Sunday, November 1, 2009

Resensi Novel Metropop: Syahmedi Dean - A.M.S.A.T. (Apa Maksud Setuang Air Teh)

Sebuah akhir yang mencengangkan


Judul: A.M.S.A.T (Apa Maksud Setuang Air Teh)
Pengarang: Syahmedi Dean
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romance-Comedy, Metropop, Novel Dewasa
Tebal: 304 halaman
Harga (Toko): Rp55.000
Rilis: Oktober 2009 (cet. 1)

Sebelum saya melantur kemana-mana, saya ingin bilang terlebih dahulu, BURUAN BELI NOVEL INI. HIGHLY RECOMMENDED bangets deh!!!

Fantastis. Extra ordinary. So unpredictable. GOD, I just love this novel.

Yeah, sejak Cewek Matre-nya Alberthiene Endah saya belum pernah lagi merasakan sebegitu bersemangatnya membahas dan berusaha keras menyimpan tiap detail isi dari sebuah buku, sampai terbitnya novel keempat (terakhirkah????) dari seri Fashion Journalistic-nya Syahmedi Dean ini. Rasanya sejumlah rupiah yang saya tukarkan dengan novel ini benar-benar terbayar impas. Wew…

Hahahaha. Unobjective banget ya??? Belum apa-apa sudah memuji setinggi langit begitu. Don’t know why. My hands up! kalo kata Nelly Furtado,”manos al aire.” Novel ini memang keren. Sumpah! Sangat di luar perkiraan saya. Bagaimana tidak, tiga novel pendahulunya telah menjejakkan citra bagaimana saya harus menyimpulkan sebuah novel karya Syahmedi Dean. Yaitu, novel metro-urban-modern yang kebanyakan ngomongin barang fashion dengan segala detailnya berbau fashion. Dengan kata lain, novelnya cukup buat having fun. Just an entertainment book!

Secara packaging, novel ini tidak meninggalkan cetakan dari tiga novel sebelumnya. Masih tetap sama banyaknya dalam hal menampilkan barang-barang fashion. Sebutan merk tas-baju-sepatu-lipstick and so on yang terkadang agak lebay. Tapi itulah istimewanya novel-novelnya Syahmedi Dean. Bagi sebagian pembaca perempuan, cukup dengan merampungkan serinya Syahmedi Dean, dijamin tidak bakal lagi dongo kalau mendengar orang menyebut Bally (bukan Bali), Birkin, atau Louis Vuitton. Minimal, tidak akan lagi shock dan berseru, “ih lucu, makanan apa itu?”

Gaya bahasa yang lebay (berlebihan) yang digunakan Syahmedi memang bagai pisau bermata dua, bagi saya. Di satu sisi agak-agak annoying, tapi di sisi lain juga memberikan efek yang menyegarkan. Sama halnya ketika saya membaca She’ll Take It-nya Mary Carter. Penjelesannya mbleber kemana-mana, tapi sayang kalau dilewatkan.

Biasanya pula, saya paling tidak suka dengan tokoh yang “mendadak” mendapat jatah aktualisasi diri padahal garis besar novel bercerita dengan sudut pandang orang pertama. Janggal saja, tiba-tiba si A diberikan line, sedangkan tokoh utama sama sekali tidak ada dalam adegan tersebut. Namun, dalam novel Syahmedi, cara pemberian porsinya cukup ‘mulus’. Tidak mengesankan narsisme dari tokoh tersebut, sehingga jauh dari kesan janggal.

Dari keseluruhan empat novelnya, novel keempat ini memberikan kesan paling mendalam bagi saya. The best lah dari tiga lainnya. Terutama dari plot dan isinya.

Dari novel pertama, L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembaran Fashion), Syahmedi mengenalkan jungkir baliknya dunia balik layar dari produksi sebuah majalah lifestyle. Novel kedua, J.P.V.F.K. (Jakarta Paris via French Kiss), para tokohnya mulai dikenalkan pada konflik yang lebih beragam dengan tetap tak meninggalkan gemerlapnya dunia mode. Pada novel ketiga, P.G.D.P.C. (Pengantin Gipsy dan Penipu Cinta), para tokohnya dihujani dengan masalah-masalah pelik yang menguji sejauh mana persabahatan mereka. Dan, akhirnya, di novel pamungkasnya ini, A.M.S.A.T. (Apa Maksud Setuang Air Teh), para tokohnya bermetamorfosis mencapai kejatidirian mereka masing-masing. Menemukan jawab atas salah satu pertanyaan penting dalam hidup, “siapa aku yang sebenarnya?”

Meskipun agak terlambat, novel ini cukup up to date dengan sentilan soal hiruk-pikuk panggung politik (pemilu dan caleg), sepak terjang KPK, kasus-kasus korupsi bertaraf nasional semacam kasus alih fungsi hutan lindung di Sumatera, dan demo pengrusakan kantor penerbitan yang menurunkan berita berbau pornografi (jadi ingat kasus majalah Playboy). Maka, lumrah saja ketika saya menyematkan pujian bahwa novel ini cukup padat berisi. Fashion-politik-relijius.
Yup, yang membuat saya cukup terkagum adalah kepiawaian Syahmedi menyelipkan isu keagamaan dalam kilau dunia mode yang diciptakannya. Pun, cara penyampaiannya juga tidak terkesan menggurui dan terlihat sekali Syahmedi mencoba membahas masalah agama itu dari dua sisi, pro dan kontra. Kalau sudah begitu, tinggal pembaca sendiri yang menentukan, mau ikut yang pro atau yang kontra.

Yang perlu dicatat lagi dari novel ini adalah banyaknya flashback dari masing-masing tokohnya. Saya sempat bosan (sedikit) ketika pada lembar-lembar awal, kebanyakan isi halamannya adalah renungan-renungan masa lalu dari masing-masing tokoh. Memang perlu sih untuk menjembatani dengan masa depan mereka, hanya saja, saya memang agak kurang sabaran kalau orang sudah cerita (melulu) tentang masa lalu. Apalagi, kebiasaan Syahmedi yang mendetailkan segala sesuatu, makin membuat saya ingin buru-buru skip dan lanjut ke halaman berikutnya.

Anyway, terima kasih Syahmedi, terima kasih editor, terima kasih tim penerbitan Gramedia, saya luput mendapati adanya salah cetak pada novel ini. Thank GOD! Entah saya yang kurang awas karena terlalu excited terhadap novelnya atau memang benar-benar tidak ada masalah teknis begituan. Dunno.

Hmm… dari novel ini saya punya dua part (quote) yang paling saya suka. Yang pertama, telah saya pampang di sidebar blog saya ini dalam kolom My Favorite Quote. Yang kedua, adalah ini:
Bertolak belakang antara siang dan malam. Siang preman, malam ayah yang baik. Siang selingkuh, malam istri yang budiman. Siang karyawan yang rajin, malam menggampari istri.
Halaman 183

Menohok sekali. Tepat menggambarkan orang-orang yang secara sadar atau tidak seringkali menampilkan dua muka yang berbeda untuk dua waktu yang berbeda pula. Siang dan malam. Baik dan buruk. Salah dan benar. Termasuk saya juga, mungkin, hehehehe....

Dua hal yang menjadi topik penting novel keempat Syahmedi ini adalah ‘bulan’ dan ‘teh’. Secara judulnya juga ada menyangkut teh-teh-nya, maka tak heran kalau teh menjadi primadona di novel ini, bahkan hampir seluruh tokohnya (utama atau figuran), disengaja atau tidak, setiap beradegan minum, pasti pesannya teh. Hmm… kenapa selera orang bisa digeneralisir begitu, ya? Dan, ngomong-ngomong sampai selesai membaca novel ini saya masih nggak tahu juga, apa maksud setuang air teh? Ahhh…mungkin saya harus membaca ulang sekali lagi sembari menuang secangkir teh aroma melati, baru saya tahu apa maksudnya. Hmm… sedap, kedengarannya.

Selamat membaca. Dan, hey, jangan jantungan ya… novel ini benar-benar memberikan full of surprises!!!

Rating-nya 4,5 out 5 stars, lah…

Sinopsis
Siapa yang menggerakkan skenario perjalanan hidup? Sebuah kota? Profesi? Alam pikiran? Atau cinta? Empat sahabat mencari-cari keriaan hari ini dengan mengejar cinta dan mempertanyakan masa lalu. Mereka berprofesi sebagai wartawan, berkesempatan mendirikan sebuah majalah, satu kesibukan urban yang membawa mereka ke ujian persahabatan, penemuan jati diri, dan dilema tepi-tepi hidup.

Alif:
Mata saya tajam terbuka, merasakan dengan nyata kosmik energi, merasakan kuatnya medan magnet yang terjadi. Pelan-pelan ada cairan lain yang naik ke saraf-saraf otak, rasa gusar, kesal, marah. Apakah kosmik energi penyebab rusaknya kehidupan cinta saya? Setiap pekan purnama tiba orang-orang akan bergairah, serbaimpulsif. Mudah marah, mudah sedih, mudah jatuh cinta, mudah berbelanja, mudah dramatis, mudah cemburu. Orang-orang kehilangan keseimbangan, orang-orang cenderung lunatic, kebulan-bulanan. Saya mengerti keadaan ini.

Raisa:
Ia tak pernah tahu bahwa seharusnya, jika berada dalam rapat apa pun di dunia ini, sangat berlaku hukum "You are what you said." Nah, kalau tak pandai berkelit, pakailah aliran "Silence is golden". Sehingga jati diri tidak perlu terasa seperti akan lumer ke lantai, merosot ke kaki-kaki meja, dan secara politis habis diinjak-injak forum. Ia ingat ekspresi semua peserta rapat waktu itu, mereka tersenyum bahagia penuh kepuasan. Pelajaran yang ia dapat dari kejadian memalukan itu adalah: when everybody is happy, you know you done something wrong.

Didi:
Kota Jakarta ini apa masih layak huni? Ngeri banget Jakarta sekarang. Kalau nanti gue terkenal karena jadi creative director sukses, apakah gue aman? Gue harus berjuang dari kemungkinan penembakan seperti ini. Kemungkinan pembunuhan, penggarongan, kemacetan, kebanjiran, penipuan, penggusuran, rombongan kampanye, massa sepakbola, fashion criminals, Chanel limited edition, Louis Vuitton New Arrival, Gucci Piracy, dress code betrayal...

Nisa:
Itu suara Alif. Azan. Komat. Ah, anakku, Mama belum sempat lihat kamu. Bagaimana rupamu? Bagaimana hidungmu? Bagaimana senyummu? Kamu pasti aman di situ, ada Oom Alif, teman Mama yang paling peduli dengan Mama. Kamu pasti senang dengar suara azan Oom Alif. Mama jadi rindu, tapi Mama belum bisa lihat kamu. Mama seperti terbang. Mama hanya bisa merasakan getaran jiwamu yang bening dan bersih. Oh, inikah mati? Tubuh terasa ringan sekali. Tanpa beban fisik. Merdeka dari keterbatasan. Fisik adalah penjara seumur hidup, penjara yang lemah, yang tak mampu menghadapi cuaca, yang tak bisa pergi tinggi-tinggi karena akan ditarik kencang oleh gravitasi bumi.
Sinopsis dan gambar diambil dari situs http://gramedia.com

6 comments:

  1. Hay,,saya juga orang yang menggemari semua karya SYAHMEDI DEAN, dan saya jatuh cinta pada tokoh Alif Afrizal.
    Reaksi saya ketiak selesai membaca novel keempat ini adalah : MENANGIS. ya saya menangis, saya tidak menyangka akhirnya ternyata seperti itu, saya seperti tidak rela kehilangan. Heheheh,,agak lebay sih memang. Btw, baca tulisan ini, buat saya jadi pengen nulis reviewnya juga di blog saya.

    ReplyDelete
  2. hmmm saya baru sebatas majang buku yang masi plastikan itu di rak..janji deh saya baca...
    yupp saya suka banged ma syahmedi dean ini gaya nulisnya... hmmm detil...meskipun kata temen saya bosen sanged baca novel2nya tapi buat saya bagus banged...makasi ya mbak resensi2 buku yg lain..jadi ga perlu susye nimbang kalo mo beli

    ReplyDelete
  3. Saya pun juga pengumpul (alaaah..) novel2nya Bang Dean. Tadinya hanya suka dgn background dan atmosfir fashion dan lifestylenya aja..tapi ternyata dari buku pertama sampai yg keempat ceritanya bagus!
    yg keempat emang gongnya..bikin kaget krn unexpected dan membuat saya bergumam "yah..kok gini??" heheheh..te2p ya terkontaminasi sma sinetron indonesia, maunya yg hepi ending :)
    satu kata buat buku ini: Bagoooouuuuusss!!!

    ReplyDelete
  4. @Indira.....hehehe, iya....untung saya bisa nahan untuk nggak mewek...:)

    @Rizki....kayaknya udah dibaca ya akhirnya...seru kan...cool pokoknya...

    @Ego...iya, novel ini emank bagooooooesss...:)

    thanks for coming, y'all...

    ReplyDelete
  5. floHana says:
    hmm....crita ny lmyan bgus..sya mnjdikan nvel nc sbg tgas rsensi d skula...
    thanx bwt referensi resensi ny...:)

    ReplyDelete
  6. Hei kaw benaaaaarrrrrrr. Ini salah satu novel terbagus yang pernah kubaca. Keren abissss. Metropolis banget tapi nggak sok english. Ceritanya bener2 klimaks :D

    ReplyDelete