meg memang menyengarkan dan penuh kejutan. Sangat menantang.

Ally Carter dan Meg Cabot dengan novel masing-masing sungguh memberikan kenikmatan tersendiri dalam membaca novel. Tentu saja, kredit tetap saya tujukan bagi penerjemahnya yang berhasil mengkonversi bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dengan cukup bagus (sangat bagus, kalau boleh memuji). Lewat bantuan terjemahan mereka lah saya bisa dengan leluasa mencicipi legitnya hidangan Meg dan Ally.

Ally Carter - The Gallagher Girls

Awal ketertarikan saya membeli dan membaca teenlit ini adalah judulnya yang panjang dan menggelitik. Buku pertamanya diberi judul I'd Tell You I Love You, But Then I'd Have To Kill You (aku mau saja bilang cinta, tapi setelah itu aku harus membunuhmu), sedangkan buku kedua dilabeli Cross My Heart and Hope To Spy (Sumpah, Aku Mau Banget Jadi Mata-mata). See? Panjang dan unik, kan??

Apakah judulnya yang unik itu sesuai dengan "kebagusan" isinya? Bagi saya... iya, kalau tidak kenapa sampai saya membaca sekuelnya dan sekarang sedang (tak sabar) menunggu sekuel berikutnya? Yeah, bagi saya pribadi, teenlit ini memang cukup segar, ringan, dan unik. Background ceritanya adalah dunia mata-mata yang kalau selama ini kita lihat lebih "dikuasai" oleh laki-laki. Lihat saja film berlatar FBI, CIA, atau film-film semacam James Bond, The Bourne trilogy, Johny English, Triple X (XXX), kebanyakan yang menjadi jagoan adalah laki-laki, walaupun dalam cerita tetap ada agen perempuannya. Sementara, meski film-film seperti Alias, Charlie's Angels, atau Tomb Raider, yang telah menempatkan seorang perempuan sebagai pusat cerita tetap belum dapat mengubah anggapan umum bahwa yang "pantas" menjadi mata-mata adalah laki-laki. Hanya, laki-laki.

Nah, Ally Carter menghidupkan tokoh Cameron "Cammie" Morgan yang ceritanya tidak setuju dengan anggapan tersebut, bahwa perepuan juga bisa menjadi mata-mata yang andal, bahkan lebih andal dari mata-mata laki-laki. Serial ini mengeker kegiatan dan petualangan Cammie dalam dua sisi, sebagai calon mata-mata tangguh dan gadis remaja yang tak tahu apa-apa tentang cowok. Pada buku pertama, Ally memperkenalkan kita pada Cammie dan "sekolah"nya. Juga teman-teman sekolahnya dan orang tua tunggalnya (ibu - Rachel Morgan) yang kebetulan adalah mantan agen rahasia dan sekarang menjadi kepala sekolahnya. Sedangkan, dalam buku kedua, diceritakan tentang misteri ada tidaknya sekolah mata-mata lain selain sekolah Gallagher, lebih-lebih sekolah mata-mata yang khusus cowok? Dalam beberapa hal saya membandingkan gaya Ally dengan Ken Terate, salah satu penulis teenlit lokal favorit saya, untuk kepiawaian mereka berimprovisasi dengan majas hiperbola. Kalimat-kalimat lebay yang diciptakan Ally justru membuat cerita menjadi demikian menarik untuk terus diikuti, dan tentu saja membuat geli. Lucu, mungkin kata yang tepat.



Ringkasan buku 1: memperkenalkan pada tokoh Cammie, sekolah "khusus"nya, ibunya, guru baru pelajaran Operasi Rahasia-nya yang tampan namun galak (Joe Solomon), teman-temannya (Liz dan Bex), teman barunya yang sombong minta ampun namun justru di akhir kisah melengkapi gang-nya (Macey), dan pengalaman ciuman pertama (sekaligus rasa suka) Cammie pada makhluk yang dikenal dengan sebutan cowok, Josh. Petualangan cewek-cewek itu dibuat lebih seru dengan beragam atribut detektif slash agen rahasia slash mata-mata. Bagaimana demi mengetahui apakah aman jika Josh mendekati Cammie, mereka harus menyelidiki sampah keluarga Josh dan mengamati kehidupan Josh selama beberapa saat. Pada detail-detail petualangan itulah Ally membuatnya sedemikian rupa sehingga menjauhkan kesan bosan mengikuti alur cinta monyet anak-anak usia belasan. Meskipun, ending-nya agak kurang gereget, buku pertama Ally ini sudah cukup meyakinkan saya untuk terus mengikuti lanjutan kisah berikutnya.

Sinopsis (cover belakang)
Cammie Morgan mungkin cewek genius, menguasai empat belas bahasa, jago mengurai kode rahasia tingkat tinggi, dan merupakan "harta" berharga CIA. Kadang ia bahkan merasa dirinya bisa menghilang. Untungnya, di Akademi Gallagher hal itu dianggap keren. Jelas saja, karena Akademi Gallagher sebenarnya sekolah mata-mata top secret.

Tapi soal cowok, Cammie benar-benar idiot. Ia nggak berkutik waktu Josh yang superkeren terang-terangan menatapnya di karnaval kota Roseville. Padahal saat itu Cammie sedang menjalankan misi Operasi Rahasia-nya yang pertama, padahal teman-teman sekelasnya pun nggak bisa melihat keberadaannya.

Siapa cowok itu? Haruskah ia memeriksa sidik jari Josh, mengintai dan menyamar, mengerahkan kemampuan mata-matanya untuk menyelidiki cowok itu? Meskipun tahu Gallagher Girls nggak boleh berhubungan dengan cowok-cowok lokal di Roseville, Cammie sepertinya nggak bisa menolak daya tarik Josh, karena satu fakta penting ini: Josh melihatnya saat nggak seorang pun bisa melihatnya.




Ringkasan buku 2: karena dianggap membahayakan rahasia sekolah, hubungan Cammie - Josh harus diakhiri dan Josh dipaksa untuk melupakan kisah mereka. Sebagai seorang mata-mata sejati, meskipun agak sakit juga, Cammie menerimanya dengan lapang dada. Untunglah ia memiliki ibu dan teman-temannya yang selalu mendukungnya. Lalu, keadaan menjadi sedikit misterius dengan adanya Blackthorne.

Apa itu Blackthorne? Misteri-nya terkuak tak lama setelah ada serombongan cowok yang juga murid sekolah mata-mata ikut bergabung di sekolah Gallagher. Belum tuntas benar hatinya akan kekacauan akibat cowok bernama Josh, Cammie kini tak bisa tidak untuk selalu berdekatan dengan Zach, cowok yang memiliki kemampuan mata-mata setara dengannya, bahkan terkadang diakui Cammie lebih baik ketimbang dirinya. Nyatanya, kehadiran cowok-cowok itu justru membawa kekacauan, puncaknya ketika guru pembimbing mereka mencuri data-data lengkap seluruh siswa sekolah Gallagher. Cammie dan teman-temannya plus para cowok yang mendadak berada di pihak mereka, berusaha melacak dan mengejar si pencuri. Ending-nya lagi-lagi kurang gereget, bahkan saya sudah menduganya. Sayang sekali memang. Namun demikian, saya tetap setia menunggu buku ketiganya. Semoga tak lama lagi.

Sinopsis (cover belakang)
Jadi mata-mata itu nggak gampang. Jadi remaja cewek juga sulit.
Tapi nggak ada yang lebih sulit daripada jadi mata-mata cewek.

Itulah yang dirasakan Cammie. Apalagi ketika semester lalu Cammie harus putus dari Josh---pacar pertamanya---karena Gallagher Girls harus tetap menjaga kerahasiaan penyamaran mereka. Rahasia bahwa Gallagher Girls bukan sekadar cewek-cewek kaya yang bersekolah di sekolah asrama mahal, tapi cewek-cewek genius yang sedang dilatih menjadi mata-mata super.

Apalagi ketika Cammie si Bunglon menyadari bahwa ia punya lawan tangguh. Ia memang hebat dalam mengintai target, melebur di latar belakang hingga target benar-benar tak menyadari keberadaannya. Tapi soal melakukan langkah-langkah antipengintaian, ternyata si Bunglon benar-benar payah. Dalam latihan Operasi Rahasia, seorang cowok keren berhasil menghalanginya mencapai tujuan misi... lagi.

Siapa sebenarnya cowok itu? Kenapa dia berhasil mengalahkan semua langkah antipengintaian Cammie?

Meg Cabot - The Mediator



Entahlah, apakah Gramedia berniat menerbitkan secara keseluruhan seri Meg ini atau tidak. Fakta bahwa serial yang aselinya telah diterbitkan di Amerika kurang-lebih 8 tahun lalu membuat saya agak ragu. Mengapa novel ini baru diterjemahkan dan diterbitkan sekarang? Saya sih berharap agar seri ini terus berlanjut (terjemahannya). Terus terang saja, saya mulai menikmati suguhan Meg yang ini. Percaya deh, menarik sekali mengikuti kisah unik ini.

Kalau remaja sekarang sedang gandrung dengan bentuk cinta abnormal antara vampir dan manusia (Twilight Saga-nya Stephenie Meyer atau serial televisi The Vampire Diaries dan Trueblood), maka Meg Cabot juga punya stock cerita cinta abnormal yang tak kalah serunya, yaitu antara manusia dan hantu. Ya, hantu. Memang bukan juga cerita baru (ingat film Ghost-nya Demi Moore dan Patrick Swayze yang terkenal itu atau novel yang difilmkan Just Like Heaven-nya Reese Witherspoon dan Mark Ruffalo? atau cerita Ghostbuster mungkin?), namun karena kemasan (cerita dan tokoh-tokohnya) yang meremaja rasanya cerita menjadi lain dan menarik. Saya samapi gemas sendiri sewaktu membacanya.

Gaya menulis Meg sudah tidak perlu dikritik, ya memang begitu. Cair, lugas, sederhana, bebas, kadang melantur, dan segar. Tokoh-tokohnya pun hadir dengan ciri dan karakter yang kuat, sehingga serasa bernyawa dan hidup. Meskipun ada satu yang mengganjal, apa di Amerika segitu bebasnya ya, sampai percakapan antara guru (yang sekaligus kepala sekolah) dengan murid sekasual itu (cenderung tidak sopan). Bersyukur, gua lair, idup, dan gede di Indonesia.

Ringkasan buku 1 - The Mediator, Shadowland: Susannah Simon memang sudah menerima keadaan bahwa dia bisa melihat makhluk ghoib (hantu), bahkan dalam beberapa kesempatan sampai menendang bokong mereka. Namun, dia berharap kepindahannya ke California untuk mengikuti ibunya yang menikah lagi (ayahnya sudah meninggal, namun Susie masih sering bertemu dengannya, tentu dalam wujud hantu) dapat mengubah hidupnya. Selain menghadapi keluarga barunya, tiga saudara laki-laki tirinya yang aneh-aneh dan ayah tirinya yang konstruktor dan ahli memasak, Susie justru disambut sesosok hantu cowok yang tampan, Jesse, di kamarnya. Di samping harus bernegoisasi dengan Jesse, Susie malah harus menghadapi hantu cantik namun pemarah dan perusak di sekolah barunya. Untunglah ada teman dan kepala sekolah serta Jesse yang membantunya. Terlebih lagi ada Bryce Martinson, kakak kelasnya yang super ganteng, yang mengajaknya kencan.

Novel pertama ini mengungkap sedikit flashback tentang kehidupan Susie dan profesinya sebagai Mediator, bagaimana ia sering membobol tempat-tempat terlarang dan ditangkap polisi, dan bagaimana ia dianggap aneh oleh teman-temannya. Susie juga akhirnya mulai bisa beradaptasi dengan keluarga barunya, terutama pada saudara tiri bungsunya yang cerdas dan kutu buku itu.

Sinopsis (cover belakang)
Ada cowok keren di kamar Susannah Simon. Sayang cowok itu hantu.

Susannah seorang mediator----penghubung antara orang hidup dan mati. Dengan kata lain, ia bisa melihat hantu. Dan mereka mengganggunya terus sampai Susannah membantu mereka menuntaskan urusan yang belum beres dengan orang-orang yang masih hidup. Tapi Jesse, hantu keren yang menghuni kamar tidur Susannah, sepertinya tidak membutuhkan bantuan. Melegakan sebenarnya, karena Susannah baru saja pindah ke California yang panas dan bermaksud membuka lembaran baru, jalan-jalan ke mal dan bukan ke kuburan, surfing dan bukan kedatangan tamu-tamu aneh dari alam gaib.

Tapi pada hari pertamanya di sekolah baru, Susannah sadar ternyata tidak semudah itu. Ada hantu yang ingin membalas dendam... dan kehadiran Susannah menghalanginya.

Yup, itulah dua seri teenlit terakhir yang saya baca. Cukup menghibur dan menyenangkan. Khusus untuk The Mediator, saya berharap Gramedia tetap terus menerjemahkan dan menerbitkannya.

Okey, enjoy reading, people!

2 comments:

  1. Mau tanya donk novel the mediator temanya tentang apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Fitria. The Mediator series ini young adult / teenlit romance sebenarnya tapi ada bumbu fantasi-nya, karena tokohnya bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus (hantu) :)

      Delete